Read More >>"> The Friends of Romeo and Juliet (34. Rey) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Friends of Romeo and Juliet
MENU
About Us  

Di sanggar, aku lebih diam dari biasanya. Pak Ageng kelihatan cemas, tapi tidak mengatakan apa-apa. Beliau tetap mengarahkanku dengan caranya yang biasa. Bahkan komentarnya lebih tajam soal lukisan cat posterku kali ini.

“Nggak biasanya kamu pake warna merah menyala begini.”

“….Kalau api memang warnanya ini kan pak?”

Pak Ageng tertawa. Aku hanya heran menatapnya.

“Oalah nduk…nduk! Yang masih sekolah harusnya lebih pinter dan lebih polos! Tapi ini mah kebangeten polosnya!” beliau menggeleng-geleng. Aku memang sedang mencoba tema yang tidak biasa kusentuh. Bencana alam. Lebih tepatnya hutan yang terbakar. Karena pakai cat poster, harus sekali jadi. Tidak kusangka beliau malah mengkritik habis-habisan karyaku yang kukerjakan dengan penuh konsentrasi hari ini.

“Api itu kan bisa macem-macem. Api kompor gas aja warnanya biru, malah lebih puanas.” Beliau duduk di bangku kayu di sebelahku. Bertahun-tahun aku dimentorinya, beribu kali kami berhadapan, baru kali ini kusadari betapa tuanya Pak Ageng. Tua dengan wajah penuh keriput, namun masih berseri-seri.

“Ada lagi api warnanya putih, noh, di atas sono,” Pak Ageng menunjuk ke atap, maksudnya mau menunjuk bintang di langit.

“…Kalau kebakaran hutan kan memang merah pak, apinya,” aku mencoba berargumen, entah lemah, entah kuat. Pak Ageng malah nyengir.

“Oke lah, kalau soal apinya warna merah….boleeeh….” Beliau menunjuk bagian dasar api di kertasku, “kalau warna hitam ini maksude opo?”

Diamlah aku, “Itu….tanaman-tanaman yang terbakar pertama, yang ada di dasar….kalau sudah jadi arang kan, hitam…”

Pak Ageng menggeleng-geleng, “kamu membenarkan dengan alasan sains. Bukan dengan alasan hati.”

Aku menatap lukisan itu, dua jam kucurahkan perhatian penuh. Dua jam aku tidak bersenandung seperti biasa, atau memikirkan baik-baik warna yang kuinginkan. Hampa, itulah yang kurasakan dari lukisan itu. Hanya potret alam yang mana tidak ada diriku di sana.

“Marah pas ngelukis…eh, kebalik ya? Ngelukis pas marah…. boleh. Boleh banget, malah! Van Gogh aja terkenal temperamental, tho? Setiap pelukis punya gayanya sendiri. punya inspirasi sendiri. Bapak ndak akan mengarahkan kamu ke inspirasi bapak. Selama ini mana ada bapak kasih tema-tema dan harus saklek tema itu? Ndak ada tho?”

Aku menggeleng.

“Nah, yang ada bapak memang memberi latihan. Latihan itu dasarmu untuk membentuk gayamu sendiri supaya matang. Ya pewarnaannya, ya tekniknya, ya pola pikir. Pelukis berbakat? Banyak! Ngeluwihi butiran garem yang ibukmu masukin ke sop!” beliau terkekeh, aku tersenyum sedikit, “Tapi karena berbakat itu malah jadi sombong, ngerasa ndak perlu yang namanya dasar-dasar, besik-besik (basic, koreksiku) itu! Nah, kan ciloko! Bapak ndak mau kamu begitu. Melukis itu pakai hati, tapi juga diseimbangkan dengan berpikir. Semua seni itu begitu. Nggak Cuma indah, tapi bermakna dan maknanya harus bisa ditangkap orang lain, bahkan kalau bisa memberi manfaat untuk orang yang ngeliat. Sekarang ini, kamu cuma mikir. Marah. Tapi marahnya mbok jejeli ke sudut ati dulu, penting ngelukis! Iya tho?”

Aku meringis.

“Yah….ndak apa-apa sih, asal ndak setiap saat aja. Hancur nanti bakatmu.” Sekarang beliau serius, “masalah cowok ya, nduk?”

Aku terdiam. Sebenarnya dibilang begitu sih, iya juga. Tapi masalah utamaku…

“Akar masalahnya….itu dan temen saya pak…”

“Yang blasteran kadang nemenin kamu itu?”

Aku mengangguk. Melihat ketulusan Pak Ageng, yang sudah menganggapku bagai cucunya sendiri, air mataku tumpah beserta kata-kata curahan hati. Ceritaku dan kak Dilar, soal Yuki dan Hamka, bahkan soal memalukan dimana Kak Yosi hampir memaksakan dirinya padaku, aku sudah tidak tahan lagi menyimpan semuanya. Barangkali, aku beruntung punya mentor seperti Pak Ageng yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupanku sebagai murid SMA. Beliau menaruh satu tangan di bahuku untuk menenangkanku sambil mengambil satu kotak tisu.

“….kamu tau Aufheben?”

Tidak pernah lagi aku terkejut kalau tiba-tiba bapak yang satu ini nyerocos dalam bahasa lain. Pernah suatu hari, kenalannya sesame seniman datang, dan mereka nyerocos saja dalam bahasa yang akhirnya kutahu Bahasa Jerman dan Belanda sekaligus. Jangan dikira hanya para eksekutif perusahaan besar yang harus menguasai bahasa asing, para seniman punya caranya masing-masing untuk belajar banyak hal. Tidak hanya mengeluarkan output, mereka juga harus menjaga input kreativitas dengan mempelajari banyak hal.

Kembali ke pertanyaan Pak Ageng, aku menggeleng.

“Aufheben itu persatuan dua konsep yang mencolok di tingkat tinggi. Misalnya…ini,” beliau menunjuk bagian api lukisanku, “ini api kan? Tapi kamu lukis pakai air, kan? Kertas ini juga dibuat dari pohon, eh….kamu gambarin pohon lagi!”

Mau tidak mau aku tersenyum mendengar ironi yang dicontohkannya.

“Biasanya Aufheben itu soal teknik. Di olahraga, atau pas ada ilmuwan meh gabungke dua teori sing beda banget. Tapi menurut Bapak, justru jauh…jauh…lebih sederhana.”

“Api dan air, laki-laki dan perempuan…mereka beda jauh, tapi bisa bersatu juga kan? Nggak bermaksud ngomong sing jorok-jorok, lho ya….” Pak Ageng mewanti-wanti. Aku mengangguk paham, masih tersenyum, nyengir malah.

“Kejahatan dan kebaikan…sekilas juga nggak bisa disatukan, tapi….sek…sing iki rodo angel, opo yo contohe? Oh ono siji! Polisi! Polisi meh kerja sak apik-apike, musti pernah salah. Pernah kerja sama bareng penjahat.”

“Penjahat ya padha wae, sekotor-kotornya duit sing diklumpuke, kalau disumbangkan dengan niat sedekah, Gusti Allah dan yang nerima niat itu, berkehendak! Uang siapapun dan bagaimanapun cara mendapatkannya, kalau niatnya disedekahkan kepada yang membutuhkan, ya jadi uang bersih. Dan memang bersih! Karena bagian yang disedekahkan itu dinilai bersih, yah…masih tergantung Gusti Allah, tapi yo, ngono lah, ngerti tho maksudku?”

Aku sudah merasa lebih baik, meskipun ngawur kemana-mana, nasihat Pak Ageng selalu mengena di bagian fundamental. Di dasar. Bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Masalahnya adalah apakah Yuki mau mendengarku atau tidak. Dan apakah kami bisa saling memaafkan atau tidak. Memang hubungan dan persahabatan kami tidak akan sama setelah ini, tapi memang begitulah hubungan manusia kan? Harus sama-sama berusaha…

“Oh, ada contoh lagi, nih!” aku meringis, sudah tahu ceramah panjang beliau akan menyebar kemana-mana. Tapi karena edukatif, kudengarkan saja.

“Api kebakaran hutan itu tidak selamanya buruk. Memang ada sisi buruknya, jadi ada kabut asap lah, hewan-hewan lari, mati…tapi yang hebatnya, ada pohon namanya giant sequoia, salah satu species pohon yang hidup sampai ratusan tahun dan termasuk pohon terbesar di dunia, justru butuh! Butuh api kebakaran hutan itu biar bijinya meledak! Menebar benih, jadi memang mereka cuma bisa berreproduksi pakai cara itu.”

Tuh, kan, edukatif. Aku mengangguk.

“Matur nuwun, Pak, maaf sesi hari ini malah kulo curhat.”

“Wis, rapopo, kamu cucu bapak sing paling sering di sini, masak ndak tak jagain.”

Uh, beliau terang-terangan memanggilku cucunya, aku jadi ingin menangis lagi, karena anak cucu beliau pindah ke luar negeri, jadi beliau jarang bertemu mereka. Hanya sesekali kalau beliau ada undangan ke sana saja.

Setelah pamit pulang, sambil menuntun sepeda mini aku berpikir harus bagaimana. My mind was set, tapi aku belum tahu mau ngapain…

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PELANGI SETELAH HUJAN
3      3     0     
Short Story
Cinta adalah Perbuatan
Memoria
1      1     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Kisah Kasih di Sekolah
9      5     0     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
Ruman Tengah Jalan
3      3     0     
Horror
LOVE IN COMA
355      286     7     
Short Story
Cerita ini mengisahkan cinta yang tumbuh tanpa mengetahui asal usul siapa pasangannya namun dengan kesungguhan didalam hatinya cinta itu tumbuh begitu indah walaupun banyak liku yang datang pada akhirnya mereka akan bersatu kembali walau waktu belum menentukan takdir pertemuan mereka kembali
karena Aku Punya Papa
2      2     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Twisted
23      11     0     
Romance
Cinta. Kecil namun sanggup mengubah hidup. Ia menjadikan sesuatu begitu indah dan sempurna. Namun, apa yang nampak bukanlah apa yang sesungguhnya. Emily Primadona tidak pernah menyangka bahwa ia memasuki sebuah drama kehidupan yang biasanya hanya ada di dalam film dan novel. Namun ia tak boleh berhenti apapun alasannya, atau ia akan terjebak selamanya. (Berdasarkan kisah nyata.) ~~~ ...
JEANI YOONA?
1      1     0     
Romance
Seorang pria bernama Nicholas Samada. Dia selalu menjadi korban bully teman-temannya di kampus. Ia memang memiliki tampang polos dan bloon. Jeani seorang perempuan yang terjebak di dalam nostalgia. Ia sangat merindukan seorang mantan kekasihnya yang tewas di bunuh. Ia susah move on dari mantan kekasihnya hingga ia selalu meminum sebuah obat penenang, karena sangat depresi. Nicholas tergabung d...
Shades Of Nuance
14      9     0     
Romance
"seandainya kita diciptakan untuk menjadi satu, pasti suatu saat kita akan bertemu – Putri Zein" "aku selalu teringat tentang pertama kali aku bertemu dengan mu, kau hanya menatapku datar bukan tatapan memuja. Seorang siswi pindahan yang selalu membuatku muak, dengan kelakuan nya yang selalu ikut campur urusan orang lain. – Choi Min Ho" "mata kami saling bertemu, m...
The Alter Ego of The Ocean
3      3     0     
Short Story
\"She always thought that the world is a big fat unsolved puzzles, little did she knew that he thought its not the world\'s puzzles that is uncrackable. It\'s hers.\" Wolfgang Klein just got his novel adapted for a hyped, anticipated upcoming movie. But, it wasn\'t the hype that made him sweats...