Read More >>"> ADITYA DAN RA (chapter 21) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADITYA DAN RA
MENU
About Us  

Syukurlah, ini adalah nikmat bagi seluruh pelajar di seluruh dunia. Liburan sekolah sudah datang, dan itu artinya sekarang Adit bisa puas bangun siang, atau bisa puas main band sampai larut malam. Dan satu hal lagi yang tak kalah Adit syukuri, yaitu bebas dari jeratan PR untuk beberapa minggu ke depan.

“Mankanya belajar. Kamu mah belajar sama Dira, Dira nya pinter, kamunya pontar” Sepanjang koridor ayahnya selalu mengomeli Adit karena Adit berada di urutan sepuluh terbawah.

“Pontar apaan?”

“Musuhnya Pinter”

Dan seketika itu juga Adit menabrak seseorang di depannya, karena ia terlalu fokus pada Raportnya. Adit menabrak Seorang ibu-ibu yang Adit yakini Baru saja mengambil Raport anaknya.

“Ini bu” Adit mengambil buku Raport yang awalnya tergeletak di Lantai.

 Ibu-ibu itu menaikkan pandangannya, dan alangkah terkejutnya Adit saat melihat siapa orang yang baru saja ia tabrak.

“Ibu?”

Tak lama seorang Anak laki-laki muncul dari belakang punggung ibunya. Sepertinya anak itu baru saja keluar dari kelasnya.

“Ayo kita pulang Bu,” Ucap anak laki-laki itu.

“Davin?” Adit terkejut saat anak laki-laki itu menaikkan pandangannya.

Adit menengguk ludah, ia menatap ayahnya yang kini sedang menatap seseorang yang dulu melahirkan Adit.

“Ayo pulang yah” Adit menghentikan lamunan ayahnya. Baru saja satu langkah Adit dan ayahnya beranjak, tapi suara ibunya tertangkap oleh telinga Adit.

“Sebentar, ibu mau bicara sama Adit”

Ayahnya menatap Adit, Tapi Adit menggelengkan kepalanya, ia terus melajukan langkahnya, tak mau mendengar apa yang ingin diucapkan oleh ibunya.

Jadi, Davin adalah anak tiri ibunya? Jadi, Adit dan Davin saudara tiri?

Langkah kaki Adit berjalan tak beraturan, sama seperti akalnya yang tak habis pikir. Setelah dipisahkan oleh semesta selama kurun waktu yang lumayan lama, kini Adit bertemu dengan ibunya, tapi dengan keadaan dan kondisi yang berbeda.

Kenapa harus Davin?

“Dit, ibumu mau bicara sebentar. Dia mau ajak kamu ke Rumahnya. Dia mau ngenalin anak tirinya sama kamu”

Tumben sekali, Ayahnya berbicara dengan nada yang sangat halus. Tapi Adit tetap bersikukuh pada pendiriannya, bicara dengan ibunya sama saja seperti menyakiti dirinya sendiri. Yang ada, nanti Adit menjadi bahan perbadingan dengan Davin. Karena sejak dulu, ibu memang selalu menginginkan anak yang berprestasi dan pandai, persis seperti Davin. Bukan seperti Adit yang bisanya hanya buat onar dan selalu berada di urutan sepuluh terbawah di sekolah.

“Ayah nggak tahu siapa orang yang tadi di samping ibu”

“Memang dia siapa?”

“Musuhnya Zali, tapi musuhnya Adit juga. Beberapa hari yang lalu Adit bikin Davin babak belur yah”

Ayahnya malah tersenyum. Tak tahu apa yang ada dipikirannya Adit langsung meraih handphonenya yang ada di saku celana dan mulai mencoba untuk menganggap jika kejadian tadi tak pernah terjadi.

Adit tak pernah bertemu Dengan ibunya selama 9 tahun. Itu saja.

“Nggak akan ada ibu yang senang kehilangan anaknya. Walaupun sebenarnya anaknya itu masih tinggal di muka bumi”

“Kenapa bunda tinggalin Adit, kak Resty dan Putri? Apa alesannya? Kenapa ibu nggak bawa salah satu dari kami? Hanya itu yang ada dipikiran Adit sejak dulu. Ayah dan bundanya Gazza juga pisah, tapi kakaknya Gazza ikut Bundanya, dan Gazza ikut ayahnya. Dengan begitu mereka masih bisa ketemu, tapi kenapa dengan perceraian ayah dan ibu? Walaupun Adit udah nggak pernah bahas semua ini, tapi tetep yah, semua terasa mengganjal”

“Sudah 9 tahun berlalu, lupakan saja semua”

Ayah selalu begitu, ayah selalu mengakhiri obrolan ini, padahal Adit tahu, semua bermula karena ayahnya. Karena ayahnya menyuruh Adit ikut ke rumah ibunya.

Sesampainya di Rumah Adit langsung berlari menuju garasi untuk mengambil motornya dan melaju ke Rumah Dira. Tujuannya adalah mengajak Dira bermain ke pantai Rancabuaya di Garut. Tentu saja tidak berdua, tetapi dengan Marvin dan Dita.

***

Rencana ke Ranca buaya, itu adalah niatan Adit dan Dita. Sementara Dira dan Marvin hanya mengikuti saja. Katanya, sunset di Rancabuaya adalah sunset yang paling bagus menurut penelitian seorang Aditya Rhazes.

Pada saat sampai di Rancabuaya pas sekali saat sunset sedang berlangsung. Tidak terlalu kecewa karena hanya bisa menikmati sunset sebentar, yang penting Dira sudah bisa menikmati keindahan langit berwarna jingga itu tanpa terhalang oleh pehohonan rindang ataupun gedung-gedung pencakar langit.

“Aditya, artinya matahari. Lo tahu itu nggak Ra?” Tanya Adit pada Dira yang kini ada di sampingnya. Duduk diatas pasir pantai yang bersih dan sedikit basah karena ada sepercik air yang melintas di permukaan karena terbawa oleh ombak.

“Tahu”

“Dari mana?”

“Dari lo barusan”

Dira tertawa pelan, ia menatap Langit yang perlahan mulai gelap, Warna jingga kini hanya tersisa sedikit dan sebentar lagi akan menghilang secara keseluruhan.

“Lo pernah tahu nggak Ra, saat kecil gue nggak pernah bisa bener-bener bikin lo nangis, gue Cuma bisa gangguin lo, karena hanya dengan cara itu gue nunjukin rasa cinta gue sama lo Ra, gue sulit untuk mendeskripsikan seperti apa perasaan yang gue rasain, gue juga nggak tahu gimana caranya mencintai lo dengan baik, gue Cuma tahu, gue gangguin lo, setelah itu lo akan nangis atau ketawa, Walaupun selalu air mata yang mendominasi setiap kejailan gue”

Dira tertawa pelan, ia menatap butiran pasir yang ia genggam. Butirannya semakin banyak yang hilang saat Dira menggenggamnya lebih erat.

“Gue sempet berpikir kalau lo itu orang yang paling baik, orang yang paling mengerti gue setelah ayah gue pergi. Tapi, semakin dirasakan justru malah semakin sakit saat ngebayangin lo pergi. Saat lo pergi beberapa minggu yang lalu, jujur gue rindu dengan setiap candaan jayus lo yang nggak bermanfaat, sama pertanyaan bodoh lo yang nggak pernah membutuhkan jawaban, sama nyanyian dan suara gitar lo saat gue mau tidur, walaupun  suara  lo sebenenrnya nggak bagus-bagus amat. Tapi gue rasa, itu cukup untuk membuat gue sedikit rileks dengan semua kelelahan di penghujung hari” Dira mengambil nafas, ia mempersiapkan air matanya agar tidak tumpah saat menceritakan bagian yang menurutnya paling menyakitkan. “Awalnya, gue nggak pernah sadar kalau ada Zali di samping gue. Dia dateng saat gue rapuh, di saat gue butuh lo untuk ngehapus air mata gue, di saat gue butuh hiburan lo yang sebenernya nggak pernah ngebantu dan justru malah ngebuat gue makin sedih. Dia beda, dia orang yang beda sama lo, dia selalu bisa buat gue senyum dengan semua hal yang jauh dari jangkauan pikiran gue, dia selalu nyimpen sebuah kejutan di setiap sudut tempat di kota Bandung. Dan gue masih nggak percaya, udah dua minggu dia pergi nggak tahu kemana”

Dira menyekat air mata yang sudah melintas di pipinya, isak tangisnya beradu dengan deburan ombak pantai. Angin yang sejak tadi hilir mudik menjadi saksi sederas apa air mata Dira yang tumpah karena Zali.

Dira berharap, jika angin menyampaikan kabar Dira pada Zali  beritahu Zali jika Dira menangis, dan berikan Dira informasi dimana Zali berada. Dan bagaimana kondisinya.

He will be Fine

I hope

Setelah itu, sepercikan langit jingga hilang begitu saja, digantikan oleh langit hitam yang datang dengan begitu saja pula.

Deburan ombak semakin keras terdengar, Dira beranjak dari tempat duduknya, Ia menghampiri Marvin dan Dita yang sedang duduk di depan sebuah bale yang mampu menampung beberapa orang.

“Kita udah lama nggak main ber empat” Ucap Dita sambil menyantap sate kambing yang ada di depannya.

“Gue udah lama ngggak makan tempe orek”

Dira yang mendengar obrolan Marvin dan Dita hanya bisa tertawa pelan sambil geleng-geleng kepala.

***

Sesampainya di rumah, Dira langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Tapi, kali ini kasurnya sedikit tidak enak karena ada sesuatu yang mengganjal di punggungnya. Dira bangun, ia melihat sebuah kertas yang sedikit tebal berwarna hijau muda. Kertas ini bagus sekali. Dira suka.

Diraihnya kertas itu  dari luar tak ada nama pengirimnya, Dira dengan rasa penasarannya membuka kertas yang berwarna hijau itu. Isinya adalah Sebuah surat yang panjang sekali tulisannya. Digores dengan tinta hitam dan dilengkapi dengan nama pengirimnya.

“Zali? Dia datang lagi”

Dira tahan Dirinya untuk tidak keluar kamar, Dira menyiapkam sedikit waktu untuk membaca surat ini lalu bertanya pada Kak Diana atau ibunya.

 

Kenapa aku pilih surat untuk menyampaikan kabarku padamu? Padahal sekarang teknologi sudah canggih, tapi aku masih tertinggal dengan surat yang kini sedang kutulis. Dira, sudah berapa banyak surat yang kamu terima selama aku pergi? Simpan semua, sebagai tanda jika pena pernah menari diatas kertas sambil mengeluarkan tangisnya.

 Kutunggu kamu di Bromo saat matahari terbit. Datangi tempat yang seharunya kamu datangi.

Jangan lupa bawa teka-teki itu. Karena akhirnya akan ada di Bromo.

Ajak Lia dan Dita. Agar kamu tidak  menjadi wanita sendiri diantara teman-temanku.

Jangan lagi pikirkan aku. Ceritanya sebentar lagi akan usai. Kamu sudah hampir menemukan siapa orang yang seharusnya berada di sampingmu. Kamu, adalah rencana semesta kan?

Ayo pergi ke Bromo. Kali ini biarlah sumber kebahagianmu yang sesungguhnya yang menemani. Aku hanya akan menjadi penonton dari kejauham. Mengerti kan?

Jangan cari aku di Bromo. Itu hanya akan membuatmu lelah dan justru hanya akan membuatmu kehilangan moment bersama dengan teman-temanmu.

Satu hal lagi Dir, aku senang melihat kamu tertawa. Walaupun pelan.

 

 

Dira melemparkan surat itu, yang kini Dira butuhkan bukanlah surat, tapi Zali.

Dira melangkahkan kakinya menuju ke luar Kamar, ia mencari keberadaan Kak Diana, atau ibu. Tapi Kak Diana tidak ada, hanya ada ibu yang sedang memasak di Dapur.

“Ibu,” panggil Dira pada ibunya.

Air mata Dira sudah berada di puncaknya, kini hanya tinggal menunggu beberapa detik lagi untuk benar-benar jatuh Dan melintas di pipi.

“Kamu kenapa nak?” Ibu mematikan kompornya dan berjalan ke arah Dira, ibu merangkul Dira dan menyuruh Dira untuk duduk di kursi ruang tengah.

“Ibu tahu Zali ke sini?”

“Iya, Zali ke sini cari kamu. Tapi kamu pergi. Lalu dia bicara sama Kak Diana. Sambil nunggu kamu datang, tapi kamu nggak kunjung datang.”

Sudah bisa dibayangkan, kini sederas apa air mata Dira mengalir. Zalinya datang, Zali datang, menunggu Dira.

“Ibu kenapa nggak suruh Zali datang ke Rancabuaya?”

“Sudah, Zali sudah datang ke sana. Tapi dia hanya sebentar. Dia lihat kamu tertawa walaupun pelan. Dia senang, tapi dia tidak bisa berlama-lama di Bandung”

“Zali kemana?”

“Tempat yang tidak begitu jauh, tapi bukan di Bandung. Dia hanya bilang seperti itu”

Dira menyekat air matanya, ia menyandarkan kepalanya di bahu ibu. Merasakan bagaimana kecewanya Zali.  Merasakan betapa bodohnya Dira karena mau pergi dengan Adit.

Andai saja, jika tadi ada angin yang memberitahu Dira jika Zali berada di dekat Dira. Dira tak akan tinggal diam. Dira akan menangis agar Zali tahu jika Dira tidak bahagia atas kepergian Zali.

“Ibu, Zali pergi” Tak tahu Dira harus bicara apa, hanya tiga kata yang mewakili rasa menyesalnya, rasa rindu dan keinginannya untuk Zali tetap di sini.

“Hanya Zali yang pergi, cintanya masih tetap di sini. Di hati kamu. Dia hanya pergi membawa raganya, hatinya ia biarkan tinggal dan terjaga di sini”

“Ibu, Zali bilang Dira harus ke Bromo untuk tahu semua arti teka-tekinya? Dira boleh pergi?”

“Pergilah”

***

Seminggu setelah Zali memberikan surat itu, Kini Dira tak berani lagi untuk pergi keluar Rumah. Dira lebih memilih untuk menetap, Dira takut jika nanti Zali datang lagi saat Dira pergi.

Tentang rencana ke Bromo, nanti malam jam7 malam Dira dan temen-teman harus boarding di Bandara Internasional Husein Sastranegara.

Semua perlengkapan sudah Dira masukkan ke dalam tas, dan di dalam tas itu juga Dira menyimpan sebuah buku sketsa yang isinya adalah semua kepingan teka-teki yang diberika  oleh Zali.

 

Tak tahu apa lagi yang harus aku tulis di atas kertas ini. Goresan tinta hitam ini sekaramg tak memiliki arti apapun tanpa kehadiran Kamu. Cerita ini semua tentang kamu. Buku biru ini sudah bercerita bagaimana kedekatan kita, seperti sedekat nadi dan menceritakan bagaimana jarak kita saat ini yang mungkin sudah sejauh jarak matahari dan pluto.

Menyuapi harapan dengan semangkuk imajinasi membuatku kenyang dengan perihal bermimpi. Aku bosan Zal, mimpiku selalu datang kamu. Tapi kamu tak kunjung datang setelah aku selesai bermmpi. Sudah ku telaah lagi, kau datang hanya untuk menemani, bukan untuk melengkapi.

Aku ingin membencimu, tapi tak bisa. Hati ini selalu bertanya dimana kamu? Kapan kamu datang? Setiap detik selalu begitu.

Kejadiaan ini terlalu tiba-tiba. Hingga aku kadang merasa jika aku sedang larut dalam mimpi buruk. Tapi aku tak bisa bangun. Karena mana bisa aku bangun,ini adalah dunia nyata. 

 

Dira menutup buku catatan hariannya, ia menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 4. Dan bisa Dira hitung dalam hitungan menit, sebentar lagi akan ada orang yang datang.

Bukan Zali, tapi Adit yang akan menjemput Dira ke Bandara.

Tak lama, Adit benar-benar datang, bersama dengan Marvin, Dita, dan juga Gazza.

“Dikit banget bawanya Ra, Si Dita aja sampe bawa koper tuh”Ucap Marvin saat melihat Dira haanya menggendong satu tas dan satu Handbag yang ada di dekapannya.

“Cuma dua hari. Habis itu pulang kan?”

Dira datang ke sana hanya untuk menyelesaikan teka-teki Zali. Bukan untuk ikut berlibur. Memang seharusnya Dira butuh liburan, tapi bersenang-sedang di atas rasa menyesalnya itu bukanlah suatu hal yang baik.

“Ta, bawa Ipod nggak?” Tanya Dira pada Dita yang sedang asik bermain handphone.

“Nih. Pake aja” Tiba-tiba Adit yang duduk di depannya memberikan Ipod berwarna putih.

Dira ingat ini adalah Ipod yang waktu itu digunakan Zali di Rumahnya pada saat bermain game. Nama merk Ipod itu juga sama, bahkan ada tulisan yang menandakan jika itu adalah milik Zali.

Tulisan spidol berwarna biru itu jelas terlihat oleh mata Dira. Dan rindu itu kini datang.

           

Milik Adrian.

 

Ragu, tapi Dira menemepelkan itu di Telinganya. Deretan lagu the beathles dan Mcfly mengiringi perjalanan Dira yang sunyi sepi itu. Sampai di bandara, lagu itu juga berganti. Dengan lagu yang diawali dengan petikan gitar  slow.

 

Takku sangka, semua seperti ini.

Semua yang indah, berubah jadi sirna.

Tak habis pikir kau tega seperti ini

Meninggalkan aku tanpa suatu kepastian.

Ku hanya bisa berharap, kau bahagia di sana.

Dengan dia pilihanmu walau dia sahabatku.

Biar aku yang pergi,

Biar aku tersakiti biar aku yang berhenti

Berhenti mengharapkanmu.

Oh tuhan kuatkan aku, merima semua ini,

Jika dia memang untukku tuhan kan kembalikan dia padaku.

 

Dira melepaskan earphone itu dari telinganya, Dira memeluk Dita yang ada di sampingnya. Menangis di sana. Suara yang baru saja Dira dengar adalah suara Zali. Zali yang menyanyi lagu itu.

Zali, ini semua termasuk rencanamu? Atau rencana semesta?

Saat ini, Dira sudah berada di dalam pesawat, Dira membuka buku catatan hariannya yang berwarna biru, dengan perlahan Dira juga mengambil sebuah pulpen yang ada di saku bajunya.

Menuliskan pesan hati untuk Zali lagi? Iya. Sebelum Dira menemukan Zali, Dira akan terus seperti ini. Membuat catatan harian, curahan hati tentang kerinduannya pada sosok manusia yang penuh dengan teka-teki.

Zali, sekarang aku ingin menyelesaikan maksud dari teka-tekimu. Aku ingin mengikuti semuanya. Kamu benar, aku sudi untuk mengetahui maksud teka-tekimu sampai ke puncak gunung yang tinggi dan jauh dari Bandung.

Kamu mengenalkan aku pada keindahan alam Bromo.  Zal, aku datang, kamu juga ada di sana? Kalau ada, tolong temui aku, aku rindu.

Kini, setip huruf telah terangkai menjadi sebuah kata, dan kata sudah terangkai menjadi sebuah kalimat, dan kalimat sudah terangkai menjadi Paragraf, dan paragraf sudah terangkai rapi menjadi sebuah buku. Rindu ini masih belum menemukan penawarnya. Aku takut.

“Hey” panggilan pelan itu membuat Dira menoleh, orang yang semula ada di sampingnya kini berubah. Yang semula Dita kini malah Adit.

“Apa?” Ucap Dira pelan

“Aku matahari. Kamu adalah pemiliknya”

Apa maksudnya?

“Aku maunya Zali!”

“Dulu kamu maunya aku, bukan dia”

“Kan itu dulu”

Adit menetap di samping Dira. Tapi, Dira sama sekali tidak tertarik untuk menatap Adit. Dira lebih tertarik untuk menatap awan hitam yang ada di kaca jendela.

“Ra, aku mau kita buat kisah baru. Di Bromo, aku akan mulai semuanya”

Apa kisah yang ingin kau mulai?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Happiness Is Real
2      2     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Luka Adia
6      2     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
KATAK : The Legend of Frog
2      2     0     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Pertualangan Titin dan Opa
35      12     0     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Sunset In Surabaya
2      1     0     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Enigma
13      8     0     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Black Roses
373      60     0     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
Like a Dandelion
28      3     0     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
A - Z
30      12     0     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Forbidden Love
61      20     0     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...