Alga menghampiri Silvi yang tengah bermalas-malasan di kamarnya, dia duduk dikasur sambil menatap laptop. Rambutnya acak-acakan. Menandakan jika dia sudah pusing dengan apa yang dilihatnya.
Alga mendekat dan duduk dipinggir kasur, melihat apa yang sedang di kerjakan oleh gadis itu.”Apa perlu aku bantu?” Tanyanya ringan.
“Kau!” Silvi membalikkan tubuhnya dan terkejut melihat Alga yang tiba-tiba sudah berada dikamarnya.”Bukan, kah, siang ini kau masih ada kelas?”
“Dosennya berhalangan hadir.”
Silvi mengangguk mengerti, lalu kembali fokus pada laptopnya. Mengecek e-mail dan membuka beberapa lembar microsof word.
“Apa dia menemuimu lagi? Dan mengancammu?” Tanya Alga secara mengejutkan, wajahnya terlihat resah ketika melihat nama pengirim, yang tertera di kotak masuk e-mail Silvi.
“Untuk saat ini belum!” Jawab Silvi datar, dia tahu kemana arah pembicaraan Alga.
”Tapi, dia tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini. Aku yakin, kau bisa menghadapinya. Jangan khawatir! Dia tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tapi, jangan melibatkan siapapun dalam urusanmu dengannya, jika ada yang ikut campur, maka keselamatannya dalam bahaya. Kau sangat mengenal, bagaimana dia, bukan? ” Alga berharap Silvi tidak perlu takut untuk menghadapi orang tersebut. Bersikaplah tenang, seperti biasanya.“Kau pasti tahu, mengapa dia bersikap protectif seperti ini, walaupun dia jauh disana. Tentu saja, itu karena dia sangat mencintaimu, dan sepertinya dia tidak akan melepaskanmu.”
“Kau membuatku merinding!” Silvi menatap Alga sebal.”Jangan katakan seperti itu, seolah-olah aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah dengan semua kelakuannya yang menyebalkan itu.“
“Memangnya kau bisa berbuat apa?” Tanya Alga menantang.
“Kau menantangku? Aku akan membalas emailnya dan memutuskannya, sekarang juga!” Jawab Silvi sewot, matanya membesar karena saking jengkelnya. Sudah berapa kali Alga menasehatinya tentang hal tersebut. Dia sudah bosan, muak, dan kesal mendengarnya. Lagi pula, dia bisa menghadapinya sendiri dan tidak perlu nasehat dari siapapun.
“Kau yakin? Jangan sok berani, jika kau takut!” Alga menjauh meninggalkan Silvi, dia yakin gadis itu tidak akan melakukan hal gila semacam itu. Namun beberapa detik kemudian dia kembali, ketika mendengar suara keyboard yang ditekan-tekan oleh Silvi dengan emosi. Alga bergerak cepat mengambil laptop Silvi, lalu segera meng-nonaktifkannya.
“Apa-apaan kau. Kembalikan!” Teriak Silvi melotot.
”Apa kau mau mati?” Tanya Alga sinis.
“Tugas ku!” Teriak Silvi panik.”Alga, tugasku! Kau menghapusnya.” Silvi semakin jengkel, saat melihat laptopnya sudah mati.
“Apa?” Alga terdiam mencerna maksud kata-kata Silvi.”bukan, kah, kau mau mengirim email padanya?”
“Kau pikir aku gila, mengirim pesan seperti itu padanya. Jika aku memutuskan hubunganku dengannya, orang pertama yang akan dibunuhnya, ya, kau.”
“Jadi, tadi kau mengerjakan tugasmu?” Tanya Alga polos.
“Iya.” Teriak Silvi histeris. Matanya melotot hendak menelan Alga hidup-hidup.
“Maaf.” Seru Alga tersenyum bersalah.”Aku akan membantu mengerjakannya hingga selesai. Terus, kita pergi ke toko buku, nonton, makan. Bagaimana?”
“Membantu mengerjakannya! Tidak mau! Aku hampir selesai mengerjakan tugas itu. Sekarang, kau kerjakan tugas itu hingga selesai, aku tidak mau tahu!” Ucap Silvi penuh penekanan. Enak saja, dia bilang akan membantu mengerjakannya. Sedangkan, dirinya sudah 4 jam berada didepan laptop hanya untuk mengerjakan tugas itu.
“Baiklah.” Alga mengalah. Dia tidak ingin berdebat lagi dengan Silvi yang akan menimbulkan kesalahpahaman, seperti tadi.
Tidak seperti Silvi, Alga yang memang cerdas dapat menyelesaikan tugas tersebut hanya dalam waktu satu setengah jam. Setelah tugas itu selesai, mereka langsung pergi ke mall untuk nonton dan makan. Lalu pergi ke toko buku, yang berada di lantai 4 mall tersebut. Mereka asik terbawa suasana, hingga tanpa sadar Alga yang sedang mencari beberapa buku yang akan digunakan Alga untuk kuliahnya, terpisah dengan Silvi yang sibuk melihat-lihat komik dan novel.
“Silvi, sedang apa disini sendirian?” Suara pria tersebut mengejutkan Silvi yang tenggelam ketika membaca sebuah novel.
Silvi menegakan kepalanya. Dia menemukan Joe bersama beberapa orang yang tidak di kenalnya berdiri dihadapannya. Mereka tersenyum ramah, Silvi pun langsung membalas senyuman itu dengan ramah juga.
“Aku sedang bosan dirumah, jadi aku kesini. Dari rumahku kesini hanya tujuh menit.” Jawab Silvi bohong. Dia tidak ingin Joe bertanya lebih lanjut.
“Oh, dengan siapa?”
“Ditanya lagi? Padahal, tadi dia sudah bertanya, sedang apa disini sendirian?”
“Sendiri.”
“Sendirian, malam-malam begini? Ini sudah jam Sembilan lewat, loh.”
“Banyak tanya amat, sih, ini orang.”gerutu Silvi dalam hati.
“Memangnya kenapa? Rumahku tidak jauh dari sini, kok.” Silvi masih berusaha untuk tersenyum menjawab setiap pertanyaan Joe. Meski dalam hati dia ingin melempar seluruh buku yang ada di rak dan berteriak ‘Jangan banyak tanya! Urus saja, urusanmu sendiri.’
“Sudah makan? Bagaimana—“
“Hallo.” Ucap Silvi cepat. Ada panggilan masuk dari negeri jauh. Dia segera menjauhkan diri dari Joe, tanpa pamit.”Percaya padaku! Aku dan dia hanya teman, tidak lebih. Kenapa kau selalu bertanya tentang itu. Bagaimana lagi caranya aku harus menjelaskannya. Karena hanya dia yang bisa membantuku. Ayo lah, jangan marah. Jangan berbuat yang aneh-aneh, yang nantinya akan kau sesali. Sayang, dengarkan aku. Aku mencintaimu! Kau harus percaya itu. Kapan kau pulang, aku sangat merindukanmu. Kalau begitu, sampai bertemu tahun depan, sayang.”
Silvi segera memutuskan sambungan teleponnya. Dia keringat dingin, setiap kali ditelepon olehnya. Apalagi, saat ini dia sedang pergi berdua dengan Alga. Tetapi, kali ini panggilan itu juga menyelamatkannya dari pertanyaan-pertanyaan tidak penting Joe.
Dia menghelakan nafas berat, sejenak melihat ke belakang, ternyata dia sudah berjalan sangat jauh dari tempat tadi. Joe dan teman-temannya yang tidak dia kenal juga sudah tidak berada ditempat itu. Silvi kembali melihat ke depan dan hendak menghubungi Alga, agar mereka segera pulang. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, dia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hazen dan Fikar yang berdiri tenang dihadapannya.
“Sayang! Romantis sekali. Aku tidak menyangka, jika seorang wanita yang sudah punya pacar masih mengejar cowok lain.” Kata Hazen tersenyum manis.
“Kapan kau pulang, aku sangat merindukanmu. Kalau begitu, sampai bertemu tahun depan, sayang.” Ucap Fikar mengulangi kata-kata Silvi.
Silvi menatap keduanya malas. Tukang gosip paling tenar di kampusnya, sedang mengintrupsi dirinya. Berhasil lari dari Joe malah bertemu dengan kedua orang ini. Nasibnya benar-benar tidak beruntung malam ini. Tapi, dia masih bersyukur karena Hazen dan Fikar hanya mendengarkan kata-katanya di akhir saja.
“Monster. Nomor panggilan berasal dari Inggris. Siapa dia?” Tanya Hazen kali ini dengan raut serius.
“Ah, sial. Dia melihatnya.” Keluh Silvi geram dalam hati.
“Kenapa kau masih bertanya, jika aku membuat kontak seperti itu di ponselku, sudah berarti aku tidak menyukainya. Dan kata-kataku tadi, hanya manis di mulut saja.” Silvi menatap keduanya tajam.”Dia sepupuku yang kuliah di London. Memangnya kenapa?”
“Benarkah?” Ucap Hazen tidak percaya.
Tiba-tiba ponsel Silvi kembali berdering. Dia melihatnya sekilas, itu panggilan dari Alga. Pasti dia sudah menemukan buku yang dicarinya dan mengajaknya untuk segera pulang. Sudah pukul Sembilan lewat tiga puluh lima.
“Kenapa tidak diangkat?” Tanya Fikar.
“Pasti itu dari pacarnya.” Seru Hazen sinis.”Sudah punya pacar masih mengejar orang lain.” Sindirnya lagi.
“Kenapa jadi kalian yang repot? Terserah aku dong, mau angkat atau tidak! Apa Leo tidak stress menghadapi teman seperti ini setiap hari. Aku jadi kasihan padanya.”
Silvi langsung berbalik badan, pergi meninggalkan kedua orang tersebut. Dia tidak perduli dengan ucapannya yang membuat mata mereka keluar. Salah sendiri, kenapa memulainya.
Alga :
Silvi, dimana? Cepat! Aku sudah ditelepon Om Rendy. Ku tunggu di basement, ya
Setelah membaca pesan dari Alga, Silvi segera keluar dari toko buku. Dia langsung menuju lantai bawah, tempat parkiran mobil. Namun, belum sempat dia turun. Saat berjalan melewati sebuah restoran, dia malah bertemu dengan Zeze, Ila, dan Tora yang sedang makan di restoran tersebut. Nasib oh nasib.
Sebenarnya, dia ingin pura-pura tidak melihat mereka. Namun, suara Zeze begitu lantang memanggil namanya, sehingga mau tak mau dia menghampiri mereka. Menyebalkan. Belum lagi, pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka lontarkan, mengapa orang sakit bisa berada di mall. Ketahuan deh, bohongnya.
“Sudah sembuh?” Sindir Tora.
“Aku tidak sakit.” Jawab Silvi polos.
“Lalu, kenapa kau mengirim pesan, jika kau sakit.” Tanya Ila bingung.
“Ah, itu. Salah ketik.” Sangkalnya.”Tadinya, aku mau mengirim pesan lagi, tapi pulsaku habis. Tadi aku di ajak Om Seto pergi ke rumah temannya. Anak temannya menikah.”
“Tugasmu sudah selesai? Kata Pak Doni, untuk yang tidak hadir, batas waktu tugasnya minggu depan.” Tora tahu jika Silvi berbohong, tadi pagi dia sempat melihat Silvi di taman berbicara dengan Leo. Dia juga tahu, ketidakhadiran Silvi karena tugasnya belum selesai.
“Tentu saja sudah!” Sergap Silvi cepat.
“Benarkah? Kau sudah makan?“
Lagi-lagi ponselnya berdering. Alga is calling.“Iya. Aku sedang jalan ke sana. Sebentar lagi sampai.”
“Sudah, ya. Aku pulang duluan, aku sudah di tunggu.” Silvi melambaikan tangannya dan langsung berjalan cepat menuju basement. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun lagi. Sudah cukup baginya bertemu dengan orang-orang tersebut. Banyak tanya.
Silvi jadi heran, apa mereka sedang melakukan studi banding di mall ini, mengapa semuanya bisa bersamaan berada di mall ini.
Suka banget dengan tema reuni. Semangat ya, kak.
Comment on chapter 18 : Pertanyaan Leo