4
Seminggu berlalu. Ini adalah waktunya Kirania memutuskan Ivan supaya mereka tak memiliki hubungan lagi.
Kirania tak menyangka jika dia akan memutuskan Ivan di tempat mereka jadian, tapi mumpung kesempatannya sudah sangat pas jadi yasudahlah.
Waktu itu sekitar dua minggu yang lalu.
***
Kirania datang ke GOR untuk menjadi ketua supporter basket, itu yang Kirania tahu. Tapi sebenarnya tidak ada pertandingan apa-apa bahkan tak ada seorangpun di bangku penonton untuk diatur Kirania.
Kirania menunggu dua menit. Dan tetap tidak ada satupun orang. Ketika dia memutuskan untuk pergi tiba-tiba banyak lelaki masuk ke lapangan dan masing-masing memegang bola basket.
Mereka berbaris lurus dan melakukan driblle selaras hingga menghasilkan dentuman keras.
Kirania urung turun dari bangku penonton karena merasa ini cukup membahayakan meski dia tak takut. Lalu barisan mulai pecah, para pembasket itu berlari tak tentu arah.
Lalu ketika mereka telah memenuhi sisi kiri dan kanan lapangan. Bola basket yang mereka pegang tadi sudah membentuk pola
I ? U
Dimana Ivan sudah berada di tengah pola love-nya.
“Will you marry me?” teriak Ivan lalu dibalas tawa para pembasket dipinggir lapangan
Kirania juga jadi ketawa. Para pembasket itu diam karena intuksi Ivan
“Aku masih kelas dua kalii” ujar Kirania sambil tersenyum
“Will you be my destiny?”
Takdir? Dia minta aku jadi takdirnya?
“Ayo kita coba aja” kata Kirania disertai anggukan
Para pembasket yang mendengarkan dengan fasih merasa jawaban Kirania adalah hasil positif, yah Ivan diterima. Mereka berlari ke tengah lapangan membuat bola berhamburan dan mengangkat Ivan serta melemparnya ke atas beberapa kali.
Kirania ketawa.
“Aku enggak mau diputusin kecuali kamu sudah tua” teriak Ivan waktu itu.
Manis, Ivan memang selalu semanis itu. Tapi sekali pemain tetaplah pemain.
***
Sekarang Kirania sudah di dalam GOR persis berdiri di tempat Ivan menembaknya waktu itu. Langkahnya tak berat jika berhenti sejenak mungkin karena Kirania selalu menghargai hal manis yang diterimanya dari siapapun itu.
Kirania menggunakan baju terusan berwarna kuning selutut tapi itu tidak membentuk tubuh jadi tidak terkesan seksi malah imut. Tas selempang kecil senada dengan warna mata coklatnya disangkut di bahu kanan.
Yang beda dari Kirania adalah warna rambutnya, dia menggunakan hairspray berwarna putih keseluruh rambut sampai membuat warna hitam benar-benar lenyap dari atas kepalanya. Tapi itu tidak permanen dan bisa hilang jika dicuci. Kirania melakukan hal itu karena dia ingat jika Ivan hanya mau diputusin jika Kirania sudah tua. Tapi rambut putih lurus malah membuat Kirania semakin cantik dan menarik perhatian seisi GOR.
“Kirania? Tadi Ivan bilang kamu enggak datang.” tegur Putra
“Iya, Kak, tapi aku kepikiran, kan, Ivan sudah minta ditemani dari minggu lalu.”
“Oh… rambut kamu…”
“Iya, aneh ya?”
“Nggak cuman beda aja, pangling.”
“Ivan mana ya, Kak?”
“Dia di ruang ganti, samperin aja, kalo kamu tegak disini malah nanti kamu yang disamperin orang-orang. Pada ngajak kenalan”
Kirania memperhatikan sekitar dan dia tahu jika banyak pasang mata yang melihat kearahnya.
“Iya, Kak, duluan ya”
Mata Putra mengikuti kepergian Kirania. mewanti-wanti saja, supaya pacar temannya itu tidak dihadang pria lain sebelum sampai ketempat tujuannya. Saat Kirania sudah masuk ruang ganti, Putra langsung gabung ke teman-temannya lagi.
Kirania tak perlu menebak-nebak apa yang akan dilihatnya karena benar seperti biasa, Ivan sedang menggoda perempuan lain. Kirania tidak tahu siapa itu tapi sepertinya anak cheer dari sekolah lain.
“Kita putus aja, Van” suara Kirania sangat pelan
“Kirania, Kiran aku bisa jelasin. I-ini a-aku dan dia bukan…. Serius” Ivan panik mendekati Kirania dan meninggalkan gadis itu yang masih bersender di loker
“Jangan dekati aku”
“Kiraniaa”
“Aku udah nggak mau lagi Van, tolong, aku tahu Zara, Gea, Stepi, Putri. Apa perlu aku sebutin semua?” suara Kirania masih pelan tak goyang sedikitpun
Ivan gaguk lalu mengatur suaranya supaya bisa kembali bicara “Aku bisa tinggalin mereka semua, aku bisa tinggalin dia” Ivan menunjuk wanita di dekat loker itu “Demi kamu, Kirania”
Wanita yang kita sebut saja si pelakor ini merasa malu dan pergi begitu saja.
“Kamu sudah dapetin Aku, Van, sebelum kamu dekatin mereka. Tapi meski ada aku, kamu tetap ke mereka!”
Ivan diam, dia berusaha merebut tangan Kirania tapi Kirania mundur selangkah.
“Udah sampai sini aja. Sekarang aku bukan lagi pacar kamu”
Ivan sangat merasa sakit di dadanya. Dia tak sanggup melihat Kirania begini, sikap Kirania yang dingin kepadanya terasa sangat pahit dan karena ini sebab ulahnya, Ivan merasa benci dengan dirinya sendiri.
Kirania berlari keluar ruang ganti. melewati lapangan dan pria-pria yang tadi memerhatikannya. Deru suara sepatu Kirania sangat keras karena dia berlari sangat kencang. Suasana jadi hening seketika, seperti semua pria disana mau menghajar siapapun yang sudah membuat gadis secantik Kirania pergi tergesa-gesa begitu.
Beda dengan semua laki-laki yang diam di dalam GOR. Seorang pria menangkap tangan Kirania ketika dia melewati parkiran.
“Pacaran saja denganku” ajak Pito pelan
“Lepass!”
“Nggak mauuu”
Kirania menatap Pito “Le-passin aku” perintah Kirania terbata, lalu air mata mengalir dari mata coklat Kirania begitu saja tanpa ada isakkan sedikitpun.
Tangan Pito langsung lemas dan Kirania yang terlepas kembali berlari menyusuri parkiran, pagar dan jalanan.
***
Setiap putus, hasilnya pasti air mata. Meski suka atau tidak, kenangan manis selalu meminta cendramata.
Itulah yang terjadi pada Kirania. Dia menangis menyusuri jalan pulang, hari mulai malam ketika dia sampai di rumah yang kebetulan sedang mati lampu.
Kirania tak berniat masuk dan memilih duduk di tangga teras lalu dia kembali menangis sambil memeluk kedua kakinya yang di tekuk.
Ayah Kirania adalah seorang KOPASSUS dan ibunya seorang relawan. Karena tugas, mereka jarang berada di rumah. Seperti hari ini, jadi Kirania tak perlu menyiapkan macam-macam alasan untuk menjelaskan kenapa dia pulang-pulang menangis, kan, rumah juga sedang sepi.
“Assalamualaikum”
Kirania mendongak dan mendapati seorang pria tengah berdiri semeter di depannya. Dengan peci, sarung, baju koko serta senter dan juga sajadha.
“Waalaikum salam”
“Saya tinggal di seberang rumah baru pindah tadi pagi. Kamu tinggal di rumah ini berarti kita tetangga. Ya bukan?”
“Iya”
“Menangis karena mati lampu?”
“Hahaha enggak” Kirania ketawa karena merasa geli, apa masih ada wanita seumurannya yang menangis karena mati lampu?
“Kirain aja”
“Oh iya duduk” Kirania bergeser sedikit
Pria itu meletakkan senternya diantara dudukannya dan Kirania sehingga tercipta jarak yang cukup jauh.
“Aku Kirania” mengulurkan tangan
“Saya Akbar, maaf saya nggak salaman” kata Akbar menyatukan kedua tangannya
Kirania tersenyum dan menarik tangannya.
“Ini” Akbar memberikan sajadhanya dan memeragakan supaya Kirania menutup kedua bahunya dengan sajadha itu
“Makasih, Kamu darimana? Rapi banget”
“Abis solat maghrib di masjid depan, kamu masih sekolah?”
“Masih, kamu?”
“Masih aku kelas tiga SMA”
“Aku kelas dua”
“Emang di sekolah kamu rambutnya boleh diwarnai?”
“Oh, ini nggak permanen”
Dua tetangga ini saling mengenalkan diri masing-masing. Sampai Kirania jadi merasa akrab dan bertanya di luar pengenalan diri.
“Apa yang membuatmu bahagia di dunia?”
“Apa ya? Banyak kayaknya asal kita mau bersyukur aja” jawab Akbar
“Kuharap ada bintang jatuh, aku pingin minta satu permohonan”
“Eh, minta kok ke bintang jatuh, minta hujan aja, katanya doa pas hujan dikabulin loh tapi mintanya ke allah”
“Iya”
Lampu kembali menyala
“Alhamdulillah, lampunya sudah nyala, saya pulang dulu. Jangan nangis lagi karena mati lampu, senternya saya tinggalin di sini” Akbar langsung bangkit dari duduknya diikuti Kirania
“Makasih” kata Kirania mengembalikan sajadhanya Akbar
“Ok, assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Kirania masuk ke rumah, sampai di kamar, Kirania berbaring lalu menangis sambil menutup wajahnya dengan sekantung es supaya besok matanya tidak terlihat bengkak.
***
ceritanya lucu juga, di save ah, lumayan buat bacaan sebelum tidur :D
Comment on chapter Keputusan terberat