7
Pagi ditemani dengan matahari yang sedang sendu karena ditutupi awan, berbeda dengan Kirania yang berangkat ke sekolah sambil tersenyum lebar.
Mungkin karena semalam Kirania tahu jika Mama dan Papanya tengah bersama dan merindukan dia.
Pak Akinom juga menjemputnya tidak terlambat dan tidak terlalu terburu-buru. Pokonya pagi yang sendu terasa tidak mengganggu kebahagian Kirania.
Akbar mengklakson motornya ketika melihat Kirania baru keluar dari rumah sedangkan dia sudah siap berangkat ke sekolah.
Kirania sempat melambai sebelum Akbar menarik gas motor yang suaranya sangat bising itu.
“Langsung, Non” ajak Pak Akinom
“Iya, Pak”
Sampai di sekolah, Kirania dipanggil Pak satpam yang sedang berada di posnya.
“Kelas 11 ipa1 ya?”
“Iya Pak, ada apa?”
“Oh baguslah, ini tadi ada yang nitip surat sakit. Kamu kasihin ke wali kelas kamu ya.”
Kirania hanya menggangguk dan fokus dengan surat itu sambil melangkah ke kelasnya. Dan setelah membuka Kirania tahu jika itu adalah surat sakit milik Sela.
Dengan sigap Kirania langsung mengambil handphone di tas dan memasukkan surat yang telah dia baca ke kantong roknya.
“Halo? Sel? Lo sakit? Kenapa? Parah nggak? Perlu gue susulin?” tanya Kirania berentet
“Ya ampun, gue harus jawab yang mana dulu? Uhuk uhuk”
“Lo batuk ya? Susah ngomong!” Kirania lansung mematikan sambungan telpon dan mulai mengirim pesan
+Gimana gimana? Parah ya?
Kirania menunggu sambil duduk di dekat pohon depan kelasnya menatapi layar ponsel dengan fokus. Mungkin karena Sela sakit balasannya sedikit lebih lama dari biasa
-Nggak, cuma demam doang. Dari kemarin pas di sekolah udah ngerasa nggak enak. Gue udah minum obat nih…. Mau istirahat ????
Kirania memilih untuk tidak membalas pesan Sela supaya tidak mengganggu. Dan bangkit dari dudukan untuk masuk ke kelas.
“Eh… Baru mau disamperin udah mau pindah” tegur Pito tersenyum
“Eh” Kirania tersenyum canggung “Kamu? Udah datang?”
“Nungguin aku ya daritadi?” todong Pito spontan
“Ge-er” kata Kirania ketawa dan mengambil langkah menjauh
“KIRANIAAA!” teriak Pito membuat sang pemilik nama menoleh.
“Hush.. Jangan teriak-teriak, nanti direkrut jadi tarzan baru tahu”
“Hahaha…. Nggak papa, asal awuwoowowoo-nya dipikiran kamu”
“Emang pikiran aku sama kayak hutan?” tanya Kirania menggulung tangan didepan dada
“Iya sama-sama bikin aku tersesat heheh”
Kirania hanya menggeleng dan menahan tawa lalu melangkah masuk ke kelas. Tapi meski sudah di dalam kelas dia tentu bisa melihat jika Pito masih berada di depan kelasnya melalui jendela kaca.
“Pitooo… kamu datang pagi banget” suara wanita terdengar nyaring
“Bukan urusan lo” balas Pito datar dan mencekam lalu pergi.
Kirania langsung tercenung. Ternyata sikap hangat Pito itu hanya untuk Kirania saja sedangkan dengan perempuan lain Pito terkesan dingin seperti yang pernah dibilang Sela.
Tiba-tiba detak jantung Kirania berdebar kencang dan napasnya jadi tak beraturan. Kirania deg-degan.
“Woi Sela sakit!” tegur Ayu yang baru datang
“Hah oh iya, suratnya sama gue” Kirania menunjukkan surat sakit Sela ke Ayu. Dan mengatur suara untuk meredam deg-degannya supaya tak ketahuan.
“Bagus deh, jadi kita nggak perlu buat lagi” kata Ayu datar meletakkan tas dukungnya ke kursi disamping Kirania
“Kok dia bisa sakit sih?”
“Dari kemarin udah kelihatan kali, sejak minum es teh depan sekolah. Kayaknya pakai sarimanis gitu jadi Sela batuk-batuk eh malah sampai demam sekarang.”
“Oh..”
“Lo jangan coba-coba minum es teh itu ya? Nanti sakit juga baru tahu” nasehat Ayu mengajari
“Oke” Kirania menurut “Nanti kita jenguk ya?”
“Harus dong, tapi lo bareng gue aja jangan mintak anterin Pak Akinom nanti jadinya canggung.”
“Iya, nanti aku telpon Pak Akinom biar nggak jemput”
“Baguuuuss”
***
Ini semua karena Ayu. Setelah menjenguk Sela dan sekaligus membuat rumah Sela seperti kapal pecah. Ayu terburu-buru harus pulang duluan dan tak bisa mengantar Kirania.
Pak Akinom yang dibebastugaskan malah benar-benar tak bisa dihubungi. Alhasil Kirania berada di pinggir trotoar sore-sore dengan badan yang lelah karena membantu Sela membereskan rumah dulu.
“Siapa ya yang bisa dihubungi?” Kirania bicara sendiri sambil menscroll daftar kontaknya
“Ivan? Nggak ah, Pito? Nanti dia ke ge-er-an, aduuuh kok gue masukkin Pito dalam pilihan? Nomornya aja nggak ada!” Kirania kembali memasukkan handphone ke dalam tas
“JODOOH!” suara seorang pria mengagetkan Kirania yang sedang bingung
Dahi Kirania mengernyit “Oh Reza ya?”
“Kan ingat!” Reza mematikan mesin motornya.
“Hahaha… kamu ngapain di sekitar sini?”
“Rumah aku di kompleks belakang”
“Serius? Teman aku juga tinggal di sana” kata Kirania antusias
“Mana janjinya?” tagih Reza spontan
“Janji?”
“Kamu bilang mau kasih nomor kamu kalo kita ketemu tiga kali. Ini udah tiga; satu di depan ruang ganti olahraga, satu di depan sekolah, satu di sini.”
“Oh.. Kan aku janjinya ketemu tiga kali selain di sekolah. Berarti ini baru dihitung satu kali!”
“Yahhh, nggak adil!”
“Hahaha”
“Kamu mau pulang kemana? Aku anterin mau?”
“Hah? Aku….” Kirania menggaruk belakang kepalanya. Satu sisi dia memang butuh tumpangan karena ini sudah sore tapi satu sisi lagi dia bukan wanita yang mau menunjukkan rumahnya begitu saja pada sembarang pria.
“KIRANIAAA!” teriak pria bermotor dari arah berlawanan dengan motor Reza
“AKBARRR!” teriak Kirania girang “Eh Za, aku duluan ya?” pamit Kirania sebelum berlari mengejar Akbar.
Reza hanya menatap Kirania yang terlihat imut ketika berlari. Dan kembali menyalakan motornya untuk pergi menjauh karena Kirania tidak memilihnya saat ini.
“Siapa Kirania?” tanya Akbar ketika Kirania sampai di depannya
“Reza, nanti aku ceritain”
“Nggak ganggu kamu kan?”
“Nggak kok, Bar aku nebeng pulang ya?” pinta Kirania “Udah sore nih” menunjuk langit yang mulai senja.
“Ayo deh, tapi duduknya yang jauh ya? Jangan nempel, trus nggak boleh kena. Bukan muhrim” Akbar memperingati sambil memberi helm ke Kirania
“Okee, hehehe” jawab Kirania polos berusaha mengenakan helm balap yang nampaknya kebesaran.
Jarak duduk Kirania dan akbar sangat jauh sampai diantara mereka masih bisa disisipkan satu anak. Tapi berhubung tidak segampang itu mencari satu anak jadilah tempat itu begitu kosong.
Kiraniapun harus bicara cukup keras supaya Akbar bisa dengar. Dan pembicaraan itu adalah pembahasan tentang Reza yang kemudian merembet juga ke Ivan.
Sampai di kompleks perumahan mereka, Akbar malah berhenti di depan rumahnya sendiri bukan rumah Kirania yang berada pas di seberangnya.
“Makasihh” ucap Kirania nyengir saat mengembalikan helm ke Akbar.
Kirania sepertinya tak masalah untuk berjalan sedikit lagi supaya sampai ke rumah. Dia tak keberatan jika memang Akbar sengaja menyuruhnya menyebrang lagi, itu terlihat dari senyum tulusnya.
“Tunggu di sini!” kata Akbar mengintrupsi, lalu Akbar buru-buru masuk ke rumahnya.
Kirania hanya mengangguk fasih lalu saat Akbar sudah benar-benar tak nampak, Kirania asik sekali memainkan stang juga spion motor Akbar.
“Inii” kata Akbar memajukan tangan kanannya
Kirania memperhatikan tangan Akbar lalu matanya mengikuti benang yang di pegang Akbar.
“Inii… aku kasih, dua, jadi jangan nangis. Aku nggak maksud ngingatin kamu dengan mantanmu itu. Maaf”
“Hehehe … Nggak papa, aku aja yang keasikkan cerita.”
“Inii… ambil, bawa pulang”
“Iyaa Akbar… Makasih, aku pulang dulu”
“Assalamualaikum”
“Wa alaikum salam” jawab Kirania sambil senyum dan berlari ke rumahnya.
Selesai mandi dan makan, Kirania memandangi saja ujung atas benang yang diberi Akbar.
“Balonnya warna hijau dan biru, kalo dua warna itu dicampur maka hasil warnanya kuning kan? Aku mutusin Ivan waktu itu pakai baju kuning.” ucap Kirania bicara sendiri.
Tentu Kirania merasa sedih ketika mengingat Ivan. Bagaimanapun Ivan sangat manis ketika bersamanya dan mereka juga baru saja putus meskipun hanya sebentar pacaran.
Tiba-tiba Kirania merasa sangat hampa dan rindu pada kenangan yang selalu saja terlihat indah jika dilihat dari masa ini.
Kirania memang selalu bilang pada dirinya sendiri jika dia hanya main-main dengan Ivan, untuk menyangkal perasaan cemburunya ketika melihat Ivan dengan banyak perempuan dan juga untuk tetap memiliki hubungan pacaran yang bebas pertengkaran. Tapi, ketika Kirania memutuskan untuk putus itu berarti perasaan cemburunya sudah tidak terbendung lagi dan berarti juga Kirania sedang sayang-sayangnya pada Ivan.
Tapi untuk apa sayang? Ivan tidak akan pernah berhenti mendekati banyak perempuan. Ivan pemain handal, Kirania tidak bisa terus bersama pria seperti itu meski dia sayang.
***
ceritanya lucu juga, di save ah, lumayan buat bacaan sebelum tidur :D
Comment on chapter Keputusan terberat