Tanggerang Selatan, Oktober 2003
Bunda Sofie meletakkan dua gelas teh di meja tamu. Dia sedang kedatangan tamu. Keduanya adalah sahabat lama. Sejak di SMP, SMA, sampai satu kampus, meski beda jurusan. Bunda Sofie kuliah di jurusan pendidkan guru. Dua sahabat yang bertamu selepas maghrib itu kuliah di jurusan Manajemen Bisnis.
Ibrahim dan Rahma. Mereka satu jurusan dan akhirnya menikah. Sudah delapan tahun, tapi tidak juga memiliki anak. Atas saran kerabat dan beberapa kenalan, mereka ingin mengadopsi anak. Tapi, Ibrahim adalah orang yang penuh perhitungan. Dia dididik untuk memprediksi, merencanakan segala sesuatu dengan tepat.
Sudah empat panti asuhan didatangi. Tapi tidak ada yang cocok.
“Jadi panti asuhan ini, alasan mengapa kamu mengambil jurusan pendidikan guru?” tanya Rahma yang mengenakan hijab ungu.
“Tidak juga. Kalian tahu aku memang mau jadi guru. Panti ini lahir dari proses hidup. Kecintaan pada anak-anak. Senyum mereka yang bagai pelangi sesudah hujan.”
“Kamu masih saja puitis,” kata Ibrahim diiringi dengan gelak tawa ketiga orang dalam ruang kerja Bunda Sofie.
“Aku bingung, kamu ini anak orang kaya. Perusahaan papamu di mana-mana. Siapa yang mengurus itu semua?”
“Adikku, Yanti. Kalian ingat, kan?”
“Tentu saja. Yanti yang selalu minta dibelikan es potong,” kenang Rahmi.
Bunda Sofie memang lahir dari keluarga berada. Dia adalah pewaris utama dari perusahaan milik sang ayah. Tapi, kecintaan pada anak-anak jalanan, mereka yang menderita karena tidak memiiki orang tua menjadi alasan Bunda Sofie tidak mau mengurusi segala tetek-bengek kekayaan melimpah milik orang tuanya.
Jika mau sebenarnya Bunda Sofie mampu mendirikan sekolah gratis dengan mutu pendidikan di atas rata-rata. Dia sanggup untuk itu. Adiknya juga yang menyarankan. Lebih real dan to the point. Tapi, Bunda Sofie ingin mendidik Anak-Anak Cahaya dengan belajar dari proses hidup. Ada keberuntungan, ada kemalangan. Ada baik dan buruk. Miskin dengan kaya. Kadang sakit, kadang sehat.
Semua harus dijalani setiap manusia dalam proses pencarian jati diri. Sehingga suatu saat mampu menjadi manusia bermartabat dan berakhlak mulia.
Kalau disediakan yang enak-enak saja manusia akan menjadi malas. Tidak mau melakukan ini dan itu.
Sudah puluhan Anak-Anak Cahaya dia didik dan menjadi orang yang berguna sekarang. Bunda Sofie yakin perjuangan hidup, ketidakmudahan, ketidakberdayaan akan mengajarkan setiap anak untuk menjadi pribadi yang baik, penuh dengan welas asih.
Bunda Sofie memang benar, bahkan tanpa dia sadari Irfan yang masih sepuluh tahun mampu kuat dan lebih dewasa. Berjuang demi orang lain.
Sudah dua minggu sejak kepulangan Irfan dan Luna ke panti. Potongan keceriaan yang sempat hilang itu kini kembali. Tapi, seperti yang selalu diyakini Bunda Sofie. Roda kehidupan terus berputar.
Malam itu, dua sahabat datang. Setelah sekian lama hilang kontak. Tanpa sengaja pula pasangan Ibrahim dan Rahma sampai di panti asuhannya.
Awal perbincangan masih mengenang berbagai kejadian di masa lalu, tapi akhirnya kedua sahabat itu menyampaikan maksud sesungguhnya.
“Bukan aku tidak mau, tapi… ”
“Apa kamu tidak percaya pada kami?”
“Tentu saja tidak. Kita berteman sejak SMP!”
Bunda Sofie lalu menceritakan tentang Irfan dan Luna. Tentu saja bukan cerita yang lengkap karena Irfan dan Luna tidak pernah berbicara mengenai sosok asli Bambang.
Luna yang selalu ketakutan dan menangis pun mampu berubah jadi lebih tegar, berusaha menutupi segala ketakutan dan kesedihan di dalam hati.
Ibrahim lalu memohon pada Bunda Sofie agar diizinkan untuk mengadopsi Irfan. Dari cerita sahabatnya Ibrahim tahu Irfan adalah anak yang bertanggung jawab.
Dia yakin, kelak Irfan dapat menjadi penerus usahanya.
“Jangan kau pisahkan aku lagi dengannya. Ketakutanku belum hilang.”
“Kau mengenalku bahkan lebih baik dari Rahma, Sof.” Kalimat yang sungguh syahdu terdengar di telinga Bunda Sofie.
“Iya, Ibrahim benar. Kamu juga mengenalku lebih baik dari suamiku sendiri.”
Bunda Sofie menghela nafas. Dia memang mengenal baik kedua sahabatnya. Sekalipun terpisah sepuluh tahun, pasti tidak akan perubahan. Karakter dan pribadi keduanya sudah terbentuk dengan baik.
Dari mereka jugalah, Bunda Sofie banyak belajar tentang perjuangan hidup dan tentang bagaimana menghargai orang lain. Orang tua Ibrahim kurang mampu, dia kuliah dengan beasiswa. Rahma, anak pejabat penting di kementerian pendidikan. Rahma tumbuh dalam keluarga berada, namun peduli pada orang-orang kecil. Dari Rahma, Bunda Sofie tahu ayahnya sering diam-diam, menyamar untuk memberikan bantuan.
“Aku tahu itu, tapi kekhawatiran ini semakin hari semakin kuat.”
“Ayolah, Sofie. Biarkan aku bertemu dengan anak itu. Izinkan dia menjadi anak kami. Biar kami membantumu mengatasi kekhawatiran itu,” kata Ibrahim sambil meletakkan secangkir teh yang baru saja diminumnya.
“Seperi dulu, Tiga Mengatasi Semua,” Rahma berusaha membantu suaminya meyakinkan Bunda Sofie, “akan baik jika kekhawatiran itu kita bagi, perjuangkan bersama,” ucap Rahma sambil memengang kedua tangan Bunda Sofie.
Sekali lagi Bunda Sofie menghela nafas. Dia lagi-lagi tidak bisa menolak. Apalagi dua sahabat karib yang meminta. Sejak memisahkan diri sepuluh tahun lalu, memilih pergi dengan segala isi hati. Memilih membuka rumah singgah dan mendirikan panti asuhan.
Tidak ada yang tahu, alasan kedua Bunda Sofie hidup dengan anak-anak yatim piatu untuk mengobati luka hati. Lelaki yang dia cintai diam-diam. Siksaan batin sebab mencinta dalam diam.
Laki-laki itu sekarang ada di depannya. Meminta izin mengadopsi seorang anak yang telah dia besarkan selama sepuluh tahun.
“Allah, Ya Hafiz, Ya Mu’id. Kuatkan hambamu ini,” batin Bunda Sofie.
***
Irfan termenung menatap langit-langit kamar. Besok dia harus memberi jawaban. Ada lagi yang ingin mengadopsi. Masih ada sisa-sisa ketakutan dia akan mengalami hal serupa.
Namun, entah mengapa kali ini Irfan yakin calon orang tua angkatnya adalah orang baik. Lagipula keduanya sahabat Bunda Sofie.
Luna. Siapa yang akan menjaga Luna nanti? Menemani Luna menghapus semua kenangan buruk di rumah Bambang.
Kalau dia pergi, Luna sendirian.
Irfan juga belum sepenuhnya merasa aman. Rahasia yang hanya dia dan Luna yang tahu. Rem mobil Bambang!
Andai Lestari, Marno dan Widji tahu, mereka tidak perlu menakut-nakuti Irfan dan Luna.
Dalam kebimbangan tiada batas itu, Irfan mengikuti kebiasaan yang diajarkan oleh Bunda Sofie. Bersholawat dan memuji Asma Allah.
“Allah, Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta Yang Maha Menjadikan, tunjukkan jalan yang harus kupilih.”
Irfan terus berdzikir hingga matanya tak bisa lagi menahan kantuk.
Dia tertidur, namun mulutnya terus bersholawat dan malafazkan Asma Allah.
***
Irfan berdiri di balik sebuah pohon besar, menatap mobil MBW yang membawa Luna. Hatinya senang. Sahabatnya ada di tempat yang aman. Luna tidak akan terusik sekalipun peristiwa kematian Bambang terbongkar.
Ibrahim berjanji akan membawa Luna ke luar negeri. Irfan meminta itu dengan alasan agar Luna mendapat pendidikan yang layak. Permintaan aneh, untuk apa juga Ibrahim menuruti kata-kata seorang bocah.
Bocah laki-laki bermata biru itu berhasil meyakinkan Ibrahim, untuk membawa Luna bukan dirinya. Irfan tidak memelas, memohon tapi bernegosiasi. Membuat Ibrahim dan istri berdecak kagum. Tidak menyangka anak berumur sepuluh tahun dapat secerdas itu.
Kali pertama dalam hidup, Ibrahim tidak melakukan perhitungan apapun.
“Mungkin ini petunjuk. Keinginanku untuk S3 di Amerika. Keinginan yang selalu kutunda,” kata Ibrahim pada istrinya.
Irfan semula ingin diajak serta. Lagi-lagi dia berhasil meyakinkan semua, bahwa ingin belajar lebih banyak dengan Bunda Sofie.
Padahal itu semua adalah akal-akalan Irfan. Dia sendiri memilih kabur dari panti asuhan setelah Luna dibawa. Ketakutannya akan rem mobil yang dia potong terus saja menghantui.
Dirinya tidak bisa untuk memberi semangat pada Luna, padahal dirinya sendiri begitu trauma, begitu takut menerima kenyataan.
Kenyataan kalau dia, Irfan Aditya, bocah sepuluh tahun adalah pembunuh.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog