Tangan Thoir bergetar hebat ketika ia masih membaca surat yang ia terima dari Niels. Hanya sebatas kalimat di mana Niels akan menyingkirkan Lauren. Thoir tidak pernah mengenal Niels secara langsung, namun jika dilihat dari reputasinya di dunia bawah, yang bahkan amat misterius hingga namanya hanya terdengar di beberapa kesempatan saja ditambah dengan pengaruh lengan guritanya, mata yang berada di mana-mana, dan hidung yang dapat mengendus tanpa terlihat menjelaskan bahwa Niels bukanlah orang biasa.
“Apa benar Niels menyingkirkan Lauren?” gumam Thoir sembari mengelus-elus janggutnya. Thoir terlihat bimbang untuk mengambil keputusan. Ia mengetuk-ngetukan jemarinya di meja kerjanya, berpikir keras tentang jalan keluar yang ada.
Baru beberapa saat, ia menerima dua kabar mengejutkan dari jaringan informasinya. Pertama, bocornya informasi yang menyebabkan beberapa pejabat Demokratio Alliance ditangkap. Penangkapan yang terjadi tidak bisa diinterupsi sedikitpun, bahkan barang semenit. Surat tugas yang diturunkan langsung atas perintah Raja Hermno untuk penangkapan semua anggota Demokratio Alliance bersifat mutlak. Kedua, kabar dari salah seorang kepercayaannya yang dijuluki Fox yang tak kalah membuat Thoir mengucurkan keringat dingin, kabar bahwa Niels tunduk pada pasukan khusus.
“Baru sepuluh menit yang lalu, Leader. Tikus bajingan itu hanya tunduk pada klien yang membayar mahal! Sebuah kesalahan kita mempercayakan punggung kita pada mereka!”
Dan sekarang, ia menerima kabar ketiga dari surat yang ditulis langsung oleh Niels sendiri. Elang pengantar baru saja sampai di markas tersembunyi Demokratio Alliance di Furai, mengantarkan sepucuk surat dengan segel rapi berwarna merah bulat yang tersemat logo Dieb secara elegan. Menyingkirkan Lauren, batin Thoir sekali lagi. Lauren adalah tangan kanannya yang paling ia percayai dan yang paling berkemampuan, untuk menyingkirkan Lauren bukanlah pekara mudah.
“Bajingan,” umpatan tersebut meluncur dari mulut Fox. “Apa opsi kita saat ini, Leader? Apa yang kita lakukan seterusnya?”
Thoir masih menimbang-nimbang pikirannya, sampai derit jendela terbuka cepat. Thoir langsung saja menoleh cepat, dan reflek mengangkat belatinya. Fox tak kalah cepat, gadis itu merangsek melalui celah sempit antara lemari dengan dinding, bersembunyi di celah sempit itu dan menunggu waktu tepat untuk menyergap, prosedur yang cepat dan hati-hati.
Namun Thoir menurunkan penjagaannya seketika melihat sosok yang datang melalui jendela itu. “Ren!” Thoir menaruh belatinya, berjalan cepat, dan seketika memeluk Lauren. “Kau selamat, Puji Dewi Fortunie! Kau beruntung kau masih utuh tanpa luka apapun!”
Lauren membalas pelukan Thoir. “Hei Pak Tua, aku ini orang yang terlatih, ingat itu.”
Thoir melepas pelukannya, berjalan ke belakang lalu kembali dengan mengambil sepucuk surat. “Kau dikejar? Dieb mengincar kepalamu, Ren.” Lauren membaca sepucuk surat itu sekilas, lalu melemparnya sembarang kembali.
“Dieb tidak mengincarku…”
“Mereka mengincarmu, Kak Ren. Dieb mengincarmu kali ini. Mereka tunduk dengan The Eagle’s. Bajingan itu… jika saja tadi aku mengambil kesempatan itu untuk menikamnya!”
Thoir mengangkat tangan, menyuruh Fox untuk bungkam sejenak. “Mengumpat untuk mereka bukanlah jalan terbaik. Kita harus melakukan konsolidasi dengan anggota yang tersisa dan tetap tak terdeteksi. Itulah yang kita lakukan sekarang, bersembunyi di balik naungan bayang-bayang malam, tidak mencolok sama sekali.”
Thoir berjalan mendahului mereka. Saat keluar dari ruangan, ketiganya berjalan beriringan di tengah koridor. Mereka berjalan menuju ruang diskusi. Di sana, Thoir mulai mengumpulkan anggotanya yang ada dan tentunya, yang masih bisa dipercaya. Selama lima menit selanjutnya, beberapa orang muncul dari balik pintu yang lain. Mereka adalah bawahan-bawahan dari gerakan bawah tanah ini, yang mayoritas bukan dari anggota asli Demokratio Alliance.
Semua dari mereka langsung duduk melingkar di kursi yang tersedia. Di sebelah kanan Thoir, ada seorang pria mengenakan rompi coklat terbuka yang sengaja memamerkan luka di sepanjang lengan kanannya. Wajahnya yang tergores di bagian hidung mempertegas kesan bahwa sosok itu adalah orang yang kuat. Di sisi kiri Thoir, terdapat sosok yang berjubah dan bertudung hijau. Bayangan yang menaungi wajahnya membuat semua orang tak mengetahui bagaimana rupa figur itu, tapi jubah hijau yang mencolok itu sudah menunjukkan siapa sosok itu.
“Aku rasa ini cukup. Aku apresiasi kalian memiliki respon cepat,” Thoir berdiri lalu menyalami kedua temannya itu. “Brig dan Alinae, terima kasih. Aku asumsikan kalian sudah dengar kabar terbaru dari keadaan kita saat ini.”
“Berita tersebar lebih cepat dari perkiraan Anda, Leader. Lagipula, kita sudah bersiap untuk keadaan terburuk seperti ini bukan?” tukas Brig, “rupanya ada satu orang yang absen dari sini bukan? Kemana kurir kita itu?”
“Berkhianat, ia pindah pihak ke The Eagle’s.” Fox dulu yang menjawab sebelum Thoir sempat berkata. Mendengar itu, Brig langsung saja naik pitam dan menggebrakkan tangannya ke meja.
“Tidak ada gunanya, Ser Brig. Lebih baik kau simpan tenagamu untuk bertarung daripada menggebrak meja ini,” balas Alinae dengan dingin ditambah tatapan mata yang menusuk dibalik bayangan. “Jadi, apa ada hal lain yang ingin kau sampaikan, Thoir?”
“Itu yang pertama, yang kedua adalah tentang tindakan kita setelah ini, dari jangka pendek hingga jangka panjangnya. Jangka pendeknya, kita akan tetap bertindak secara normalnya, menghilang dan menghablur dari pandangan semua orang, sambil tetap mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan seakurat mungkin. Jangka menengahnya, kita akan merekrut banyak orang lagi untuk membangun Demokratio Alliance sekali lagi. Dan jangka panjangnya, kita akan mulai melawan dan bangkit kembali.”
“Dengan cara yang agresif?”
Thoir hanya menjawab pertanyaan Brig dengan anggukan kecil, “kita tidak punya opsi lain. Kerajaan sudah mengambil langkah yang tegas. Untuk mempertahankan eksistensi dari idealisme kita ini, kita harus melakukan apapun, meskipun itu dengan membunuh semua yang menghalangi kita.”
“Tidak seperti dirimu saja, Thoir. Kau kali ini bertindak secara terbuka.”
Thoir tertawa kecil mendengar pernyataan itu, “kau benar Alinae, itu karena Kerajaan menginjak idealisme yang selama ini kita bangun dengan memfitnah hingga menyeret simpatisan Demokratio Alliance ke balik jeruji. Aku tak bisa tinggal diam dengan kelakuan seperti ini!”
Alinae dan Brig bertukar pandang, lalu mengangguk serempak. “Baiklah bila kau ingin cara yang agresif. Aku, Brig mewakili seluruh bawahanku, bersumpah setia kembali kepada Demokratio Alliance. Kami akan menumpahkan darah hingga titik penghabisan sekalipun jika memang itu yang diperlukan. Dengan sumpah yang kuulang ini, membuat kita yakin bahwa aku tak akan berkhianat seperti bajingan itu!”
“Penyihir Remnants juga berlaku demikian,” balas Alinae. “Mengingat bahwa penindasan yang dilakukan dengan memfitnah kami sebagai ajaran yang sesat, kami mendukung penuh Demokratio Alliance!”
Semua orang di ruangan itu berdiri dengan khidmat. Semua kepala di sana menyatu kembali menjadi satu visi yang besar, dengan Thoir yang menjadi kepala utama dari pergerakan itu. Tidak ada lagi pergerakan diploma damai yang berprinsip politik, tidak ada kampanye untuk mengambil hati para rakyat, dan tidak ada lagi Demokratio Alliance yang damai, tidak ada lagi. Dengan langkah yang diambil kerajaan yang mendeklarasikan bahwa Demokratio Alliance adalah pengganggu, maka itu sudah cukup untuk membuat Demokratio Alliance marah.
Fox mengambil gelas sesuai dengan jumlah orang di sana dan mengambil sebotol anggur untuk di minum. “Oh, kenapa tidak?” Thoir langsung saja membuka botol anggur lalu menuangkannya ke semua gelas. Setiap orang mengambil gelas tersebut, lalu menunggu sampai Thoir selesai menuangkannya ke gelas terakhir, miliknya sendiri.
Dengan mengangkat gelasnya ia berkata, “kawan-kawanku yang ada disini, kita berkumpul di hari ini dengan keadaan yang baik, dan semoga itu tetap terjadi. Tapi, yang kutakutkan adalah fakta bahwa mungkin inilah acara minum bersama terakhir kita. Masa depan masih menyimpan takdir Dewa dan Dewi, di mana mungkin saja salah seorang dari kita akan mati sebagai pahlawan.” Hening, semua orang di sana tak bersuara sedikitpun sampai Thoir melanjutkan kalimatnya, “uno per tutti,”
“…und tutti per uno!” jawab semua orang di sana. Dengan itu, semua orang bersulang lalu meminum anggur di gelas masing-masing, kecuali satu orang, yaitu Lauren. Ia tidak bisa minum dan masih saja berpikir tentang tindakan yang diambil kawan lamanya, Niels. Dari yang ia kenal saat mereka masih muda, Niels adalah orang yang teguh pendirannya pada pekerjaan, ia memiliki prinsip lain yang mengatakan bahwa ia akan mengikat dirinya pada satu klien utama yang penting. Lagipula, Niels sudah bersumpah di depan Demokratio Alliance sebagai klien kerja.
“Kau tidak minum, Kak Ren?” Fox berdiri di sebelah Lauren tanpa Lauren sadari, “jika tidak, aku bisa meminumnya. Tapi kusarankan untuk Kakak minum, karena rasanya lezat.”
Lauren menggeleng lemah, “tidak, aku tidak suka minum pada siang hari. Lebih baik kau minum saja punyaku ini.” Dengan itu, Lauren meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Ia ingin menemui Niels dengan caranya tersendiri.
***
Di sisi lain, Niels memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Dalam pikirannya yang bergejolak, ia menimang-nimang kemungkinan yang terjadi jika saja ia tak memilih untuk menyerah, pasti markasnya ini menjadi kuburan masal, itu pasti. Di pikirannya yang lain, pasti semua orang di Demokratio Alliance akan mencari nyawanya, mencoba merenggut nyawanya dengan segala cara yang bahkan tak bisa dipikirkan oleh Niels. Dari taktik yang digunakan oleh gerakan bawah tanah Demokratio Alliance selama ini, Niels tahu bahwa pemimpin mereka, Thoir, bukanlah orang yang bisa dianggap remeh.
Sekarang, di markas ini tidak ada siapapun, hanya seorang dirinya sajalah yang ada di markas itu. Selepas penyihir dengan sepasang ksatria badak itu menyetujui kesepakatan Niels dan memilih kembali ke Furai, Niels membubarkan semua anggotanya. “Kalian bisa pergi, entah apa yang kalian lakukan, tapi ingat fakta bahwa Dewa dan Dewi tidak merenggut nyawa kalian tadi.” Dengan itu, semua orang di sana mengangguk, lalu pergi dari markas itu melalui terowongan-terowongan rahasia yang tersambung ke beberapa tempat di Kota Anirieta.
Jadi, markas ini dapat ia guanakn untuk persembunyian, lagipula ia tidak hanya memiliki satu markas saja. Di kota Anirieta saja, ia punya lima titik persembunyian, dan hanya dirinya dan Marie sajalah yang tahu di mana letak persembunyian itu.
Marie, ia mengkhawatirkannya. Apa yang mereka lakukan pada adiknya itu merupakan alasan utama mengapa ia memilih menyerah. Ia yakin, Marie belum mati, tapi untuk siksaan yang dijatuhkan, ia tak berani membayangkannya.
Yah, mau bagaimana lagi? Lagipula, mereka amat jauh lebih kuat, terutama kedua badak itu. Mereka monster… batin Niels. Senyap menyergap markas itu ketika sore datang, Niels tahu dari sinar matahari kemerahan yang menembus di jendela melalui sisi barat markas. Markas ini kosong melompong, hanya diisi dengan semua jebakan tanpa orang. Setelah memastikan bahwa persenjataannya aman di gudang tersembunyi dan semua jebakan terpasang, ia pergi melalui terowongan rahasia yang gelap, yang nantinya tembus ke salah satu gorong-gorong di luar Anirieta.
Setelah melalui terowongan tanpa cahaya sama sekali, Niels akhirnya dapat melihat cahaya redup dari sebuah pintu yang menunggunya di ujung lorong. Sebelum keluar melalui pintu itu, ia mengintip dari celah pintu yang tersembunyi, memastikan tidak ada orang di sekitar yang ada. Tapi, dua orang penjaga sedang berdiri di pohon oak seberang jalan, salah seorang dari mereka sedang duduk, dan satunya lagi sedang berdiri. Niels sabar menunggu, dan tak sengaja mencuri dengar perbincangan keduanya. Sebenarnya, Niels tak tertarik dengan perbincangan mereka, hingga salah seorang dari mereka menyinggung kegaduhan di Distrik IV Anirieta tadi siang.
“Kau dengar rumornya, Kerajaan menangkap pejabat Demokratioa Alliance dengan dalih bahwa semua dari mereka berencana membunuh Sang Raja! Sungguh sebuah perbuatan di luar dugaan!”
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kawan. Beruntungnya bahwa The Eagle’s bertindak cepat dengan membekukan Dieb,” balas penjaga yang sedang berdiri, “tak kusangka selama ini bahwa komplotan pencuri terkeji bersembunyi di bangunan toko itu, kedok yang rapi dan terselubung. Aku akui mereka hebat, tapi sekarang mereka berakhir. Aku syukuri itu.”
“The Eagle’s? Siapa mereka?”
“Hei, apa kau benar-benar tidak tahu?”
Setelahnya, penjaga itu menjelaskan The Eagle’s. Niels mendengarnya dengan penuh perhatian. Setelah penjelasan panjang lima menit tersebut, ia menyimpulkan bahwa The Eagle’s adalah pasukan khusu yang dimaksudkan Thoir dalam suratnya, yang dibentuk untuk tujuan melakukan pertahanan. Anggotanya bukanlah orang biasa, namun orang-orang yang terpilih oleh sebuah benda dinamakan Artifact.
“Ayo kawan, kita sudah disini selama lima belas menit. Kita harus kembali dari patroli kita atau kapten akan mencambuk kita!” dengan itu, keduanya pergi menuju gerbang Kota Anirieta.
Setelah memastikan kepergian kedua penjaga tadi, Niels keluar dengan tenang. Setelahnya, ia pergi berjalan ke sebuah peternakan yang ia ketahui di sekitar sana. Ia mengenal orang yang memiliki peternakan tersebut, juga sebaliknya, tentunya dengan nama samaran Niels.
Saat sampai di pagar kayu, ia melihat kawan lamanya itu sedang memasukan beberapa domba ke kandang. Niels mengangkat tangannya, lalu memanggilnya. “Heri, kemarilah.” Sang peternak kontan saja bergegas memasukan domba lalu berlarian menyusuri pekarangannya menemui Niels.
Sebenarnya bukan kawan lama, melainkan seseorang yang kebetulan saja tertolong oleh pengaruh Niels dalam bisnis gelapnya. Sempat suatu hari ia menyingkirkan seorang lintah darat yang juga kebetulan meminjamkan uangnya ke Heri. Cara menyingkirkan lintah darat itu tentunya tidak dengan cara yang agresif, namun lebih ke cara keji bisnis. Berkat tindakan Niels itu, ia dipandang oleh beberapa orang sebagai penyelamat, sementara yang lain terutama pebisnis lain memandangnya sebagai kompetitor yang tak boleh dianggap remeh.
Salah seorang yang mengaguminya adalah Heri, peternak di ujung usia senjanya yang terlalu senyum jika diajak berbicara oleh siapapun. “Tuan Jeans! Sungguh hari keberuntungan bisa bertemu dengan anda hari ini. Anda mau masuk?”
Niels menggeleng lemah, “tidak Heri. Aku ke sini untuk membeli satu ekor kuda untuk perjalanan.”
“Sekarang?”
Niels mengangguk, “aku perlu kuda yang cepat sehingga dapat sampai di Furai besok pagi atau jika lebih cepat, nanti tengah malam.”
Sang peternak itu balik kanan dan berlari ke sebuah kandang. Dalam tiga menit, ia kembali dengan satu ekor kuda lengkap dengan tas perbekalan dan pelana yang terpasang rapi serta tak lupa tali dan penutup mata. Kuda itu juga dilengkapi dengan sepatu kuda yang telah terpasang. “Ini Tuan Jeans!”
“Anda rupanya sudah bersiap-siap. Bahkan Anda juga menyiapkan perbekalan untuk perjalanan saya ini.”
“Ini bukan apa-apa, Tuan Jeans. Lagipula, saya berencana memberikan kuda ini kedepannya. Namun, jika Anda memintanya sekarang juga tak apa, ini memang kuda yang saya khususkan untuk Anda.”
Niels langsung saja mendekap Heri tua itu, memberikan sebuah salam dan ucapan terima kasih, lalu naik ke punggung kuda coklat itu. Kuda itu tampak tenang meskipun baru saja ditunggangi oleh orang yang belum ia kenal. Niels mengelus surai, lalu mengelus punggung dan leher kuda itu, menyuruhnya untuk yakin pada Niels. “Seberapa cepat kuda ini bisa melaju?”
“Secepat angin barat yang berhembus di kala Marte!”
“Baiklah, terima kasih!” deg, Niels memacu kuda itu. Kuda itu merespon dengan mengangkat tubuh gagahnya dengan dua kaki belakang sambil meringkik. Setelahnya, keduanya melesat cepat meninggalkan peternakan milik Heri. Niels berangkat menuju Furai, sesuai dengan perintah dari penyihir berambut emas yang menyerang markasnya tadi.
Sesuai dengan kesepakatannya dengan penyihir berambut emas tadi, berita tentang keberadaan Niels belum tumpah. Ini membuatnya tetap aman, untuk sekarang.
Bias mentari telah tenggelam sepenuhnya di cakrawala barat. Jalanan yang sepi lenggang terasa gelap. Sebenarnya, di tas perbekalan terdapat lentera lengkap dengan pemantik api serta minyak tanah, tapi ia menolak untuk menyalakannya, membiarkan sinar purnama yang menjadi andalannya sebagai penerang dan konstelasi bintang yang menjadi pengarah dari tujuannya.
Dalam perjalanannya, ia berpikir-pikir dalam keheningan jalanan yang hanya diramaikan oleh suara belalang dan derap kaki kudanya. Ada satu hal yang amat janggal dari peristiwa-peristiwa sebelumnya ini. Dimulai dari penyergapan Marie hingga penyerangan markas Dieb. Ini semua dalam waktu yang amat cepat. Dari semua hal yang dilakukan Niels, ia pasti menghapus semua jejaknya, memastikan tidak ada petunjuk yang tersisa, hal ini juga berlaku di dunia bisnis, ia amat teliti dengan kalkulasi dan perhitungannya.
Lagipula, namanya hanya tersebar melalui rumor. Jadi kesimpulan yang dapat ia ambil saat ini adalah, ada seseorang yang berkhianat. Entah itu berada di pihak Demokratio Alliance ataupun di Dieb sendiri. Itu kesimpulan sementara yang dapat ia petik dari peristiwa ini.
Ringkikan kuda mengembalikan Niels dari lamunannya, seolah tahu bahwa tuannya sedang tidak fokus dengan jalanan di depannya. Sekali-kali, Niels melalui desa. Beberapa penjaga menyapanya dan Niels membalasnya pula. Beberapa rumah inap juga sempat menawarkan Niels untuk bermalam di sana, tapi Niels menolaknya dengan sopan dan berdalih bahwa ia harus bergegas.
Sempat ia beristirahat di bawah pohon cemara yang terletak di sebelah sungai kecil. Ia membiarkan kudanya menegak air di aliran juga membiarkan punggungnya bersandar di salah satu pohon cemara. Dedaunan yang berbentuk jarum meranggas, tanda bahwa musim dingin ingin datang, dan ini merupakan salah satu caranya menyapa kepada makhluk hidup selain mengirim hawa dingin. Runcingnya dedaunan itu menikam Niels di beberapa bagian tubuh, namun itu tidak seberapa.
Sebenarnya, Niels ingin saja memejamkan mata, berpikir bahwa ia akan melanjutkan perjalannya ke Furai pada pagi harinya. Tapi, ia menolaknya, lagipula, ada bahaya yang mengancam. Entah sejak kapan, Niels tidak menyadarinya, namun seseorang sekarang mengamatinya. Mungkin bersiap untuk menyergap, dan mungkin sekarang inilah kesempatan emas itu.
“Jika kau penyamun keluarlah, jika tidak kau bisa tetap di sana.”
Set! Sebuah siluet cahaya terlihat cepat. Niels langsung reflek menghindar. Beruntung saja Niels bangun, jika tidak pisau lempar itu sudah bersarang di kepalanya. Set! Sebuah pisau lempar mengarah Niels. Tapi Niels bersiaga, ia tahu ilusi mata yang ada di pisau tersebut. Meskipun terlihat satu, tapi sebenarnya pisau yang dilempat tersebut ada dua. Satu pisau terselip di bayangan pisau yang lain, trik yang licik dan cerdik, serta trik yang tidak dikuasai dengan mudah.
Ting, ting! Niels mengangkat belatinya, melindunginya dari lontaran pisau tersebut. “Hei, bisakah kita berbicara sebentar dengan tenang?”
Tidak ada jawaban, selain sepasang pisau terlempar kembali, kali ini dari sisi kanan Niels. Niels bergerak cepat, berguling ke depan, lalu berdiri kembali dan melejit berlari. Dengan tangan kirinya, Niels mengangkat pistolanya, mengirim tembakan. Dor! Niels tidak membidik jelas, lagipula gelapnya malam membuat pandangannya terbatas.
Suara seseorang terjerembab terdengar, diiringi dengan suara mengaduh. Niels segera berlari menuju tempat orang itu. Setelah menembus semak-semak, suara pemantik pistol terdengar. Saat ia sadari, sebuah moncong pistola sudah teracung di depannya.
“Woah, tenang.” Niels mengangkat tangannya memilih menyerah. Sekarang, di depannya ada seorang gadis muda yang berjubah merah. Tudungnya terbuka. Ia mengenakan topeng yang menutupi separuh wajahnya. Dengan tangan kirinya, sosok itu menodong Niels.
Beruntungnya aku… dia tidak kidal, batin Niels ketika melihat betul bahwa moncong pistola itu tidak mengarah tepat kepadanya. Meleset beberapa senti.
Niels memilih mundur, mengarahkan sosok itu untuk mengikutinya. Sesuai dugaan Niels, sosok itu mengikutinya sembari menodongkan moncong pistolanya. “Nona manis, bukankah kau tidak diperbolehkan bermain-main dengan mainan seperti ini?”
Diam, hanya itu balasan yang diterima Niels. Itu bagus, sesuai dengan prediksiku, batinnya sekali lagi. Dengan terlalu fokus pada sorot mata Niels, gadis itu tidak menyadari bahwa tangan kiri Niels sedang menyiapkan racun tidur di salah satu pisaunya. Pada suatu kesempatan, Niels bergerak maju. Dor! Gadis itu melepas tembakan, namun Niels menghindarinya dengan mudah. Dalam gerakan cepat, Niels memegang pergelangan tangan kiri gadis itu, meremasnya, membuat gadis itu meringis kesakitan dan menjatuhkan pistolanya ke tanah.
Niels menyadari bahwa bahu kanan gadis itu ternyata telah tertembus dengan tembakan pelurunya tadi. Pantas saja ia terpaksa menggunakan tangan kirinya, mulut gadis itu bergerak cepat, Niels tahu apa yang diucapkan gadis itu, sebuah mantra! Dengan cepat, mencapkan pisau itu di luka tadi, mengirim gadis itu untuk terlelap.
Setelah beberapa detik meronta, gadis itu lemas. Sekarang, Niels bisa membopong gadis itu dan mengajaknya berbicara, tentunya setelah merawat luka gadis itu dan mengikatnya, untuk tidak bertindak macam-macam.