Read More >>"> SILENT (CHAPTER EIGHT) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SILENT
MENU
About Us  

CHAPTER EIGHT

            “uda ketemu? Sama Rayi?? Lalu lalu ?? jadi jadi??”

Kemudian aku menjelaskan semuanya secara panjang lebar, tidak ada yang ditambahkan dan tidak ada yang dikurangi. Setelah percakapan itu selesai, aku hanya merasakan kelegaan di hatiku.

 

Aku mengingat percakapan terakhirku dengan Rayi, tanpa kusadari aku selalu tersenyum dibuatnya,

            “hayoooo senyum senyum sendiri lagiii.. kenapa hayooo”

Aku mendapati Arra yang ternyata sedari tadi memperhatikanku

            “heum? Ga kenapa-napa ko..” kataku kemudian tersenyum simpul.

            “lega banget yaaa kayanya kamu Lana, masalahmu sudah selesai..”

Aku menjawab dengan anggukan dan senyuman, lalu kemudian aku menyadari sesuatu yang lain dari raut wajah Arra.

            “kenapa? Kamu ada masalah sama Rama?”

            “haaaahh..” Arra menghela nafas kemudian melirik ke arah Rama, yang sedang bercanda dengan anak lelaki lain di kelas, “kamu tau Lana? Dia ngajak aku pacaran..”

DEG! 

Seketika jantungku berdetak kencang tak karuan, sakit dan teramat pilu.

            “apa? Pacaran? Oohh.. yaa bagus dong, senengkan kamu?” aku memaksa senyumku. Arra ternyata tidak membalasnya dengan senyuman.

            “awalnya aku seneng setengah mati, kami selalu telponan setiap malam. Rama tidak pernah bosan mengingatkan aku makan, bahkan sekarang kami selalu pulang dan pergi ke sekolah bareng. Dia ga pernah absen ngejemput aku, di waktu yang sama setiap pagi. Coba bayangin!”

Sebelum mampu membayangkan, hatiku sudah teriris lebih dulu. Setiap kata yang keluar dari mulut Arra seakan-akan menjelaskan bahwa Rama memang sudah tidak memperdulikanku, dia sudah benar-benar akan memberi hatinya untuk Arra, sepenuhnya.

            “terus kenapa keliatannya kamu ga seneng?”

Arra kembali menghembuskan nafasnya, “kamu tau kalau ini salah? Aku mulai menyadari ini salah ketika mendengar ceritamu kemarin. Bagaimana perubahan baikmu membuat Rayi berubah menjadi baik.” Arra menatapku, “kemarin saat aku sedang main ke rumah Rama, aku lihat Rayi sedang ngaji! Bayangin! Rayi ngaji!!!”

Mataku membelalak, bukan karena kenyataan Rayi sedang mengaji tapi karena Arra di bawa ke rumah Rama.

            “kamu ke rumah Rama?” tanyaku tidak percaya.

            “apa? Eh , oh iya. Tenang, aku ga ngapa-ngapain ko. Rama cuma mau ganti baju, aku nunggu di ruang tamu bareng Rayi yang lagi ngaji, terus kita jalan lagi buat nyari barang yang Rama mau.”

Bukannya itu uda kaya orang pacaran? Hellooo..

            “iihh bukan itu masalahnya Lana, masalahnya, aku sekarang justru merasa membawa keburukan buat Rama.. bukan begitu?”

Bukan masalahnya dimana? Jelas-jelas aku selama berpacaran dengan Rayi ga pernah sekalipun masuk ke rumahnya, tapi Arra?! Ini uda ga bener!!

            “eiy Lana! Lana!!!”

            “eh iya apa.”

            “yeee.. malah bengong. Bener kan aku salahkan? Aku salahkan?”

            “apa? Iya bener kamu salah! Bener salah..” aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

Jelas ini sebuah kesalahan!

            “tuh kan bener.. aku..”

            “Arra!”

Aku dan Arra sama-sama terlonjak ketika mendapati Rama yang tiba-tiba hadir di samping kami. Aku mungkin lebih kaget dibanding Arra jika melihat reaksi Arra saat ini.

            “kenapa Rama?” suara Arra terdengar manis dan sangat lembut. Aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap biasa saja.

            “sore ini jadi jalankan?”

UHUK!!

Aku tersedak minumanku sendiri.

            “uhuk uhuk uhuk..”

            “lo kenapa sih? Minum pelan-pelan dong.” Rama memberikanku tissue tapi dengan nada yang terdengar tidak enak di kupingku, aku tidak berani menatap wajahnya.

            “kamu ga papa Lana?”

            “iya aku ga papa..”

            “jadi, kita jalankan?” Rama masih mendesak. Sedangkan aku melihat ada sedikit keraguan di wajah Arra.

            “eeeuumm..” Arra menatapku, “tapi aku uda ada janji sama Lana.. gimana doonngg”

Aku yang tidak tahu menahu semakin terbelalak kaget dan kini kudapati Rama yang sedang menatapku tidak suka.

            “bukannya Lana sekarang lagi sibuk pacaran? Biarin aja deh diaa..”

            “apa??” tanyaku setengah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Rama. Tapi Rama sepertinya masih tidak mau menatapku.

            “jalan sama aku aja yaa Arra..”

Arra mulai terlihat tidak nyaman,

            “Rama. Excuse me, tadi barusan lo bilang apa?” aku mencoba menyelamatkan sahabatku dari terpaan lelaki tidak jelas ini.

            “gue lagi ngomong sama Arra, bisa diem dulu ga?” katanya tanpa menatapku sama sekali.

Rasa sakit hati di dada yang sedari tadi kupendam kini berubah menjadi amarah yang harus segera diluapkan.

            “dan  gue butuh bicara sama lo!” aku berdiri mensejajarkan jarak pandangku dengan Rama, Rama kemudian menatapku tidak suka.

            “apa?”

            “tadi lo bilang apa soal gue?”

            “gue bilang lo SIBUK PACARAN, kurang jelas??”

Aku menatapnya dengan tatapan paling tajam yang bisa aku berikan, “sorry, tapi gue ga pernah merasa lagi pacaran sama siapapun saat ini. Jadi, lo jangan sebar fitnah macem-macem.”

Rama kini menatapku penuh, “yakin? Lo yakin dengan apa yang barusan bilang?”

            “gue yang paling tau tentang keadaan diri gue sendiri.”

            “oh  ya??? Teruuss.. lo ngapain berduaan ama laki selama berjam-jam kalau bukan saling mengatakan cinta hah? Lo lamaran?”

            “berduaan? Sama anak laki? Siapa?”

            “cih!!” Muka Rama jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya, “ga usah belagak sok suci lo depan gue. Gue tau!!”

Katanya dengan nada agak tinggi. Aku hampir membalas ucapannya jika tidak ingat dengan kejadian yang sebutkan barusan. Pertemuanku terakhir dengan laki-laki selain dengan Rama hanya dengan Rayi, berarti..

            “lo? Liat gue ketemuan sama Rayi?”

Kali ini Rama benar-benar hanya mendengus.

            “sekarang, jangan ganggu gue dengan Arra, dan jangan sekali-kali lo menyalahkan apa yang gue dan Arra lakuin. Kalo lo sendiri ngelakuin!”

Sebelum aku benar-benar mencerna apa yang Rama ucapkan terakhir, aku melihat Arra sudah ditarik ke luar kelas oleh Rama.

Dia membenciku. Aku tau betul saat ini Rama sangat membenciku.

 

***

            “APAAAAA??? NIKAAAHH???”

Arra menutup kupingnya karena teriakanku yang jelas-jelas sudah di nada tertinggi.

            “Ish! Lana! Ga usah teriak-teriak.. sakit tau ini kuping.. iya, dia ngajakin aku nikah.” Arra menjawab dengan setengah sebal. Aku hanya mengamati Arra dengan mata terbelalak tidak percaya, sedangkan Arra dengan santainya melanjutkan makan tanpa beban dan tanpa menatapku.

            “serius?” aku masih menatapnya, mengiba.

            “eheum. Tapi, aku masih mempertimbangkannya.” Arra memberi jeda, “kamu tau kan minggu lalu? Yang kalian berdua heboh berantem pas Rama ngajak aku jalan?” aku hanya mengangguk.

            “aku berusaha meyakini Rama saat itu bahwa aku ga mau pacaran, menurutku ini salah. Aku memang menyukainya, dia baik, sikapnya yang baik itu membuat aku terlena. Tapi kemudian, aku sadar aku salah. Kamu berubah menjadi baik salah satunya karena aku, masa aku malah jadi buruk?”

Arra mengangkat bahu santai, tangannya masih sambil mengaduk makanannya tapi tatapannya melayang entah kemana. Arra tidak benar-benar memperhatikanku.

Aku yang sedari tadi menatapnya dengan berbagai perasaan kemudian menatap ke depan, mengalihkan pandanganku dari Arra. Aku menghela nafas panjang dengan sangat berat, kemudian menggumam,

            “dia benar-benar suka sama kamu ya..”

            “heum, kamu juga pikir gitu ya Lana? Aku ko malah berfikir dia seperti sedang memaksakan diri..”

Aku menatap Arra yang sedang menatapku, menyelidiki hatiku.

            “kamu taukan Lana, sebelum ini dia kaya perangko ngedeketin kamunya kaya apa. Terus tiba-tiba dia beralih ke aku, bahkan sampai ngajak aku nikah. Apa itu ga terlihat memaksakan diri?”

Iya, itu sangat terlihat memaksakan diri.

Aku menelan ludah, memaksakan diriku agar tidak berbicara yang tidak penting,

            “entahlah. Dia dulu juga ga bener-bener nempel sama aku ko.”

Arra mengamatiku dengan seksama, ketika dia tidak menemukan apa yang dia cari, dia mengalihkan pandangannya.

            “huft… selama ini.. aku fikir, kamu ada rasa juga sama Rama. Cuma, karena masalahmu dengan Rayi dulu, kamu menyembunyikannya. Sepertinya aku salah ya. Kamu benar-benar ga ada rasa ya sama Rama.”

Aku mengangguk kecil.

            “jadi, pernikahanmu itu bagaimana?” aku melirik Arra.

            “entahlah, aku hanya bilang padanya kalau dia harus benar-benar memikirkan ini. Kamu tau kan, pernikahan itu ga main-main, bukan sekedar lo suka gue suka yok nikah. Terus hidup bahagia selamanya, ga kaya gitu kan? Dia akan bertanggung jawab sama hidupku, dan aku akan mengabdi sama dia selamanya. Masa, yang kaya gitu bisa kita tentuin secepat ini? Kita masih kelas 2 SMA, masih terlalu muda dan berani untuk memikirkan jauh ke sana. Aku suruh dia mikir beberapa tahun, kalau selama tahun – tahun itu tidak ada yang berubah dari hatinya.” Jeda, “aku mengizinkan dia ketemu orang tuaku.”

Ketika kalimat Arra terakhir diucapkan, rasanya hatiku seperti tertusuk sesuatu yang sangat menyakitkan. Sakit, sangat sakit. Terlebih lagi aku tidak bisa mengungkapkan rasa sakitku ini.

            “kamu sendiri bagaimana Lana? Apa hubunganmu dengan Rayi jadi lebih dekat setelah terselesaikannya masalah kalian?”

Aku menatap Arra sejenak, kemudian mengalihkan pandangan matanya.

            “kami tidak akan pernah dekat lagi seperti dulu. Itu perjanjian kami.”

            “begitu? Jadi kalian ga pernah ketemu lagi setelah pertemuan terakhir itu?”

Aku menggeleng. Kami memang tidak pernah punya niat untuk mengulang apa yang telah usai.

            “terus setelah lulus, kamu tetep di sini kan?”

Aku menatap Arra dan tersenyum sesederhana yang aku bisa, di tengah rasa sakit yang begitu bergejolak,

            “aku akan kembali ke Malang.”

Aku akan tinggalkan tempat ini dan segala kenangan menyakitkan yang ada.

            “kamu ga ada niatan buat nikah sama Rayi?”

Aku menatap Arra tidak percaya, “APAA??!!” tanyaku sedikit meninggikan suara.

            “nikah sama Rayi.. kita.. bisa jadi saudara.. ehehe” aku melihat kesungguhan dalam ekpresi malu-malu yang dibuat oleh Arra, tapi, menikah? Dengan Rayi? Menjadi saudara? Dengan Arra maupun Rama? Itu sesuatu yang paling mustahil dan paling tidak mungkin aku lakukan selama hidupku, setidaknya saat ini.

            “itu ga mungkin.” Aku menjawab seperlunya tanpa menatap Arra.

            “kenapa? Apa kamu benar-benar sudah ga ada rasa sama Rayi?”

Aku menatap Arra tidak suka, apa dia benar-benar harus bertanya seperti itu?

            “ah maksudku..” Arra tahu bahwa aku tidak suka dengan pertanyaannya, “aku kira, kamu sudah memaafkan kejadian masa lalu dan karena kamu dan Rayi sudah tidak ada masalah.. kupikir.. rasa itu mungkin saja tumbuh kembali, ehehe. Mungkin,”

Aku masih menatap Arra yang semakin salah tingkah dengan pandangan tidak suka.

            “haaaahh.. Arra.. kukira kamu orang yang paling tau tentang aku.”

            “maaf Lana, aku kira..”

            “yaaahh.. itu memang kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tapi aku tidak ingin itu terjadi, jadi, jangan pernah bertanya seperti itu lagi,”

            “ah iya, maaf..” Arra terlihat sangat bersalah, aku meliriknya kemudian menghembuskan nafas panjang.

Ini semua demi persahabatan kami yang entah sampai kapan, setidaknya sampai aku lulus tahun depan. Semoga sampai tahun depan, persahabatan ini masih sama baiknya seperti saat ini.

            “ahaha, sudahlah, itu sudah berlalu. Tapi aku agak jengkel dengar pertanyaanmu tadi. Ahaha, aku bukan tipe orang yang akan kembali dengan masa lalu, bagaimanapun keadaan mengubah yang telah berlalu. Walaupun perubahan itu sendiri menuju kepada kebaikan.” Aku menepuk pundak Arra pelan, Arra hanya mengangguk.

Kemudian kami menikmati sisa istirahat siang dengan kesunyian, sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Aku sudah tidak perlu lagi bertanya, apakah Arra benar-benar berfikir akan menikah dengan Rama atau tidak. Karena dari pertanyaan terakhirnya saja sudah jelas bahwa dia akan mempertimbangkan kemungkinan itu.

***

            “Kak, aku akan pulang ke Malang liburan ini.”

            “oohh.. kenapa tiba-tiba?”

            “yaa.. ga papa. Emang ga boleh aku pulang?”

            “ahaha ya boleh.. tapi tumben aja. Pas libur kelas 10 kemarin aja kamu ga mau pulang.”

            “bukan ga mau ya.. aku..”

            “iya iya oke. Mau dicariin tiket? Pesawat atau kereta? Pesawat aja ya, kalau kereta kan lama banget. Bosen nanti kamu.”

            “ga papa, kereta aja. Aku bisa ngabisin banyak makanan selama dijalanan. Eksekutif ya ka, biar ga depan-depanan.”

            “heeeuummm oke oke. Kasih tau tanggal ya, sama ktp mu biar kakak pesenin dari sekarang.”

            “oke.”

Setelah telfon berakhir, aku masih memandangi layar handphone yang hitam. Aku berfikir, apakah setelah pulang dari Malang nanti aku masih punya kesempatan untuk kembali ke Depok? Apakah aku masih siap menyelesaikan tahun terakhirku di sini? Apakah setelah aku pulang ini hatiku lebih siap?

            “haaaaahh… entahlah, apapun itu akan aku lalui dengan sebaik-baiknya.”

Kemudian aku bergegas merapihkan semua barang-barang ke koper. Ujian akhir sudah di depan mata, berikutnya kami akan dihadapi dengan persiapan ujian masuk kuliah dan ujian akhir sekolah. Aku tahu, bahwa keputusan ini akan mengejutkan banyak pihak, tapi aku tidak punya banyak pilihan saat ini.

Biarlah, yang akan datang nanti saja aku pikirkan, sekarang aku akan pikirkan yang ada di depan mata.

Aku memejamkan mataku dan menyiapkan hatiku untuk segala kemungkinan yang akan terjadi dengan keputusanku.

Bismillah, aku sudah bertekad.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah Arwah
4      4     0     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Po(Fyuh)Ler
11      8     0     
Romance
Janita dan Omar selalu berangan-angan untuk jadi populer. Segala hal telah mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Lalu mereka bertemu dengan Anthony, si populer yang biasa saja. Bertiga mereka membuat grup detektif yang justru berujung kemalangan. Populer sudah lagi tidak penting. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah persahabatan mereka akan tetap bertahan?
DEVANO
6      2     0     
Romance
Deva tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Mega bisa begitu berpengaruh untuk hidupnya. Dan untuk pertama kalinya setelah hari itu, Dio-mantan sahabatnya, ikut campur dalam urusannya. Padahal, biasanya cowok itu akan bersikap masa bodo. Tidak peduli pada semua yang Deva lakukan. Ternyata, pertemuan itu bukan hanya milik Deva. Tapi juga Dio di hari yang sama. Bedanya Deva lebih berun...
SALAH ANTAR, ALAMAKK!!
586      447     3     
Short Story
EMMA MERASA BOSAN DAN MULAI MEMESAN SESUATU TAPI BERAKHIR TIDAK SEMESTINYA
Snazzy Girl O Mine
1      1     0     
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa. Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota. Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota. ...
Strange and Beautiful
30      10     0     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
For Cello
19      10     0     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Soulless...
13      7     0     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
Delilah
55      19     0     
Romance
Delilah Sharma Zabine, gadis cantik berkerudung yang begitu menyukai bermain alat musik gitar dan memiliki suara yang indah nan merdu. Delilah memiliki teman sehidup tak semati Fabian Putra Geovan, laki-laki berkulit hitam manis yang humoris dan begitu menyayangi Delilah layaknya Kakak dan Adik kecilnya. Delilah mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan pada akhirnya membuat Ia trauma akan ses...
Kisah Kita
16      5     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.