Again 03
Dari tempatnya duduk, Amelia Carla menatap kosong keluar jendela kamarnya. Ia tidak bisa tidur. Ada yang menganggu pikirannya sejak beberapa saat lalu. Entah kenapa, ia dilanda perasaan gundah yang tidak biasa, yang tak Amelia inginkan.
Sisa-sisa harapan yang Amelia kubur dalam-dalam kembali mencuat ke permukaan. Menandakan ia tak mampu melakukannya sendirian. Namun, setelah sekian lama Amelia menghilang, kenapa ingatan itu muncul kembali. Seolah menginginkan Amelia untuk menikmati rasa sakit di masa lalu, berulang kali.
"Pergi!" desis lelaki di depannya. Gigi-giginya bergemelatuk di dalam mulutnya.
Bisa Amelia rasakan lelaki itu sangat marah atas kabar yang baru ia sampaikan beberapa menit lalu. Bahkan ia tidak berani menatap mata yang menyiratkan kemarahan itu. Amelia terlalu takut untuk sekedar mengangkat kepala.
"Maaf," guman Amelia lirih. Tidak bisa ia tahan, air matanya kembali tumpah. "Aku ngga pernah menginginkan ini terjadi...."
Keadaan menjadi begitu rumit. Arbian Fahrez tidak tahu harus berkata apa atau melakukan sesuatu untuk membuat keadaan membaik, apalagi untuk mengubahnya. Itu sangat mustahil.
Arbian mengepal tinjunya. Seluruh darahnya naik ke puncak ubun-ubun mendengar kabar yang menyambar jantungnya seperti petir.
"Aku ngga bilang apa yang kamu katakan itu bohong. Aku cuma ngga bisa percaya, kamu mengkhianati aku!" ucapnya getir.
"Bukan aku! Aku ngga tahu apa-apa, Arbian. Aku dijebak," isak Amelia. Ia memohon agar lelaki itu percaya padanya.
Arbian tidak bisa. Hatinya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Amelia Carla saat ini hamil. Itu benar-benar tidak ada tercetus di benaknya sedikit pun. Benar-benar sulit diterima.
"Aku mohon...."
Amelia menangis. Dadanya begitu sesak. Tidak tahu harus melakukan apa. Hanya ini harapan terakhirnya.
"Kenapa kamu sembunyiin ini dari aku, Amel? Selama itu!" ucap Arbian marah.
"Aku takut... Aku takut kamu menjauh...." ungkap Amelia jujur. Ia menyeka air mata dengan punggung tangan. Kali ini ia beranikan menatap Arbian, penuh harap.
“Aku sendirian... Aku sendirian....” bisik Amelia sedih.
Arbian memejamkan mata erat. Ia menghela napas kasar. Abian mengacak rambutnya kasar. Ditatapnya Amelia, bingung, takut, sedih, marah, bercampur aduk di dalam dada. Arbian benar-benar tidak tahu.
Ia tahu ia harus berpikir, tapi ia tidak ingin berpikir. Kepalanya sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu lalang di benaknya sampai ia tidak tahu lagi harus berpikir apa. Semakin dipikirkan, ia semakin tertekan.
Arbian menarik napas berat, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadanya terasa sakit. Bernapas ternyata bisa juga menyakitkan.
Kenapa harus Amelia...? Kenapa harus kekasihnya...? Mungkin ini mimpi..... Pasti terjadi kesalahan.... Namun, tatapan Amelia, air mata, dan pengakuannya tadi memaksa Arbian terbangun dari mimpi yang seolah nyata ini.
Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Ketika malam itu harus berakhir, Arbian merasa tidak rela. Perlahan-lahan kenyataan mulai menghampiri dan ia belum siap menerimanya. Ia bertanya-tanya dalam hati bolehkah ia hidup di dalam mimpi? Apa yang terjadi kalau ia tidak mau menerima kenyataan? Apa yang akan terjadi?
Ketika Amelia lihat Arbian menggelengkan kepala pelan dan lelaki itu berbalik pergi, Amelia merasa sebagian hatinya tercabik, sebagian dirinya ikut pergi. Tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa diam memandangi punggung Arbian yang semakin menjauh.
“Arbian....”
Arbian tahu Amelia menangis. namun, dengan sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak berbalik dan menggapai gadis itu. Ia tahu ini terdengar sangat jahat, tapi Arbian juga tidak tahu kenapa ia melangkah pergi tanpa kata. Arbian masih shok menerima semua ini.
Ini sungguh takdir yang rumit....
Amelia menghapus air mata di sudut matanya. Ia mengulum bibir, menahan suara tangis. Memikirkan, betapa teganya lelaki itu mencampakkannya. Amelia pikir selama ini lelaki itu akan selalu bersamanya dalam keadaan apapun. Namun, pengakuan lelaki itu bernilai kosong saat beginilah kenyataan yang menimpanya. Bahkan Amelia tidak pernah menginginkan ini terjadi. Amelia pun tidak mau hidup seperti ini.
Sadar akan pikiran buruknya menyalahkan takdir Tuhan, Amelia menggelengkan kepala. Bagaimanapun kejadian buruk itu telah mengubah hidupnya 180 derajat. Amelia kehilangan segalanya. Bahkan nyaris seluruh hidupnya yang dulu direnggut malam itu.
Amelia hanya ingin hidup seperti orang normal lainnya. Meski kesempatan yang sama tidak ia dapat. Namun, Amelia berusaha menerima ini. Ia hanya perlu berpura-pura baik-baik saja, kemudian semuanya akan kembali seperti semula. Seperti saat ia temukan Tiara membuka mata dan menangis memanggilnya.