Usai sidang tiga minggu lalu, Silvi sama sekali tidak pernah terlihat di kampus. Kantin yang biasa dipenuhi gelagar suara tawanya bersama Ila, Zeze, dan Tora. Kini hanya terlihat ditempati oleh ketiga temannya. Hal itu disebabkan karena dirinya sering mengalami demam tinggi, sehingga kondisi tubuhnya lemah.
“Kenapa mereka pada menangis seperti itu?” Gumam Silvi heran, kebetulan dia melewati gedung fakultas kedokteran.
“Hei, Silvi!” Sapa Seina dengan ramah.”Sebegitu menyeramkannyakah sidang, sampai kau demam tinggi dan harus beristirahat total?” Tanya Seina jail.
“Apa kau bilang? Aku sakit karena takut sidang.” Sahut Silvi menahan kesal.
“Tentu saja. Jadi karena apa, kalau bukan karena sidang!” Ujar Seina pura-pura polos. Dia sangat menikmati ekspresi Silvi.”Kau mau kemana?” Tanyanya lagi.
“Perpustakaan.” Jawab Silvi ketus.
“Tujuan kita sama, aku juga ingin mengantar skripsi.”
Silvi menghela nafas kesal. Kali ini kau menang Seina, selanjutnya aku!
Selama perjalanan menuju perpustakaan, Silvi tidak mengeluarkan suara, dia hanya diam meski Seina terus saja mengobrol tentang ini dan itu. Sesampainya disana dia langsung menyerahkan skripsi yang telah di lux berserta sebuah cd yang berisi file skripsi miliknya kepada petugas perpustakaan.
Belum selesai urusannya, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang mahasiswi fakultas kedokteran yang merupakan teman sekelas Seina. Mahasiswi tersebut masuk ke perpustakaan dengan langkah berlari dan bahkan menabrak Silvi. Silvi hampir terjatuh, jika saja Seina tidak memegangi bagian belakang tubuhnya.
Mahasiswi tersebut menangis tersedu-sedu di hadapan Seina, membuat seluruh pengunjung perpustakaan bingung.
“Monita, kenapa?” Ujar Seina hati-hati.
Monita menggengam tangan Seina, dia mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Seina menunggu kata-kata yang akan dikeluarkan Monita tanpa mendesaknya. Begitu juga Silvi yang sangat penasaran. Mungkin ini yang menyebabkan pemandangan yang dilihatnya tadi di gedung fakultas kedokteran.
Monita masih belum sanggup untuk mengatakannya, hingga ponsel Silvi berbunyi.
“Rumah Sakit! SEKARANG!” — sebuah reminder berbunyi di ponsel nya.
Dia mengerutkan keningnya heran, ada apa? Untuk apa ke rumah sakit lagi? Dia, kan, sudah sehat. Kapan dia membuat reminder tersebut diponselnya?
Setelah mengingat-ingat, Silvi baru teringat bahwa hari ini ada jadwal cek up yang sudah di jadwalkan Om Seto untuk dirinya. Meskipun dia tidak tahu apa yang harus di cek up.
Memang sebulan ini dia sakit, tetapi itu hanya demam. Dan rasanya tidak perlu sampai harus cek up segala. Tetapi, mau tidak mau Silvi harus ke rumah sakit dan patuh pada perintah Om Seto. Karena kalau tidak, dia akan di suruh kembali ke rumahnya dan tinggal bersama ibu tiri dan saudara tirinya. Malas banget dehh!! Bisa-bisa dia mati muda gara-gara makan hati karena tinggal bareng mereka, pikirnya. Sebab Ayahnya selalu membela mereka.
Setelah membaca reminder tersebut, Silvi langsung pamit pada Seina dan berlalu dari perpustakaan. Dia langsung mengirim pesan pada Ila, jika hari ini dia tidak bisa bertemu dengan mereka, karena ada urusan mendadak. Mungkin besok mereka baru bisa bertemu.
Silvi berjalan santai menuju gerbang utama kampusnya, sambil menerka-nerka apa yang hendak dikatakan oleh Monita—Dia begitu penasaran.
Suka banget dengan tema reuni. Semangat ya, kak.
Comment on chapter 18 : Pertanyaan Leo