Aku dan Rafi sampai di kamar. Dia merebahkan tubunhya di tempat tidur dengan sepatu yang masih menggantung di kakinya. Aku tahu cowok ini sedang sangat-sangat kesal. Tapi apakah dia sampai harus berbuat sejauh ini dalam waktu sekejap. Tidak begitu sakitkah hatinya karna telah menyakiti hati wanita yang telah dicintainya setengah mati itu, sahabatnya dan juga semua teman-teman satu gengnya. Aku tahu pasti rasanya sangat-sangat sakit meski aku tak bisa membayangkan itu.
Lantas, sekarang aku harus bagaimana? Aku berada dalam satu kamar yang sama dengan cowok yang berubah 180? itu. Bagaimana jika dia melakukan sesuatu yang macam-macam padaku? Karena ku tahu ketika sedang seperti ini dia pasti melakukan hal-hal yang tidak pernah ku duga seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya yakni menciumku dengan paksa saat dia mendapati kekasihnya bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Bagaimana jika dia melampiaskan kekesalannya padaku lagi seperti waktu itu? Bagaimana aku menghindar? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu berkecamuk dalam pikiranku.
“Loe nggak istirahat, jangan berpikir yang tidak-tidak gue nggak akan apa-apain loe,” ucapnya seolah bisa mendengar semua kekhawatiran yang tengah berkecamuk dalam pikiranku.
“Ah,,, iya,, gue akan mandi dulu,” ucapku yang sempat terlonjak kaget mendengar perkataannya itu.
“Ya, baiklah sebaiknya loe bersihin diri loe dulu, aku mau rebahan sebentar, kalau loe udah selesai mandi bangunin gue. Gue juga mau mandi,”
“Baiklah,,”
*****
Usai mandi sesuai permintaannya aku membangunkannya. Dia pun masuk ke kamar mandi, entah apa yang dilakukannya di dalam hingga beberapa jam dia tak keluar-keluar. Mungkin saja dia tengah menangis lagi seperti tadi, tapi dia nggak pengen aku tahu. Makanya dia mengunci diri di kamar mandi. Tapi, kemudian dia tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, mungkin dia habis keramas pikirku. Meskipun tahu, hipotesisku sebelumnya lebih benar, bahwa terdapat lingkaran merah di kedua matanya yang menandakan dia habis menangis. Tapi, aku tak berani untuk bertanya padanya. Dia pun terkaget melihatku tengah menatapnya sekejap.
“Kenapa loe menatap gue seperti itu?” tanyanya.
“Ah, tak apa-apa, ku pikirr,,,,”
“Loe pikir gue akan ngelakuin hal yang tidak-tidak di kamar mandi. Kalau pikiranmu seperti itu ma’af dugaanmu salah besar. Kaum cowok tak selemah kaum wanita?” ucapnya.
“Maksud gue,,,”
“Ah, sudahlah gue mau tidur, gue lelah banget hari ini,” ucapnya sembari menarik selimut dari tempat tidur dan meletakkannya di lantai bawah samping tempat tidur dengan membawa serta sebuah bantal. “Gue akan tidur di bawah, loe tidur di atas,” jelasnya.
Aku tahu dia tidak akan berbuat yang tidak-tidak terhadapku seperti yang aku kuatirkan. Dan aku pun bisa mempercayai cowok itu sepenuhnya, karena dia tidak pernah melanggar perkataan yang pernah di lontarkannya kepadaku.
“Tapi,, Raf,,,” ucapku.
“Ada apa lagi?” tanyanya. Aku langsung turun dari tempat tidurku dan membawa medical kids yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi karna Farish pernah bilang bahwa kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita kelak. Makanya untuk berjaga-jaga aku selalu membawa medical kids yang pernah dia hadiakan kepadaku itu. Aku mendekatinya yang mulai siap untuk tidur itu.
“Sini, gue obatin luka loe dulu,” ucapku.
“Ah, nggak usah. Ini cuman luka kecil,”
“Meskipun luka kecil tapi harus di sembuhkan juga. Gue nggak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka besar yang menganga di hati loe. Gue hanya bisa membantu menyembuhkan luka kecil ini,” ucapku sembari mengobati luka di bibir kananya itu.
“Loe juga bawa kotak obat, kemanapun loe pergi?”Oh, ya pacar loe kan dokter, gue lupa,” tanyanya padaku yang sekaligus dia jawab dengan kesimpulannya sendiri tanpa meminta jawaban dariku yang sesungguhnya. Dan aku pun hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Sudah selesai,” ucapku. “Tidurlah.” Aku meletakkan medical kids ku kembali ke dalam tas. Dan bergegas untuk tidur di ranjang.
“Loe nggak usah bersikap seperti itu pada gue. Bagaimana kalau gue tiba-tiba jadi suka sama loe,” ucapnya dengan nada meledek seperti biasanya. Dari caranya bicara kali ini, aku tahu dia telah kembali, menjadi dirinya yang ku kenal.
“Itu, nggak akan terjadi,” jawabku.
“Kenapa tidak,”
“Loe bukan orang yang bakal menjilat lidah loe sendiri,” jelas ku sembari memejamkan mataku yang tengah mengantuk.
“Loe beneran percaya sama gue,” ucapnya tanpa ku hiraukan. “Loe nggak kedinginan?”Ah, gue dingin banget disini. Bagaimana kalau gue peluk loe, pasti rasanya,,,” godanya tanpa henti hingga membuat ku berteriak,” Rafiiii,,,,,,,”
“Eh, suara loe kenceng banget, ntar loe bikin mereka berpikir gue lagi ngapa-ngapain loe,”
“Bukannya itu yang loe mau, bukannya loe mau mereka mempercayai itu kan?”
“Ah, iya loe bener, thanks atas teriakan loe, pasti mereka sekarang sedang berpikir kalau kita sedang,,,” ucapnya yang ku cut secara tiba-tiba.
“Loe bisa diem nggak sih, gue ngantuk banget nie,” bentakku.
“Ah, baiklah,, tidurlah kekasih kontrakku,” ucapnya yang terakhir karna tak ku dengan lagi celotehannya selanjutnya.
“Raf,,, loe bener-bener udah kembali,” desahku yang telah menyadari bahwa Rafi sudah kembali sepenuhnya dari sikap dingin dan kasar yang tengah dilakukannya pada kekasih dan teman-temannya itu. Aku pun memejamkan mataku dan terlelap dalam malam yang panjang.
*****
Ku rasakan terik sinar matahari memasuki jendela kamar tempat aku tidur itu. Dan ku sadari aku terlambat bangun. Sudah jam berapa ini, pikirku. Dan aku terlonjak kaget ketika ku dapati jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Aku melepaskan selimut hangat yang melingkar di tubuhku dan ku tahu pasti Rafi yang meletakkannya disana. Aku pun bergegas mandi seusai menata tempat tidurku, setelah ku ingat bahwa jadwal hari ini adalah Rafi dan teman-temannya akan pergi jalan-jalan menikmati pemandangan di puncak ini.
Aku terkejut ketika mendapati mereka semua tengah berkumpul di meja makan. Semua mata tertuju ke arahku dan seorang pria dengan wajah imut itu tersenyum melihatku.
“Kau baru bangun,” tanya pria itu yang tak ku tahu siapa karena Rafi belum memperkenalkannya padaku dan dia juga tak kudapati diantara orang-orang yang telah menghakimi Rafi waktu itu.
Melihatku terheran-heran, akhirnya Rafi memperkenalkannya padaku. “Ah, dia Rizal dan di sebelahnya Dany, mereka temanku juga, dan baru tiba tengah malam tadi,” jelasnya.
“Bagaimana malammu Tuan Putri, apakah tidurmu nyenyak?” tanya Dany padaku dengan di sertai tatapan penuh tanya pula dari semua orang yang tengah berkumpul di meja makan itu. Aku masih diam tak menjawab sepatah kata pun pada mereka. Karena ku tahu kemana arah pembicaraan mereka.
“Ah, kau pasti tidur dengan sangat nyenyak. Apakah sahabatku ini melakukannya dengan baik?” Rizal menambahi pertanyaan Dany.
“Ya, tentu saja dia akan melakukannya dengan sangat baik, ini pertama kalinya dia melakukan hal itu,” jawab Dany menanggapi pertanyaan Rizal.
“Tapi, kenapa dia berteriak semalam Raf,” pertanyaannya beralih ke Rafi.
“Ah, itu,,, ucap Rafi terbata-bata. Aku melotot ke arahnya dan dia tak lagi meneruskan jawaban yang telah di karangnya. Sebaliknya dia hanya tersenyum ke arah mereka.
“Ah, ini pasti pertama kalinya juga buat nona ini, makanya dia menjerit,” jawab Rizal berasumsi sendiri. Dan aku semakin geram melihat tingkah mereka berdua yang sangat ingin tahu tentang apa yang terjadi padaku dan Rafi semalam. Tapi, ini sudah kesepakatanku dengan Rafi untuk berakting dan tidak membuka kebenaran tentang semalam, bahwa diantara aku dan dirinya tidak pernah terjadi apapun. Kecuali aku yang berteriak kepadanya karna dia tetap saja mengoceh sepanjang malam tanpa mengizinkanku untuk tertidur.
Sesosok cewek imut itu, menghentikan makannya melihat kelakuan kedua temannya itu yang memojok-mojokkan ku dan Rafi. Aku tahu dia sangat marah dari sikapnya yang membunyikan sendoknya dengan keras ketika hendak meletakkannya kembali dalam piring kotornya.
“Sudahlah, kau itu kalian berdua itu suka usil dengan urusan orang lain,” seru Hera melihat kelakuan Rizal dan Dany yang telah membuat sahabatnya, Angel, marah dan geram.
“Sudah, sudah, sudah,,, ini masih pagi jangan membuat keributan lagi. Kita selesaikan masalah itu dan masalah-masalah lainnya nanti. Sekarang kita pergi jalan-jalan dulu,” Sang ketua geng sudah memutuskan acara hari itu dan kami pun bergegas.
Kami berjalan menyusuri kebun teh di sekitar puncak itu. Rafi melekatkan tangannya ke bahuku. Dia bilang itu adalah salah satu bagian dari akting agar teman-temannya semakin percaya dengan hubungan kita. Tapi, aku tak tahu apa yang tengah ku rasakan. Tiba-tiba saja jantungku berdebar dengan kencangnya, dan aku takut bahwa dia akan mendengarnya jika dia terus saja menempel di sampingku tanpa membiarkan aku lepas sedikitpun dari genggamannya.
*****