MATHILDA VERNON MENATAPI lukisannya yang bisa dibilang gagal total. Ia mengerang, mengangkat kepala dengan kedua tangan saling bertumpukan di atas rambutnya yang berwarna cokelat. Ia melihat ke bawah lagi dan langsung menyesali perbuatannya. Gadis itu menarik kanvas yang separuh kosong, kemudian menempatkannya di sudut tergelap ruang seninya. Ia mengambil kanvas baru, menyiapkan palet, dan berhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia lukis. Jadi, ia menaruh peralatannya kembali dan berjalan keluar.
Mathilda memutuskan untuk pergi ke café di dekat kampusnya dengan berjalan, karena hanya memerlukan waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana. Ia berpikir, tidak ada salahnya untuk membuat dirinya familier dengan daerah sekitar kampus walaupun ia—sayangnya—tidak mendapatkan kamar asrama sehingga ia harus menyewa kamar apartemen. Mungkin memang terasa lebih nyaman tinggal sendiri dibandingkan harus berbagi kamar dengan orang asing, namun setidaknya ia bisa memiliki teman tanpa harus melakukan beberapa hal yang membuatnya tidak nyaman.
Mathilda mendekap jaketnya lebih erat saat angin musim gugur yang dingin menerpa dirinya. Ia berharap semoga saja ia tidak kelihatan bodoh karena berjalan sendirian, tetapi mungkin itu hanyalah sebuah trik tua dari anxiety yang ia miliki, karena jalanan tampak ramai seperti biasa. Ia sebenarnya sedang merasa kesal dengan dirinya yang perfeksionis. Itu membuatnya sulit untuk mengapresiasi hal-hal kecil yang ia lakukan.
Mathilda menghela napas lega saat ia melihat sebuah papan kayu bertuliskan Donna’s Coffee yang menggantung di atas pintu masuk. Ia berlari kecil dan langsung membuka pintu tersebut. Dan, tentu saja ia harus menabrak seorang pria sampai kopinya tumpah ke sekujur abdomennya. Atau, itu yang ia pikir.
Sial, pikirnya.