Read More >>"> You Can (Tiga) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - You Can
MENU
About Us  

"Nggak!"

"Harus!"

"Nggak, Den! Kok maksa, sih?" Kara memberengut. Hidungnya kembang-kempis. Suasana hatinya sudah buruk sejak siang. Tokonya masih sepi dan Marni harus pulang kampung. Sendirian jaga toko itu tidak enak terutama kalau temannya hanya cicak dan semut di dinding. Tidak ada yang bisa diajak ngobrol.

"Meskipun demi toko tetap 'Nggak'?"

"Nggak. Lagian tumben banget kamu mau difoto apalagi divideo? Otak kamu korsleting?" Kara tahu benar kalau Dennis anti kamera. Sahabatnya itu milih ngamuk atau mematahkan kamera daripada harus tersenyum di depan benda kotak bercahaya itu.

Dennis menekan pundak Kara agar mau duduk kembali ke kursi tinggi tanpa penyangga. Saling berhadapan diselingi sepiring kue kering buatan neneknya di meja bundar. Biasanya Kara bisa menghabiskan satu loyang. Masih hangat sudah jadi incaran. Sekarang, kue kering beraroma vanili itu malah tampak menyedihkan. Tidak laku dan tersentuh sedikit pun. Iba, Dennis mencomot satu. Menggigit secuil. Rasa wortel. Lagi-lagi neneknya bereksperimen. Untung rasanya lumayan. Seperti biskuit bayi. Persis.

"Bukan aku," Dennis berkata disela-sela mengunyah kue kering rasa wortel. "Tapi kamu."

"Nggak."

"Denger, Vlog-nya Feri punya follower banyak. Dia janji mau bantu bikin video untuk mempromosikan toko bukumu."

"Kenapa kamu sibuk ngurus aku? Kamu harusnya fokus belajar, Den. Nek Tin bilang kamu mau masuk UI."

"Aku udah pinter."

"Sombong, ih," cibir Kara iri.

"Kamu pikir, aku bakal tenang ninggalin kamu di sini?" tanya Dennis, enggan.

"Harus tenang, dong. Selain kamu, aku punya Agus," Kara melet. Dennis mendengus.

"Agus ada maunya sama kamu, Bodoh!"

"Biarin!" Kara melet lagi, kali ini pasang tampang malas. "Capek. Kamu nggak capek habis ngamen?"

Dennis menggeleng, capeknya terbayar lihat Kara. Wajah Kara enak dipandang. Tidak secantik Lala, tapi mata Kara yang selalu memandang lugu apa adanya membuat Dennis terpaku. Kayak lihat bayi lagi melongo. "Minggu depan harus mau. Kita bakal shooting di tempatmu."

"Nggak! Aku nggak bisa akting. Kugigit, nih," Kara menarik lengan telanjang Dennis. Bersiap seakan-akan mau gigit.

"Gigit aja," Dennis malah menyodorkan lengannya seperti roti paris panjang. Memasang tampang cuek seperti biasanya. Mata terpejam sambil mendesah malas.

Kara nyengir. Melap lengan sahabatnya itu seperti melap meja supaya kinclong. "Nggak, deh. Fans-mu bakal ngamuk. Aku bakal di-bully habis-habisan."

Dennis mengacak rambut Kara. "Kamu."

"Apa?"

"Nggak," Kepala Dennis melongok ke belakang. "Katanya ke rumah Bibi, Nek?"

Kepala Kara ikut menoleh. Di belakangnya, Nek Tin melangkah gesit sambil membawa tongkat kesayangan. Tongkat andalan untuk memukul tulang kering Dennis saat cowok itu berulah. Entah karena menaruh handuk di kasur, lupa mencantelkan kembali seragam sekolahnya, atau sembarangan membuang sampah. Kara ngeri punya nenek seperti itu. Almarhum ibunya sendiri sudah parah dalam hal kecerewetan. Tapi, Kara merindukan kecerewetannya itu.

Di rumah hanya ditemani Tante Erna yang jarang ngomong. Sama saja seperti sendirian. Kara sering lari ke rumah Dennis hanya untuk mendengar omelan Nek Tin. Aneh, banget. Dennis sampai mengatai Kara sinting. Biar, kata Kara.

"Sudah. Cuma minta kemangi," Nek Tin menunjukkan setangkup kemangi. "Seneng ya kalau Nenek perginya lama?"

Kara ngakak, "Kayaknya, Nek."

"Aduh, dasar anak zaman sekarang. Terus," Nek Tin memandangi Kara dari atas sampai bawah. Dari samping kanan ke samping kiri. Detail. Tidak terlewat. Bahkan noda minyak di rok Kara. "Kenapa Kara masih di sini? Nggak malu dilihat orang anak gadis main ke rumah laki. Lama lagi," gerutu Nek Tin.

Ganti Dennis terkekeh, geli melihat gestur Kara salah tingkah. Kara buru-buru turun dari kursi sambil mengambil beberapa potong kue kering.

"Ada tugas, Nek. Den, kirim e-mail. Nek, Kara pamit pulang, ya," Kara langsung keluar melalui pintu belakang. Mengitari halaman lalu melompati pagar kayu setinggi pinggang. Berhasil? Tidak. Tapi, Kara tidak pernah kapok. Masih saja suka lompat pagar. Sampai memar-memar. Jalan pintas, katanya nyengir kuda sambil mengelus pantat.

"Kalian pacaran?" Nek Tin bertanya.

Kening Dennis terlipat heran. "Nggak."

"Bener?" tanya Nek Tin lagi.

"Terserah," Dennis menyugar rambutnya. Sambil menonton neneknya mencuci kemangi, tangannya meraih secangkir wedang jahe yang sempat dibuat Kara. Lalu menyesapnya. Jahe campur kayu manis. Aroma yang pas. Rasa yang sulit ditebak. Kadang seperti itulah perasaan Dennis. Dia sendiri gagal memahaminya. Sama halnya terlalu gengsi mengakui kekalahan. Enggan saja. Belum waktunya saja.

"Nenek tahu, Den," ujar Nek Tin.

Tahu apa? Dennis tidak peduli. Dia hanya memikirkan nasib toko buku milik sahabatnya. Tidak lebih, semoga. Janjinya.

 

***

 

"Kalau ke sini harus pilih buku! Wajib!" Kara pasang badan di depan mulut pintu toko. Agus tersenyum hangat. Di tangan kanannya membawa kantong putih kecil. Pasti risol lagi, batin Kara. Lezat, kok. Cuma Kara tidak enak hati makan risol gratis terus.

"Selamat pagi, Kara. Hei, Den!" Agus melambai ke belakang Kara, tempat Dennis berdiri sambil memegang lap basah. "Minggu bersih, ya?"

Hanya menoleh sekilas tanpa menjawab, Dennis kembali melakukan aktivitasnya. Melap rak. Menata buku tanpa dibayar. Ikhlas. Kara hanya kasih upah segelas es susu jahe plus semangkuk bakso kalau abang langganan lewat.

Kara yang menengahi. Pasang muka ramah menyambut pelanggan jenis apa pun. Ya, kadang Kara tidak setulus itu. Muka topeng lebih sering digunakan Kara. Lelah penyebabnya. "Harus bawa pulang buku!"

"Tergantung. Ada yang bagus?"

Kara mendesah, "Harusnya kalau tahu kontaknya Kelana Samudra, aku mau masok bukunya dia."

"Masih dia lagi?"

Kara mengangguk, "Beberapa minggu ini banyak yang tanya tentang dia."

"Wow, beken juga. Jujur, karya dia memang bagus meski agak aneh." Agus maju selangkah, "Boleh masuk, kan?"

"Iya, deh," Kara mundur, memberi jalan masuk. "Aneh bagaimana?"

"Dennis nggak cerita?" Agus melirik cowok yang sibuk menata ulang buku. Pura-pura tuli kadang sudah jadi kebiasaan Dennis jika Agus datang ke toko dan ngobrol dengan Kara. Sesekali Dennis berdeham atau batuk-batuk tidak jelas. Mondar-mandir kayak odong-odong lewat di depan Kara dan Agus.

"Dia mah gitu. Dia yang kasih tahu, dia juga yang bungkam."

Agus tersenyum, "Mungkin susah jelasinnya. Aku sendiri bingung. Kelana berhasil menulis sesuatu yang benar-benar menggambarkan kami, para cowok."

"Apa itu?" tanya Kara.

"Perasaan kami. Cinta di mata cowok berbeda dengan cewek," jelas Agus, lembut sambil menopang dagu mengamati wajah Kara belepotan debu dan sarang laba-laba tersangkut di poni cewek itu.

"Anehnya di mana?" Kara berusaha sebaik mungkin untuk tidak terpengaruh pesona Agus yang magis. Apalagi senyuman Agus yang bikin nagih. Gila. Seandainya Dennis juga punya senyum seperti Agus. Seandainya. Kara bakal double gila.

"Nggak mau spoiler. Dosa."

"Pelit. Sama pelitnya kayak Dennis." Kara manyun.

Agus terkekeh, "Toko mulai rame?"

Wajah Kara berubah girang secepat kilat, "Lumayan, ada pelanggan baru. Katanya gara-gara brosur yang disebar pengamen di taman. Tuh," Kara tersenyum menunjuk sosok sahabatnya. Masih sibuk melap. "Rencananya kami juga mau buat Vlog."

"Vlog?"

Kara menggeleng, "Aku nggak ngerti cara kerjanya. Dennis sama Feri yang tahu. Kamu mau ikut? Biar rame."

Agus mengintip. Dennis masih diam. Tidak menyahuti. Seolah tembok tebal tanpa kuping. "Boleh sama Dennis?"

Bingung, Kara menoleh ke Dennis. Sahabatnya makin giat melap sampai terdengar bunyi decitan saking kuatnya menggosok.

"Boleh," ucap Kara sambil mengunyah permen jahe.

"Kara!" Dennis memanggil. Suaranya tenang, tapi tanpa senyum. Lap basah sudah tergeletak di lantai.

Di saat bersamaan, pintu toko terbuka. Berdiri bocah ojek payung yang dulu tubuhnya basah. Sekarang, bocah itu tidak lagi gigil. Tanpa payung, justru ransel di punggung. Wajahnya terbalut keceriaan lugu khas anak-anak. Namanya Carlos, tertulis di kaus hitam kebesaran itu. Mungkin, Kara belum tanya.

"Mbak," sapanya, ragu.

"Carlos?" sapa Kara, ramah.

Bocah tersebut melirik kausnya sendiri lalu menggeleng. "Nama saya Juki."

"Oh, Juki. Mau beli buku lagi?"

Juki menggeleng lagi. "Saya mau bayar kekurangan yang waktu itu," Juki merogoh saku celana kain sobek di bagian lutut dan paha. "Ini."

"Nggak usah."

"Tapi saya harus," katanya.

"Kenapa?"

Juki menunjuk ke belakang Kara. Tepatnya pada Dennis. "Mas itu," tunjuknya.

"Ambil saja uangnya, Juki," pinta Kara.

Namun, Juki keburu kabur meninggalkan sejumlah uang di tangan Kara. Hatinya pedih teringat susahnya Juki mencari uang. Kara pun balik badan menghampiri Dennis. Cowok itu kembali meraih lap.

"Kamu tahu Juki?" tanya Kara.

"Nggak."

"Kenapa dia nunjuk kamu?"

Dennis mendesah, "Itu nggak penting."

"Penting. Aku nggak mau nerima uang ini," Kara membuka genggaman tangannya. Uang kertas lecek dan beberapa receh. "Dia lebih susah daripada aku."

"Aku cuma mau dia jujur," ucap Dennis, pelan.

"Dan, dia benar-benar jujur." Kara memasukkan uang itu ke kotak amal di samping kursi, tempat Agus duduk.

"Apa ada yang mau risol?" tawar Agus, mengangkat kotak bekal berisi risol. "Baru matang."

Kara menggeleng, "Sebelum kamu pilih buku, aku nggak mau makan risolmu."

"Beneran?"

"Iya. Aku selalu menepati janji."

Agus tersenyum, "O ya? Tapi kamu lupa janji kita."

"Janji? Janji kita?" Kara bingung.

"Ingat saat kamu kena hukuman dan minta namamu dibebaskan dari notes merahku?"

Ya ampun! Kara baru ingat. Ia menggigit bibir. Takut. Bukan takut pada Agus, tapi Dennis. Sahabatnya itu mendelik tajam. Lap sudah tergelatak di lantai. Lalu, sejak kapan senyum Agus jadi terlihat licik? Kara bergerak gelisah mendengar langkah Dennis mendekatinya.

"Aku nggak ingat," dusta Kara, mulai menggigiti kukunya.

"Apa janji kalian?" tanya Dennis, santai. Bersandar pada rak buku dengan kaki ditekuk ke belakang.

"Apa yang kamu pikirkan, Den?" Agus tersenyum menantang.

Dennis melirik Kara. Kara malah melirik kesal pada Agus. Kesal karena Agus sudah janji tidak akan cerita pada Dennis mengenai kecurangan waktu itu. Kara bahkan sampai nego agar namanya tidak masuk ke notes merah milik Agus. Dennis benci orang curang. Apalagi demi nama baik. Tapi Kara terpaksa. Demi beasiswa. Satu kesalahan akan memupus kesempatannya.

"Nonton film horor."

Tags: TWM18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lentera
7      4     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Aranka
30      13     0     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Head Over Heels
3      3     0     
Romance
Bagaimana jika dua manusia yang memiliki karakter yang begitu berbeda dipertemukan? Arkana adalah pria dengan predikat mahasiswa abadi di kampusnya. Mahasiswa tak tersentuh, yang selalu bertingkah seenaknya. Lelaki itu adalah zona bahaya untuk mahasiswa lain yang berada di Universitas Swasta Nugraha. Namun tidak begitu dengan para wanita. Karena bagi para wanita, Arka adalah laki-laki sempu...
Shades Of Nuance
16      10     0     
Romance
"seandainya kita diciptakan untuk menjadi satu, pasti suatu saat kita akan bertemu – Putri Zein" "aku selalu teringat tentang pertama kali aku bertemu dengan mu, kau hanya menatapku datar bukan tatapan memuja. Seorang siswi pindahan yang selalu membuatku muak, dengan kelakuan nya yang selalu ikut campur urusan orang lain. – Choi Min Ho" "mata kami saling bertemu, m...
Silver Dream
69      3     0     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
Transformers
3      3     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
TERSESAT (DILEMA)
79      20     0     
Mystery
Cerita TERSESAT ( DILEMA ) ini ada juga di situs Storial.co, lho. Sedang diikutkan dalam kompetisistorialmei19, nulissukasuka, ceritainaja. Isi Sinopsis dan beberapa Episode di dalamnya sudah direvisi ulang agar lebih berbeda dengan isi sebelumnya. Bagi yang penasaran, yuk ikuti di link ini: https://www.storial.co/book/tersesat-dilema/ Ditunggu ulasan, saran, masukan, dan kritik kalian di s...
Menghukum Hati
3      3     0     
Romance
Apa jadinya jika cinta dan benci tidak bisa lagi dibedakan? Kau akan tertipu jika salah menanggapi perlakuannya sebagai perhatian padahal itu jebakan. ???? Ezla atau Aster? Pilih di mana tempatmu berpihak.
Flower With(out) Butterfly
2      2     0     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Coldest Husband
21      10     0     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...