Read More >>"> Catatan 19 September (26 : Yang Sebenarnya) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Konsekuensi dari jatuh cinta sendirian adalah rasa sakit yang tak berujung dan perasaan yang terabaikan. Berani jatuh cinta maka jangan takut untuk terluka.

 

****


Pelajaran Ekonomi berlangsung dengan pemberitahuan yang cukup membuat seisi kelas menahan napas, bahwa tanggal 3 Desember mendatang ulangan semester ganjil dilaksanakan.

 

Aku jadi berpikir kenapa Gilang tidak sekolah hari ini, ketidakhadirannya tidak menjelaskan apa-apa. Bahkan Tata bilang pagi tadi dia berangkat sekolah dengan cowok itu.

 

“Jadi beneran lo berangkat sama dia tadi pagi, Ta?” tanyaku memastikan.

 

Tata mengangguk, “Iya Lika sayangku...”

 

“Tapi kenapa dia gak sekolah, sih? Ke mana tuh anak? Bolos? Ya ampun ulangan udah di depan mata dan dia malah seenaknya bolos kayak gini, bilangin nanti, Ta, jangan keseringan bolos kalo gak mau tinggal kelas,” cerocosku tanpa sadar, membuat Retna yang duduk di meja depan menolehkan kepalanya ke belakang.

 

“Ini anak berdua berisik banget!” tukasnya galak.

 

Aku menyengir lebar dan mengacungkan dari telunjuk dan jari tengahku membentuk huruf V, akhirnya Retna kembali menatap ke depan dan aku beralih pada Tata.

 

“Sepupu lo itu ya, Ta...” rengekku tertahan. Merasa gemas dengan kelakuan Gilang. Padahal sepele, dia cuma bolos sekali hari ini.

 

“Aduh... dia yang bolos loh, Lika. Bukan diri lo. Kok lo yang gemes gitu, sih? Ampun dah ya Tuhan...”

 

Aku memberengut kesal menatap Tata jengkel. Cewek itu tersenyum ke depan saat sang guru ekonomi mengucapkan salam tanda perpisahan karena jam pelajaran sudah berkahir. Tata kembali menoleh padaku. “Khawatir gue tuh sama Gilang,” ujarku.

 

Tak disangka kini Retna sudah menghadap ke arah kami dengan kursi yang di putar ke arah belakang. Cewek itu berucap, “Beruntungnya itu cowok dicintai oleh lo yang cantik dan baik hati juga tidak sombong ini, Li.”

 

Aku menjitak gemas dahi Retna membuat cewek itu meringis dan mengasuh. Rasain.

 

“Santai aja kali, Li, aduh. Mungkin sekarang dia lagi belajar ngerokok atau minum alkohol sama temen-temennya. Sekali-kali bolos itu gak dosa juga.”

 

Aku memelototi Tata dengan garang dan memukul keras lengannya. “Sialan! Itu sepupu lo, Ervita Aradena Rahman!”

 

“Tahu gue.”

 

“Ck, kenapa sih lo serepot itu sama keadaannya Gilang?” tanya Retna setelah cewek itu beberapa diam karena terkena jitakanku beberapa menit yang lalu.

 

Aku menunduk, memikirkan kenapa aku bisa se-khawatir ini padanya. Padahal Gilang sudah besar dan dia cowok yang pintar jaga diri, dia pasti gak bakal kenapa-napa.

 

“Takut aja gitu dia kenapa-napa,” jawabku pelan.

 

Tata dan Retna kompak menghela napas, dua cewek itu menatapku secara bersamaan. “Gilang tuh emang pantesnya sama lo doang, Li. Gak pantes sama yang lain. Untung gue suka Kak Rigel jadi Gilang bisa buat lo,” racau Retna tidak jelas.

 

Yang dibilang Retna memang tidak sepenuhnya salah, dia ada benarnya. Jika saja Retna juga suka Gilang, apa kabar dengan persahabatan kami terutama perasaanku.

 

Aku bergidik ngeri dan menggeleng-gelengkan kepala. Jangan sampai itu terjadi apapun keadaannya.

 

“Cuma sekilas info doang sih ini dari gue, kemarin gak sengaja gue masuk ke kamarnya Gilang buat ambil barang gue yang ada di sana. Terus gue lihat dompet Gilang kebuka di atas meja belajar, dan lo tahu apa yang ada di dompetnya?!” Tata mengguncang keras bahuku. Aku menatapnya penasaran begitu juga Retna.

 

“Gue gak nyangka foto lo ada di dompetnya dia. Ya... walaupun udah lecek gitu. Parah lo lucu banget Li di foto itu. Itu foto ijazah SMP.” Tata terbahak keras sambil memegangi perutnya. Sementara aku merasakan gelenyar aneh memenuhi perutku saat mendengar informasi baru yang menyenangkan itu.

 

“Itu pertanda lampu hijau bakalan nyala sebentar lagi, Ta,” ujar Retna tak mau kalah.

 

Aku membuang napas kasar, berusaha terlihat santai di depan mereka walau sebaliknya. “Tapi... kalo Gilang beneran ngelakuin yang Tata bilang tadi gimana?”

 

“Aku lapar wahai teman-teman,” keluh Retna saat bel istirahat berbunyi. Aku mendengus saat tahu bahwa pembahasan kami akan selesai hanya sampai di sini.

 

Apa boleh buat, perutku juga lapar sekarang. Lagian benar apa yang dibilang Retna, Gilang pasti bisa menjaga dirinya sendiri.

 

***

 

Ini hari pertama ulangan semester ganjil dimulai. Aku merasa sudah cukup yakin dengan apa saja yang sudah aku pelajari beberapa hari belakangan. Hari pertama sudah berhasil aku lewati dengan mudah, sekarang waktunya aku pulang dan beristirahat lalu belajar lagi untuk ulangan besok. 

 

Aku bersyukur Gilang datang ke sekolah mengikuti ulangan walau dengan wajah yang banyak sekali memar. Aku tak berani menanyakannya langsung pada Gilang karena cowok itu yang terlihat tidak baik-baik saja, sejak tiba di kelas sampai bel pulang berbunyi cowok itu hanya diam tanpa menyapa teman-teman sekelas. Dia benar-benar diam bahkan kami tidak berbicara sama sekali hari ini.

 

Langkahku menuju pintu gerbang sekolah terpaksa terhenti saat mendengar namaku dipanggil oleh seseorang, ternyata Seli.

 

“Kenapa, Kak?” tanyaku padanya. Ya, karena dia kakak kelasku maka aku memanggilnya kakak jika di area sekolah. Itu lebih baik.

 

“Bener kan lo adiknya Rigel Andreas alumni tahun lalu?”

 

Aku memilih mengernyit saat Seli langsung menyerangku dengan pertanyaan itu. Bahkan Seli menatapku dengan tatapan tidak bersahabat.

 

“Iya, bener. Emangnya kenapa?” tanyaku berusaha tetap tenang walau aku merasa sangat terintimidasi oleh tatapannya.

 

Seli terkekeh sinis, tangannya berlipat di depan dada. Cewek itu mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum kembali menatapku dan berujar, “Yang punya masalah lo sama Gilang tapi kakak lo itu yang ikut campur. Lo yang tukang ngadu atau kakak lo yang sok-sokan pengin jadi jagoan? Gak habis pikir.”

 

“Maksud Kakak apa, sih?” aku semakin bingung dengan ucapannya yang berbelit-belit itu.

 

“Bilang sama kakak lo, jangan mukulin orang sembarangan kalo gak tahu masalah sebenarnya. Gue bisa aja laporin Kakak lo ke polisi atas kasus penganiayaan, tapi gue masih berpikir manusiawi. Gak kayak Rigel yang kerjaannya mukul orang tanpa pertimbangan!”

 

Maksudnya... Kak Rigel mukul orang? Dia memukul siapa? Apa mungkin Kak Rigel yang menciptakan memar di wajah Gilang?

 

“Emangnya Kak Rigel mukul siapa?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau berargumen sembarangan.

 

“Kakak lo mukulin Gilang hari Senin itu. Dia bikin Gilang gak masuk sekolah selama tiga hari. Puas lo!”

 

Aku menggeleng tak percaya saat Seli berlalu, apa Kak Rigel setega itu? Tapi kenapa?

 

Klakson mobil membuat aku tersadar, ternyata Kak Rigel sudah menjemputku. Tanpa kata dan sapaan aku langsung masuk ke dalam mobil dan memakai seat-belt dengan benar kemudian diam saat Kak Rigel mulai melajukan mobilnya.

 

Tak ada yang membuka suara selama perjalanan, akupun enggan memulai terlebih dahulu. Aku ingin bertanya kebenaran dari yang dikatakan Seli langsung kepada Kak Rigel tapi lidahku kelu sekedar mengucap beberapa patah kata. Entah kenapa ada perasaan sesak yang menguasai dadaku saat mendengar fakta tadi dan membayangkan seperti apa keadaan Gilang saat itu.

 

Sungguh, aku tidak pernah berpikir bahwa ini yang terjadi terhadap Gilang yang membuat dia bolos sekolah tiga hari. Tata juga tidak memberiku informasi sedikitpun. Mustahil Tata tidak tahu dengan masalah ini.

 

Aku mencuri pandang pada Kak Rigel yang fokus menyetir, ingin bersuara namun masih enggan. Secara diam-diam aku memperhatikan setiap inci wajah Kak Rigel yang terlihat baik-baik saja, jauh berbeda dengan keadaan wajah Gilang. Tiba-tiba Kak Rigel menoleh membuatku tertangkap basah memperhatikan wajahnya, Kak Rigel bertanya perihal ini namun aku hanya menggeleng dan memilih memandang keluar jendela.

 

“Gimana ulangan hari ini?”

 

“Baik,” jawabku.

 

Good! Ini percakapan pertama kami setelah cukup lama diam. Setelah itu tak ada lagi yang berbicara hingga akhirnya kami tiba di rumah, aku membuka pintu lalu berjalan masuk mendahului Kak Rigel. Saat sampai di ruang tamu aku menghela napas, kupikir aku memang perlu bicaranya dengannya.

“Kak,” panggilku.

 

“Hm?” sahut Kak Rigel yang telah duduk di sofa sambil melepas sepatunya.

 

“Apa yang udah Kakak lakuin sama Gilang?”

 

Great! Kak Rigel sempurna mengangkat kepalanya menatapku.

 

“Kamu lagi nanya apa sama Kakak?” balasnya santai. Seolah-olah memang tidak mempunyai kesalahan.

 

Aku memutar bola mata jengah lalu melempar ranselku ke sofa samping tempat duduk Kak Rigel membantahnya memelototiku.

 

“Lika! Yang sopan dong!” bentaknya.

 

Aku bergetar, ini pertama kalinya Kak Rigel berbicara dengan nada tinggi padaku.

 

“Kak Rigel kenapa mukulin Gilang?” tanyaku lemah dan dengan suara yang bergetar.

 

“Kamu ini lagi ngomong apa, sih? Kamu bilang apa tadi? Kakak mukulin Gilang? Great, Lika. Gak ada gunanya Kakak lakuin itu.”

 

Bagus, Kak Rigel masih saja menyangkal.

 

“Kakak kenapa ikut campur masalahku sama Gilang? Aku gak ada masalah sama dia, Kak. Kenapa sekarang Kakak yang sok-sokan ikut campur?!”

 

Air mataku ternyata sudah merembes ke pipi, suaraku pun sudah berubah sengau dan bergetar. Aku tidak bisa menahan tangis untuk masalah ini.

 

Kak Rigel bangkit berdiri dan menghadapku, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku Kak Rigel kemudian berucap, “Karena dia kurang ajar sama kamu, Li!”

 

Aku menutup mulut menahan tangis. Akhirnya Kak Rigel bicara juga. Siapapun kumohon aku berubah pikiran, kumohon katakan bahwa ini tidak benar.

 

“Dia kurang ajar apa, Kak? Dia baik sama aku, dia jagain aku. Kenapa Kakak sejahat itu sama dia, sih?” aku melihat tangan Kak Rigel mengepal bersiap memukul namun aku tetap pada posisi awal, aku yakin Kak Rigel tidak akan memakai tangannya untuk pembicaraan kami.

 

“Yang kayak gimana yang kamu bilang baik, yang kayak gimana yang kamu bilang jagain kamu, hah? Jadi kamu pikir Kakak gak tahu dia ninggalin kamu waktu itu karena apa, kamu pikir Kakak ini bodoh sampai gak tahu apa yang terjadi? Kamu merasa gak dia menghargai kamu? Kamu tahu gak menghargai itu kayak gimana? Dia gak menghargai kamu, Lika Andrea Hirata. Dia ninggalin kamu yang sakit demi cewek lain. Dek... kamu berpikir lewat sudut pandang mana, sih? Kakak tanya kamu itu berpikirnya gimana?”

 

Aku terisak menutup mulutku, aku mundur satu langkah menjauh dari Kak Rigel. Aku takut dengan tatapan yang dia layangkan padaku sekarang.

 

“Aku sayang Gilang Kak, aku gak mau dia terluka. Dan Kak Rigel jahat udah lukain Gilang. Kakak setega itu sama dia,” isakki pelan namun kuyakin Kak Rigel masih mendengarnya.

 

“Tapi dia bahagia di atas penderitaan kamu, Li.”

 

“Gilang gak bahagia Kak, dia terpaksa nganterin Seli ke rumah sakit karena tangannya tersiram air panas. Kalo aku yang ada di posisi Seli pasti Gilang bakal lakuin hal yang sama juga,” lirihku pelan sambil masih terisak.

 

“Ya, kalo kamu di posisi itu. Tapi kalo Seli di posisi kamu? Apa mungkin Gilang biarin Seli mati dan milih tetap sama kamu? Mikir, Li! Sakit kami lebih parah dari sakitnya cewek bernama Seli itu!”

 

Aku tidak habis pikir Kak Rigel akan membawa bawa perihal penyakitku.

 

“Aku emang sakit kayak gini, Kak. Tapi harusnya Kakak gak usah sangkut pautkan itu sama masalah ini,” sergahku.

 

Kak Rigel menghela napas kasar, dia mendekat ke arahku lalu tangannya memegang pundakku. “Tapi Li...”

 

“Gak apa-apa Kak, aku sayang Gilang. Untuk bagian kebahagiaannya buat Gilang aja, dan bagian yang sakitnya biar aku aja yang tanggung sendiri. Aku paham konsekuensinya jatuh cinta sendirian, dan aku ikhlas menerima apapun perasaan yang hati aku rasa dengan keadaan yang aku alami sekarang.”

 

“Maaf....” Kak Rigel menarikku ke dalam pelukannya. Sambil terisak aku membalas pelukan Kak Rigel, semoga masalahnya berakhir sampai disini.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • YourEx

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Bilang Pada Lou, Aku Ingin Dia Mati
11      6     0     
Horror
Lou harus mati. Pokoknya Lou harus mati. Kalo bisa secepatnya!! Aku benci Lou Gara-gara Lou, aku dikucilkan Gara-gara Lou, aku dianggap sampah Gara-gara Lou, aku gagal Gara-gara Lou, aku depression Gara-gara Lou, aku nyaris bunuh diri Semua gara-gara Lou. Dan... Doaku cuma satu: Aku Ingin Lou mati dengan cara mengenaskan; kelindas truk, dibacok orang, terkena peluru nyasar, ketimp...
Invisible
14      7     0     
Romance
Dia abu-abu. Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada. Ia tertekan? They already know the answer. She said."I'm visible or invisible in my life!"
Cinta Tak Terduga
16      12     0     
Romance
Setelah pertemuan pertama mereka yang berawal dari tugas ujian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia di bulan Maret, Ayudia dapat mendengar suara pertama Tiyo, dan menatap mata indah miliknya. Dia adalah lelaki yang berhasil membuat Ayudia terkagum-kagum hanya dengan waktu yang singkat, dan setelah itupun pertemanan mereka berjalan dengan baik. Lama kelamaan setelah banyak menghabiskan waktu...
Dear, My Brother
0      0     0     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
REMEMBER
32      5     0     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
BANADIS
43      6     0     
Fantasy
Banadis, sebuah kerajaan imajiner yang berdiri pada abad pertengahan di Nusantara. Kerajaan Banadis begitu melegenda, merupakan pusat perdagangan yang maju, Dengan kemampuan militer yang tiada tandingannya. Orang - orang Banadis hidup sejahtera, aman dan penuh rasa cinta. Sungguh kerajaan Banadis menjadi sebuah kerajaan yang sangat ideal pada masa itu, Hingga ketidakberuntungan dialami kerajaan ...
Kamu&Dia
5      5     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.
#SedikitCemasBanyakRindunya
46      15     2     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Why Joe
4      4     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Princess Harzel
91      34     0     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...