Sebuah rumah tak terlalu besar dengan arsitektur klasik khas Bali, berada di depan mata. Dylan dan Lily memutuskan pergi ke rumah pengrajin itu pagi-pagi sekali. Dylan mengetuk pintunya. Menunggu sahutan sang pemilik rumah. Tak lama, karena seorang laki-laki kisaran umur tiga puluh tahun keluar dengan pakai sembahyang menyapa mereka ramah.
"Siapa ya?" tanyanya.
"Saya Dylan. Dan ini rekan saya Lily. Saya dari kepolisian. Bisa kami meminta waktu anda sebentar?"
Kecemasan di wajah lelaki itu terbaca oleh Dylan. Cepat-cepat ia menjelaskan maksud kedatangannya.
"Apakah benar anda pengrajin cincin ini?" sembari mengeluarkan kantong yang berisi cincin itu dari dalam saku celananya.
"Benar. Apa yang bisa saya bantu ... Sebelumnya silahkan masuk."
Dylan dan Lily masuk kedalam rumah lantas duduk di depan lelaki itu yang kini mendudukkan tubuh kurusnya di depan mereka.
"Bisa saya lihat cincinnya," pinta lelaki itu.
"Tentu," sembari menyerahkan kantong plastik di tangannya.
Lelaki itu mengamati secara teliti ukiran disekeliling cincin. Lily dan Dylan menunggu.
"Arti dari cincin ini adalah bulan."
Dylan mengeryit tak paham.
"Bulan?" ia mengulanggi ujaran sang pengrajin.
"Ini karya ayah saya yang terakhir. Ada empat buah cincin dengan kode ini."
"Tiga." sergap Dylan. "Hanya tiga cincin."
Lelaki pengrajin itu menggeleng cepat. "Aku yakin ayah membuat empat cincin sebelum meninggal."
"Jadi bukan anda yang membuat cincin itu."
"Bukan. Aku tidak bisa membuat pola serumit ini. Bagaimana cincin ini berakhir di tangan anda?"
"Cincin itu barang bukti."
"Apakah ada tindak kejahatan yang melibatkan cincin buatan ayah?" Wajah lelaki itu berubah sedih.
Dylan mengangguk.
"Bagaimana bisa cincin yang dibuat ayah dengan cinta di salah gunakan seperti ini."
"Bisakah anda memberi tahu makna ketiga pola yang lain?"
"Andai saja saya tahu. Sayangnya ayah tidak pernah meninggalkan catatan apapun mengenai makna cincin yang dia buat. Jika saya melihat secara langsung ketiga cincin yang lain. Mungkin saya bisa mengetahui makna polanya."
Pembicaraan mereka bergulir santai. Hingga akhirnya Dylan dan Lily pamit undur diri. Penerbangan mereka satu jam lagi, dan mereka harus secepatnya ke bandara.
Kebungkaman Dylan selama perjalanan membuat Lily khawatir. Lelaki itu terlihat bergulat dengan pikirannya. Kerutan di kening tak jarang terlihat bersamaan dengan alis tebalnya yang bertaut, menandakan jika lelaki itu tengah kebingungan.
"Apakah kau sudah baik-baik saja?" tanya Lily. Dylan tidak menghiraukan.
"Dylan.." Lily menyentuh bahu Dylan Pelan.
Dylan terkesiap, lantas menjawab.
"Ya, Lily .. Ada apa?"
"Kau tidak merasakan sakit lagi? Kau baik-baik saja?" tanya Lily lagi.
"Apakah kita perlu mencari hotel terdekat untuk melihat apakah aku sehat?" goda Dylan.
Lily membuang muka.
"Tidak usah! Kau baik-baik saja sekarang," sahutnya ketus.
Dylan terkekeh. Hanya sekilas, sebelum kemudian kembali sibuk dengan pemikiran di otaknya. Ia berusaha memecah makna kode bulan di cincin itu. Tak mungkin itu hanya sekedar satelit dalam tatanan tata surya. Sepertinya ia harus melihat ketiga cincin yang lain. Cincin istri Albert, anak pertamanya, lalu cincin Albert.
Tapi saat jenaza Albert ditemukan. Ia tak menemukan cincin lain selain cincin di genggaman tangan Albert. Jika kata pengrajin itu ada empat cincin. Berarti Albert juga memiliki cincin yang sama. Lalu dimana cincin Albert. Dimana lelaki itu menyimpannya.
"Dylan..."
Dylan terkesiap. Lily mengguncang bahunya sedikit keras.
"Kau melamun lagi. Kita sudah sampai di Bandara."
Dylan mengalihkan pandangan keluar jendela taksi. Benar, ia sudah sampai di bandara. Kemudian ia mengambil dompet dari saku celananya dan mengeluarkan uang lalu menyerahkannya pada supir taksi.
"Ayo turun." ajak Dylan, dan mereka keluar dari pintu yang berbeda.
Mereka berjalan beriringan. Lagi-lagi tak ada obrolan. Hanya sebuah perintah yang langsung di laksanakan Lily tanpa banyak pertanyaan.
"Hubungi yang lain. Kita bertemu di markas saat kita sampai."
Kemudian mereka memasuki pintu keberangkatan.
***
Di dalam ruangan itu Dindin, Leo, Fatiya dan Bara menunggu kedatangan Dylan dan Lily dengan cemas. Dan ketika dua anak manusia itu masuk ke dalam ruangan rapat. Suara saling bersahutan menanyakan hasil yang mereka dapatkan.
"Bisakah kalian diam dan duduk saja." Dylan memperingatkan.
Semuanya bungkam. Duduk di tempat mereka masing-masing dan menunggu lelaki itu membuka suara.
"Cincin ini ada empat buah." ujarnya mengagetkan yang lain.
"Albert memiliki cincin yang sama?" tanya Bara.
"Ya. tugas kita sekarang mengumpulkan semua cincin dan memecahkan kodenya," terang Bara.
"Bagaimana caranya? kita harus meminta pada istri dan anak Albert?" sambar Fatiya.
"Tentu. Bukankah kita akan bergantian memanggil mereka menjadi saksi," terang Lily bergabung dalam diskusi. "Ingat waktu kita tidak banyak. Kita harus menyelesaikan kasus ini secepatnya," imbuhnya.
"Kita akan membagi tugas," Sergap Bara. "Aku dan Lily akan pergi rumah Albert dan juga ke rumah pribadinya," usulnya.
"Baiklah, jika begitu aku dan Dindin akan memangil istri Albert. Lalu Fatiya dan Leo akan memanggil anak pertama Albert." terang Dylan. Lelaki itu tak sedikitpun mengintrupsi usulan Bara.
Lily mengamati Dylan dan Bara bergantian. Pemandangan yang begitu kontras terlihat dari rona wajah mereka. Bara dengan ekspresi datarnya seperti memendam sesuatu. Sedangkan Dylan, lelaki itu selalu tampil santai dan memesona. Namun ketika Dylan menyadari jika Lily sedang mengamatinya ia mencuri kesempatan dengan mengedipkan satu matanya menggoda.
Lily terkesiap, kemudian kelabakan dan langsung mengedarkan pandangan. Takut jika ada salah satu dari rekannya mendapati ketika Dylan menggodanya. Lily mencibir, Dylan tersenyum geli.
"Sepertinya Ketua kita sedang bahagia." sindir Bara.
Dylan menarik senyumnya, kemudian berdehem dan...
"Dindin panggil istri dan anak Albert. Bara segera geledah rumah mereka." pungkasnya kemudian bangkit dari tempat duduknya, lantas pergi.
Lily berusaha menahan tawa. Entahlah, tingkah Dylan hari ini sungguh menari untuk di saksikan, sayang jika dilewatkan. Mereka bukan anak remaja lagi yang harus menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Tapi cukup menantang menjalani hubungan seperti ini.
Lily senyum-senyum sendiri, namun ketika ia sadar Bara tengah mengawasinya, Lily langsung menarik senyumnya dan beranjak dari tempat duduknya, hendak pergi.
"Apa yang terjadi di antara kalian selama di Bali?" Bara menahan Lily. Pertanyanya penuh curiga.
"Tidak ada. Seperti yang sudah aku katakan kemarin. Aku pulang hari ini karena Dylan sakit, dan aku tidak mungkin memaksanya kembali hari itu juga" terang Lily santai. "Jika tidak ada yang perlu ditanyakan lagi, bisakah kita pergi sekarang." ajaknya.
Bara mendengus kesal. Kemudian mendorong kursinya kasar hingga menghasilnya suara derit dan bangkit berdiri.
"Ayo."
"Pergilah dulu. Aku harus ke kamar mandi."
Bara menatap Lily sekilas kemudian berlalu pergi.
Lily menghela napas cepat. Sepertinya Bara mulai curiga. Lily harus berhati-hati. Belum saatnya memberi tahu semua rekannya perihal hubungannya dengan Dylan. Ia menggu saat yang tepat. Saat dimana Bara yang Lily tahu memiliki perasaan padanya, bisa merelekannya bahagia bersama Dylan. Dan Kevin, sang kakak yang berubah tidak menyukai Dylan bisa kembali bersahabat dengan Dylan seperti dulu.
Lily mematut parasnya di kaca kamar mandi kemudian membasuhnya dan menguncir rambutnya ekor kuda. Lantas menghembuskan napas berat kemudian melangkah ke arah pintu, membukanya. Namun Dylan yang teryata menunggunya di depan pintu. Mendorongnya masuk, menghimpitnya ke tembok dan menghujamkan ciuman membabi buta di bibirnya.
Lily membalasnya, hanya sekilas. Kemudian ia mendorong Dylan menjauh, melepaskan pautan bibir mereka. Napas Lily terengah, Dylan tersenyum sembari menyapu bibirnya dengan lidah. Kemudian mendekat dan hendak mencium Lily lagi. Namun..
"Berhenti, Dylan," pinta Lily sembari mengudarakan telapak tangannya, menahan.
"Aku meridukanmu, sayang."
Dylan menepis tangan Lily. Menyatukan lagi bibir mereka dalam talian cinta penuh gelora.
"Menikahlah denganku." pinta Dylan di selah ciumannya.
Lily memalingkan wajahnya cepat. Melepas paksa panggutan Dylan.
"Lily.." protes Dylan tak terima.
"Kita ada di markas. Hentikan! kita bisa saja ketahuan. Mundur Dylan..." pinta Lily.
"Menikahlah denganku?"
"Tidak!" jawab Lily tegas. "Tidak untuk sekarang."
Dylan mendengus kesal, lantas menarik dirinya mundur. Membiarkan Lily pergi, bersamaan dengan gumamannya yang penuh kejengkelan menguar ke udara.
****