Gadis itu menangis lagi. Tangisan yang teramat dalam lagi. Sangat dalam hingga tak ada suara tangisnya yang mampu kudengar. Sangat dalam hingga ia pun tak bisa mendengar suara tangisnya sendiri. Di pelupuk matanya kulihat jelas air mata jatuh beruraian. Dan giginya gemetar menggigit bibir kecilnya. Ia menunduk dan hanya memeluk kedua kakinya. Tak kulihat sedikitpun cahaya dari hatinya. Mungkin dulu ia memilikinya. Tapi sekarang sudah sirna terhapus oleh air mata yang jatuh setiap bulirnya.
“Kamu kenapa, Nak?” Kuulangi pertanyaanku.
“Kamu kenapa menangis? Adakah yang mengganggumu?”
Tapi ia masih tak menjawab. Menoleh pun tidak. Apakah sebegitu dalam kesedihan yang ia rasakan atau terlalu khidmat ia menumpahkan tangisnya, aku tak tahu. Tapi ada yang aneh dengan diriku. Semakin lama kulihat ia menangis, semakin sakit rasanya hatiku. Padahal aku sama sekali tak mengenalnya. Tak kutahu juga apakah ia nyata atau hanya ilusi belaka. Kupanggil ia sekali lagi.
“Nak, kamu tidak apa-apa?”
Lagi-lagi ia tak menjawab.
“Apa kamu ini nyata?”
“Nak, bisakah kamu melihatku?”
Aku hampir jadi gila karena bingung dengan semua ini. Berkali-kali aku mengajaknya berbicara, tetapi berkali-kali juga ia mengabaikanku. Aku memandanginya terus. Karena merasa putus asa, kucoba untuk memegang pundaknya, namun belum sempat aku menyentuhnya, ia mengangkat wajahnya.
“Kirana!”
Aku terbangun. Untuk kesekian dan kesekian kalinya aku menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi tepat sesaat sebelum aku terbangun.
“Ada apa? Kau sering melamun akhir-akhir ini. Kamu masih belum sepenuhnya sadar?” Aida membuyarkan lamunanku. Dia benar. Aku sering melamun akhir-akhir ini termasuk saat ia tengah bertanya tadi.
“Aku bermimpi tentang seorang gadis.”
“Lantas apa masalahnya. Mimpi hanyalah mimpi. Mungkin Kau rindu pada Claudia.”
“Tidak. Hal itu tidak akan jadi masalah jika aku hanya memimpikannya sekali. Tapi ini berkali-kali, Da. Kata orang kalau kita bermimpi sebanyak tiga kali bisa jadi itu sebuah pertanda.”
“Memangnya apa yang terjadi pada gadis itu?”
“Ia hanya menangis.”
“Dan?”
“Tidak ada. Aku hanya terus memimpikannya menangis.”
“Hmm… mimpi adalah bunga tidur, Na.”
“Entahlah. Semoga saja.”
“Ayolah! Jangan biarkan mimpi memengaruhimu. Kau tidak sedang dalam pilihan untuk dapat memikirkan sebuah mimpi loh Na.”
Aida benar.
“Bagaimana Dean?” Aida bertanya.
“Aku tak tahu. Aku tak punya keberanian untuk menghubunginya. Aku putus asa.”
“Kau putus asa? Kau bisa memberi motivasi kepada banyak orang. Tapi Kau tak bisa memotivasi dirimu sendiri?”
“Ya benar. Karena itulah Tuhan Maha Adil.”
“Kirana, berhentilah bersilat lidah!”
“Entahlah, Da. Mungkin memang ini yang terbaik. Untukku dan untuk Dean.”
“Bagaimana dengan Claudia? Apa ini juga yang terbaik untuknya?”
Aku terdiam. Pertanyaan Aida menghentakku. Bukan karena aku tak tahu jawabannya. Tapi karena aku sangat tahu pasti jawabannya.
“Dia akan mengerti saat dewasa nanti.”
Aku berbohong.
Aida melihatku dengan ekspresi tak percaya. Jelas dia tahu aku berbohong.
“Hah, aku hanya berharap yang terbaik untukmu, Dean dan Claudia.”
Aku juga berharap begitu, Aida. Entah sejak kapan lidah ini tak pernah sejalan lagi dengan pikiran. Mungkin karena ia tak bertulang, menggiring seenak hatinya.
Aku sampai di rumah lebih awal dari biasanya. Aku harap kali ini aku bias fokus menyelesaikan bukuku yang harusnya selesai bulan lalu namun tak selesai karena aku tak fokus mengerjakannya.
Ini aneh. Rumah ini tak lagi ramai seperti dulu. Hanya ada aku dan kesunyian. Seharusnya aku bisa dua kali lebih produktif dengan keadaan yang demikian, tapi nyatanya tidak. Pun, tidak ada kata yang tertulis selama dua jam aku melamun. Jika begini, percuma saja aku pulang lebih awal. Aku berubah haluan, menonton televisi namun tak ada tayangan yang menarik. Aku lupa kurang lebih dua bulan sudah aku begini di rumah ini. Linglung dan merasa asing. Aku berbaring, berharap dapat kembali ke dunia mimpi dan bertemu dengan gadis itu lagi agar aku tak sendiri dan dapat melupakan sejenak kesepian ini. Bukankah aku begitu malang?
Kurang lebih sudah empat jam aku mondar-mandir tak jelas. Ah, sebelumnya izinkn aku memperkenalkan diri. Aku Kirana. Orang-orang menyingkatnya dengan Na. Aku seorang penulis dan politisi. Kurang lebih dua hal itulah yang merupakan pekerjaan tetapku sekarang. Untuk lebihnya aku juga merupakan seorang pewarta atau pembawa acara lah mungkin tepatnya, narasuber ataupun bintang tamu, kadang-kadang hanya ketika diminta salah satu stasiun tv nasional, pernah menjadi jurnalis, baik program gelar wicara maupun hiburan semata; influencer jika ada yang mengundangku dalam seminar-seminar dan biasanya memang selalu ada minimal tiga kali sebulan dan tak mungkin kuterima semuanya; dan aku juga sukses dalam bisnis, mengelola usaha kuliner, fashion dan penerbitan. Aku juga aktif dalam beberapa lembaga sosial untuk meningkatkan citraku.
Hidupku sempurna, sebagai seorang wanita karir yang sukses, tapi tidak sebagai seorang ibu dan istri. Memang tak ada manusia yang sempurna. Tuhan akan sangat tidak adil jika aku juga sempurna sebagai seorang ibu dan istri. Tapi tak mengapa. Dalam sebuah pendakian kita butuh kesabaran dan pengorbanan. Semakin besar pengorbanan semakin indah puncak yang bisa kita lihat. Begitulah hukum alam.
Aku sudah menikah selama sepuluh tahun. Dulu aku pernah takut untuk menikah. Ketika kita memutuskan untuk menikah, kita memutuskan untuk menghabiskan hidup kita dengan seseorang yang tak pernah kita tahu kapan akan berubah dan bagaimana. Karena itulah pernikahan itu mengerikan.
Tapi yang lebih mengerikan dari pernikahan adalah perceraian. Lagi dan lagi, aku berhadapan dengan hal-hal yang mengerikan. Rumah tanggaku mulai retak sejak satu setengah tahun yang lalu. Mula-mula hanya pertengkaran biasa, lama-lama api membesar dan membakar rumah kami. Dan tepat tiga bulan lalu, bayangan itu menghilang dari rumah ini tanpa meninggalakan sedikitpun jejak membawa buah hatiku satu-satunya, seseorang yang kulahirkan dengan keringat dan air mata.
Mungkin itulah mengapa aku merindukan gadis yang muncul di dalam mimpiku. Aku berharap dapat tertidur selamanya dan bermain dengan gadis itu agar dia tak menangis lagi dan agar aku tak kesepian lagi di rumah ini. Sementara tak mungkin bagiku untuk bekerja sepanjang waktu meskipun aku sangat mencintai pekerjaanku.
Tik tok tik tok tik tok. Dentang jam tak pernah memahami perasaan orang-orang. Dalam hidup kita selalu berpacu dengan waktu. Andai aku bisa kembali ke masa lalu, atau melihat ke masa depan, aku penasaran pilihan apa yang akan aku buat.
Tak kusangka sudah empat jam aku memandang langit-langit. Sayangnya tak ada yang berubah selama itu. Lalat pun tak seliwar-seliwir menginterupsi keheninganku. Mungkin mereka tak berani. Siapalah mereka hanya makhluk kecil berani mengusikku.
Aku kembali mencoba memfokuskan diriku. Berusaha mengosongkan isi kepalaku yang sejak tadi memang sudah kosong. Satu hal yang kubutuhkan hanyalah tidur dari sekian hari-hari panjang ini. Namun meski telah kuluangkan waktuku untuk itu, diri ini tak kunjung merebahkan badan ke alam bawah sadarnya. Haruskah aku benar-benar lelah agar bisa terlelap seperti biasanya? Dan sembari aku berpikir terlalu keras, pandanganku sepenuhya berubah menjadi putih seketika.