Read More >>"> Pertualangan Titin dan Opa (Si Upik Abu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pertualangan Titin dan Opa
MENU
About Us  

 

Titin menatap lekat wajah tampan yang tengah terpejam, masih tak percaya pada cerita kakeknya tentang peristiwa di bus tempo hari.  Pemuda yang tengah tak sadarkan diri itu tidak tampak seperti orang jahat. Sempat terjadi perdebatan kemarin malam untuk memutuskan merawat si pemuda atau menyerahkannya pada pihak berwajib. Shafa dan Ajeng tak ingin mengambil resiko berkeras untuk menyerahkannya pada pihak berwajib. Sementara itu, Titin dan Dzakkya tak ingin tergesa-gesa dan berkeras hendak merawat si pemuda. Setelah kondisi pemuda itu membaik, barulah nanti akan dinterogasi. Dzakky yang awalnya tak ingin berpendapat karena posisinya sebagai tamu dipaksa memberikan suara. Meskipun sebenarnya lebih condong pada pendapat Shafa dan Ajeng, dia luluh oleh tatapan penuh harap Dzakkya.

Sepasang mata terbuka perlahan membuat Titin tersentak. Dia berlari panik memanggil anggota keluarga yang lain. Tak lama hingga Dzakkya dan Shafa memasuki kamar. Dzakky masuk belakangan sementara Ajeng sudah pulang ke rumahnya di kota. Dzakkya duduk di samping tempat tidur, menatap si pemuda dengan lembut. Shafa ikut menatap dengan curiga.

“Akhirnya, kamu sudah sadar, Nak.”

“Di-dima-na saya?” tanya si pemuda dengan terbata.

“Bukankah lebih sopan jika kamu memperkenalkan diri lebih dulu?” sindir Shafa.

Wajah ibunda Titin itu tampak sinis membuat sang pemuda merasa tak enak hati. Dia memasang wajah sungkan. Dzakkya menyikut Shafa, memberi sinyal agar sang putri bersikap lebih hangat.

“Ah maaf, nama saya Luthfi. Saya terluka setelah mendapat serangan dari android kepolisian.” Luthfi meringis. Lukanya masih basah. Mendengar hal tersebut membuat senyum Shafa menjadi semakin sinis. Dzakky bahkan ikut memasang tampang curiga.

“Oh, jadi benar kamu hacker yang telah mengacaukan sistem permerintah,” cecar Shafa tanpa ampun.

Embusan napas berat terdengar samar. Wajah Luthfi mendadak mendung. Luka hati yang ditorehkan lelaki yang dulu amat dibanggakannya terasa amat perih. Luka yang telah lama mengering itu seolah terbuka kembali. Entah kenapa melihat mata yang berkaca-kaca itu, Titin merasa terenyuh. Titin merasakan kerinduan dalam seorang anak pada sosok ayah di sepasang mata milik Luthfi, seperti yang selalu dirasakan Titin.

“Ya, benar. Saya juga anak tunggal dari Mr. Presiden kejam itu,” gumam Luthfi sendu. Shafa mengerutkan kening. “Ah ya, saya lupa kalian begitu hormat dan bangga padanya,” ucap Luthfi sinis. “Apa kalian tahu kalau desa ini hampir saja hancur berkeping-keping karena ulahnya?”

“Apa maksud kamu?”

“Mr. Presiden yang terhormat menembakkan rudal ke sini. Sayang sekali, rencananya gagal karena aku meledakkan rudalnya di udara.”

Kini, Lutfhi yang tersenyum sinis. Shafa yang awalnya sedikit penasaran dengan cerita Lutfi tentang presiden mendadak kesal. Dia tak bisa mempercayai ucapan tak masuk akal pemuda asing tersebut.

“Kamu jangan mengada-ada ya! Mana mungkin presiden yang begitu menyayangi rakyat melakukannya! Buat apa coba beliau melakukannya?” protes Shafa ketus. Luthfi kembali mengembuskan napas berat.

“Desa kalian menolak modernisasi. Kalian hidup secara tradisional tanpa teknologi. Bagi Mr. Presiden yang terhormat desa kalian bagaikan kegagalan ditengah-tengah keberhasilannya yang gemilang.” Shafa tak tahan lagi. Dia mencengkeram kerah baju Luthfi dengan kesal.

“Kamu benar-benar keterlaluan!”

“Shafa, diamlah! Pemuda ini berkata benar.”

Shafa melongo. Perlahan tangan keriput Dzakkya melepaskan cengkeraman putrinya. Dia juga memeriksa luka sang pemuda, khawatir tindakan Shafa tadi memperparah luka di abdomen Luthfi. Sementara itu, Shafa menatap sang ibu lekat, meminta penjelasan. Bukan hanya Shafa, Titin dan Dzakky pun turut memandangi Dzakkya. Embusan napas berat ke luar dari bibir sang nenek.

“Ibu?” desak Shafa.

“Oma?” Titin turut merengek.

“Aku melihat ledakan itu,” gumam Dzakkya untuk kemudian menceritakan pengalaman mengerikan yang dialaminya beberapa hari lalu.

Dzakkya baru saja pulang dari sebuah hajatan di rumah tetangga. Ingin merasakan nostalgia, dia memilih jalur tak biasa, sebuah jalan setapak sepi dengan bunga-bunga liar di kiri kanannya. Taman bunga alami itu hanya berjarak beberapa meter dari laut. Dulu, Dzakky sering mengajaknya jalan-jalan di tempat itu.

Dzakkya sempat berhenti untuk memetik sekuntum bunga favoritnya. Baru saja tangannya menyentuh tangkai bunga, sebuah benda hitam berkecapatan tinggi dari arah Timur menuju ke arahnya. Tubuh Dzakkya terasa membeku. Namun, hanya dalam beberapa detik benda hitam itu berbelok ke arah laut dan meledak ketika berada pada jarak aman di tengah laut. Lutut Dzakkya serasa lemas. Dia seketika terduduk di antara tarian tangkai-tangkai bunga.

Shafa dan Titin menatap tak percaya. Mulut mereka masih terbuka lebar saking syoknya. Sementara itu, Dzakky menggemeratakkan giginya penuh amarah. Dia selalu kesal pada makhluk-makhluk penuh ambisi. Dzakky tak pernah lupa dirinya pun pernah difitnah dan hampir dipenjara karena menolak permintaan pembuatan senjata pemusnah masal.

“Terima kasih membelaku nenek yang baik hati.” Luthfi mencoba bangkit. Dia menggigit bibirnya menahan perih. Namun, tenaganya belum cukup. Tak dapat dicegah tubuh penuh luka menghempas kasur. Perih pada lukanya terasa berkali-kali lipat.

“Kamu mau kemana, Nak? Lukamu masih belum kering,” pekik Dzakkya cemas.

“Aku tak bisa di sini, Nek. Aku bisa membahayakan kalian jika terus di sini.”

Shafa menjadi merasa bersalah. Dia mendadak menahan tubuh Luthfi yang masih berkeras hendak bangkit tak peduli perih lukanya semakin menjadi. Mata Shafa memelototi anak muda di hadapannya. Luthfi seketika mengkerut dan berhenti memberontak.

“Pokoknya kamu di sini sampai sembuh!” perintah Shafa.

“I-i-ya, Nyo-nya,” sahut Luthfi terbata-bata. Keringatnya bercucuran perlahan. Pelototan Shafa terasa lebih menyeramkan daripada kepungan puluhan android keamanan yang mengejarnya tempo hari.

Aishh emak-emak memang paling seram ....

***

Suara bersin Titin terdengar beberapa kali. Debu-debu yang berterbangan rupanya berhasil menelusup ke dalam rongga hidung bertutup masker. Titin memang tengah membantu sang kakek menata kembali laboratorium pribadi yang berantakan. Gadis muda itu diberi tugas untuk menyapu lantai dengan debu setebal 3 sentimeter. Sementara itu, Dzakky membuang pecahan alat gelas-gelas kimia.

Titin sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya ketika Dzakyy masuk ke dalam ruangan. Perut Dzakky terasa digelitik melihat keadaan cucunya. Tubuh Titin diselimuti debu hingga kaos biru mudanya menjadi lebih bervariasi dengan gradasi abu-abu. Tawa Dzakky pun pecah.

 “Kamu sudah mirip upik abu,” ledek Dzakky.

Titin terdiam seketika. Tangannya gemetar hebat. Sapu di tangan terlepas menghempas lantai, menimbulkan bunyi keras. Tubuh menggigil. Suara-suara sumbang yang tak jelas seolah menggaung di telinga. Lutut Titin terasa lemas. Dia jatuh terduduk di tumpukan debu.

Dzakky terperanjat, menghentikan tawanya secara mendadak hingga terdengar seperti ringkikan kuda. Dia segera menghampiri cucunya, merasa bersalah meski tak mengerti kenapa Titin bersikap aneh.

“Titin? Titin kamu baik-baik saja?”

Dzakky mencoba mengukur suhu badan cucunya dengan telapak tangan. Tubuh Titin justru terasa dingin meskipun keringatnya bercucuran. Wajah pucat pasi. Sepasang mata hanya mentap hampa. Dzakky hampir saja menggendong Titin untuk melarikannya ke rumah sakit. Titin tersadar ketika merasa malu melihat Dzakky hendak menggendongnya dengan gaya bridal style.

“Opa mau ngapain?”

“Membawamu ke rumah sakit.”

“Aku ‘kan nggak sakit!” protes Titin. Keduanya terdiam. Dzakky menatap penuh selidik. Titin mengerucutkan bibirnya. “Ih! Opa nggak percayaan banget sih. Aku baik-baik saja. Sehat wal afiat!” seru Titin sambil menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan layaknya orang yang sedang senam kebugaran jasmani.

 “Dasar kamu ini, membuat kaget saja,” gerutu Dzakky sambil mengacak-acak rambut Titin. Sang cucu menyengir lebar. Dzakky tersentak ketika melihat goresan luka  samar dalam tatapan riang Titin.

Tapi, aku tahu ada yang kamu sembunyikan, Titin ....

“OPA!”

Dzakky terlonjak. Wajah kesal Titin menyapanya. Mata Dzakky langsung memelototi gadis itu. Sementara itu, tangannya refleks menjewer telinga Titin. Sang cucu pun meringis-ringis. Dzakky tak peduli.

“Untung saja aku belum jadi kakek-kakek beneran! Kalau tidak, bisa kena serangan jantung! Mau jadi cucu durhaka kamu?”

“Opa tuh yang durhaka. Dari tadi melamun saja, masa aku bersihin sendiri!” protes Titin sambil menunjuk-nunjuk laboratorium yang hampir selesai dibersihkannya selama Dzakky merenung.

“Iya iya maaf!” tukas Dzakky seraya berjalan santai ke arah mesin waktu.

Titin memasang wajah cemberut. Dzakky tak ambil pusing, malah sibuk melepas mur pada mesin waktunya. Titin menghampiri sang kakek yang kini memasukkan sebuah chip ke dalam mesin waktu. Dzakky mendapatkannya dari Profesor Shela.

Desingan terdengar selama beberapa menit. Layar proyektor muncul setelah berkedip tiga kali. Jemari Dzakky menari lincah di atas layar. Sesekali dirinya menggigit ujung jari. Titin melirik, tak berani melakukan interupsi. Tulisan eror beberapa kali pada layar membuat wajah antusias Dzakky perlahan memudar.

“Seandainya ada dia ...,” gumam Dzakky lirih.

“Dia siapa Opa?” tanya Titin takut-takut.

“Joshua, sahabatku yang membuat cetak biru mesin waktu ini. Sebenarnya, kami akan membuatnya bersama. Tapi, Hani, istrinya mendadak sakit. Dia memintaku melanjutkan proyek ini seorang diri.”

Titin berpikir sejenak. Entah kenapa nama Joshua terasa tidak asing baginya. Gadis itu mencoba menyelami kembali ingatannya. Titin tersentak. Dia ingat! JH Entertainment agensi yang mendebutkan Sung Jae merupakan singkatan dari Joshua Hani. Menurut media, sang pemilik agensi itu pernah menjadi ilmuwan dan pembuat senjata terbaik di masanya.

“Aku tahu di mana sahabat Kakek!” seru Titin. Dzakky melongo. Titin dengan gesit membuka aplikasi ponselnya, mencari gambar pemilik JH Entertainment. “Ini, Kek! Sahabat kakek pemilik agensi tempat debut Sung Jae.”

Dzakky mengerutkan keningnya. Dia merasa lelaki tua berpenampilan klimis dalam foto yang ditunjukkan Titin tidak mirip dengan sahabatnya. Seingat Dzakky, Joshua adalah pemuda bertubuh tegap dengan senyuman riang. Namun, wajah lelaki di foto terlihat kaku dan dingin.

“Dia tidak terlihat seperti Joshua.”

Titin menepuk keningnya sembari bergumam gemas, “Kakek, ini sudah 50 tahun. Jadi, jangan berpikir wajah sahabat kakek masih sama ya?”

Wajah Dzakky memerah. Fisiknya yang masih sama seperti 50 tahun silam membuatnya lupa bahwa orang-orang di sekitarnya telah banyak berubah.  Titin mengembuskan napas berat.

“Tapi, Pak Joshua itu sangat sulit ditemui.”

“Tak apa, Tin. Nanti saja kita pikirkan. Mungkin lebih baik kita fokus untuk membuat senjata melawan naga berikutnya. Kita tak mungkin berharap naga berikutnya akan jatuh cinta padamu lagi kan?”

“Ih Opa!” seru Titin sembari melempar kemoceng pada sang kakek.

Dzakky menangkap kemoceng dengan gaya seorang agen intelejen, membuat titin mau muntah. Sang kakek terkekeh untuk kemudian mengeluarkan botol-botol kaca dari kardus dan menyusunnya di lemari. Bibirnya bersenandung riang, tampak senang mendapat bahan-bahan kimia gratis dari Profesor Shela. Meskipun sambil menggerutu, Titin ikut membantu Dzakky.

***

Titin menemani Luthfi sarapan. Tiga hari berlalu sejak pemuda itu dirawat di rumahnya. Luka Luthfi juga berangsur sembuh meskipun belum bisa bangkit dari tempat tidur. Umur yang sebaya membuat keduanya cepat menjadi akrab. Seperti hari ini, mereka cekikikan ketika Luthfi memperlihatkan beberapa video di ponselnya, kejahilan-kejahilan Luthfi dengan kemampuan hackernya.

Mata Titin langsung terbelalak lebar begitu layar ponsel Luthfi menunjukkan mobil mewah berwarna hitam. Jenis keluaran terbaru dengan fasilitas terbaik. Mobil dua pintu itu bahkan memiliki senjata rahasia dan mode menghilang. Bibir Titin tak henti berdecak kagum.

“Wah keren banget Luth!” puji Titin. Matanya tak lepas dari layar ponsel.

“Ini sih sogokan dari Mr. Presiden yang terhormat agar aku mau bergabung dengan badan intelejennya.” Luthfi tersenyum nakal. “Kuambil mobilnya terus kabur.” Titin menatap tak percaya. Luthfi tertawa lepas. Namun tak lama, luka di perutnya terasa perih.

“Dasar anak durhaka!”

“Anak durhaka dari presiden yang durhaka pada rakyatnya,” timpal Luthfi.

Titin menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakkan lidah. Luthfi menyengir lebar. Wajah jahilnya membuat Titin gemas. Tangan gadis itu hampir saja menarik kuping pemuda di hadapannya ketika pintu dibuka dari luar. Titin cepat menurunkan tangan yang hampir mendarat di telinga Luthfi begitu melihat ibu dan kakeknya memasuki kamar. Shafa menatap penuh selidik membuat sang putri menjadi salah tingkah.

“Ada apa, Bu?” tanya Titin cepat-cepat tak mau mendapat interogasi dari sang ibu.

 “Ada undangan buat kamu, Tin,” jawab Shafa sambil menyodorkan selembar undangan. Titin meraihnya dengan tangan kanan. “Ibu mau ke dapur lagi membantu nenekmu memasak.”

Shafa melangkah ke luar kamar. Matanya menatap Luthfi tajam membuat sang pemuda menelan ludah berkali-kali. Sepasang mata indah itu seolah berkata “berani macam-macam pada putriku, kusate kamu.” Sementara itu, Titin mengamati undangan di tangannya dengan alis terangkat.

 “Hmm ...,” gumamnya lirih. Titin memasang wajah malas. “Ah, undangan nggak penting!” ketus Titin sambil melemparnya ke tempat sampah.

Dzakky melongo untuk kemudian menatap sang cucu meminta penjelasan. Titin malah mengangkat bahu. Gadis itu pun kembali menghampiri Luthfi. Namun, Dzakky melihat hal yang tak biasa di mata Titin meski hanya sekejap. Dia pun berjongkok mengambil undangan dari tempat sampah dan membacanya dengan seksama.

Reuni SMA? Meski sekilas, tadi aku bisa melihat amarah di mata Titin. Apakah hal buruk menimpanya semasa SMA?

Titin telah duduk manis di samping Luthfi, sibuk membahas mobil mewah. Pemuda itu memang bermaksud meminta tolong untuk menjemput mobilnya. Saat kabur, Luthfi menyembunyikan mobil tersebut di balik karang.

“Tenang saja Luth, besok kami akan menjemput mobilmu.”

“Makasih ya, Tin,” ucap Luthfi tulus.

***

Dzakky membuka perlahan pintu kamar Titin untuk kemudian mengendap-endap  menuju tempat tidur. Tangannya mengenggam spidol hitam. Bibir menyeringai jahil. Lelaki itu memang berniat membalas perbuatan usil Titin padanya tadi siang. Sang cucu mengambari wajahnya dengan spidol saat Dzakky tidur siang.

Dzakky sempat melirik jam dinding sebelum membuka tutup spidol, pukul 01.00 dini hari. Aroma khas tinta spidol tercium ketika tutup terbuka. Spidol hampir mendarat di wajah Titin. Namun, Dua bulir air mata di pipi sang cucu membuat Dzakky menghentikan tindakannya. Dia terdiam dalam waktu lama hingga sebuah ide muncul di benaknya. Dzakky merogoh saku celana, mengeluarkan benda bulat kecil dan meletakkannya di kening Titin. Benda itu dengan cepat masuk ke dalam kulit. Dzakky segera membuka layar ponselnya. Tak lama hingga dirinya dapat menyaksikan rekam masa lalu yang menganggu tidur cucunya.

Gadis manis berkacamata tebal berjalan menunduk sembari mencengkeram kuat tali tas ransel. Seragamnya mulai basah oleh keringat. Wajah manis tampak memucat. Helaan-helaan napas berat berderu. Embusan napas lega keluar dari bibirnya ketika berhasil melewati seorang gadis berpenampilan modis. Dia memang tengah menghindari primadona sekolah tersebut. Namun, kelegaannya tak bertahan lama karena si kacamata justru menabrak gadis berpenampilan modis lainnya.

“Dasar culun! Kalau jalan pakai mata!”bentak gadis berambut sebahu yang ditabraknya. Gadis berkacamata menggigit bibir begitu melihat sang primadona yang hendak dihindarinya kini mendekat dengan seringaian di wajah.

“Padahal sudah punya empat mata ya, Kat?”sindir sang primadona. Rambut cokelat sepinggangnya dikibaskan dengan elegan. Tangannya menyentuh dagu si kacamata. Sorot mata mengancam. “Kamu pikir bisa lolos setelah mempermalukanku hah!”

“Ayo kita hukum dia, Dona!”

Gadis berambut sebahu dan sang primadona menyeret si kacamata tebal menuju halaman belakang sekolah. Tak lama kemudian, keduanya melempar gadis malang itu ke dalam gudang tua dan menguncinya dari luar. Gadis berkacamata hanya bisa menangis pilu. Lama dirinya larut dalam kesedihan hingga akhirnya pintu gudang terbuka perlahan. Wajah tampan seorang pemuda menyambutnya.

“Kamu tidak apa-apa?” seru si pemuda cemas.

“Ah-ya-a-ku ba-ik-ba-ik sa-ja.” Hening merayap perlahan. ‘Terima kasih. Kenapa kamu menolongku?” tanya gadis berkacamata ragu.

Dia mengenal pemuda itu sebagai pangeran sekolah. Namanya Indra. Indra memiliki adik yang merupakan teman satu geng Dona dan Katty. Indra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kepalanya menunduk.

“Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu.” Gadis berkacamata tersentak.. Dia berusaha berpikir logis namun gagal akibat pesona senyuman nan menawan.

Dzakky mengepalkan jemarinya. Wajah terasa panas. Jantung berdetak lebih cepat dari ritme normal. Setelah mengatur napas sejenak, dirinya merasa sedikit lebih tenang. Dzakky kembali menggeser-geser kursor di layar ponsel untuk menampilkan bagian lain dari rekam masa lalu Titin.

Gadis berkacamata tersenyum malu-malu. Tangannya mengenggam erat hadiah yang akan diberikan pada Indra. Dia pun tak menyangka pemuda tampan itu bersedia menjadi pacarnya. Wajah si gadis semringah ketika melihat Indra duduk santai bersama teman-temannya. Dia hampir memanggil sang kekasih ketika pembicaraan tak mengenakan menusuk-nusuk gendang telinga.

“Gila kamu, Ndra! Makhluk aneh begitu dipacarin!” tukas Max, karib Indra.

“Emang aku nganggap dia pacar? Dia cuma babu baruku.” Indra terkekeh. Gadis berkacamata mengepalkan jemarinya.

“Kak Max ketipu juga. Nggak mungkinlah Kak Indra mau sama alien macam dia. Kak Indra sih cocoknya sama Kak Dona,” tukas Indri, adiknya Indra.

Gadis berambut ikal itu memeluk manja lengan si gadis berambut cokelat. Dona, Sang primadona sekolah itupun seketika merona. Katty, si gadis berambut sebahu, menyikut Dona, menggoda sahabatnya. Gadis berkacamata menggigit bibirnya.

“Yah lumayanlah, ada yang ngerjain PR atau menggantikanku tugas piket.”

“Dia juga mau bawain belanjaan aku loh.” Indri tertawa lepas.

Buliran bening menuruni pipi si kacamata tebal. Dia tak tahan lagi. “INDRA!”jeritnya frustrasi.

“Owoww kamu ketahuan, Ndra,” ledek Max. Indra terkekeh.

“Emang penting? Masih banyak yang ngantri jadi babu.”

“Aku jadi ada ide!” celetuk Katty. Kawan-kawannya tersenyum jahil. “Kayaknya bagus deh kalau kita panggil dia si upik abu,” tukas Katty.

Dzakky menatap sendu wajah muram Titin. Gadis itu tidur dalam kegelisahan. Dzakky merapikan selimut polkadot yang membungkus tubuh Titin. Tangannya mengusap lembut kepala cucunya.

“Jadi, itu alasanmu tak suka disebut Upik Abu,” gumam Dzakky lirih sebelum kembali melanjutkan menonton rekam masa lalu.

Gadis berkcamata tebal melangkah dengan cepat. Suara-suara sumbang penuh ledekan bagaikan dengung lebah, mengejarnya, siap menghabisinya. Panggilan “upik abu” bak sebuah trend di sekolahnya. Para pelaku perundungan itu bahkan sudah lupa dengan nama aslinya. Si kacamata bersyukur karena sebentar lagi acara kelulusan. Tapi, sebelumnya dia harus menyelasikan salah satu proyeknya di laboratorium sekolah karena omanya takkan mengizinkan sang cucu masuk universitas sains maupun teknologi.

“Setelah lensa anti lelaki tampanku jadi, aku tidak akan terjebak untuk yang kedua kali,” gumam si gadis berkacamata.

Dzakky menekan sebuah tombol. Benda bulat ke luar dari kening Titin. Dzakky mengambilnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku. Selanjutnya, dia memeriksa beberapa foto dalam ponsel. Seringaian lebar terukir di sudut bibir Dzakky.

“Kita akan menghadiri reuni SMAmu cucuku dan membuat cecunguk-cecunguk itu tercengang,” bisik Dzakky sebelum ke luar dari kamar Titin.

***

Dzakky dan Titin menyusuri pantai dengan langkah-langkah ringan sembari menikmati es krim. Titin sebenarnya sudah tak sabar untuk pergi ke lokasi mobil Luthfi. Tapi, Dzakky malah mengajaknya membeli es krim. Pemuda itu beralasan agar tak mengundang kecurigaan sehingga mereka harus bersikap senatural mungkin.

 “Kamu, Titin?” suara familiar yang menyisakan kenangan buruk dalam hidup Titin membuat gadis itu berhenti melangkah. “Ya ampun beneran Titin!”

Gadis berambut cokelat itu langsung melambai pada kawan-kawannya. Dua orang gadis dan dua orang pemuda mendekat. Tubuh Titin sedikit gemetar.

“Apaan sih, Don? Lagi asyik main nih!” gerutu gadis berambut sebahu.

“Iya ih Kak Dona,” timpal gadis berambut ikal.

“Kat, Indri, aku cuma mau tunjukkin sesuatu yang menarik. Lihat siapa yang datang ke acara reuni kita! Titin, si culun.”

Kawan-kawannya terkesiap. Mereka tak pernah menyangka gadis culun yang selalu dirundung berubah drastis. Setelah lulus sekolah, Titin memang bertekad untuk meninggalkan image lamannya. Pertama-tama, dia menggunakan tabungannya untuk mengobati mata minus. Selanjutnya, dia mulai belajar make up dan mode dari Ajeng maupun tutorial yang ada di internet. 

“Si Upik Abu sudah bertranformasi rupanya,” sinis Katty. Wajahnya jelas menunjukkan rasa iri. “Habis berapa untuk operasi plastik?”

Titin mengepalkan jemarinya, mendelik pada sang kakek sembari berbisik, “Kenapa lewat sini, Opa?”

“Kamu akan segera tahu cucuku,” balas Dzakky, juga dengan berbisik.

Maksud hati hendak mempermalukan Titin, Dona malah salah perhitungan. Dia lupa, si playboy Indra akan selalu menebar pesona pada wanita yang dianggapnya menarik. Pemuda itu tersenyum manis.

“Bagaimana kabar kamu, Tin?” sapanya. Dia tampak tersentak. “Eh? Ada eskrim di hidung kamu.”

Indra terkekeh. Matanya tinggal segaris tipis. Biasanya gadis-gadis akan langsung luluh dalam hitungan detik tapi tidak bagi Titin. Meskipun tanpa lensa anti lelaki tampan, Titin tak merasakan pesona Indra. Sungguh! Dia berterima kasih pada lelaki tampan bermata biru di lautan terdalam. Tangan Indra hampir menyentuh ujung hidung Titin ketika Dzakky menangkapnya. Max yang sedari tadi diam tertawa lepas.

“Pacarnya marah tuh, Ndra,” ledeknya sambil memegangi perut.

“Maaf ya aku bukan pacar Titin,” potong Dzakky. Kali ini Katty yang tertawa.

“Mana mungkin ada yang mau sama dia,” ejek Katty, seolah lupa si Indra baru saja mencoba tebar pesona.

“Aku memang bukan pacarnya tapi dia punya kekasih kok.” Titin mendelik. Dzakky segera mengirimkan telepati.

Buka file image di ponselmu!

Titin membuka ponsel, dengan malas memilih fitur image. Tak lama hingga tiga gadis berpenampilan modis itu terperangah. Indra dan Max melongo dengan mulut terbuka lebar. Titin sendiri bahkan sempat ikut terpaku.

Layar ponsel Titin menampilkan foto-foto ekslusif dirinya dengan lelaki tampan berambut biru dengan sepasang bola bening indah bak batu akuamarin. Indra dan Max yang selama ini menjadi bintang di kampusnya, bagaikan remah-remah rengginang jika dibandingkan dengan pesona si pemilik kulit putih bak mutiara itu.

Wajah Titin seketika merona mengingat empat dari lima foto tersebut memang digolongkan dalam kategori mesra. Foto pertama, Wajah close up Samudra yang tengah tersenyum manis. Foto kedua, Samudra tengah menyeka lembut buliran bening di pipi Titin. Foto ketiga, Samudra mengacak-acak rambut Titin. Foto keempat, Samudra mengecup lembut kening Titin. Foto kelima, Titin dalam dekapan lengan kokoh Samudra. Titin mengembuskan napas lega karena foto-foto tersebut tidak memperlihatkan lokasi kejadian.

Kok aku ngerasa jadi cewek murahan? Tapi, saat itu ‘kan posisiku adalah istrinya Kakang Samudra! Oiiii! Sadar Titin! Kok aku manggil dia Kakang! Tapi ... yang lebih penting lagi sejak kapan Opa mengambil foto-foto ini?

Titin mendelik tajam ke arah Dzakky. Sang kakek malah menyengir lebar. Belum habis rasa syok Titin, Indri malah tertawa lepas. Dia menepuk-nepuk pundak Titin sambil memasang wajah iba.

“Segitunya kamu mau memanas-manasi kakakku ya?” Titin mengerutkan kening. “Aku pernah dengar situs yang menyediakan pacar sewaan. Berapa kamu bayar dia buat jadi pacar kamu?”

Dzakky menggelengkan kepala sembari bergumam prihatin, “Untung saja perkataan kamu tidak didengar oleh Samudra. Dia pasti marah besar mendengar kamu menghina Titin. Kamu ah tidak kita semua bisa mendapat masalah,” celetuk Dzakky.

Indri menatap Dzakky dengan mata melotot. Si pemuda tersenyum sinis. Sebelum Indri menarik rambut sang kakek, Titin dengan cepat menarik lengan Dzakky. Senyuman canggung tersungging di bibir.

 “Kami permisi dulu ya! Soalnya, masih ada perkerjaan penting jadi nggak bisa lama-lama,” tukas Titin. Dirinya segera menyeret sang kakek meninggalkan mereka.

“Dasar pengecut!” tantang Indri

“Sudah Indri!” Indri menatap protes. Indra mengembuskan napas berat. “Orang itu benar! Kita akan mendapat masalah jika kamu berbuat kurang ajar!”

“Apa maksud kamu, Ndra?” tanya Max penasaran.

“Lelaki itu bukan orang biasa. Kalian lihat cincin di jarinya. Benda itu sangat langka, didapat dari laut terdalam. Untuk saat ini, hanya ada tiga di dunia. Pemilik benda itu pastilah memiliki uang dan kekuasaan yang begitu besar.”

***

"Opa benar-benar keterlaluan! Pokoknya hapus dulu foto-foto itu!”

Titin masih memasang wajah cemberut. Bibirnya terus menggerutu sepanjang perjalanan. Dzakky bersikap tak acuh terus menyusuri pantai hingga mereka tiba di lokasi penuh batuan karang. Sang kakek menghentikan langkah mendadak membuat Titin menubruk punggugnya.

“Opa! Kalau mau berhenti bilang-bilang dong!"

"Makanya jangan suka ngomel-ngomel." Titin mengerucutkan bibirnya. "Kita sudah sampai di lokasi."

Dzakky mengeluarkan sebuah chip dan meletakkannya di punggung tangan. Tak lama hingga benda itu merasuk dalam kulit. Layar proyeksi muncul dan meminta kata sandi. Jemari Dzakky dengan lincah mengetikkan kata sandi.

Desingan terdengar samar. Perlahan tapi pasti benda hitam super canggih itu muncul di hadapan mereka. Bibir keduanya berdecak kagum.

"Ayo kita bawa ke dekat laboratorium!" seru Dzakky untuk kemudian naik di kursi penumpang. Titin melongo.

"Maksud Opa aku yang mengemudi?"

Wajah Dzakky memerah sembari bergumam, "Opa tidak pernah lolos tes mengemudi."

Tak ayal Titin tertawa lepas. Dzakky mendelik tajam. Setelah puas tertawa, Titin menaiki mobil dan mulai menekan beberapa tombol. Tak lama hingga si hitam melaju di udara dengan kecepatan sedang.

"Mobil di jaman ini 'kan dilengkapi fitur auto pilot Opa ," ledek Titin membuat Dzakky bersungut-sungut.

"Ledek aja terus, nanti kukirimkan foto-fotomu dengan Samudra pada Shafa," ancam Dzakky

"Opa!"

***





 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Klise
66      43     0     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
Lentera
37      33     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Stuck In Memories
244      156     0     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Aranka
115      91     0     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Senja Belum Berlalu
94      61     0     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
My Sweety Girl
244      165     0     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
My world is full wounds
11      11     0     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...
Alfazair Dan Alkana
10      10     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Purple Ink My Story
0      0     0     
Mystery
Berawal dari kado misterius dan diary yang dia temukan, dia berkeinginan untuk mencari tahu siapa pemiliknya dan mengungkap misteri yang terurai dalam buku tersebut. Namun terjadi suatu kecelakaan yang membuat Lusy mengalami koma. Rohnya masih bisa berkeliaran dengan bebas, dia menginginkan hidup kembali dan tidak sengaja berjanji tidak akan bangun dari koma jika belum berhasil menemukan jawaban ...
AVATAR
173      117     0     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�