Read More >>"> Aku Bukan Kafir! (Final Match) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku Bukan Kafir!
MENU
About Us  

Sabtu sore setelah berpamitan pada Ayah dan Bunda, aku berjalan santai menuju gerbang masuk kompleks Bumi Permai. Beberapa menit aku berdiri di salah satu sisi gerbang untuk menunggu salah seorang mantan anggota tim redaksi MADSA yang cukup dekat denganku, Nabila. Kami janjian untuk pergi ke GOR untuk menonton pertandingan final voli Jawara Cup antara Cygna Tirta dengan SMA Darma Bangsa.

Beberapa hari sebelum aku memutuskan untuk pergi dengan Nabila, aku kembali memaksa Zora untuk menjadi partner nontonku. Dan paksaanku itu berakhir dengan kepalaku yang menjadi korban pukulan penggaris plastik miliknya. Aku juga memohon pada Dhea —dengan sedikit paksaan sebenarnya—, tapi berulang kali Dhea meminta maaf karena dia sudah ada janji dengan teman-teman SMP-nya di hari yang sama.

Lalu besoknya, Alan yang entah tahu dari mana tentang kegalauanku, mendatangi dan mengajakku untuk menonton pertandingan itu bersama anggota tim MADSA yang baru.

Dia bilang kalau anggota MADSA akan pergi ke pertandingan itu untuk meliput jalannya pertandingan antara Cygna Tirta dan SMA Darma Bangsa. Jujur saja saat itu aku baru tahu kalau sekolahku juga berhasil maju ke babak final dan akan melawan tim dari sekolah Jason. Ternyata pertarungan yang berlangsung setiap tahun itu akan berlanjut bahkan di tahun ini.

Sebenarnya tidak ada alasan bagi Alan untuk ikut ke pertandingan, apalagi aku, karena kami sudah bukan bagian dari tim redaksi. Tapi, para anggota tim redaksi MADSA yang bertugas meliput besok mengajaknya sebagai pembimbing karena sudah pasti Alan yang lebih berpengalaman dengan hal-hal seperti itu. Selain aku, Alan juga mengajak beberapa senior MADSA lainnya, salah satunya Nabila. Dan karena rumah Nabila ke GOR yang searah dengan rumahku, aku memilih untuk pergi dengannya.

“Udah lama nunggunya?” tanya Nabila sambil membuka kaca helmnya, mesin motornya yang berhenti di depanku itu ia matikan seketika.

“Nggak kok, Bil.”

Aku pun berjalan mendekati Nabila dan naik ke boncengannya. Setelah memastikan kami siap, Nabila menyalakan kembali motornya dan kami pun berangkat ke GOR.

Suasana GOR sangat ramai saat aku dan Nabila baru sampai di depan GOR dan lebih ramai lagi saat kami sudah masuk ke dalam. Penonton yang hadir kebanyakan memang siswa dari masing-masing sekolah yang sedang bertanding, tapi penonton dari sekolah lain dan bahkan dari luar pun juga ikut meramaikan kursi penonton.

Aku dan Nabila menerobos kerumunan dan sampai di podium penonton di mana para pendukung sekolah kami berada. Mulai dari siswa yang bergabung dalam klub supporter sekolah maupun yang tidak sampai para guru sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing. Aku juga melihat Alan yang sedang berkumpul dengan anggota tim redaksi MADSA yang baru. Mungkin mereka sekedar melakukan briefing sebelum peliputan.

“Ta, gue ke sana dulu, ya,” ucap Nabila nyaris berteriak saking ramainya tempat ini sambil menunjuk ke arah anak-anak di klub supporter. Nabila juga merupakan senior yang pernah bergabung di klub supporter, jadi tak heran jika dia pergi ke sana. “Nanti pulangnya lo sms gue aja, ntar kita ketemuan di mana. Oke?”

“Beres deh.”

Setelah kepergian Nabila, aku bergabung dengan tim redaksi MADSA, melihat Alan dengan gaya khas pemimpinnya yang super keren. Mungkin hanya dari sisi inilah aku dulu menyukainya. Dia benar-benar bisa diandalkan dan bisa mengayomi semua anggotanya.

Meskipun aku tidak pernah kebagian meliput di acara seperti ini saat aku masih berada di tim redaksi MADSA, aku masih bisa sedikit memberi saran pada anggota tim ini jika aku berkaca pada artikel tahun lalu. Setidaknya aku masih ada gunanya di sini, selain memang berniat untuk nonton pastinya.

“Ta, lo mau duduk di mana?” tanya Alan tiba-tiba seusai briefing.

“Duduk?” ulangku bingung. “Ya di sini lah, Bang. Mau di mana lagi emangnya?”

“Bukannya lo dukung Jason?” tanyanya lagi. Dia menaik-turunkan alisnya menggodaku.

Aku bisa merasakan pipiku menghangat, malu. Ternyata Alan bisa menggodaku seperti ini.

“Kalo lo mau duduk di sana juga nggak apa-apa kali, Ta,” katanya sambil menunjuk podium penonton yang ada di seberang kami, tempat para pendukung Cygna Tirta berada, dengan dagunya.

“Apaan sih lo, Bang.” Aku mengelak cepat. “Masak iya gue duduk di sana, ntar yang ada gue dikira penyusup lagi.”

“Mau gue temenin?”

Mendengar itu seketika mataku langsung berbinar. “Seriusan nih?”

Alan mengangguk dan aku pun kembali berpikir. Kalau aku menerima tawarannya untuk ikut mendukung Cygna Tirta, bukankah aku menjadi seorang pengkhianat sekarang?

Aku menggelengkan kepalaku cepat. “Nggak usah di sana deh, Bang, di tengah-tengah aja. Gue nggak mau dianggap sebagai pengkhianat kalau gue juga dukung Cygna Tirta.”

Alan menghela napas, pasrah dengan keputusanku yang agak plin-plan. “Terserah lo deh, gue ngikut aja.”

—???—

Aku dan Alan akhirnya memilih duduk di area yang bukan merupakan area pendukung masing-masing sekolah. Tempat ini lumayan sepi karena memang kebanyakan penonton yang hadir memang datang untuk mendukung. Kami memilih duduk di barisan paling depan. Ini kami lakukan agar kami —lebih tepatnya aku— bisa melihat jalannya pertandingan dengan baik dan tidak terhalangi oleh badan-badan besar penonton lain.

Pertandingan masih belum juga dimulai karena si MC memperlambat waktu dengan games yang kurasa tidak cukup penting untuk dilakukan. Kami datang ke sini kan untuk menonton pertandingan, bukan untuk melakukan games yang hadiahnya pun nggak menarik-menarik amat.

“Baiklah, semuanya, mari kita sambut tim dari SMA Darma Bangsa!” seru si MC lewat microphone yang diikuti dengan sorakan meriah dari podium penonton di sisi kananku. Dan saat anggota tim muncul dan menempati sisi lapangan yang sudah ditentukan, sorakan itu semakin meriah diikuti dengan tepuk tangan dari penonton di podium lainnya.

“Oke, sambutan dari SMA Darma Bangsa meriah banget ya? Tapi yang satu ini pasti nggak kalah meriah. Kita sambut tim dari Cygna Tirta International High School!” seru MC lebih heboh dan disambut dengan teriakan yang didominasi oleh para cewek-cewek dari podium penonton di sisi kiriku. Tak cukup dengan teriakan di sisi kiri, para cewek-cewek yang ada di belakangku pun mulai ramai membicarakan para pemain yang baru saja muncul.

Tim dari Cygna Tirta mengenakan jersey voli kebanggaan mereka yang berwarna hitam-ungu, berbeda dengan tim sekolahku yang menggunakan jersey putih-hijau. Seperti yang terakhir kali kulihat, anggota tim dari Cygna Tirta memiliki postur tubuh tinggi, bahkan lebih tinggi dari tim sekolahku. Tidak hanya tinggi, para pemain mereka juga cukup membuat para wanita berteriak walau dengan sekali tatap.

Di antara deretan para anggota tim voli Cygna Tirta yang membuat para cewek berteriak histeris, mataku langsung tertuju pada seorang anggota tim dengan rambut berwarna abu-abu. Rambutnya yang sangat anti mainstream itu membuat teriakan para cewek-cewek dari podium penonton sebelah kiri dan belakangku —dan mungkin juga penonton di seberang sana— semakin histeris, apalagi saat dia dengan pede-nya melambaikan tangan ke arah mereka. Apa nggak apa-apa dia terlihat begitu mencolok?

Aku bisa mendengar suara tawa dari sisi kiriku, suara Alan. Dia pasti sedang menertawakan sepupunya yang otaknya agak geser itu. Mendengar Alan tertawa begitu keras, aku hanya bisa menutup mukaku karena malu. Aku heran kenapa aku bisa tertarik dengan orang sinting seperti Jason. Tapi, terlepas dari itu kuakui Jason terlihat sangat keren dengan jersey volinya, juga dengan deker hitam di kedua lutut dan sikunya. Dengan celana sependek itu, kakinya yang panjang dapat terlihat dengan jelas dan membuatku sangat iri.

Para anggota dari masing-masing tim membentuk barisan di depan net dan bersalaman dengan masing-masing anggota tim lawan. Setelah bersalaman, sesuai yang diperintahkan oleh wasit, anggota tim inti menempati posisi masing-masing, sedangkan pemain lainnya duduk di bangku cadangan yang berada di pinggir lapangan.

Kali ini Jason ikut sebagai pemain inti dan berdiri di depan net, di sebelah kapten tim mereka, Andra. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Jason bermain voli karena sebelumnya aku hanya melihatnya dihukum. Yang kutahu dari Bhianka, posisi Jason adalah sebagai middle blocker, entah apa itu mungkin memang di situlah tempatnya.

Pertandingan sudah akan dimulai saat Jason tiba-tiba melambai ke seseorang yang berada lurus di depannya, entah kepada siapa. Para cewek di belakangku sampai histeris dengan kelakuan Jason, sedangkan aku sendiri bingung. Kesal, ketua tim mereka menendang pinggang Jason dari belakang. Hal itu pun sontak membuat seluruh anggota tim mereka tertawa, bahkan anggota tim yang berada di bangku cadangan sampai meneriakinya.

“Jason kegirangan tuh karena lo dateng nonton dia,” celetuk Alan setelah peluit tanda dimulainya pertandingan dibunyikan.

“Hah? Nggak lah, Bang. Dia lagi tebar pesona sama cewek-cewek di belakang kali.”

Alah tertawa. “Dia itu lagi dada-dada ke lo, Ta.”

“Gue?” Aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjukku. “Nggak mungkin ah. Dia nggak mungkin bisa lihat gue dari bawah sana.”

 “Tapi buktinya dia bisa.”

Entah Jason melambai ke arahku atau tidak, aku tidak ingin memikirkannya. Toh dia tadi melambai pada semua orang dan para penonton jadi histeris karenanya. Mungkin dia hanya ingin melakukan hal yang sama sebelum peluit tanda pertandingan dimulai benar-benar berbunyi.

Pertandingan sudah berjalan 20 menit dan mataku masih tidak bisa terlepas dari kedua tim yang masih saling mempertahankan agar bola tidak jatuh ke wilayah masing-masing. Meski sudah berjalan cukup lama, tapi ini masih babak pertama dan skor keduanya masih terus bersaing. 21-20 untuk Cygna Tirta adalah skor saat Jason berhasil memblokir serangan lawan. Ini adalah skor yang ke sekian kalinya yang didapatkan oleh Jason. Tak kusangka dia akan sehebat ini dalam voli mengingat dulu dia adalah pemain basket.

Lima menit selanjutnya, setelah jump serve kuat dari pemilik jersey nomor 14 Cygna Tirta masuk ke wilayah Darma Bangsa, set pertama pertandingan itu pun berakhir. Pertandingan set kedua akan dilaksanakan setelah 10 menit istirahat.

From: Otak Jamur

Jangan terlalu deket sama Alan. Aku nggak suka!

—???—

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Found You
57      32     0     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
Sang Penulis
260      106     0     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
Frekuensi Cinta
8      8     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Panggil Namaku!
148      71     0     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
102
40      24     0     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
AVATAR
97      56     0     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Mata Senja
4      3     0     
Romance
"Hanya Dengan Melihat Senja Bersamamu, Membuat Pemandangan Yang Terlihat Biasa Menjadi Berbeda" Fajar dialah namaku, setelah lulus smp Fajar diperintahkan orangtua kebandung untuk pendidikan nya, hingga suatu hari Fajar menemukan pemandangan yang luarbiasa hingga dia takjub dan terpaku melihatnya yaitu senja. Setiap hari Fajar naik ke bukit yang biasa ia melihat senja hingga dia merasa...
Blue Diamond
31      12     0     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Alicia
27      15     0     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Senja Kedua
44      18     0     
Romance
Seperti senja, kau hanya mampu dinikmati dari jauh. Disimpan di dalam roll kamera dan diabadikan di dalam bingkai merah tua. Namun, saat aku memiliki kesempatan kedua untuk memiliki senja itu, apakah aku akan tetap hanya menimatinya dari jauh atau harus kurengkuh?