Read More >>"> Catatan 19 September (12 : Perasaan Retna) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Sesuatu yang rumit adalah ketika sahabatmu mempermainkan hati orang yang perasaannya begitu kamu jaga, yang kebahagiaannya membuat kamu mengesampingkan kebahagiaanmu sendiri demi melihat tawanya.

 

***

 

Hari ini Rabu, dimana kami siswa-siswi kelas 10 serempak memakai baju olahraga, baik itu semua kelas IPA dan IPS juga bahasa. Sekolah kami memang menetapkan olahraga bersama saat kelas 10. Katanya, biar kami sesama teman bisa saling mengenal dengan baik teman-teman baru kami.

 

Aku sudah siap dengan baju olahraga baru yang bertulisan SMA Tunas Harapan di bagian punggungnya. Baju olahraga kami berwarna biru muda dengan lengan pendek dan celana yang panjang untuk perempuan, sedangkan untuk laki-laki memakai lengan pendek dan celana selutut.

 

Karena hari ini jam pertama akan diisi dengan pelajaran olahraga, aku memilih mencepol rambut sepinggang ku. Setelah selesai bersiap-siap aku lalu turun ke bawah dan bergabung di meja makan bersama dengan keluargaku. Kebiasaan keluarga kami yang selalu dilakukan setiap pagi. Aku tersenyum kepada Mama yang memakai pakaian rapi sekali dan juga Papa, keningku berkerut bingung menatap keduanya.

 

“Papa Mama mau ke mana? Rapi banget,” kataku heran. Mama duduk di kursi di sebelah Kak Felix dan Papa duduk di kursi sebelahku.

 

“Mau liburan!” seru Mama. Mataku membulat sempurna saat mendengarnya, aku memukul pelan lengan kokoh Papa.

 

“Pa...,” rengekku.

 

“Mama kamu bohong itu,” kata Papa. “Papa sama Mama mau ke sekolah kamu, kan kemarin gak jadi karena Mama yang tiba-tiba sakit kepala,” sambungnya.

 

Aku mengangguk lalu meneguk air putih digelasku, Mama memang ingin ke sekolah kemarin tetapi tidak jadi karena beliau yang tiba-tiba sakit kepala dan harus berisitirahat total di rumah. Mama ku adalah donatur utama di sekolahku, sementara Papa CEO di perusahaan almarhum Kakekku.

 

“Oh gitu... jadi aku bisa nebeng kalian dong ya?” aku tersenyum senang.

 

“Papa sama Mama berrangkat pake motor kamu,” kata Mama.

 

“Lha... terus aku piye?”

 

“Sama Felix lagi,” sahut Kak Handi.

 

Aku memutar bola mata jengah seraya mendengus kasar. “Tega kalian.”

 

Setelah selesai sarapan aku langsung berjalan keluar teras rumah dan duduk di halaman menunggu kedatangan Kak Felix sekitar 5 menit lagi. Tidak lama aku menunggu akhirnya Kak Felix tiba dengan motor besar putih miliknya, aku bangkit dan membuka pagar dan kembali menutupnya. Aku tersenyum kepada Kak Felix begitupun dia.

 

Aku menghela napas, “Aku nebeng lagi, Kak, sori,” kataku canggung.

 

“Gak papa santai aja sama gue,” jawabnya.

 

Aku mengangguk kemudian langsung naik ke atas motornya lalu Kak Felix menarik gasnya meninggalkan area rumahku menuju sekolah. Aku tak memakai helm yang dibawakan oleh Kak Felix. Sengaja, karena aku tidak mau cepolan ku yang sudah rapi jadi berantakan karena terkena helm.

 

Aku dan Kak Felix sudah sampai di sekolah, Kak Felix memarkirkan motor sementara aku memilih berjalan mendahuluinya. Pandanganku menyapu seluruh koridor di gedung 1, aku melihat Gilang berjalan berlawanan arah denganku dengan baju olahraga dan celana putih abu-abu.

 

Tanpa aku duga Gilang mencekal pergelangan tanganku membuat langkahku sontak terhenti, aku mengangkat kepala menatap Gilang yang juga tengah menatapku. Aku mengalihkan pandang dengan menundukkan kepala dan melihat jemari Gilang yang menggenggam tanganku, aku menjauhkan tanganku dari genggamannya dan mundur satu langkah.

 

“Ada apa?” suara sebisa mungkin ku buat terdengar tenang dan biasa saja saat bertatapan langsung dengannya.

 

“Tadi berangkat sama siapa?” tanya nya dengan suara datar namun disertai dengan kening yang berkerut.

 

Aku tak langsung menjawab melainkan menoleh kebelakang saat mendengar suara langkah kaki mendekat, aku tersenyum kepada Kak Felix saat dia sudah berdiri di sampingku.

 

“Ngapain, Li?” Kak Felix menatapku kemudian menatap Gilang.

 

“Ini tadi Gilang nanya aku berangkatnya sama siapa,” jawabku. Aku tertegun saat Gilang tersenyum kepada Kak Felix dan mengulurkan tangannya.

 

“Gilang,” ucapnya. Kak Felix membalas uluran tangan Gilang, “Felix,” balasnya seraya tersenyum.

 

“Oh iya, tadi Lika berangkat nya sama gue,” kata Kak Felix menjawab pertanyaan Gilang yang seharusnya untukku. Gilang mengangguk satu kali lalu pamit meninggalkan aku dan Kak Felix.

 

Aku memandang Kak Felix cukup lama dan dia membalas tatapanku, Kak Felix tersenyum sambil mengangkat tangannya untuk tos denganku. Aku terkekeh pelan dan menepuk tangan kanannya dengan tangan kiriku, respon yang Kak Felix berikan membuatku sejenak menahan napas saat kelima jari besarnya mengisi sela-sela jariku dan genggamannya semakin erat saat tangan kirinya yang bebas mengusap pucuk kepalaku.

 

Kami lalu berjalan berdampingan dengan tangan yang saling menggenggam, tatapanku terfokus pada Kak Felix yang hanya mengarahkan pandangannya ke depan. Aku memperhatikan tautan tangan kami yang begitu erat kemudian kembali menatap Kak Felix. Kenapa dia tiba-tiba menggenggam tanganku tanpa sepatah kata sebagai tanda persetujuan?

 

Mataku memejam menahan gejolak aneh di dalam dadaku, menggigit bibir bawah mengalah kegugupan yang menyerangku secara tiba-tiba.

 

***

 

Pulang sekolah aku langsung masuk ke dalam kamar dan menghembuskan tubuh di atas ranjang tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Aku membuka tas dan mengambil ponselku, membuka aplikasi WhatsApp di sana.

 

Gilang (chat yang disematkan) (10)
Plis read Li

 

Kak Felix   (1)
Gue udah dirumah

 

Bayu   (1)
Hahahaha

 

Tata   (1)
Gue mau kerumah lo

 

Retna   (2)
Lo tahu gak????

 

Aku membuka chat Retna paling awal karena penasaran dengan isinya.

 

Retna

P
Lo tahu gak???

 

Lika Hirata

Apa Ret?

 

Retna

Gue udah punya pacar dong ????

 

Lika Hirata

Gilang?

 

Retna

Apa sih! Bukan lah

 

Lika Hirata

Terus?

 

Retna

Ada aja. Btw ini gue di depan rumah lo, Li. Sama Tata. Lo ke bawah dong

 

Lika Hirata

Oke

 

Aku menyimpan ponsel lalu bergegas keluar dari kamar dan berjalan menuju lantai bawah untuk menemui Tata dan Retna yang katanya sudah sampai. Aku cukup heran dengan penampilan mereka berdua yang terlihat rapi dan necis.

 

“Mau ke mana kalian?” tanyaku bingung.

 

Retna tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya yang rapi. “Mau jemput lo,” jawabnya.

 

“Jemput gue pake baju serapi itu.” Aku menyuruh Tata dan Retna masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi tamu. “Orang gak ke mana-mana juga,” sambungku.

 

Tata membuka Hoodie nya yang agak kebesaran di tubuh mungil nya, sedangkan Retna membuka ikat rambutnya sambil menyalakan AC ruangan.

 

“Jalan yuk,” ajak Tata.

 

“Ke mana?”

 

“Mall? Kafe? Starbucks? Atau tempat nongkrong lainnya,” kata Tata memberikan ku opsi.

 

Aku terkekeh ringan dan beralih menatap Retna. “Tanya Retna nih, gue tahu pasti dia yang ngajak jalan.”

 

Retna tertawa keras seraya mengangguk-anggukan kepalanya. “Rumah hantu aja kita.”

 

Mataku melebar sempurna saat mendengar pilihan yang di jatuhkan oleh Retna. Aku memandang keduanya dengan tatapan ngeri dan menggeleng kecil. “Ng... gak! Gue ... gak mau!”

 

“Ck, rumah hantu itu hantunya bohongan doang, Li. Gak ada yang asli ini,” kata Tata santai.

 

Aku tetap menggeleng kan kepala tanda tak setuju. “Kalian pergi berdua aja deh, gue absen dulu.”

 

Aku melihat Retna, dia memutar bola matanya jengah menatapku. “Ya udah lah, bioskop aja. Tapi horror.”

 

“Retna.... Apa bedanya sih bioskop horror sama rumah hantu? Sama-sama main sama hantu juga Ret, Ta. Pliss gue gak mau pokoknya,” rengekku.

 

“Ya terus elo mau ke mana Lika? Mau ke toko buku, hm?” itu suara Tata.

 

Aku mengangguk mantap, “Iya! Nah itu baru opsi yang menyenangkan, kebetulan duit gue juga udah terkumpul banyak nih. Yuk lah, langsung cabut aja kita.”

 

“Itu sih mau nya elo!” kata Retna dan Tata bersamaan.

 

“Ish...”

 

“Tadi Retna cerita sama gue, Li. Katanya dia mau pacaran sama cowok kuliahan, udah nembak lagi,” kata Tata melirik Retna dengan ekor matanya.

 

“Ya bagus dong, jadi dia gak jomblo lagi,” sahutku.

 

Retna tampak salah tingkah dengan pembicaraan kami. Terbukti dengan dia yang hanya memainkan ponselnya sambil senyam-senyum sejak tadi.

 

Tatapanku beralih pada Tata yang sedang bersandar pada sandaran sofa, dia menatap ku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan kemudian beralih melirik Retna dan menatapku lagi. “Gilang gimana kabar?”

 

Pertanyaan Tata tak memiliki tujuan membuatku paham bahwa yang dia maksud sejak tadi adalah perihal Gilang dan Retna.

 

Aku berdeham, “Kalo lo jadian sama cowok itu, Ret, gimana sama Gilang? Kan lo deket sama dia akhir-akhir ini,” ucapku.

 

Retna mengangkat bahu, “Peduli gue. Dia emang suka gue sih, tapi gue gak ada rasa sama dia.”

 

Tatapanku pada Retna meredup dan berubah menjadi tatapan kosong setelah mendengar pengakuan langsung dari Retna. Sesantai itu dia mengabaikan perasaan seseorang tanpa dia ketahui ada orang lain yang tersakiti mendengar ucapannya.

 

“Kalo gak ada rasa kenapa kalian deket seakan punya harapan buat sama-sama?” tanyaku. Kalimat itu tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulutku.

 

Tata diam, sementara Retna kini menyandarkan punggungnya di sofa dan bersidekap. “Mendung bukan berarti hujan, deket bukan berarti jadian.”

 

Sebelah sudut bibirku terangkat, menatap Retna dengan tatapan yang tak biasa. Aku merasa kecewa dengannya.

 

“Lo mengabaikan segampang itu, Ret. Tanpa tahu ada hati yang rapuh mengharap perasaan terbalas padahal sudah tahu itu mustahil karena seseorang itu menginginkan tinggal di hati yang lain.” Aku menghembuskan napas berat.

 

“Lo lagi ngomongin siapa, Li?” respons Retna.

 

Aku tersenyum menatapnya. “Ngomongin diri gue sendiri, Ret,” jawabku ringan.

 

“Jadi lo suka sama Gilang?” kini Retna bertanya dengan wajah syok nya.

 

Aku mengangguk membenarkan merasa tak perlu menyembunyikan ini dengan Retna. Biarkan saja dia tahu, mungkin dengan begitu apa yang aku harapkan akan berjalan dengan baik. Bukan harapan Gilang akan membalas perasaanku, tetapi harapan agar Retna bisa lebih menghargai perasaan orang yang mencintainya.

 

“Gue tahu itu Ret walaupun lo gak pernah cerita sama gue tentang Gilang yang pernah nembak lo.  Lo terlalu rahasia dengan apa yang terjadi dengan lo, Retna. Sampai-sampai lo gak pernah cerita sama gue tentang ini dan akhirnya gue biarin perasaan gue ke Gilang mulai tumbuh subur. Seandainya aja lo cerita ke gue apa yang terjadi antara kalian, gue gak akan sesakit ini mengorbankan perasaan gue demi kebahagiaan dia yang ada di elo. Lo terlambat cerita ke gue tentang perasaan lo gak sama sekali buat Gilang, seandainya lo cerita dari dulu ke gue  tentang itu gue bisa berjuang merebut sampah di tangan lo dan jadiin dia sesuatu yang berharga. Tapi lagi-lagi seandainya.”

 

Aku tak bisa menahan cairan bening yang menetes dari pelupuk mataku ketika menceritakan perasaanku kepada Retna, sementara Retna menatap syok ke arahku dengan mulut yang menganga kaget. “Kenapa bisa, Li?”

 

“Semua hal di dunia ini punya kemungkinannya sendiri, Ret,” jawabku.

 

Tata yang duduk di samping Retna berpindah menjadi duduk di sebelahku, Tata mengusap bahuku berusaha memberi ketenangan. Dia berbisik di telingaku perihal aku yang menceritakan semuanya dengan mudah sekali, namun aku menggeleng pertanda bahwa aku tidak apa-apa.

 

“Tapi ... Li, gue gak ada rasa sama Gilang. Sumpah gue gak tahu perasaan lo ke dia ternyata bisa sedalam itu,” kata Retna pelan. Matanya juga mulai berair dan hidungnya memerah menahan tangis. “Maafin gue, Li. Gue gak bisa sama Gilang, gue gak cinta dia.”

 

“Cinta bisa hadir karena terbiasa, Ret. Gue yakin itu,” ucap Tata mewakili ku. Namun Retna menggelengkan kepalanya. “Gue cinta orang lain,” sanggahnya.

 

Suara langkah kaki mengarah ke tempat kami bertiga, aku menghapus air mataku saat tahu yang datang adalah Kak Rigel. Aku tersenyum kepadanya sambil berdiri, kupikir Kak Rigel tersenyum untukku dan mengangkat tangannya untuk mengacak rambutku. Pasokan oksigen di paru-paru ku terasa menipis saat Kak Rigel mengusap pucuk kepala Retna dengan sayang.

 

“Kak...”

 

“Retna lo kok gak ngasih tahu gue kalo mau main ke rumah?”

 

TBC

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • YourEx

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Why Joe
4      4     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5      5     0     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Teman
13      7     0     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
LELATU
4      4     0     
Romance
Mata membakar rasa. Kobarannya sampai ke rongga jiwa dan ruang akal. Dapat menghanguskan dan terkadang bisa menjadikan siapa saja seperti abu. Itulah lelatu, sebuah percikan kecil yang meletup tatkala tatap bertemu pandang. Seperti itu pulalah cinta, seringkalinya berawal dari "aku melihatmu" dan "kau melihatku".
Drama untuk Skenario Kehidupan
113      23     0     
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
Di Bawah Langit
23      9     0     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
(Un)Perfect Wedding
12      6     0     
Romance
Kalluna adalah definisi gadis liar dari kota besar. Membolos kuliah, mabuk-mabukkan, clubbing, hanyalah sedikit dari keliarannya. Kalluna yang liar, nyatanya begitu naif bila berhubungan dengan lelaki yang dicintainya, lelaki yang dikejarnya namun tak sedikitpun menoleh padanya. Lalu dunia Kalluna bagai jungkir balik ketika suatu malam dia ditarik paksa dari club oleh seorang lelaki dewasa. &...
Carnation
2      2     0     
Mystery
Menceritakan tentang seorang remaja bernama Rian yang terlibat dengan teman masa kecilnya Lisa yang merupakan salah satu detektif kota. Sambil memendam rasa rasa benci pada Lisa, Rian berusaha memecahkan berbagai kasus sebagai seorang asisten detektif yang menuntun pada kebenaran yang tak terduga.
Cazador The First Mission
37      14     0     
Action
Seorang Pria yang menjadi tokoh penting pemicu Perang Seratus Tahun. Abad ke-12, awal dari Malapetaka yang menyelimuti belahan dunia utara. Sebuah perang yang akan tercatat dalam sejarah sebagai perang paling brutal.
Do You Want To Kill Me?
35      14     0     
Romance
Semesta tidak henti-hentinya berubah, berkembang, dan tumbuh. Dia terus melebarkan tubuh. Tidak peduli dengan cercaan dan terus bersikukuh. Hingga akhirnya dia akan menjadi rapuh. Apakah semesta itu Abadi? Sebuah pertanyaan kecil yang sering terlintas di benak mahluk berumur pendek seperti kita. Pertanyaan yang bagaikan teka-teki tak terpecahkan terus menghantui setiap generasi. Kita...