Read More >>"> Toget(her) (1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Toget(her)
MENU
About Us  

Mana Tau Jodoh

“Malam selalu istimewa, misterius, rumit, tak terduga. Kadang bulan bercahaya, kadang bintang berkelip bahkan kadang hanya hitam”, pikir Khanza.

            Malam ini terlalu indah. Bulan bersembunyi malu-malu menampakkan diri di balik kumpulan awan. Cahayanya remang seperti sedang ada yang ia pertimbangkan. Langit juga cukup cerah untuk menampakkan beberapa kerlap kerlip bintang. Ah…iya bintang. Benda langit itu selalu mengingatkan Khanza pada seseorang. Seseorang yang menemaninya selama 9 tahun terakhir. Ia yang mengetahui segalanya, senyum dan airmata. Ia yang menguatkan saat lelah dan pasrah. Ia yang dipanggil Khanza “bintang”.

            Video monokrom itu kembali terputar cepat di kepala Khanza. Segala kenangan tentangnya membuat Khanza kembali melemah, otaknya lumpuh. Kenangan itu begitu menyiksanya.

“Woi!!! Ngelamun aja, mikirin apaan sih? Erik lagi?”.

Trisa, sahabat baik Khanza yang mengetahui kisahnya bersama Erik. Karena suara cempreng Trisa itulah Khanza selamat. Selamat untuk tidak terjebak dalam ruang nelangsa masa lalunya.

“Eh…kamu Tris, ngagetin, datang-datang teriak, malu tau diliatin orang. Kamu kira kita sedang di gunung apa?”, Khanza membalas ketus menyembunyikan kegalauan hatinya pada Trisa.

“Haha…maaf-maaf abis aku kira kamu masih aja galau tentang Erik, kan aku gak mau sahabatku jadi zombie kayak begini. Move on kagak, gila iya”.

“Husss…ngomong kok sembarangan, emang kamu mau jadi suster pribadi ku kalo aku jadi ODMK?”.

“Kenapa enggak asal bayarannya oke, dari pada nganggur”, sahut Trisa menyeringai.

“DASAR!!!”, Khanza mengacak kerudung Trisa gemas.

            Tawa mereka memenuhi lantai dua café bernuansa daur ulang dengan arsitektur unik. Kata Trisa café ini dibangun oleh komunitas mahasiswa arsitektur kampus mereka. Salah satu anggotanya juga teman Trisa. Tapi, ada alasan lain yang membuat Trisa selalu semangat mengusulkan café ini untuk jadi tempat mereka berkumpul. Danni, mahasiswa arsitektur juga seangkatan dengan mereka yang sering mengunjungi café untuk mengecek beberapa hal. Karena iajuga termasuk salah satu pengelola café, mungkin karena tambahan kesibukan ini juga yang memperlambat Danni untuk menyandang gelar sarjana. Khanza pernah dikenalkan Trisa pada Danni. Dan yang Khanza lihat, ada binar berbeda di mata Trisa melihat Danni saat itu. Mungkin Trisa memang suka Danni, tapi dia belum mau bercerita pada Khanza. Khanza hanya menunggu dengan yakin suatu saat nanti Trisa pasti akan berbagi tentang hatinya pada Khanza.

“Permisi kak, ini menunya ya. Nanti kalo pesanannya udah panggil aja ya kak”, sapa ramah seorang pelayan. Icut namanya, dia juga masih mahasiswa semester tiga Fakultas MIPA. Dia bekerja part time sebagai pelayan café untuk tambahan uang sakunya. Sangking seringnya Khanza dan Trisa berkunjung ke café ini, Icut sampai hafal bahkan akrab dengan keduanya.

“Oke cut, thanks ya”, Trisa tersenyum sambil menarik daftar menu, buku dan pulpen dari tangan Icut.

“Za, Ical mana sih, katanya dia magriban di masjid jami’ kampus dan ba’da magrib langsung kesini. Ini udah jam delapan kok belum nongol, me…mang…”. Tanpa sempat menghabiskan segala jenis repetan khas mamak-mamaknya, Trisa melihat Ical berjalan santai menaiki tangga terakhir dan menuju tempat mereka duduk. Ical pun tersenyum melihat kedua teman perempuan yang sedang menunggunya dengan wajah kesal itu.

“Hehehe, hai cantiks, maaf ya sedikit telat, perut ane gak bias kompromi, jadi tadi mampir ke warung Buk Beti dulu”.

Sontak Trisa malah bangkit dan semakin menggebu, “Kamu kira kita gak lapar? Walaupun lapar kita langsung kesini karena kamu yang buat aturan ba’da magrib tau!Katanya penting, makanya kita buru-buru abis shalat langsung ngebut. Dasar kamu, gak setia kawan, heran…kok Nisa bisa yakin banget ya berhubungan sama kamu meski jarak jauh. Aku mah ogah…Sama kita yang sering jumpa aja kamu kayak gini, gimana dengan Nisa yang jumpanya setaun belum tentu sekali”.

Khanza hanya tersenyum mendengar ocehan Trisa.

“Kok sewot gitu sih Tris.Baru juga telat 15 menit. Trus kok Nisa dibawa-bawa? Disana udah jam 10 malam tau, kali aja dia udah bobok cantik dan sedang mimpiin aku. Jangan sampek karena kamu merepet dan nyebut namanya mimpi indah dia jadi ke ganggu ya”, sahut Ical membalas galaknya Trisa.

“Udah-udah, jadi kita ketemuan cuma mau ribut ni? Dan yang parah aku jadi penonton debat kalian? Makasih deh, mending ngafalin SOP code blue”, Khanza menarik lengan Trisa agar ia kembali duduk.

“Kamu, duduk! Pada pesan apa?”, tanya Trisa masih dengan nada membentak.

“Aku jus jambu sama mie instan kuah, level 3 dan pake telur bulat ya”, Khanza memesan cepat karena galau ditambah mendengar keributan antara dua temannya tadi membuat rasa laparnya semakin menjadi-jadi.

“Weees…masih sebegitu galaunya Za, sampek mesan level 3. Aku teh hangat sama gorengan deh”, ledek Ical yang hanya dibalas senyum oleh Khanza.

“Oke”, sahut Trisa sambil bangkit untuk turun mengantarkan daftar menu pada Icut.

 

            Setelah Trisa turun dan tak terlihat dari balik tembok tangga, Ical mengeluarkan laptopnya. Sambil Ical mengutak atik sesuatu disana Khanza kembali memandang keluar café. Memperhatikan kembali langit yang ia tinggalkan karena senggolan Trisa tadi. Ia masih melihat ke titik yang samadari jendela kaca besar café tersebut, satu bintang paling terang yang berkerlip.

            Di sudut yang berseberangan, Rizal tengah asyik membolak balik lembar-lembar kertas berisikan angka sambil sesekali mencoretkan pensil pada beberapa bagian. Bersama dua orang temannya, Rizal mampir ke café setelah selesai dengan tugas mengajar privat Matematika di daerah sekitar café ini. Rizal memang sudah sah bergelar sarjana pendidikan beberapa bulan lalu. Namun, sampai saat ini ia belum menemukan tempat terbaik untuk mengabdikan diri. Begitupun dua temannya, Fahri dan Adit yang sudah di kenal Rizal sejak semester satu perkuliahan.

            Saat ini masing-masing mereka bekerja part time sebagai guru privat dan tenaga pengajar di salah satu tempat bimbingan belajar.Meski demikian, mereka juga bekerjasama membuka peluang usaha untuk membantu mengolah data penelitian beberapa mahasiswa yang memiliki kemampuan terbatas di bidang statistik. Setidaknya, itu membantu memenuhi kebutuhan bensin mereka sehari-hari.

“Allah…coba aja tu cewek lebih feminim. Pake rok, sepatu yang girly, tas imut dan kerudung bunga-bunga yang agak lebaran. Nabung-nabung deh aku buat ngelamar”, tiba-tiba Fahri memutar badan melihat seseorang yang melewati meja mereka. Adit dan Rizal yang tengah serius tak sengaja tertarik menoleh.

“Woi, istighfar! Makan aja ngutang malah mau ngelamar anak orang, mau kamu kasi makan apa dia nanti? Ngajak ngutang bareng? Bayangin dia pake rok, sepatu, tas dan kerudung lebar lagi, kamu kira itu barang-barang belinya pake kertas?”. Adit mengetuk kepala Fahri untuk menghalau khayalan liar temannya.

“Emangnya kenapa, ya optimis dong.Mana tau jodoh. Ya kan Ri?”, kata Fahri mencari pembenaran.

Rizal tersenyum mendengar perkataan Fahri. Rizal yang juga pernah punya niatan bahkan masih mengupayakan menikah muda juga membenarkan apa yang disampaikan Adit. Tapi baginya tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Sebagai hamba dia terus mengupayakan dengan usaha dan doa.

            Rizal masih melihat ke arah seseorang yang tadi dibicarakan Fahri. Pandangannya terhenti saat perempuan itu duduk di meja yang letaknya berseberanagn dengan meja mereka. Secara fisik perempuan yang di tunjuk Fahri tadi memang cantik, tinggi, langsing dan putih. Namun, Rizal, Fahri dan Adit sudah terbiasa dengan perempuan anggun berkerudung lebar sehingga mereka lebih tertarik melirik cewek jilbaber untuk di khitbah. Semakin Rizal memandang ia malah tertarik dengan sosok di samping perempuan yang di tunjuk Fahri tadi. Dia tidak secantik temannya, dia juga bukan jilbaber sehingga Rizal terpana. Yang membuat Rizal tertarik adalah tatapannya. Perempuan itu, memandang langit dengan penuh arti, seolah tengah melukis sesuatu yang indah disana dengan matanya. Hal itu membuat Rizal penasaran ingin tau apa yang dilihat. Selain itu Rizal juga tertarik dengan atribut yang dipakai oleh si perempuan. Kerudung biru muda, cardigan biru bercorak mawar tosca juga tas ransel biru dongker dihias bulu-bulu krem terletak rapi di kursi disampingnya dan beberapa gantungan kunci bentuk gajah, kupu-kupu yang juga bernuansa biru muda.

            “Cewek itu, mungkin dia suka biru, semua atribut yang dipakainya berwarna biru. Ah…perempuan memang aneh, suka sesuatu kok segitunya”. Rizal berbisik dalam hati. Entah apa yang membuatnya berpikir penting memperhatikan perempuan itu meski tak seutuhnya wajah si perempuan dapat dilihatnya.

            Tiba-tiba saja Trisa kembali menyenggol lengan Khanza hingga Khanza tersentak dari lamunannya.

“Kan, mulai lagi, udah lah Za, jangan kayak orang linglung gitu. Dikit-dikit ngelamun, ditinggal bentar ngelamun.Belum tentu juga orang yang kamu pikirin lagi mikirin kamu sekarang”.

Trisa melanjutkan bicaranya dengan senyum jail dan menunjuk dengan mata, ”Liat tu, ada yang dari tadi jelas-jelas pandangin kamu segitunya!. Senyumin gih, mana tau jodoh. Haha”.

Khanza melihat ke arah mata Trisa menunjuk. Terkejut yang dipandangi malah memandang balik Rizal pun kembali menunduk dan mencoba kembali berkonsentrasi dengan angka-angka itu.

“Cie…cie…Za. Iya Za, oke tu. Mana tau jodoh.Hihihi”, Ical pun ikut menggoda Khanza.

            Khanza yang kesal digoda teman-temannya malah cemberut, ”Apaan sih kalian. Ya udah deh, mumpung udah ngumpul, jadi kamu nyuruh kita kesini mau bahas apa Cal?”, tanya Khanza serius.

“Yah, Khanza pengalihan, tapi iya deng, dari pada ini malah gak kelar. Ini ni…kita harus cepat nyelesiin input beberapa data tambahan untuk pengkajian komunitas. Dan besok harus selesai biar langsung kita tegakkan diagnosa. Kalo enggak kita gak bisa rencanain program untuk praktek di desa”, jelas Ical setelah memutar laptop dan menunjukkan beberapa file disana.

“Oke deh, kalo gitu langsung mulai aja. Za, kamu bawa kan hasil form hasil pengkajiannya?”, tanya Trisa.

“Iya dong, kalo gak bawa ngapain juga aku datang”, Khanza mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya.

“Hmm… kalo gitu, kamu dikte biar aku yang input deh, nanti selesai input biar Ical yang lanjut ngolahnya, gimana Cal?”, Trisa mengeluarkan note book miliknya dan mengaktifkan software Ms. Excel.

“Sip deh…berarti sekarang ane bisa download dulu ya hehe. Mumpung ada wifi gratis”, seru Ical mengedipkan matanya.

“TERSERAH!!!”, kata Trisa di depan wajah Ical sambil melotot.

 

            Rizal menyaksikan semua kejadian itu dari sudut seberang.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
kekasihku bukan milikku
15      14     0     
Romance
Simbiosis Mutualisme seri 1
306      160     0     
Humor
Setelah lulus kuliah Deni masih menganggur. Deni lebih sering membantu sang Ibu di rumah, walaupun Deni itu cowok tulen. Sang Ibu sangat sayang sama Deni, bahkan lebih sayang dari Vita, adik perempuan Deni. Karena bagi Bu Sri, Deni memang berbeda, sejak lahir Deni sudah menderita kelainan Jantung. Saat masih bayi, Deni mengalami jantung bocor. Setelah dua wawancara gagal dan mendengar keingin...
Akai Ito (Complete)
118      95     0     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Sepasang Dandelion
184      107     0     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
Pilihan Terbaik
147      84     0     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
About us
595      328     0     
Romance
Krystal hanya bisa terbengong tak percaya. Ia sungguh tidak dirinya hari ini. CUP~ Benda kenyal nan basah yang mendarat di pipi kanan Krystal itulah yang membuyarkan lamunannya. "kita winner hon" kata Gilang pelan di telinga Krystal. Sedangkan Krystal yang mendengar itu langsung tersenyum senang ke arah Gilang. "gue tau" "aaahh~ senengnya..." kata Gila...
simbiosis Mutualisme seri 2
234      148     0     
Humor
Hari-hari Deni kembali ceria setelah mengetahui bahwa Dokter Meyda belum menikah, tetapi berita pernikahan yang sempat membuat Deni patah hati itu adalah pernikahan adik Dokter Meyda. Hingga Deni berkenalan dengan Kak Fifi, teman Dokter Meyda yang membuat kegiatan Bagi-bagi ilmu gratis di setiap libur panjang bersama ketiga temannya yang masih kuliah. Akhirnya Deni menawarkan diri membantu dalam ...
Garden
125      92     0     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?
ABLASI
195      117     0     
Romance
Biarkan kita menjadi asing, hingga akhirnya berpaling dari segala yang dikatakan saling; saling merindu, saling membutuhkan, dan saling menyayangi. Bdg, 25/12/2018
Neighbours.
114      74     0     
Romance
Leslie dan Noah merupakan dua orang yang sangat berbeda. Dua orang yang saling membenci satu sama lain, tetapi mereka harus tinggal berdekatan. Namun nyatanya, takdir memutuskan hal yang lain dan lebih indah.