Read More >>"> Kiwari Nan Sangkil
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kiwari Nan Sangkil
MENU
About Us  

Sungguh aku tak memiliki keberanian yang cukup untuk membukanya. Aku takut luka itu datang lagi, lagi, dan lagi.

**

Hari ini adalah hari minggu. Hari di mana sejumlah orang memilih bermalas-malasan ketimbang keluar rumah. Berbeda dengan perempuan yang satu itu, setiap hari sabtu dan minggu dia sempatkan berkunjung ke toko kuenya. Toko yang dia bangun sendiri, dari hasil tabungan yang dikumpulkannya berbuah manis. Pasalnya setiap hari, tokonya selalu ramai akan pengunjung. 

Dia memiliki sepuluh karyawan yang terbilang sudah handal dan professional. Tiga di bagian dapur alias koki, dua menjadi kasir, dan sisanya sebagai waitress. Beberapa hidangan kue, banyak tersedia di tokonya. Uniknya, ada satu menu spesial yang mana di setiap minggunya berbeda-beda. Misalkan minggu pertama, Red Velvet, minggu kedua, Souffle, minggu ketiga Tiramisu, dan masih banyak lainnya.

“Apa menu spesial kita hari ini, Lang?” ucap Deeva pada salah satu koki kebanggaannya.

“Cupcake," singkatnya.

“Apa ada yang bisa gue bantu?” 

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut seorang Elang. Elang Adhyastha Abqari mempunyai kepribadian dingin, cuek, dan irit kalau bicara. Kalau saja dia bukan koki yang handal, mungkin Deeva sudah melemparnya jauh-jauh sejak dulu. Menghadapi seorang Elang, memang harus ekstra sabar. 

Deeva mengambil wajan untuk memanaskan gula-membuat karamel. Diambilnya gula yang berada di dalam lemari dan menuangkannya ke dalam wajan tak lupa pula api yang digunakan menyala kecil. Deeva sebenarnya tidak tahu menahu tata cara membuat karamel seperti apa, tapi yang jelas dia butuh pelampiasan untuk mengusir kebosanannya. Pada menit berikutnya, seseorang mengangkat wajan tersebut dan membuang isinya ke tempat sampah.

“Loh Lang, kenapa dibuang?” tanya Deeva kesal.

“Lo bodoh atau gimana sih! Karamel yang lo buat gosong!” ucap lelaki itu tak kalah seru.

“Ha?” hanya itu balasan yang keluar dari mulut Deeva. Gadis itu menatap Elang tidak percaya.

“Apa?” Elang membalas tatapannya dengan tajam. “Sudahlah lebih baik lo keluar dari dapur sekarang juga. Gue engga mau dapur gue jadi ancur berantakan.”

Deeva mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya sudah merah padam menahan amarah. Kalau saja bukan karna Elang, dia tidak akan berdiam diri, rela di maki ataupun diusir.

Dapurnya, katanya? Dapur punya gue kali.

***

“Lo serius?” gebrakan meja yang di gebrak Giska membuat seisi toko menoleh ke arah mereka berdua. Giska pun meminta maaf atas tindakannya yang sudah menggangu kenyamanan mereka.

“Lo kira gue bercanda?” ucap Deeva sambil memperlihatkan wajahnya yang badmood.

“Engga mungkin dia ninggalin lo gitu aja sendirian, gue tau dia kaya gimana.”

“Lo engga percaya sama gue? Oh come on ... faktanya semalem gue pulang sendiri.” 

Ya ... Deeva masih kesal soal kejadian semalem. Dan kini dia menceritakan semuanya pada Giska. Baginya ini sudah hal yang biasa menceritakan semua kisahnya tanpa ada yang ditutupi, begitu juga sebaliknya. Kejujuran, saling percaya, dan mengisi satu sama lain adalah hal yang paling utama dalam menjalin persahabatan. 

“Gue tau, dia engga bermaksud ninggalin lo. Pasti ada alasannya.”

Deeva menaikkan bahunya tak acuh. 

“Oh iya ... tumben jam segini lo ke sini, ada apa?”

“Tadinya gue mau ngajak lo liburan ke Bandung tapi kayanya lo sibuk banget,” ujar Giska sambil menyapu pandangannya ke penjuru ruangan toko kue milik Deeva yang ramai pengunjung.

“Ivan. Kenapa lo engga ajak pacar lo itu?”

“Dia udah di Bandung kemaren sore makanya gue mau nyusulin dia ke sana. Gue kangen banget gila sama dia. LDR itu ... kadang bikin nyiksa.”

“Pantes aja. Gue ikut deh, gue penasaran sama cowok lo itu.”

Deeva dan Giska dua sejoli yang tak jarang mengatur jadwal liburan di sela-sela kuliah. Bagi keduanya, liburan itu sangatlah penting mengingat tugas-tugas yang diberikan dosen membuat mereka pusing tujuh keliling. Hanya liburan lah yang dapat menjernihkan kepala mereka masing-masing.

Persoalan mengenai tokonya, dia sudah melimpahkannya kepada Elang ketika dirinya tidak berada di toko. Walaupun lelaki itu menyebalkan, satu-satunya orang yang dia percaya di tokonya adalah laki-laki itu. Bukan bermaksud suudzon terhadap orang lain, hanya saja dia lah orang yang paling tepat.

***

Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya berusaha menyesuaikan sinar terang yang masuk. Dia memijat kepalanya yang mendadak pusing sebelum akhirnya dia keluar dari mobil. Dilihatnya sang sahabat tengah sibuk memindahkan ransel dari mobil ke dalam villa. 

“Lo kenapa engga bangunin gue sih,” seru Deeva seraya mengambil alih ransel di tangan Giska.

“Gue engga tega. Lo pasti capek banget kan?”

Deeva hanya menganggukkan kepalanya. Benar apa yang dikatakan sahabatnya itu, bahwa dia kelelahan karena seharian tadi mengurusi tokonya yang ramai. Keduanya pun masuk ke kamar masing-masing. Villa itu milik mereka berdua yang di bangun setahun yang lalu. Dari pada membuang duit untuk menyewa villa setiap kali liburan, dua sejoli itu memutuskan membangun villa sendiri. Ya walaupun desainnya terlihat minimalis dan tidak bertingkat, kesan nyaman dan hangat terasa dominan di tempat itu.

Di villa itu, terdapat dua kamar tidur yang di dalamnya sudah terdapat kamar mandi, dapur yang sudah dilengkapi berbagai perabotan, beberapa pajangan foto berbingkai terpajang di sudut-sudut tertentu, serta terdapat taman di belakang villa. 

Deeva menghamburkan tubuhnya di kasur. Waktu menunjukkan pukul empat sore, masih ada waktu istirahat beberapa jam sebelum makan malam tiba. 

***

Wajah kusut itu, nampak tercetak di wajah Deeva. Dia masih tidak habis pikir, kenapa harus malam ini bukannya besok saja. Sebelumnya, Giska membangunkan perempuan itu dan  mengajaknya bersiap-siap untuk makan malam. Awalnya dia kira Giska delivery order, tapi dugaannya salah. Di sinilah keberadaan mereka sekarang-di salah satu restaurant terkenal yang ada di Bandung. Terlebih tidak hanya mereka berdua saja yang menikmati makan malam itu, melainkan dua orang laki-laki sudah menemani mereka. 

Ivan Gavriel Emery

Dan ....

Davine Azio

Lengkap sudah jamuan makan malam yang dia terima dengan hadirnya sosok laki-laki menyebalkan dalam hidupnya. Jujur, Deeva masih sangat kesal saat kejadian di mana malam reunian. Perempuan mana yang tidak kesal, jika ditinggal sendirian kemudian terjebak di dalam kerumunan orang asing. 

Setelah makan malam selesai, tidak ada topik seru yang diangkat sebagai pembicaraan mereka berempat. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ivan dan Giska memilih pindah berduaan di meja lain. Tinggal Deeva yang fokus bermain Mobile Legend di handphone miliknya. Sedangkan di sampingnya, Davine tengah mengaduk-aduk cangkir yang berisi kopi dengan sendok.

“Lo kenapa deh, Dav?” ucapnya begitu melirik laki-laki itu sedang melamun.

Laki-laki itu menyenderkan tubuhnya di badan kursi seraya berkata, “Kayanya gue mesti move on.”

Deeva mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Dia masih fokus dengan game barunya itu. Sesekali dia menggerutu karena tidak pandai memainkannya. Berulang kali dia mati dari lawan mainnya, berulang kali juga dia ingin membanting handphone-nya. 

“Menurut lo, gue mesti gimana?” 

Mendengar penuturan laki-laki itu lagi, Deeva membenarkan posisi duduknya menyamping.

“Yaudah, seperti yang lo bilang tadi, move on.”

Seolah tidak ada balasan dari laki-laki itu, Deeva kembali menatap layar handphone-nya. Belum sempat dia membuka kunci, handphone miliknya sudah dirampas lebih dulu oleh seseorang dan dibawa pergi.

***

Di sinilah keberadaan mereka sekarang, sebuah taman yang tak jauh dari restauran yang mereka kunjungi untuk makan malam tadi. Keduanya duduk bersama di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Di sekeliling mereka, tumbuh beberapa pohon-pohon besar yang sudah dihiasi dengan lampu-lampu kecil berwarna-warni. Juga dengan lampion-lampion yang terpasang di sudut-sudut taman. 

Rupanya malam ini adalah malam minggu. Pantas saja suasana di taman itu terbilang ramai dengan pasangan muda kebanyakan. Berdua bersama pasangan di iringi dengan canda tawa, makan es krim, melihat kembang api, atau pergi ke tempat-tempat spesial sudah menjadi hal umum bagi mereka untuk menghabiskan waktu malam minggu bersama. 

Lain halnya dengan Deeva sekarang, nasib sial seakan menghantui dirinya akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Semenjak hadirnya lelaki yang berada di sampingnya tak urung sesekali memancing emosinya. 

"Ck ... pasangan lebay," umpat Deeva ketika memandangi sepasang remaja sedang saling menyuapi es krim. 

Kekesalannya masih terus menjadi-jadi usai mendapati handphone-nya yang rusak. Ya, siapa lagi bukan karena lelaki itu yang merebut handphone-nya pada saat di dalam restauran tadi. Siapa lagi yang menjatuhkan handphone-nya hingga layarnya pecah? Davine Azio, tepat sekali. 

Tau akan hal itu, Davine berkata, "Lo iri? Bilang aja mau kaya gitu." mendengar penuturan lelaki itu, Deeva menoleh sinis. Menatap dengan tajam tanpa merespon pernyataan Davine. 

"Apa?" Ucap Davine seraya menatap balik gadis itu. Yang ditatap memalingkan wajahnya ke arah lain. Menyebalkan. 

Deeva menghembuskan napasnya yang berat. Entah apa lagi yang ingin dia lakukan sekarang, dia sudah tidak bernafsu. Niat awalnya ingin berlibur dan bersenang-senang di Bandung kali ini, sepertinya rusak. 

Dia kembali memandangi pasangan tersebut yang sedang tertawa bersama. Entah karena sebuah lelucon yang dilontarkan sang laki-laki atau karena hal lain Deeva tidak tahu. "Bagaimana bisa mereka berdua tertawa bersama, sedangkan ada kemungkinan salah satu dari mereka akan menyakiti dan terluka?" Pikir Deeva dalam hati. 

Deeva menoleh ke samping kanannya alih-alih ingin mengetahui apa yang sedang lelaki itu lakukan. Namun, sosoknya hilang entah ke mana seperti ditelan bumi. "Ninggalin, lagi?" Ucap Deeva seraya memutar kedua bola matanya karena geram. Untuk kedua kalinya dia ditinggalkan sendirian tanpa adanya alasan yang jelas. Belum lagi tak ada sedikitpun kata-kata maaf yang terucap di mulut lelaki itu. Seakan-akan perbuatan yang dilakukan lelaki itu padanya selalu benar. 

Udara di sekitar taman mendadak dingin. Deeva menggosok-gosokkan kedua punggung tangannya untuk menciptakan kehangatannya sendiri. Padahal dia sudah memakai baju berlengan panjang juga celana jeans panjang. Dia mendongakkan kepalanya ke atas, berharap langit malam bercahaya dengan jutaan bintang. Namun, nihil. Tak ada satu pun bintang yang tampak di atas sana. Hanya cahaya bulan yang tetap setia menerangi setiap kehidupan malam manusia. 

"Nih, buat lo." Seseorang menyodorkan sesuatu untuk Deeva tepat di depan wajahnya. Saat itu juga Deeva mengarahkan kepalanya ke objek tersebut. 

Deeva tersenyum miring seraya mengatakan, "Lo mau nyogok gue?" Deeva menyipitkan matanya sambil menatap lelaki itu dengan tajam. Yang ditatap kembali mendaratkan tubuhnya di kursi-samping kanan Deeva. 

"Engga. Gue cuma kasian, lo bakalan ngiler." Davine kembali menyodorkan es krim tersebut. Dengan harap Deeva mengambil dan memakannya. 

"Dari pada lo ngasih gue es krim, lebih baik traktir gue minum kopi." 

Deeva berdiri dari duduknya tanpa mengambil es krim pemberian Davine. Kedua kakinya melangkah pergi meninggalkan taman. Entah kemana arah tujuannya, asalkan sepanjang hari tidak bersama lelaki itu. 

Saat berjalan, dia sesekali mendesah kala mengamati benda persegi panjang miliknya yang rusak. Sejak SMA dia tidak pernah menggantinya dengan yang lain. Meskipun miliknya sudah versi android itu pun kelewat jadul mengingat setiap tahunnya ada banyak sekali perusahaan handphone memproduksi barang yang baru dan lebih canggih. Alasan mengapa dia tidak menggantinya karena benda itu hadiah pemberian dari seseorang. Seseorang yang pernah mengisi kekosongannya. Tapi itu dulu, sebelum seseorang itu mematahkan hatinya dan pergi meninggalkannya. 

Apa sudah waktunya dia menggantinya? Apa sudah waktunya dia membuka gembok itu dengan kunci yang lain? 

Tiba-tiba saja kepalanya menjadi pusing jika memikirkan hal itu. Alangkah lebih baik jika dia tidak menggali lebih dalam terkait dengan sesuatu yang terlampau lama dia kubur. 

Dia memasukkan kembali benda itu ke dalam saku celananya, kemudian melanjutkan berjalan melewati beberapa toko-toko yang masih buka. Di antaranya seperti toko buku, kedai makanan, restaurant siap saji, kedai es krim dan yang terakhir dia lihat adalah kedai kopi. 

Deeva menghentikan langkahnya dan diam berdiri di depan kedai tersebut. Kedua bola matanya mengamati desain kedai itu di setiap sudutnya dari luar. Desain interiornya dominan menggunakan kayu. Belum sempat menelaah lebih jauh, lengannya sudah ditarik lebih dulu oleh seseorang memasuki kedai itu. "Hei," seru Deeva kesal karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. 

Kemudian seseorang itu menjatuhkan tubuh Deeva di kursi yang sudah di pilihnya-dekat dengan jendela. Sedangkan seseorang itu mengisi kursi yang ada di hadapan Deeva. "Lo udah gila, apa ya?" 

"Lebih gila mana, berdiri di depan sambil liat-liat nih kedai sampai mati penasaran," ejek Davine seraya tertawa kecil. Sementara Deeva mengerjapkan kedua matanya tak percaya bahwa Davine mengekorinya di belakang. 

Davine membolak-balikkan daftar menu setelah seorang pelayan menyodorkannya. Lain halnya dengan Deeva, tak perlu lagi dia membuka dan memilih menu yang ada di daftar, dia sudah tau menu apa yang akan dia pilih.

"Ada yang ingin di pesan?" ucap pelayan yang masih setia berdiri di hadapan mereka berdua. Tentunya dengan membawa pulpen dan kertas. 

"Vanilla Latte," jawab keduanya berbarengan.

Deeva tidak menyangka kopi yang dipesan lelaki itu sama dengan dirinya. Menurut Deeva lelaki seperti Davine diluar sana, kebanyakan memilih kopi yang pahit-pahit, seperti Black Coffee atau Caramel Macchiato.

"Um ... begini saja_" Davine menempelkan telunjuk dan ibu jarinya di dagu. Dia sedikit menimang-nimang kalimat apa yang dilontarkan selanjutnya. "Black Coffee, satu. Vanilla Latte, satu." Pelayan itu melengos pergi usai mencatat serta membaca ulang pesanan yang dipesan oleh mereka. 

Deeva mengernyitkan dahinya. 'Kenapa dia mengubah pesanannya?' Itulah yang ada di pikiran Deeva sedari tadi. Diliriknya lelaki itu sedang sibuk dengan handphone-nya. Ada kemungkinan lelaki itu ingin meminum yang lain. Ya, Deeva berusaha tidak berpikiran yang aneh-aneh. Tapi, tanpa Deeva sadari lelaki itu memang merencanakan sesuatu untuk menjahilinya. 

Davine meraih kedua kopi tersebut setelah pelayan kembali ke meja mereka untuk menyuguhkannya. Davine menepuk tangan Deeva yang ingin mengambil Vanilla Latte yang jelas kesukaannya. Lelaki itu, tidak segan-segan melarang Deeva menyentuh bahkan mengambilnya.

"Lo apa-apaan sih, Dav. Siniin engga! Keburu dingin kopi gue," ketus Deeva. Davine tak mempedulikan ucapan Deeva barang sedikit pun. Justru dia menjauhkan kedua kopi tersebut dari jangkauan Deeva. 

Sumpah demi apapun, Deeva mulai jengah. "Mau lo apa sih, Dav?"

***

Deeva berjalan melewati pagar dan tak lupa pula menguncinya. Dia sama sekali tidak peduli dengan lelaki yang semalaman ini bersamanya. Andai kata seperti angin, begitulah anggapannya. 

"Gue nyariin lo tau engga! Kemana aja sih?! Hp lo juga kenapa engga aktif?" Serentetan pertanyaan menghujani Deeva saat menemukan Giska berada di depan pintu. Rupanya Giska tengah menunggunya pulang. 

Langkah kaki Deeva terhenti kemudian menengokkan kepalanya ke belakang tepat di mana lelaki itu masih diam di tempat lalu beralih ke arah Giska. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Deeva. Bukan bermaksud mengabaikan, hanya saja mood-nya sedang jelek. 

Deeva menghirup udara lalu dikeluarkannya dengan berat sebelum akhirnya dia menyeret kakinya masuk ke dalam villa. Giska menatap sahabatnya itu heran lalu bertanya pada Davine apa yang sebenarnya terjadi. Davine menjawabnya dengan menaikkan bahunya. 

Deeva tidak langsung ke kamarnya melainkan menuju ke dapur. Dia membuka kulkas serta mengambil es jeruk yang ada di botol tuperware. Lalu dia menuangkannya ke gelas bening dan menenggak dalam satu tenggakkan. Kering di lidah sampai tenggorokannya yang semula dia rasakan perlahan menghilang. Persetan dengan lelaki itu!. 

Dia menuangkan kembali es jeruk untuk yang kedua kalinya serta menenggaknya. Kalau ditanya kenapa dengan Deeva, apa yang terjadi padanya, siapa pun tau akan jawabannya. Deeva meletakkan gelas tersebut dengan keras di meja dapur. Pertemuan suara gelas dan meja terdengar nyaring di telinganya. Tubuhnya dia sandarkan pada meja serta-merta melipat kedua tangannya di dada. 

Otaknya lagi-lagi berputar mengingat ketika kejadian di kedai kopi tadi. Dia tidak habis pikir, kenapa Davine malah mengajaknya bermain-main. Andai saja dia tidak dalam satu ruangan bersama Davine, kopi kesukaannya tentu sudah diminumnya. 

Sumpah demi apapun, Deeva mulai jengah. "Mau lo apa sih, Dav?"

Davine menaikkan sebelah alisnya begitu juga senyum miring tercetak di wajahnya. Seketika Davine menyeret kursinya agar lebih dekat dengan Deeva. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajah Deeva. Napas Deeva tercekat begitu pula tubuhnya terasa kaku. Apalagi ini!

"Lo liat om-om di sana kan?" Davine berbisik di telinga Deeva. Dekat, sangat dekat. Hingga aliran darah Deeva tersendat seperkian detik. Deeva memalingkan wajahnya menuju objek yang di maksud oleh Davine. Dia pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Kalo lo berhasil dapetin nomor Hpnya, tuh kopi buat lo." 

Deeva tertawa seraya menjauhkan wajah Davine. "Terus lo ngapain?" 

"Gue akan ngelakuin hal sama ke tante-tante yang di pojok sana," ucap Davine sambil menunjukkan hal yang di maksud menggunakan dagunya. Deeva menggerakkan kepalanya sedikit, dilihatnya wanita bertubuh gempal dengan perhiasan di mana-mana serta make up yang berlebihan. 

"Sekarang bukan waktunya untuk bercanda, Dav." Deeva kembali menatap Davine yang sedang menatapnya juga. "Hanya anak-anak yang mau melakukan hal konyol seperti itu," lanjutnya. 

"Jadi, lo takut?" Davine kembali mendekatkan wajahnya. "Ck ... kalah sebelum perang. Payah lo."

Deeva menggebrak meja seraya berdiri dari kursinya hingga seluruh pasang mata yang di kedai itu menatapnya bak pertunjukkan teater. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan sekitar. Fokusnya cuma satu, yaitu lelaki yang ada di depannya. 

"Lo pikir gue mau? Engga!" Deeva langsung pergi keluar kedai setelah mengucap kalimat terakhirnya. 

Seperti itulah kejadian menyebalkan yang dialaminya di kedai. Padahal sebelumnya dia sudah membayangkan rasa dari kopi kesukaannya saat memimumnya. Belum lagi suasana kedai yang terbilang nyaman dengan banyaknya elemen kayu yang digunakan sebagai desain interior. Tentunya bukan itu saja, beberapa petuah kopi banyak tersebar di pintu, tembok, buku menu, dan di tempat-tempat tertentu lainnya. Ada salah satu petuah kopi yang menarik bagi Deeva yaitu, 'Pahitnya kopi tidak sepahit hatimu'.

Deeva tersenyum getir. Apa benar? Sepertinya memang benar, kenyataannya hatinya lebih pahit dari kopi-kopi yang pernah dia coba.

Deeva menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh mengingatnya lagi, tidak boleh. Baik sedikit maupun menyeluruh. Sebab lubang yang semula dia tutup, jika tergali lagi, tidak mungkin tidak dia akan terseret ke dalam lubang itu, lagi. 

 

Tags: bulbas35

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tarian Sang Binar
12      12     0     
Short Story
Binar adalah salah satu penari dari sanggar pelita. Ia gadis yang sangat gigih pada apa yang ia mimpikan. Untuk mengapai mimpinya tidaklah mudah, ia harus melalui jalan yang penuh lika-liku untuk menggapainya. Ia gadis yang ingin menjelaskan pada dunia tentang indah dan beragamnya budaya Indonesia.
Cerita Ameera
11      11     0     
Short Story
Ameera diperintahkan oleh sang ketua kelas untuk ikut lomba cipta puisi untuk acara anniversary sekolahnya. Namun ternyata takdir berkehendak lain. Ameera tak hanya mengikuti lomba cipa puisi namun juga yang lain dan itu membuatnya murka. mau tidak mau Rangga harus ikut andil dalam membatu Ameera dengan hati yang ikhlas.
Fall in Love with Yogyakarta
12      12     0     
Short Story
Luna adalah seorang anak kota yang harus tinggal di Yogyakarta. Ia harus bisa beradaptasi di sana. Parahnya, ia hanya tinggal bersama Bude dan sepupunya!
Aku, Bahasa, dan Budaya Indonesia
10      9     0     
Short Story
Seorang anak lelaki yang menyadari bahwa keren tidak selalu menggunakan bahasa dan budaya asing
12 Jam di Kota Kenangan
7      7     0     
Short Story
Pernahkah kau mengira kalau suatu pengalaman bisa mengubah pandanganmu akan suatu hal?
Delia dan Buku Obat
10      10     0     
Short Story
Delia sang cucu sesepuh suku Baduy yang orang tuanya meninggal karena diserang sekawanan singa. Akhirnya ia tinggal bersama sang nenek. Delia diminta oleh sang nenek untuk mencari buku tentang obat tradisional. Tapi disana ia mendapatkan pengalaman yang tidak disangka sangka.
CINTA INDONESIA
12      12     0     
Short Story
Tidak peduli seberapa kerennya budaya negara asing, aku tetap mencintai Indonesiaku.
Sari Si Penari Ronggeng
10      10     0     
Short Story
Karena menari ada didalam nadi saya
Kamu Lihat Aku, Aku Lihat Kamu
15      15     0     
Short Story
Mata digunakan untuk menatap. Menatap keindahan dunia. Menatap untuk memperkenalkan. Terutama menatap menjadi kekaguman lalu terikat sebuah persaudaraan antara mata dengan mata lainnya. Seperti yang dialami Ni Made Shaliha bersama teman-teman yang mengalami pengalaman berkesan karena negara mereka dikagumi oleh negara lain. Ya, semua berawal dari tatap lalu muncul kekaguman dari negara mereka lal...
Daerah Wisata di Jakarta
10      10     0     
Short Story
Beberapa kawasan wisata di Jakarta dan Sejarahnya.