Read More >>"> I FEEL YOU AS A HOME (PENGAKUAN? LAGI?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - I FEEL YOU AS A HOME
MENU
About Us  

Aku cuma lagi jatuh cinta banget sama kamu. Itu aja, Ra —Al

 

 

            Hujan mengguyur Jakarta, lampu padam, dan tirai tipis putih bergerak-gerak tertiup angin selagi kilat meredup padam bergantian pada langit malam. Al kecil bersembuyi di sudut kamar, duduk menekuk lutut selagi kedua tangan mungilnya menutupi telinga. Saat sekali lagi dentuman hebat petir terdengar yang disusul getaran pada lantai dingin, dia merapatkan diri pada dinding, beraharp kokohnya dapat menyerap segala ketakutan. Saat itu ia menginginkan Mama akan datang ke kamarnya seperti yang lalu-lalu jika badai mengamuk di tengah malam, berbaring di sisi menemani sampai ia kembali tertidur, bukan malah menggelontorkan caci maki yang disusul sumpah serapah dari Papa di balik pintu coklat itu.

            “Jangan pernah berani berpikir aku akan membiarkan kamu membawa Al setelah apa yang kamu lakukan di luar sana!”

             “Al anak aku!”

            “Dia darah dagingku!”

            “Dan, tolong jangan melupakan fakta kalau aku yang mengandung selama sembilan bulan mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. Jadi, aku mempunyai hak untuk membawa dia bersamaku!”

           Sekali lagi petir bergemuruh, Al memilih memejamkan mata sementara tubuhnya semakin merapat pada dinding kaku. Lalu, ketika isakannya mulai terdengar disusul meluncurnya cairan bening di pipi, pintu coklat itu terbuka lebar.

          “Ayo, Sayang. Kita pergi.” Al membiarkan diri digandeng Mama, namun belum benar-benar mereka meninggalkan kamar, Papa sudah meraih Al, membawa anak itu ke balik kakinya. “Jangan halangi kami!” menatap Al lagi, “Al, ayo, Sayang.”

           Seharusnya Al langsung meraih uluran tangan Mama dan ikut ke manapun Mama pergi karena ia sangat menyayangi Mama. Namun, saat jutaan kubik air masih tumpah dari langit selagi petir seolah enggan berhenti besuara, Al kecil menggeleng tegas, memilih untuk tetap bersembunyi di balik kaki Papa.

         “Pergi. Aku nggak peduli berapa banyak laki-laki yang sudah kamu biarkan untuk menjamahi kamu. Tapi aku nggak akan pernah membiarkan Al seujung kuku pun disentuh oleh tubuh kotor kamu.”

       Sekali lagi… petir berdentum hebat.

       Al pun terbangun dengan satu tarikan napas panjang, merasakan kaus abu-abunya basah sementara sebelah pipinya menempel pada permukaan kain seprai. Langit bahkan masih cerah, tapi moodnya mendadak sekelam malam paska menyadari kalau baru saja dirinya bermimpi. Mimpi buruk dari sekumpulan kejadian di masa lalu. Sambil berusaha mengenyahkan kenangan-kenangan itu, ia membalik badan sampai terlentang untuk termangu beberapa saat hanya demi mengumpulkan nyawa sebelum bangkit dari rebahan, dan menyadari kalau laptopnya masih terbuka di atas ranjang bersama beberapa modul kuliah. Niat hati ingin menyelesaikan tugas sejak pulang kuliah jam dua tadi, ia malah jatuh tertidur dan bertemu Mama di alam mimpi. Kesal, Al membawa sebungkus rokok beserta pemantik ke balkon kamar, lalu berdiri di dekat pagar pembatas sambil mengepulkan asap berharap suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik. Namun, berdiam diri sembari menatapi jalanan komplek yang lengang membuat percakapan terakhir dengan Mama-nya di telepon entah kapan tahu itu kembali menjilat-jilat memori.

            “Nggak capek, Al? Mama aja yang dengar kelakuan kamu capek.”

            “Tutup telinga aja biar nggak dengar apa-apa.”

            “Nggak bisa, dong.” Saat itu ada jeda sejenak. “Mama merasa bertanggung jawab masalahnya.”

            “Bagus kalau sadar.”

            Ada jeda lagi. “Mama, kok, ya kangen kamu yang dulu, yang manis, yang penurut, dan penginnya ngelindungin Mama terus padahal waktu itu kamu yang harusnya dilindungi.” Mama tertawa, dan Al mengeranyit tak suka. “Berhenti ya, Al. Udah cukup. Jangan sampai kamu kena

akibat dari kelakuan kamu sendiri—”

            “Misalnya apa? Digebukin orang sekampung karena ngehamilin anak orang?” Potong Al benar-benar tak suka mendengar ucapan Mama. Ingin sekali memutuskan sambungan saat itu juga, tapi ia masih mempunyai sopan santun untuk tak melakukannya. “Al pasti berhenti, Ma, tapi nanti, saat Al yakin kalau Al nggak akan melakukan kesalahan sama kayak orang yang Al kenal karena dia nggak pernah merasa cukup dengan apa yang dia punya.”

            “Al—

            “Semoga Mama nggak melupakan fakta kalau buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya.

          Sejak kepergian Mama di malam kelam itu, semuanya berubah. Nyatanya, bukan hanya kebahagiaan Al saja yang direnggut paksa, namun juga setengah dari hati Papa. Tak ayal, hal tersebut membuat Al yang ketika itu sejatinya belum mengerti apa-apa menyimpulkan sendiri kenapa dunianya menjadi gelap seolah diserang gerhana matahari tak berkesudahan, menyebabkan ‘monster’ dalam dirinya ikut menggeliat, berniat menghukum Mama dengan berubah dari Al kecil yang manis menjadi Al yang dijuluki oleh banyak orang, bajingan. Bahkan, ketika Mama yang sekarang ia tak peduli lagi tinggal di mana dan bersama siapa menghubunginya hanya demi memintanya untuk berhenti menjadi bajingan, Al selalu mengatakan kalimat yang sama: Semoga Mama nggak melupakan fakta kalau buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya.

            Menghisap rokok dalam-dalam, kemudian asap itu menyelubungi wajahnya. Masih menatap jalanan lengang, dan beralih pada rumah dua tingkat di seberang, Al tersenyum miris diam-diam. Benar, dia pasti akan berhenti menjadi bajingan, tapi bukan demi Mama melainkan saat kelak dia menemukan rumahnya setelah lelah mengembara, dan rumah itu adalah… Tera? Ya Tuhan, dia benar-benar menyukai Tera, dan pengakuan Al pada Tera beberapa waktu lalu tidak main-main. Dia mencintai Tera entah sejak kapan, mungkin sejak pertama kali bertemu di depan Familymart saat itu, atau mungkin saat menyadari hatinya selalu menghangat bahkan hanya mendengar nama Tera disebut. Makadari itu ia berjanji pada diri sendiri untuk mendapatkan Tera, bagaimanapun caranya. Dan, langkah awal untuk memenangkan hati gadis itu adalah dengan mengajaknya kencan. Benar, kencan!

            Al, menjentikan jarinya yang bebas, tersenyum lebar karena rencananya sendiri. Dan, seolah hari itu semesta tengah berpihak padanya, sosok Tera terlihat di depan gerbang dalam balutan kemeja flannel dipadu jean gelap tengah memencet bel sampai dibukakan oleh laki-laki berumur yang selama ini Al panggil Mang Jojo. Terlihat mereka bercaka-cakap sebentar sebelum tubuh Tera menghilang dari pandangan Al. Buru-buru mematikan rokok, kemudian hanya dengan kaus dan celana bokser ia meninggalkan kamar untuk menyambut gadisnya.

                                                            (***)

             Tak ada yang berubah setelah pengakuan sore itu, Tera tetap datang ke rumah Al untuk mengajar seperti hari ini di mana ia disambut oleh Al yang hanya memakai kaus abu-abu dan bokser!

            “Al!” Tera protes tentu saja, mengancam Al kalau dirinya akan pulang kalau laki-laki itu tak mengganti pakaian. Meski malas, Al tetap menurut untuk berpakaian lebih sopan karena tak ingin mengambil resiko seperti apa yang diucapkan Tera.

             Al hari ini cukup manis untuk tidak mengganggu Tera bahkan sama sekali tak mengungkit pernyataan cintanya hari itu. Yang berubah hanyalah atmosper di antara keduanya, entah kenapa Tera menjadi sedikit canggung hanya berduaan dengan Al, padahal sumpah demi apapun dia sama sekali tak memiliki perasaan selain sebal pada laki-laki ini. Tapi, herannya ia menjadi tak betah berlama-lama ditatap Al seperti sekarang ini saat sesi belajar sudah selesai, dan ia tengah mebenahi buku-bukunya ke dalam tas.

             “Apa sih Al ngeliatin gue terus?!” mulutnya protes tak suka, namun Tera sama sekali tak berani menatap Al. Mati lah dia kalau sampai laki-laki itu mengungkit-ngungkit pernyataan cintanya, apa yang akan dia katakan?

           “Kamu cantik sih, Ra. Makanya aku suka ngeliatin kamu kayak gini.”

          “Ngegombal terus aja, Al, sampai Antartika berubah jadi gurun pasir.”

            Al menyeringai saja, bahkan saat menyadari kalau gadis itu tengah menghindari tatapannya entah dengan alasan apa. Namun, ketika Tera mulai berdiri, Al bereaksi “Mau ke mana?”

         Sambil memakai sepatu dan siap meninggalkan gazebo di halaman belakang, Tera menjawab. “Ya pulang lah. Lo nggak berpikir kalau gue bakal nginep di sini, kan?” kedua kakinya sudah terbungkus sepatu, dan sekarang waktunya pergi karena Tera sudah tidak ingin berlama-lama berduaaan dengan Al. Namun, baru beberapa langkah saja, lengan kanannya sudah diraih oleh laki-laki itu yang segera dilepaskan setelah Tera mendelik kejam.

          “Aku sih pengin banget kamu nginep, tapi tahan setahun dua atau tiga tahun lagi, ya, Ra. Sampai kita resmi jadi suami istri.” Al tergelak dengan kelakarnya sendiri, namun wajah Tera malah memerah menahan kesal.

          “Ngehayal terus aja, Al.” dengus gadis itu, kembali melangkah, dan sekali lagi lengannya dicekal Al.

          “Tunggu bentar dong, Ra. Aku kan harus ambil jaket sama helm dulu.”

           Menepiskan tangan Al, “Elo mau antar gue?”

           Mengangkat sebelah alis, kata Al, “Biasanya, kan, emang gitu.”

         “Tapi sekarang gue nggak mau lo antar, gimana dong.” Mengabaikan Al, namum untuk ketiga kalinya tangan Al melingkar di lengannya.

          Kali ini, dengan nada tak bisa dibantah, Al meminta Tera menunggu. Dan, apa lagi yang bisa diakukan Tera selain menuruti ucapan Al jika tak ingin mendapatkan perlakuan aneh-aneh dari laki-laki itu? Namun, sumpah demi apapun Tera ingin menendang selangkangan Al saat ini juga karena bukannya membawa Tera pulang ke rumah, Al malah memberhentikan motor di depan sekre Mapala kampus!

          “Ra, kamu mau sampai kapan pakai helmnya?” Al geli sendiri menadapati Tera yang sudah turun dari motor malah sibuk menelaah sekeliling dengan wajah bingung, bukannya membuka helm merah itu untuk diberikan padanya. Salah Al juga sih yang tidak langsung mengantar Tera pulang sampai membuat Tera kebingungan, tapi mau bagaimana lagi? Al yang perasaannya tengah kacau karena mimpi tadi siang belum ingin berpisah dengan gadisnya.

          “Lo punya niat mau ngapa-ngapain gue, ya?!” Tera nyaris histeris, dan disambut kerenyitan di dahi Al yang masih duduk di atas motor.

           Kemudian, sambil melepas helm untuk dicantolkan pada spion, Al menimpali. “Kanyaknya kamu nggak bisa ya kalau nggak punya pikiran jelek ke aku sekali aja.”

           Mengangguk tegas, “Secara ya, lo itu punya tampang kriminil! Jadi kasih tahu kenapa gue nggak harus selalu punya pikiran buruk tentang lo!” Sembur Tera, lalu mundur selangkah ke belakang ketika Al yang kini tergelak karena ucapannya sudah menjejak tanah untuk berdiri berhadapan.

            Rasanya ingin sekali meladeni ucapan Tera hanya demi menggoda gadis itu, namun bukannya menggelontorkan kata-kata yang sudah tersusun rapi di otaknya, yang dilakukan Al malah merengkuh kedua bahu Tera untuk ditariknya mendekat. Sebelum Tera yang tak suka disentuh Al seperti itu melemparkan protes, Al segera mendahului. “Ini helm dibuka dulu, Ra. Kamu bisa pusing kalau helmnya kelamaan dipakai—” dilepasnya helm Tera untuk ditaruh di spion kosong sebelum jari-jari panjang Al merapikan rambut berantakan Tera. “Nah, lebih enak kayak gini, kan?” Setelah memastikan gadisnya nyaman, ia pun tersenyum, namun tak bertahan lama ketika mendapati kalau Tera hanya bergeming memandanginya tanpa arti seolah dalam kepala cantik itu ada sekumpulan pikiran yang mengganggu.

           Lalu, di bawah sorot lampu mercury, dan berlatar suara janggkir di semak-semak, Tera bertanya setengah bingung setengah kesal. “Lo lagi apain gue sih, Al?”

           Al butuh waktu beberapa detik untuk mencerna pertanyaan berusan, kemudian dengan wajah serius, ia menjawab tulus. “Aku cuma lagi jatuh cinta banget sama kamu. Itu aja, Ra.”

        Dan, Tera sukses keram otak, suaranya membeku di tengah perjalanan menuju ke mulut sebelum tertelan begitu saja ke dasar perut. Bukannya Tera tak menyadari ada ketulusan dari mata coklat Al, hanya saja apa yang bisa diharapkan dari seseorang dengan label bajingan seperti laki-laki ini? Terlebih Al adalah… Tera menggeleng keras-keras, bersidekap sejenak sebelum pasrah ketika kedua tangannya terjatuh ke sisi tubuh sementara pandangannya memilih untuk tertambat pada pohon kelapa di belakang Al. Menyadari kalau gadisnya merasa tak nyaman dengan pembicaraan ini, Al segera menggamit tangan Tera, meminta gadis itu untuk tidak protes karena dia hanya ingin menunjukan sesuatu yang Danu buat.

        “Danu siapa, sih?!” Tera kesal, ia hanya ingin pulang.

         Al tergelak, masih sambil berjalan ia menjelaskan kalau Danu itu ketua Mapala, dan senimannya kampus. Al juga mengatakan kalau Danu mungkin akan tersinggung mendengar pertanyaan Tera barusan yang tidak mengetahui siapa Danu.

            “Gue nggak peduli Danu itu seniman atau algojo! Gue mau balik!”

            Tak mengggubris ucapan Tera, Al mendorong pintu kaca sekere Mapala.

(***)

            Yang disebut Sekre Mapala adalah bangunan dua tingkat dengan lebar dan panjangnya tak seberapa—persis seperti sekre-sekre pada umumnya. Lantai satunya tidak lain adalah foto copy center Fakultas Ekonomi yang sudah dijalankan keluarga Sepupunya Raden lebih dari tujuh tahun belakangan ini, dan Tera baru tahu akan hal itu karena Fakultas Sastra dan FISIP jauhnya dari ujung ke ujung. Saat Al menuntunnya untuk menaiki tangga kayu curam di pojokan, Tera mengingat-ingat di mana letak pintu masuk, dan matanya memindai sekeliling demi mencari benda apapun itu yang dapat digunakan untuk melindungi diri jika saja Al bernita kurang ajar padanya. Karena, tidak ada yang bisa dimintainya pertolongan mengingat hanya ada mereka berdua di sana. Namun, saat kakinya sudah menjejak ruangan di lantai dua semua pikiran jelek mengenai Al langsung lenyap.

            Oke, entah siapa pun Danu, kini Tera mengikrarkan diri sebagai penggemar nomer satu laki-laki itu, dan ia tersenyum karena pemikiran tersebut sampai menyadari kalau Al kini mulai menjelaskan kalau butuh waktu lumayan lama bagi Danu menyelesaikan Mural pada setiap sisi permukaan dinding ruangan itu karena nyatanya tidak mudah memindahkan Gunung Semeru dan segala pemandangan menakjubkannnya termasuk Ranu Kumbolo ke ruangan tersebut. Dan kini, selagi Tera sibuk mengagumi apa yang kedua matanya tangkap, Al terus mengatakan kalau dia dan beberapa anggota Mapala ikut membantu mendanai mahakarya tersebut.

            “Ini belum ada apa-apanya, Ra.” Al masih bersuara ketika Tera membiarkan jemarinya menyentuh permukaan dinding tersebut, “Liat deh.” Tambah Al lagi yang disusul pekikan gadisnya karena ruangan mendadak gelap. Namun, kepanikan Tera hanya bertahan sebentar saja ketika... apa-apaan ini?

            Di sepanjang hidupnya, jangankan hujan meteor, melihat bintang jatuh saja Tera tak pernah. Namun, kini saat diirinya yakin tak akan pernah bisa menyaksikan fenomena alam itu, Tuhan memilih malam ini bagi Tera untuk bisa menikmatinya. Meski bukan segerombolan bintang jatuh dari angkasa, LED meteor shower light biru terang yang menyala dan bergelantungan pada atap balkon tetap berhasil membuat Tera hanya mampu berkedip takjub.

            “Danu pengin banget mindahin langit malam di Ranu Kumbolo ke sini. And—”

            Tera menoleh ke belakang mendengar penjelasan Al, dan di antara remang cahaya dari meteor shower light ia mendapati laki-laki itu mendekati meja kecil di sudut ruangan, Tera melihat lampu tidur proyektor bertengger di atasnya. Kemudian, hanya dalam hitungan detik , bulan sabit pun terlihat tepat di tengah langi-langit, dikelilingi taburan bintang yang memenuhi dinding ruangan sesaat setelah Al memijat tombol on pada benda tersebut, membuatnya seolah tengah berada di padang rumput luas. Bahkan kini, Tera berhalusinasi sampai-sampai ia dapat menghidu aroma rumput segar di pagi hari sementara angin lembut membelai wajahnya.

          “—He did… dan ini keren banget.” Al melanjutkan, dan Tera mengangguk menyetujui. Laki-laki itu pun bergerak mendekat, menutup jarak di antara mereka.  “Mau pulang sekarang atau nanti, Ra?” Tak siap mendapat pertanyaan seperti itu membuat Tera tertegun beberapa saat yang membuat cengiran muncul di wajah Al. “Diamnya kamu aku asumsikan nanti, ya, Ra.”

            Kampret! Tera kalah, namun dengan pemandangan indah seperti ini, bagaimana bisa Tera tinggalkan? Bahkan saat Al duduk di lantai di depan jendela besar menghadap balkon, Tera malah bergabung bersamanya.

            Al yang sudah selonjoran sambil menopangkan tubuh pada kedua tangannya menoleh pada Tera di sisi, dan tersenyum saja sebelum tatapannya fokus pada lampu-lampu di depan. Al bersumpah, tidak ada yang bisa menandingi keindahan langit malam di atas gunung, namun menyaksikan hujan lampu dan bintang-bintang di atap sekre membuat dadanya selalu dibanjiri perasaan familier, selalu mengingatkannya pada malam-malam ketika ia mendaki gunung, duduk diam di bawah  langit di tengah alam terbuka dengan api unggun yang menyala semalaman. Ah dia rindu naik gunung rupanya, sama seperti ia merindukan bibir… eh, kejadian itu… ragu, Al kembali menoleh ke sisi, mendapati pantulan cahaya di wajah Tera. Untuk beberapa detik ia menahan mulutnya untuk tak mengelontorkan ucapan yang sudah berada di ujung lidah. Karena, ternyata apa yang tengah dipandanginya saat ini lebih indah dari apapun. Dan, Al siap digebugi teman-taman Mapala-nya karena dia sudah kurangajar membanding-bandingkan kecantikan gadisnya dengan kecantikan segala pemandangan di pendakian.

           “Aku minta maaf ya, Ra.” Eh? Tera tertegun sejenak sebelum menoleh, dan mendapati kalau dirinya tengah ditatap sedemikian rupa oleh Al. “Maaf karena udah bersikap kurang ajar dengan nyium kamu.”

         Oke, mungkin suasana romantis—apa romantis?—dalam ruangan ini membuat otak Al sedikit bermasalah sampai-sampai cowok itu barusan mengucap maaf, sebuah kata yang bahkan Tera tak pernah bayangkan akan dilontarkan oleh seorang Al Virzha Diemen Salim. “Ng… gue… gue—” bahkan Tera sampai speechless, harus berdehem beberapa kali sebelum dapat kembali melanjutkan. “Lo udah cukup dewasa untuk paham kalau nyium paksa cewek itu berengsek banget. Dan, lo pasti tahu juga kan, kalu kelakuan lo itu termasuk kategori sexual harrasement?”

           Al mengangguk, benar-benar menyesal.

           “Kalau lo tahu, seharunya elo nggak memperlakukan gua kayak gitu, Al!” Suara Tera  naik satu oktaf meskipun ia tak bermaksud menggelontorkan semburan-sembuarn kemarahan yang selama ini dipendamnya paska kejadian di waktu lalu. Karena, dia sudah berniat melupakan semua. Tapi, memang dasar mulutnya tak bisa diaja kompromi. “Seolah gue ini barang yang seenak udel bisa lo apa-apain aja, sih!” Tuh kan. “Untung waktu itu gue nggak kepikiran untuk teriak sampai ngundang orang-orang sekitar berdatangan ke rumah. Kalau nggak, gue nggak yakin sampai sekarang lo masih selamat!”

           Al meringis terang-terangan, dan buru-buru menyela saat Tera hendak membuka mulut kembali. “Jadi?” bukan karena telinganya panas mendenger ocehan Tera, ia hanya tak tega mendapati napas gadisnya tersengal-sengal karena marah-marah.

           Berkedip. “Jadi?” Tera sekarang bingung sendiri, napasnya masih naik turun tak karuan

            Al tersenyum geli sebelum menatap Tera intens dengan permohoan tulus di matanya. “Akunya dimaafin nggak, Ra?”

             Eh? Sekali lagi Tera tertegun sebelum membuang pandangannya ke depan. “Gue nggak tahu bisa dengan mudah maafin lo atau nggak.” Tera menyaksikan kekecewaan di wajah Al, sungguh ia sudah berusaha melupakan kejadian buruk itu, namun untuk memaafkan nyatanya tak semudah yang diucapkan. Biar toh, agar Al dan cowok-cowok bahkan orang-orang di luar sana tahu kalau pelecehan seksual bukan perkara sepele. “Dan, gue mau lo berjanji untuk nggak mengulangi hal itu. Bukan hanya berlaku ke gue, tapi ke cewek-cewek yang lain. Nyium paksa orang lain tuh kurang ajar Al.”

           Al tertegun, agak sedikit kecewa karena bukan itu yang ingin didengarnya. Ia hanya butuh dimaafkan agar pipinya tidak seperti terus-terusan ditempeleng jika memandang wajah Tera gara-gara teringat kejadian malam itu. Namun, menyadari betapa berengsek kelakuannya pada Tera, ia tak ingin memaksa gadisnya untuk memberi maaf. Mungkin tidak malam ini, namun suatu hari Al yakin akan mendapatkan pengampunan itu. Ah… suasana mendadak canggung, Al tidak suka, seringaian dipaksa muncul di wajahnya, kata Al,  “Kalau ke cewek lain aku bisa, Ra. Kalau ke kamu aku nggak janji, ya. Soalnya kamu nyandu banget, sih.” Tera langsung mendelik pada Al yang dibalas kerlingan sebelah mata laki-laki itu, membuat Tera kesal dan salah tingkah di saat bersamaan. Sehingga, Tera memutuskan untuk membuang pandangan ke mana saja asalkan bukan pada laki-laki sableng di sebelahnya. Sementara itu, Al  ingin sekali memeluk Tera saking gemasnya, namun mengingat Al belum dimaafkan, ia harus menahan hasrat dengan memilih untuk mengganti topik. “Di sini tuh selalu sepi kalau nggak ada kumpulan atau yang nginep, Ra.”

            Sekali lagi Tera menoleh, diam-diam bersyukur karena perubahan topik ini.  “Elo sering banget ke sini malam-malam?”

         “Tergantung, sih. Kalau harus ketemu anak-anak pas malam, ya aku ke sini.” Menggedikan bahu acuh. “Kalau pun nggak ada kumpulan, dan kebetulan aku lagi mumet, tempat ini jadi pilihan ke sekian sih selain diskotek buat didatengin.” Tera diam saja. “Tapi, kayaknya akhir-akhir ini aku lebih senang antar kamu pulang deh, Ra. supaya pas sampai rumah bisa langsung tidur dan ketemu kamu lagi di mimpi.” Oke, gombal sedikit nggak apa-apa, kan, ya. Al geli sendiri, dan Tera misuh-misuh tak karuan.

        Ada jeda saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai suara Al kembaliterdengar. “Tahu nggak, Ra? Sebelum Danu bikin tempat ini kayak gini, kalau lagi mumet banget, yang aku datangi biasanya teman-teman cewek sih, terus melipir ke diskotek.” Tera mendengus jijik, Al pun terkekeh, menatap Tera. Tanyanya, “Kenapa, Ra? Mikirin yang nggak-nggak, ya?”

           Menyipitkan mata pada Al. “Menurut lo apa yang ada di otak gue saat lo bilang nemuin  temen cewek saat lo mumet? Pastilah gue mikirnya jadi yang iya-iya.”

              Al tertohok, lalu mendecak-decakkan lidah sembari memasang tampang takjub yang dibuat-buat. “Kampus nggak salah ya ngasih beasiswa ke orang dengan otak secerdas kamu,” mencubit hidung Tera, dan yang dicubit langsung melotot sembari menepiskan tangan Al.

             “Elo emang bajingan, Al. Gue harap cewek siapa pun itu nggak ngutuk lo karena elonya udah manfaatin dia.”

            Tawa Al kembali lolos dari bibirnya, entah ini sudah tawa yang keberapa, yang Al tahu ia bahagia bersama Tera, bahkan ia melupakan kenyataan kalau mood-nya sempat kacau gara-gara mimpi tadi sore. “Aku memang bajingan, Ra.” Kini tawa itu lenyap berganti keseriusan di wajah tampannya, sementara fokus Al kini jatuh pada  lampu mercury di seberang bangunan, Tera bergeming sambil terus manatap cowok itu, dan entah kenyataan atau memang halusinasinya saja kalau Al yang tengah bersamanya bukanlah orang yang ia kenal selama ini. Meski samar, ia dapat menyaksikan betapa rapuhnya Al, dan Tera tak suka simpati yang mendadak muncul di hatinya.

            “Lo udah lama suka naik gunung? Apa sejak gabung di Mapala?” hanya pertanyaan tersebut yang terlintas di benak Tera ketika secara diam-diam ia mencari cara untuk mengenyahkan simpati tersebut.

            Menatap Tera. “Mau dengar ceritanya, nih?” bibir Al dihiasi senyuman.

            “Lo nggak cerita juga nggak ada untungnya sih buat gue.” Tera masih saja jutek yang malah semakin menggemaskan di mata Al.

            Lalu, setelah menghela napas berkali-kali, Al mulai bercerita kalau dia muali suka naik gunung sejak SMA kelas dua, iseng-iseng gabung di eskul Pecinta Alam, dan gunung yang pertama didakinya adalah Gunung Gede saat libur sekolah bersama beberapa orang temannya yang didampingi oleh Guru Pembina. “Naik gunung ternyata nagih, lho, Ra.” Matanya berkilat-kilat. “Makanya aku nggak bisa nolak setiap kali ada yang ngajak naik, walaupun dulu sampai harus rela jual PS karena Papa nggak jarang nggak ngasih duit.” Al tergelak sendiri mengingat masa-masa itu, dan tawanya menular pada Tera.

            “Jadi… itu alasan lo samapi bisa suka banget naik gunung?”

            Al tertegun sejenak, dan Tera bisa menduga kalau laki-laki itu akan mengatakan Ya atau benar banget. Namun, rupanya dia salah. “Aku bahkan nggak tahu harus punya alasan untuk suka naik gunung, Ra.” Al tidak tahu kalau menyukai sesuatu harus beralasan. Yang ia tahu suka ya suka saja. Persis perasaannya pada Tera. “Yang aku tahu semakin lama, naik gunung jadi semacam healing buatku.” Menatap Tera tepat di manik mata. “Semacam hp yang low dan butuh di-charge gitu, aku harus naik gunung supaya tetap waras. Soalnya… kalau udah naik gunung tuh rasanya beban pikiran hilang semua, Ra.” Ada senyum dari suara Al, dan itu tidak luput dari perhatian Tera. “Jadi… dulu kalau mumet, suntuk, dan marah sama keadaan apapun itu, aku pasti lari ke gunung. Ya yang bisa dijangkau aja dan nggak butuh duit banyak. Tapi… tolong jangan diikuti ya. Kurang baik sih menurutku kalau lagi marah maksaain naik.” Al tertawa lagi.

            Tera menggeleng, tak mengerti kalau Al bisa menjadikan naik gunung untuk healing kenapa sekarang dia memilih teman-teman cewek termasuk Natali—mungkin—dan diskotek. Lantas, ketika Tera menyuarakan isi hatinya, Al mengakui kalau dia sudah tidak pernah lagi menginjakan kaki di gunung sejak satu atau dua tahun lalu, karenanya Tera pun terkejut.

            “Kenapa?”

            Al kembali tertegun. “Mungkin kamu akan ngatain aku lebay kalau aku bilang gini.”

            Mengerenyit. “Apa?”

            “Aku dulu egois banget, Ra, apa yang dimau harus didapat dalam satu kali jentikan. Padahal kan aturan mainnya nggak kayak gitu." Tera ingin berkomentar kalau sampai sekarang Al masih seperti itu, namun ia menahan mulutnya. “Tapi sejak kenal gunung, aku kayak ditabok. Itu berhasil bikin aku melek kalau kita mau sampai puncak ya harus mau susah dulu. Sama kayak hidup, kalau kita menginginkan sesuatu ya harus berjuang dulu sampai dapat. Sesekali boleh istirahat  kalau capek, tapi jangan menyerah.  Harus optimis juga--" tersenyum pada Tera. "Dengan catatan nggak boleh sombong."

          Tera nyengir saja, dan kepalanya menyimpulkan darimana sifat keras kepala Al terbentuk. Pantas, laki-laki ini tidak berhenti mengejar sekuat apapun Tera menolaknya. Eh gue mikir apa sih. Tera mencoba untuk fokus kembali pada sosok di sampingnya.  "Lagian apa yang mau disombongin sih, Al."

         "Benar, Ra. Apa sih yang mau disombongin? Karena kalau dibandingkan dengan alam semesta, kita ini nggak ada apa-apanya." Tera bergeming, Al melanjutkan. "Saat menginjakan kaki di atas sana, kesombongan di sini--" Al menunjuk dadanya sendiri. "Langsung menguap dalam pelukan alam. Makadari itu aku sempat merasa nggak akan bisa lepas dari gunung." 

          “Terus?” Tera yakin ada hal lain yang masih akan Al sampaikan, dan entah kenapa ia ingin mendengarnya.

            “Gunung juga secara nggak langsung ngajarin aku untuk nggak semena-mena sama alam, Ra. Ya walaupun hal yang aku lakuin mungkin nggak seekstrem apa yang aktifis lingkungan hidup lakuin, sih, tapi dari hal-hal kecil kalau dilakukan secara berulang bisa berdampak besar.”

          Tera mengamini diam-diam, dan mendapati kenyataan baru lagi mengenai Al yang rupanya tak benar-benar ia kenal. Alih-alih menggelontorkan pujian atau kata-kata manis, yang diucapkannya kemudian tak lain sebuah bentuk protes. “Saat lo bisa lebih menghargai alam, kenapa lo nggak bisa melakukan hal yang sama ke perempuan?”

         Oh, terlambat Tera, saat ia menyadari keselahannya, ia melihat rahang Al sudah mengeras, dan yang dilakukan laki-laki itu setelah beberapa detik memandangi Tera dengan campuran segala emosi di matanya adalah membuang muka ke depan, membuat Tera hanya menggigiti bibir sembari merutuki kebodohan.

          “Itu perkara lain, Ra.”

          Oh suara itu terdengar begitu jauh di telinga Tera. Ingin rasanya mengucap maaf, namun Tera tahu kalau keadaan itu akan semakin canggung kalau ia melakukannya. Jadi, Tera pun bertanya,  “Terus kenapa lo berhenti?” Tera kadung penasaran, dan tak ingin diajak berputar-putar lagi.

            “Aku memang nggak butuh alasan untuk suka naik gunung, walaupun memang ada beberapa alasan yang bikin aku betah untuk terus naik gunung, tapi butuh satu alasan aja untuk bikin aku berhenti, ninggalin semuanya.” Tera bergeming, Al mengembuskan napasnya keras, “Karena alasan cewek aku berhenti.”

            Jika tidak melihat keseriusan di wajah Al, saat ini juga Tera pasti tertawa mendengar seorang Cassanova bajingan macam Al patah hati, tapi melihat wajah itu…

            “Aku memang bajingan, Ra. Aku nggak berani menyangkal julukan itu.” tatapan Al menerawang seolah pikirannya sedang mengembara jauh. “Tapi, kalau aku  sayang beneran sama cewek,  aku nggak akan ngasih perasaanku setengah-setengah buat cewek itu.”

            Oh pengakuan lain, dan itu benar-benar mengejutkan karena Tera tak pernah menduga kalau seorang Al bisa menyayangi perempuan sedalam dan setulus itu.

            “Dan, aku ketemu cewek ini waktu ikut pendakian ke Semeru, setelah UN dan lagi nunggu pengumunan.” Jeda sejenak. “Namanya Nadia. Dia mungil, manis banget kayak gula aren, dan senyumnya bikin orang lain lupa untuk berkedip.” Penjelasan Al membuat Tera tersenyum. “Dia bukan cewek manja yang doyan ngerengek, dia mandiri banget. Dan, bisa dibilang aku suka sama dia sejak pertama kali  bertemu.”

            “Fall in love at the first sight, eh?” cibir Tera.

            Menyeringai, Al menoleh pada Tera sekilas sebelum kembali menerawang. “Nggak tahu juga ya, Ra. Yang pasti aku naksir sama dia,” Menggedigkan bahunya ringan. Tera tak menimpali, membiarkan Al melanjutkan ceritanya. “Singkat cerita setelah aku bikin patah hati cewek-cewek lain yang sebelumnya deket sama aku, kita berdua jadian, kita sering naik gunung bareng, dan banyak ngelakuin ini itu bareng-bareng. Semakin sering kita sama-sama semakin aku yakin dia orang yang aku cari selama ini.” Al tersenyum, namun kali ini Tera melihatnya seolah Al sedang mengejek diri sendiri. “Sampai kita sama-sama masuk kuliah, aku di sini gabung Mapala, dia di sana pun sama. Semua masih baik-baik aja. Tapi, suatu hari kita pisah karena aku nge-dump dia.” Al tersenyum pahit.

            Tera tertegun, kembali dibuat terkejut dengan pengakuan Al. Mendadak ia teringat foto seorang gadis yang dilihatnya di kamar Al. Apakah gadis dalam foto itu yang membuat Al patah hati? Ah entahlah. “Elo sayang dia, tapi kenapa lo nge-dump dia?”

            “She cheated on me, Ra. And it’s hard limit for me. Dengan alasan apapun aku ngga bisa berkompromi untuk itu.”

            “Karma does exist, right?”

            Kali ini tawa Al meledak, namun Alih-alih bergabung bersama Al untuk mentertawakan nasib cowok itu, Tera memilih diam karena kilatan kesedihan di mata Al membuat Tera yakin kalau sebenarnya cowok itu terluka. Ah kenapa ia ingin menangis untuk Al saat ini juga?

             “Kalau memang ada, aku mungkin jadi salah satu orang yang pantas untuk dapat karma itu, Ra,” kata Al setelah tawanya mereda, lalu menghela napas sebelum melanjutkan cerita. “Sejak kejadian itu kita lost contact gitu aja. Aku memang masih gabung di Mapala, masih ikut kegiatan apapun asalkan nggak naik. Saking bencinya sama dia, aku nggak mau lagi naik gunung karena naik gunung ngingetin aku sama Nadia serta alasan apa yang bikin kita sampai bubaran. Jadi, daripada nanggung beban kebencian setiap kali naik, aku mending berhenti.”

            “…”

            “Aku cemen banget, ya?” Al tertawa ironis, Tera tahu Al tak membutuhkan jawaban dari pertanyaan barusan, makadari itu dia diam saja, memilih menghormati keputusan Al karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menghalau rasa benci, salah satunya adalah dengan melepaskan sesuatu bahkan seseorang yang dicintai.

            “Jadi, Nadia alasan kenapa nyakit player lo semakin menjadi-jadi?”

            Bibir Al berkedut, namun tak berakhir dengan sebuah senyuman. Menggeleng, “Nggak, Ra.” Tampika Al, “Aku nggak harus diselingkuhin dia dulu untuk jadi semakin berengsek. Karena memang bukan dia yang bikin aku jadi bajingan kayak gini.”

            Rasa sakit dan amarah juga kesepian yang Tera lihat dari sorot mata Al ketika cowok itu mengatakan semuanya, lantas otak Tera berpikir keras demi menemukan jawaban siapa aktor di balik sekumpulan emosi itu. Ah, benar rupanya, dia memang tak mengenal Al sejauh apa yang dia pikirkan selama ini. “Jadi… siapa, Al?” Al menatap Tera lekat. “Siapa yang udah bikin lo jadi orang yang gue kenal selama ini?”

            Satu hal yang Al tahu dari sekian banyak tentang Tera adalah kalau cewek ini susah sekali ditebak, namun ia tak pernah tahu kalau cewek ini bisa membuatnya kehilangan kata-kata dengan pertanyaan barusan. Tidak... ah mungkin belum, belum saatnya Tera tahu, jadi bukannya menjawab pertanyaan barusan, Al malah mengganti topik pembicaraan.

            “Mau makan pecel ayam dulu nggak sebelum pulang? Aku lapar banget soalnya.”

            Dan, sumpah demi apapun Al sangat bersyukur pada Tuhan karena gadisnya ini hanya mengangguk bingung.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

 

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Stay With Me
3      3     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Kare To Kanojo
36      2     0     
Romance
Moza tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah setelah menginjak Negara Matahari ini. Bertemu dengan banyak orang, membuatnya mulai mau berpikir lebih dewasa dan menerima keadaan. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi Moza. Apalagi dia harus dihadapkan dengan perselisihan antara teman sebangsa, dan juga cinta yang tiba-tiba bersemayam di hatinya. DI tengah-tengah perjua...
Please stay in my tomorrows.
3      3     0     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Arini
7      3     0     
Romance
Arini, gadis biasa yang hanya merindukan sesosok yang bisa membuatnya melupakan kesalahannya dan mampu mengobati lukanya dimasa lalu yang menyakitkan cover pict by pinterest
pendiam dan periang
2      2     0     
Romance
Dimana hari penyendiriku menghilang, saat dia ingin sekali mengajakku menjadi sahabatnya
Kesempatan
96      2     0     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Love You, Om Ganteng
69      23     0     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Rela dan Rindu
64      17     0     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
Stuck On You
1      1     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
Communicare
0      0     0     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...