Read More >>"> Sang Penulis (E20) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Penulis
MENU
About Us  

“Sen, langsung balik aja, ngapain kita ke sini?” tanyaku saat Arsen mengemudikan mobilnya memasuki sebuah pusat perbelanjaan, pusat perbelanjaan yang sama dengan yang aku dan Kenzo datangi kemarin.

“Mau beli kado buat mama lo,” jawab Arsen.

“Ya ampun, Sen, gak usah,” ujarku. “Gue pergi sama Cindy aja.”

“Cindy nyuruhnya lo pergi bareng gue, ‘gimana?” tanya Arsen.

Aku terdiam sejenak. Aku tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Arsen karena bagaimana pun juga, kami sudah berada di sini dan Arsen pasti tidak mau langsung pulang. Dan aku baru sadar akan sesuatu. Cindy menyuruh Arsen untuk menemaniku dan pasti ada suatu alasan yang membuat Cindy menyuruh Arsen. Dan aku sangat takut, alasan itu adalah karena Cindy tahu kalau aku menyukai Arsen.

Tidak. Kalau itu benar, aku tidak sanggup untuk hidup tanpa motivasi dari Cindy dan aku tidak mau dicap sebagai teman yang menusuk dari belakang.

“Ayo, Sya,” ajak Arsen setelah mobilnya terpakir di parkiran mobil.

Aku pun tersadar dari lamunan singkatku dan keluar dari mobil Arsen. Aku harus dapat menghilangkan pemikiran itu untuk sementara waktu agar Arsen tidak curiga dengan sikapku yang mungkin saja akan aneh jika aku terus memikirkan itu.

“Gue boleh milih kado buat mama lo, gak?” tanya Arsen kepadaku ketika kami sudah berada di dalam pusat perbelanjaan.

“Boleh, sih, tapi emangnya lo tau mama gue lagi pengin apa?” tanyaku.

Arsen menganggukkan kepalanya lalu ia mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan beberapa detik kemudian, dia menunjukkan ponselnya kepadaku. Ia menunjukkan sebuah percakapan antara seseorang dengan ibuku.

“Itu mama gue, ‘kan?” tanyaku.

Arsen menganggukkan kepalanya. “Itu chat mama lo sama mama gue.”

“Tunggu, kenapa mama gue sama mama lo bisa kenal?” tanyaku.

“Lo lupa kalau kita pernah satu sekolah?” tanya Arsen balik.

“Jadi, selama ini mama kita temanan?” tanyaku.

Arsen menganggukkan kepalanya. “Gue boleh milih, ‘kan?”

Aku pun menganggukkan kepalaku karena secara kebetulan, aku belum menemukan sesuatu yang menarik untuk ibuku.

“Mama lo lebih suka yang ini atau ini?” tanya Arsen seraya mengangkat dua tas yang menarik perhatiannya ketika kami sudah berada di sebuah gerai yang menjual tas dengan berbagai merek.

Aku memperhatikan dua tas yang dimaksud oleh Arsen. Dua tas itu memiliki model yang sama, yang membedakan mereka hanyalah warna, tas yang ada di tangan kanan Arsen berwarna hitam sementara tas yang ada di tangan kiri Arsen berwarna cokleat keemasan.

“Yang hitam aja deh, Sen,” jawabku.

Arsen pun meletakkan kembali tas berwarna cokelat itu ke tempatnya.

“Eh, tunggu dulu, Sen, itu harganya berapa?” tanyaku.

Arsen melihat label yang tergantung di tas itu. “Enam ratus sembilan puluh sembilan ribu.”

Aku sedikit terkejut dengan nominal yang disebutkan oleh Arsen. Itu sangat mahal untuk remaja yang jarang menabung sepertiku. “Cari yang lain aja deh, Sen.”

“Gue tambahin deh,” ucap Arsen yang sudah mengetahui maksud dari perkataanku barusan.

Aku menggelengkan kepalaku. “Gak usah, Sen, uang gue kurangnya banyak banget.”

“Kurang berapa emangnya?” tanya Arsen.

“Dua ratus, Sen,” jawabku.

“Biar gue aja yang tambahin, Sya,” ujar Arsen.

“Gak, Sen, kali ini lo gak boleh bantu gue,” tolakku.

“Sya, tolong banget,” ujar Arsen. “Ini sebagai tanda terima kasih gue ke mama lo.”

“Emangnya mama gue pernah ngelakuin apa ke lo?” tanyaku.

“Mama lo emang gak ada ngelakuin apa-apa ke gue, tapi mama lo udah ngelahirin lo,” jawab Arsen.

Aku terdiam mendengar jawaban Arsen. Aku tidak menduga jawaban itu akan keluar dari mulut Arsen. “Alay banget lo, Sen.”

“Gue serius kali, Sya,” balas Arsen.

“Ya udah, deh, kalau lo emang mau bantu gue,” ujarku. “Nanti kalau gue ada uang lebih, gue ganti uang lo.”

“Gak usah, Sya, gue ikhlas,” ucap Arsen.

***

“Sprite-nya lagi habis, Sya, jadi, gue beli yang Coca Cola, gak apa-apa, ‘kan?” tanya Arsen seraya meletakkan nampan berisi pesanan miliknya dan milikku di atas meja.

Aku menganggukkan kepalaku. “Totalnya berapa, Sen?” tanyaku.

“Udah, gak usah bayar, Sya,” jawab Arsen. “’Kan gue yang ngajak lo makan, masa lo yang bayar."

"Sen, lo udah baik banget sama gue-"

"Udah, Sya, biar hari ini gue ngelayanin lo karena ini bakalan jadi yang istimewa buat kita berdua," ujar Arsen.

Aku menatap Arsen dengan tatapan kebingungan. Aku tidak mengerti apa maksud ujaran Arsen itu. Aku malah mengartikan ujaran Arsen itu sebagai sesuatu yang menurutku sangat aneh.

"Sya, gue udah tau semuanya," lanjut Arsen.

Entah kenapa, perkataan Arsen barusan langsung membuat pikiranku terkait dengan perasaanku terhadap Arsen. Ya Tuhan, semoga saja tidak. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk merasakan malu di depan orang yang kusukai.

"Tau semuanya? Maksud lo apa?" tanyaku.

"Gue udah baca tulisan yang ada di mading gedung D," jawab Arsen. Walaupun dia tidak benar-benar menjawab pertanyaanku, aku tetap menganggap bahwa Arsen menjawab pertanyaanku. Dan jawabannya barusan melebihi dari jawaban atas pertanyaanku.

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu berat untukku, aku tidak sanggup untuk menanggapi jawaban Arsen.

"Sya, yang ditulis di mading itu benar, 'kan?" tanya Arsen.

Aku masih terdiam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa, aku tidak mungkin mengelak karena Arsen sudah membaca tulisan itu. Dan lebih tidak mungkin lagi jika aku jujur di depan Arsen. Aku masih mau berteman dengan Arsen dan juga Cindy pastinya.

"Sya, ngomong sesuatu," pinta Arsen.

Aku masih tetap diam. Andai saja dengan diam aku bisa menjawab pertanyaan Arsen, aku pasti tak harus bersusah payah mencari perkataan yang tepat untuk menanggapi Arsen.

"Oke, biar gue yang ngomong ke lo," ujar Arsen, "Gue tau ini bakalan terlihat gak mungkin bagi lo, tapi percaya sama gue, apa yang bakal gue kasih tau ke lo adalah kejadian yang sebenarnya. Gue harap lo ngerti apa maksud gue."

Aku masih diam, kali ini aku bermaksud agar Arsen langsung mengatakan apa yang ingin dia katakan. Dalam hatiku aku berdoa agar apa yang akan dikatakan Arsen tidak membuatku terdiam seperti orang bodoh, tapi kurasa itu tidak mungkin, mengingat sekarang aku sudah seperti orang bodoh. Terdiam tanpa tahu harus berkata apa.

"Gue sebenarnya gak pacaran sama Cindy karena Cindy gak suka sama gue dan gue juga gak suka sama Cindy. Gue pura-pura pacaran sama dia karena gue pengin dia kasih tau ke gue tentang lo, gue pengin tau informasi tentang lo dari dia," ucap Arsen.

Aku sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Arsen. Apa yang baru saja diucapkan oleh Arsen benar-benar tidak kuduga. Aku tidak menyangka bahwa Arsen dan Cindy dekat hanya untuk membicarakanku.

"Kenapa lo gak langsung dekatin gue dan dapat informasi langsung dari gue?" tanyaku dengan rasa terkejut kembali menghampiri diriku. Aku tidak menduga pertanyaan itulah yang muncul dari sekian banyak kata-kata yang bisa kulontarkan kepada Arsen.

"Gue takut, Sya, gue takut kalau gue dekat sama lo, lo bakal ninggalin gue," jawab Arsen, "Gue takut kejadian tiga tahun yang lalu kembali terjadi. Gue waktu itu suka sama lo, Sya. Dan sampai sekarang, gue masih suka sama lo. Selama lo di sana, gue selalu minta sama mama gue buat ngasih tau kabar tentang lo. Dan waktu kita satu sekolah lagi, gue senang banget, tapi sayang, gue terlalu takut buat dekat sama lo lagi. Gue takut kalau lo udah jadi orang yang berubah dan ternyata, lo gak berubah. Lo tetap Marsya yang gue kenal dulu."

Aku tidak tahu harus merasakan apa sekarang. Yang kutahu adalah aku seharusnya merasa senang. Aku seharusnya merasa senang karena ternyata Arsen dan Cindy tidak pacaran dan yang terpenting. Dan yang terpenting, aku harus merasa senang karena ternyata Arsen juga menyukaiku.

"Sya, tolong ngomong sesuatu," mohon Arsen.

"Gue... Gue benar-benar kaget dengar penjelasan lo sekarang," ujarku.

Marsya bodoh. Aku seharusnya mengatakan sesuatu yang lebih berbobot dibandingan perkataan barusan. Maafkan diriku yang bodoh ini, aku memang tidak pandai dalam merangkai kata, apalagi dalam situasi seperti ini.

"Yang lain?" tanya Arsen.

"Oke, gue bakal jujur sama lo, gue suka sama lo," jawabku, "Sejak SMP dan sampai sekarang."

Sebuah senyum terukir di wajah tampan milik Arsen. "Lo serius?"

Aku menganggukkan kepalaku.

"Sya, gue minta maaf kalau gue udah nyakitin hati lo dengan pura-pura pacaran sama Cindy. Gue tau itu bodoh banget dan gue nyesal," ujar Arsen.

"Tenang aja kali, Sen, gue biasa aja, kok," balasku walaupun sebenarnya aku tidak biasa saja.

"Kalau gitu, lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Arsen.

Aku terdiam. Untuk kesekian kalinya, aku terkejut mendengar perkataan Arsen. Apa yang dikatakan Arsen pada hari ini sangat di luar dugaan. Aku tidak menyangka Arsen akan mengatakan apa yang telah dikatakannya.

"Sen, gue mau jadi pacar lo, tapi, gue rasa ini terlalu cepat karena semua orang taunya lo pacar Cindy," jawabku.

Kalau aku boleh jujur, aku sangat ingin menerima permintaan Arsen itu. Akan tetapi aku sadar, semua orang tahu bahwa Arsen adalah pacar Cindy. Tidak mungkin dalam waktu kurang dari dua minggu, Arsen telah menjadi pacarku.

"Oke, gue bakal nunggu lo," ujar Arsen, "Tapi gue mohon sama lo, lo jangan pergi, ya?"

Aku menganggukkan sembari tersenyum. Senyum pertamaku kepada Arsen tanpa adanya rasa tak enak terhadap Cindy. Senyum tulus pertama yang kuberikan kepada Arsen setelah sekian lama tidak kuukir di wajahku.

***

"'Makasih buat hari ini, Sen," ucapku kepada Arsen setelah Arsen memberhentikan mobilnya di depan rumahku.

Arsen menganggukkan kepalanya. "Besok lo gue jemput, ya?"

Aku menganggukkan kepalaku lalu keluar dari mobil Arsen. Kemudian aku berjalan masuk ke dalam rumahku dan memandangi kepergian Arsen dari jendela rumahku.

Sesampainya aku di kamarku, aku menemukan sebuah kotak berwarna cokelat di atas tempat tidur dan ada sebuah tulisan tertempel di atas kotak itu.

Gue minta maaf atas apa yang telah gue lakuin ke lo. Gue harap dengan adanya ini, rasa kecewa lo ke gue gak begitu besar karena lo yang bilang kalau lo tidak mudah kecewa atau marah kepada orang.

Aku membuka kotak cokelat itu dan aku benar-benar terkejut melihat apa yang ada di dalam kotak cokelat itu.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Semanis Rindu
49      33     0     
Romance
Aku katakan padamu. Jika ada pemandangan lain yang lebih indah dari dunia ini maka pemandangan itu adalah kamu. (Jaka,1997) Sekali lagi aku katakan padamu. Jika ada tempat lain ternyaman selain bumi ini. Maka kenyamanan itu ada saat bersamamu. (Jaka, 1997) Jaka. nama pemuda jantan yang memiliki jargon Aku penguasa kota Malang. Jaka anak remaja yang hanyut dalam dunia gengster semasa SM...
Langit Jingga
0      0     0     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
MANTRA KACA SENIN PAGI
34      13     0     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu
Enigma
0      0     0     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Dendam
6      2     0     
Mystery
Rian Putra Dinata, seorang pelajar SMU Tunas Muda, memiliki sahabat bernama Sandara. Mereka berdua duduk di bangku yang sama, kelas XI.A. Sandara seorang gadis ceria dan riang, namun berubah menjadi tertutup sejak perceraian kedua orang tuanya. Meskipun Sandara banyak berubah, Rian tetap setia menemani sahabatnya sejak kecil. Mereka berjanji akan terus menjaga persahabatan hingga maut memisahk...
Bintang Biru
23      4     0     
Romance
Bolehkah aku bertanya? Begini, akan ku ceritakan sedikit kisahku pada kalian. Namaku, Akira Bintang Aulia, ada satu orang spesial yang memanggilku dengan panggilan berbeda dengan orang kebanyakan. Dia Biru, ia memanggilku dengan panggilan Bintang disaat semua orang memanggilku dengan sebutan Akira. Biru teman masa kecilku. Saat itu kami bahagia dan selalu bersama sampai ia pergi ke Negara Gingsen...
I'll Be There For You
0      0     0     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
To The Girl I Love Next
3      3     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
Kesya
88      31     0     
Fan Fiction
Namaku Devan Ardiansyah. Anak kelas 12 di SMA Harapan Nasional. Karena tantangan konyol dari kedua temanku, akhirnya aku terpaksa harus mendekati gadis 'dingin' bernama Kesya. Awalnya pendekatan memang agak kaku dan terkesan membosankan, tapi lama-kelamaan aku mulai menyadari ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Kesya. Awal dari ancaman terror dikelas hingga hal mengerikan yang mulai ...
Astronaut
18      13     0     
Action
Suatu hari aku akan berada di dalam sana, melintasi batas dengan kecepatan tujuh mil per detik