CHAPTER ONE;
genangan kopi
***
TERDAPAT HENING SELAMA beberapa saat. Meredith sibuk memindahkan berat dari satu kaki ke kaki yang satunya lagi, sementara si pria itu memandangi genangan kopi di depan kakinya dengan mulut yang agak terbuka.
“Ma-maafkan aku,” ujar Meredith dengan kecil dan tergesa-gesa, tidak berani menatap mata dengan pria itu.
Pria yang ia tabrak itu masih melihat ke bawah, ke genangan kopi yang berada di depan kakinya. Untung saja refleks pria itu cepat, jadi ia berhasil menyelamatkan sweter favoritnya dari noda cokelat yang panas, yang mungkin akan susah untuk dihilangkan. Seketika, ia menyesali keputusannya untuk tidak memakaikan penutup pada cangkir kertasnya.
Meredith menelan ludah. “Biar kubelikan lagi,”
“Tidak usah,” sela pria itu. “Aku bisa beli lagi.”
“Tidak apa-apa, biar aku belikan.” Paksa Meredith sambil berjalan ke dalam.
“Tunggu,” panggil pria itu.
Meredith menoleh, hanya untuk mendapati pria itu sedang membuang cangkirnya ke tempat sampah di sebelah gedung café. Meredith menoleh, hanya untuk mendapati pria itu sedang membuang cangkirnya ke tempat sampah di sebelah gedung caf. Kedua mata hijau zamrudnyamengikuti pria itu sampai masuk ke dalam. Setelah itu ia sadar bahwa ia baru saja membukakan pintu untuk pria itu. Ia tidak yakin mengapa, mungkin saja otaknya sengaja membuat Meredith melakukan hal tersebut sebagai tanda maaf, karena pria itu tidak mengizinkan Meredith mengganti kopinya.
Gadis berambut pendek itu terdiam seperti orang bodoh di belakang pria itu sampai ia menoleh dan menanyakan apa yang ingin Meredith pesan.