Again 01
Panas siang ini begitu terik. Arbian Fahrez mengusap peluh yang membutir di dahinya dengan selembar tisu yang ia simpan di dalam saku celananya. Dahinya mengerut memperhatikan sekeliling lapangan pembangunan hotel bintang empat yang dibiayai oleh sebuah group perusahaan ternama dan ia dipercaya sebagai arsitek sekaligus kontraktor kali ini. Jadi Arbian Fahrez harus turun kelapangan langsung mengawasi para pekerja meskipun sudah ada mandor yang mengatur kerja mereka.
"Bapak bisa beristirahat dulu, saya akan tetap mengawasi pekerja dengan baik," kata Rudi, si kepala mandor. Sebenarnya laki-laki itu lebih tua dari Arbian, namun ia tetap bersikap sopan kepada Arbian sebagai atasannya.
Arbian sendiri juga menghormati lelaki tua yang ramah itu. Ia mengangguk, lalu berkata, "Iya, Pak. Terimakasih."
Pak Rudi mengangguk dan kembali kepada posisi awalnya mengawasi jalannya pembangunan proyek besar ini. Pasalnya ini akan memakan waktu lama dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Arbian menatap punggung pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu sambil tersenyum tipis. Arbian berjalan melangkah ke dalam ruangan khusus yang dibuat untuk peristirahatan para pekerja termasuk dirinya. Mereka sengaja membuat tempat ini agak luas dan hanya dibatasi oleh dinding-dinding kayu sebagai batas tingkatan. Arbian melepas helm kuning yang ia kenakan dan meletakkannya di atas meja kerjanya yang kecil dan sederhana. Ia hanya membawa sedikit keperluannya dari kantor, karena jika ia membutuhkan sesuatu yang lain ia bisa mengambilnya ke kantor yang tidak jauh dari lokasi proyek.
Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu mengembuskan napas panjang. Ia lalu duduk di kursi kayu dan meluruskan kaki di bawah meja, melepas penat. Arbian membuka gambar rancangannya. Ia perhatikan setiap garis dan titik-titik penting yang ia buat. Desain denah tersebut terdiri atas, tampak depan bangunan, potongan, detail, rencana atap, rencana fondasi, rencana kusen, rencana saluran air, rencana saluran listrik dan sebagainya.
Ia menggulung kembali kertas yang berisikan rancangannya tersebut dan meletakkannya pada rak kecil di dinding. Arbian meletakkan kedua siku di atas meja dan menyangga kedua pipinya. Ia cemberut menatap keluar jendela. Kepalanya menoleh menatap ponsel yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa di meja kerjanya. Ada yang mengganggu pikirannya sejak pantulan ponsel itu ada di bola mata Arbian.
Dengan gerakan malas ia mengetuk layar ponsel dua kali. Seperti yang diperintahkan, layar ponsel itu menyala dan menampilkan gambar latar seorang perempuan dengan rambut panjang dan senyum yang menawan, yang sengaja Arbian pasang. Bahkan ia tidak pernah menggantinya selama setahun belakangan ini. Karena hanya gambar yang tersisa sebagai jawaban dari pertanyaannya yang semu. Ketika ia terus terpikiran tentang kabar perempuan itu, maka senyum perempuan itu di foto akan menjawab bahwa Amelia Carla bukanlah bagian dari hidupnya lagi.
Pikiran Arbian berlayar ke dalam masa lalu. Di mana sebuah kesalahan telah ia lakukan kepada perempuan yang dulu begitu ia cintai. Mengapa terlambat menyadari? Itulah yang terus menjadi sesal dari segala rasa bersalah yang terus menghinggapi perasaannya selama ini.
Sudah satu menit lamanya Arbian memandang layar ponselnya karena benda layar datar itu sudah meredup kembali. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Arbian mengusap wajahnya, lelah. Tidak Arbian pungkiri bila ia berharap memimpikan perempuan itu dalam tidurnya. Hanya ingin memastikan apakah perempuan penyebab segala resah hatinya selama ini masih baik-baik saja.
Getaran halus menyentakkan indra perasa Arbian. Ia segera meraih ponsel dan menatap sebentar siapa yang menelepon, lalu ia menghela napas dan mengangkatnya.
"Ya?" katanya.
"Kenapa, Ma?" tanya Arbian malas. Baru saja wanita tercinta itu membahas hal yang sensistif kepadanya. "Aku ngga bisa, Ma. Aku sibuk," kata Arbian sedikit kesal.
"Kapan-kapan aja, ya. Bilang sama calon-calon Mama itu aku ngga bisa sampai proyek aku selesai," tandas Arbian. Ia mengerutkan dahi mendengar kata-kata wanita itu.
Arbian menghirup napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Arbian memejamkan matanya erat, lalu menjauhkan ponsel dari telinga untuk menghindari kecerewetan Mamanya sebentar dan kembali mendekatkannya ke telinga.
"Udah ya, Ma. Nanti kita bahas kalau aku udah pulang ke rumah. Dah, aku sayang Mama," kata Arbian menyudahi percakapannya lalu menutup telepon tanpa menunggu Mamanya menjawab.
Lagi-lagi ia menghembuskan napas berat. Arbian geleng-geleng kepala menghadapi sikap Mamanya yang selalu mengungkit masalah pernikahan. Bahkan Arbian baru saja memulai karirnya. Tidak mungkin Arbian menyuruh Anastasya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA untuk menikah sehabis tamat sekolah agar Mama mendapatkan cucu. Bahkan Mama bisa saja menggendong cucu Tante Arbian yang baru berusia tiga tahun. Bahkan anak laki-laki kecil itu sudah lincah berlari ke sana ke mari dan bisa diajak berbicara.
Arbian menggelengkan kepala. Ia mengambil ponsel tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celananya, kemudian ia berjalan keluar ruangan kecilnya dan kembali melihat keadaan lapangan saat ini.
"Saudara Arbian Fahrez.."
Panggilan itu membuat Arbian menolehkan kepala ke arah sumber suara. Seketika ia tersenyum dan langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Direktur perusahaan yang telah memercayakan desain hotel yang sedang dibangun ini kepadanya.
"Senang bertemu dengan Anda," kata Arbian setelah melepaskan jabatan tangan mereka, lalu menyimpannya ke dalam saku celana.
Laki-laki yang dipanggil Direktur Wendra itu memiringkan sedikit kepala, lalu berkata dengan senyum lebar, "Hanya ingin melihat-lihat proses kerja dari karya Anda yang luar biasa."
Arbian tertawa kecil. Ia menggeleng pelan. "Tidak. Ini hanya jauh dari yang Anda katakan. Karena saya masih baru untuk mendesain gambar bangunan sebesar ini. Yah, butuh waktu berhari-hari untuk memikirkan bentuk gambaran anda," kata Arbian merendahkan diri. Karena memang ia tidaklah semahir itu untuk dikatakan luar biasa.
Lalu terjadilah percakapan kecil seputar proses pembangunan hotel tersebut.
***
Amelia Carla baru saja selesai membersihkan piring-piring bekas makan pasangan tua di dapur. Ia tidak membiarkan secuil noda pun tersisa di meja makan serta dapur tempat ia memasak. Akhir-akhir ini memasak menjadi hobi baru Amelia Carla setelah sekian lama ia menghabiskan waktu untuk melamunkan hidup dan mendengarkan perintah cerewet orang-orang.
Saat Amelia selesai mencuci tangannya, tiba-tiba suara tangis malaikat kecilnya terdengar dari dalam kamar. Dengan senyum tipis ia segera mengelap tangan yang masih basah dan berlari menuju kamarnya yang terletak di ruang tengah.
Dilihatnya bidadari kecilnya menggerak-gerakan kaki dan tangan kecilnya ketika ia menangis. Dengan penuh kelembutan ia memangku si kecil itu ke dalam pelukannya.
"Kenapa, Sayang? Tiara haus?" katanya sambil mengecup puncak kepala bayi kecilnya. Seketika Tiara terdiam setelah merasakan kehangatan dari tubuh sang Ibu.
Amelia menyusui putri mungilnya yang sedang haus. Sesekali ia menyapa manusia kecil yang terbalut kain bedungan bergambar peri itu di dalam pelukannya. Tiara kecil juga menatapnya termenung seperti memikirkan apa yang sedang Ibunya bicarakan. Amelia terus saja tersenyum dan merayu Tiara yang membuat bayi perempuan itu sesekali terhenti menyusu pada Ibunya dan memperhatikan Ibunya sejenak, lalu kembali meminum asi.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
"Amelia, boleh Ibu masuk?" kata wanita paruh baya itu di depan pintu.
Amelia menoleh dan melihat wanita itu tersenyum kepadanya. "Boleh Ibu. Silahkan masuk," kata Amelia sopan.
Wanita itu masuk dan duduk di tepi ranjang di depan Amelia yang sedang menyusukan Tiara. Maria menatap bayi perempuan itu dan tersenyum penuh kasih. Lalu ia menatap Amelia yang juga sedang menatapnya.
"Ibu mau bicara Amelia. Tapi Ibu minta maaf jika ini lancang sekali," kata Maria lembut.
Amelia menatap Maria sebentar, wanita paruh baya berhati mulia yang sudah mau menganggap kehadirannya di keluarga kecil mereka. Betapa Amelia sangat menghormati wanita itu dan suaminya, dan ia berjanji akan bersikap baik kepada mereka. "Ngga apa-apa, Bu. Bilang aja," sahut Amelia sopan.
Maria menatap ranjang yang ia duduki bersama Amelia sebentar, lalu menatap perempuan muda di depannya. Dengan ragu-ragu ia berucap, "Tiara kan sudah lahir. Waktu itu hanya sebentar dan Tiara akan tumbuh besar... Apa kamu tidak berniat untuk mencari seseorang yang bisa menjaga kalian berdua.." nada Maria terdengar sumbang, namun jauh di dalam lubuk hatinya ia tidak berniat untuk menyinggung perasaan perempuan yang baru saja menjadi seorang Ibu itu.
Deg! Jantung Amelia berdetak kencang. Sebenarnya ia tidak terlalu terkejut atas pertanyaan itu karena ia sudah tahu suatu saat seseorang pasti akan menanyakan hal itu kepadanya. Amelia menelan ludah dengan susah payah. Ditatapnya Tiara yang sudah terlelap, namun ia tidak melepaskan bayi perempuan itu.
"Iya, Bu. Untuk sekarang aku belum memikirkan tentang itu," kata Amelia berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Ia menatap Maria dan melanjutkan, "Aku hanya ingin membesarkan Tiara dulu. Aku hanya memikirkan Tiara saja."
Maria menatap sedih perempuan di depannya. Sebagai seorang wanita yang pernah melahirkan anak tentu yang ia pikirkan sama jika ia menjadi Amelia. Membesarkan Tiara adalah cita-cita terbesar yang Amelia miliki. Hal-hal lain tidaklah menjadi beban pikiran lagi. "Ibu tahu. Ibu tidak akan memaksa kamu. Karna itu adalah pilihan kamu. Tapi hidup masih panjang dan kamu juga harus memikirkan masa depan Tiara nanti," terang Maria.
Amelia tertunduk. Apa yang dikatakan Maria tidak ada kekeliruan. Siapapun bisa menerima jawaban itu dan Amelia tidaklah menolak jawaban tersebut walau hatinya bertentangan.
"Iya, Bu. Akan aku pikirkan," jawab Amelia akhirnya.
Maria tersenyum, meski usianya sudah tidak muda lagi namun tidak mengurangi lekuk senyumnya yang ramah dan penuh kasih. "Ibu ke kamar dulu, ya. Jangan terlalu kamu masukan ke dalam hati. Ibu ngga ada maksud apa-apa," kata Maria lagi berusaha meluruskan maksud pembicaraannya tadi. Karena Maria tidak ingin Amelia merasa ia berusaha mengusir Amelia dari rumahnya. Bahkan Maria merasa senang dengan kehadiran Amelia dan kelahiran bayi perempuan yang sehat. Ia merasa rumah besarnya kembali terasa hidup setelah anak-anaknya sudah memilih memisahkan diri hidup dengan keluarga mereka.
Amelia mengangguk dan tersenyum manis. Ia mengiringi kepergian wanita itu hingga menghilang di balik pintu. Amelia mengerjap beberapa kali. Mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia menghirup oksigen di sekitarnya hingga memenuhi paru-parunya lalu menghembuskannya perlahan. Detak jantungnya kembali normal.
Ia menatap wajah Tiara dengan mata berkaca-kaca. Sejak Tiara lahir ia tidak pernah memikirkan dirinya ;agi. Yang menjadi fokusnya hanyalah Tiara. Bahkan Amelia tidak berpikir untuk menghayalkan kehidupan rumah tangga lagi. Itu sudah menjadi mimpi-mimpi masa lalu yang pernah ia bangun bersama seseorang dan sekarang semua itu sudah berubah sirna.
Amelia menjauhkan Tiara dari pelukannya dan meletakan tubuh kecil itu ke atas ranjang. Ia menyelimuti Tiara yang tidur nyenyak dengan kehangatan. Amelia merebahkan tubuhnya di samping Tiara sambil terus memandangi wajah Tiara lekat.
Jari telunjuknya mengusap pipi Tiara lembut dan hati-hati agar Tiara tidak terganggu. Satu kecupan mendarat di pipi Tiara. Amelia memeluk Tiara. Amelia sangat menyayangi Tiara. Sampai kapan pun anugerah yang diberi Tuhan tidak akan Amelia sia-siakan begitu saja.