Read More >>"> Again (Again 05) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Again
MENU
About Us  

Again 05

"Amelia?" panggil Maria pada Amelia Carla yang sedang berada di dalam kamar.

Amelia yang sedang menggendong Tiara di pelukannya menyahut, "Iya, Bu." Ia pun bergegas keluar kamar menuju ruang keluarga.

Maria menyambut Amelia dan Tiara dengan senyum merekah. Wanita itu selalu ceria setiap harinya. “Sini cucu kecil, Nenek,” katanya meminta Amelia memberikan Tiara ke pangkuannya.

“Kenapa kamu cantik sekali, hm? Nenek iri.” Ia mencubit pelan hidung kecil Tiara. Malaikat kecil itu menatap Maria kebingungan, lalu tersenyum seolah ada yang lucu dari wajah Maria.

“Kamu ngejek Nenek, ya?” kata wanita itu lagi, berpura-pura marah. Lalu ia menggelitiki Tiara dengan mencium gemas kedua pipi Tiara yang berisi, membuat Tiara tertawa.

Amelia ikut tertawa melihat adegan itu. Tiara tumbuh sehat diusianya yang ke enam bulan dengan beratnya sudah mencapai 8,5 kilogram. Amelia menghela napas pelan, ia senang sekali. Saat ia pikir dunia akan menolaknya, wanita ini bersama suaminya menerima Amelia dengan tangan terbuka. Menyambutnya saat ia terjatuh sangat dalam. Membantunya untuk bangkit pelan-pelan.

Rasanya semua kejadian pahit itu baru saja terjadi kemarin. Seperti keajaiban Tuhan, ia tiba-tiba berada di tengah keluarga baik ini. Amelia selalu mensyukuri itu.

Wanita itu masih saja menggoda Tiara dan membuatnya tertawa. Amelia menjadi tidak tahan mendengar suara Tiara.

“Oh, iya, Amelia,” kata Maria tiba-tiba. “Ibu senang sekali. Rasanya sudah lama ngga punya cucu kecil menggemaskan kayak Tiara. Karena anak-anak Ibu menikah muda jadi anak-anak mereka sudah besar. Tapi ada cucu Ibu yang sudah gede masih saja suka diceritakan dongeng dan dibuatkan kue cake coklat. Dia manja sekali,” lanjutnya bercerita.

“Oh, ya? Memang dia udah umur berapa, Bu?” tanya Amelia penasaran.

“Sekitar... dua puluh lima tahun. Padahal adik perempuannya yang masih SMA tidak semanja itu,” sahut Maria tanpa menoleh.

“Dia pernah tinggal sama Ibu?”

Maria mengangkat kepala menatap Maria, lalu menganggukkan kepala. “Iya. Ibu tinggal di rumahnya selama dia SD sampai SMA. Karena orang tuanya sibuk berkerja dan sering keluar kota. Jadi Ibu pindah ke rumahnya untuk menjaga mereka. Sayang sekali kalau pindah sekolah waktu itu.”

Amelia terdiam sejenak mencerna cerita Maria. Rasanya seperti mendengar cerita yang sama dari orang yang berbeda. Ia mengulum senyum, lalu menghela napas. Mungkin kebetulan saja, pikirnya.

“Pantas aja dia manja sama Ibu,” kata Amelia kemudian.

Maria mengangguk lagi. “Tapi Ibu sudah lama ngga ketemu dia. Dia benar-benar sudah ajdi orang sibuk dan melupakan Neneknya,” ungkap Maria sedih.

“Kadang saat anak-anak sudah besar dan mereka punya tujuan hidup masing-masing, sebagai orang tua yang bisa dilakukan hanya bisa mendukung dan merelakan mereka,” kata Amelia. Ia tersenyum menatap Maria.

Wanita itu menghela napas. Ia mengangguk-angguk mengerti. “Iya, kamu benar, Amelia. Rasanya tidak rela, tapi begitulah siklus kehidupan. Saatnya yang muda menggantikan yang tua-tua ini,” guraunya.

Amelia tertawa. Ia menatap Maria jenaka. Bagaimana nanti dengan Tiara, Amelia pastinya harus siap untuk itu. Cita-cita setiap orang tua adalah membuat anaknya menjadi orang sukses. Seperti yang dilakukan Bapak dan Ibunya dulu. Tetapi sekarang ia berjuang seperti kedua orang itu dengan cepat.

“Ah, Ibu lupa. Dia akan ke sini seminggu lagi,” kata Maria tiba-tiba. Ia menatap Amelia serius. “Kita harus berbelanja, Amel. Dia akan berlibur di sini katanya.”

Gadis itu membulatkan mata kaget. “Yang benar, Bu?” tanyanya tidak percaya.

“Iya. Tiga minggu lalu ia menelpon, bilang mau ke sini untuk berlibur setelah pekerjaannya selesai. Dia akan jadi panda di sini, Amelia. Makan, tidur, menonton, dan menganggu Kakeknya di kebun,” jelas Maria.

Amelia tertawa. “Apa?”

“Dia ngga pernah benar-benar jadi dewasa. Kerjaannya suka mengganggu Ibu dan Bapak saja. Kalau kami mulai kesal, dia akan pura-pura sakit untuk mendapat perhatian dan membuat hati luluh,” decak Maria. Ia geleng-geleng kepala melihat tingkah laki-laki itu.

“Aku jadi penasaran orangnya seperti apa, Bu,” kata Amelia di sela-sela tawanya.

“Semoga dia tidak begitu lagi saat tahu kamu ada di sini.”

Amelia berhenti tertawa. “Kenapa begitu, Bu?”

“Kalau dia tidak tahu malu, dia akan seperti dulu. Kalau dia ngga melakukan hal-hal konyol lagi, berarti dia udah dewasa... Seenggaknya di depan wanita.” Kali ini Maria yang tertawa.

Gadis itu mengerjap bingung. Seolah mencari tahu maksud kata-kata wanita itu. sampai akhirnya kata-kata Maria membuat Amelia sakit kepala.

“Ibu sudah bilang kami punya keluarga baru.”

***

            “Aku ikut, Kak,” rengek Anastasya di kaki Arbian.

            “Ngga boleh. Kamu masih sekolah,” bantah Arbian. Berusaha keras menarik kakinya yang berat.

            Anastasya merengek lagi. “Tungguin Ana liburan, Kak. Ana pengen ketemu Nenek sama Kakek juga.”

            “Ih, kelamaan. Nanti akak disuruh kencan buta sama Mama. Males!” kata Arbian. Ia kesusahan berjalan dengan Anastasya yang menempel di kaki kanannya.

            “Mama....” teriak Anastasya melengking. Suaranya sampai bisa di dengar oleh tetangga-tetangga mereka.

            Arbian mendengus kesal. Ia terus berjalan pelan sambil menarik kopernya dengan tangan kiri. Masa bodoh dengan sekolah Anastasya, ia benar-benar tidak sanggup menunggu satu minggu. Bahkan satu hari saja di rumah rasanya seperti satu bulan penuh mendengar omelan Mama.

            “Huaaaa... Kakak... Jangan pergi... Ikut....”

            “Lepasin kaki Kakak, Ana. Kamu berat,” ucap Arbian kesal. Wajahnya memerah, menahan beban kuat tubuh Anastasya. “Gendut. Banyak makan. Lepasin, ih.”

            “Ngga peduli!” teriak Anastasya. Jika sebelumnya ia marah disebut gendut oleh Arbian, kali ini ia tidak peduli. Yang penting ia bisa menahan Arbian sampai satu minggu ke depan.

            Hanny menghela napas berat. Ia selalu geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua anaknya. Arbian dan Anastasya tidak pernah benar-benar akur dalam waktu lama. Mereka selalu saja meributkan hal-hal kecil tidak penting sampai tidak bertegur sapa jika Anastasya sudah marah.

            “Ana?” panggil Hanny.

            Arbian dan Anastasya menoleh serempak melihat Hanny yang menatap mereka sambil melipat kedua lengan di depan dada.

            “Nanti kalau kamu sudah selesai ujian baru boleh pergi ke rumah Nenek,” ucap Hanny serius, menatap anak gadisnya.

            “Mama....” teriak Anastasya. Ia mengeluh tidak terima bila Mamanya membela kepergian Arbian. “Suruh Kak Bian nugguin Ana, Ma,” pintanya lagi.

            “Ngga!” protes Arbian cepat.

            Anastasya mendongak menatap lelaki itu. Ia cemberut. “Pokoknya ngga boleh pergi!” ucapnya tegas.

            “Ana? Candra nelpon, tuh. Tadi dia telpon Mama karena kamu ngga angkat telpon dari dia,” ucap Hanny dari tempatnya berdiri saat mendengar dering ponsel Anastasya dari kamarnya.

            Gadis itu membulatkan mata kaget. Tanpa sadar ia melepaskan diri dari kaki Arbian dan berlari ke kamar.

            Dari tempatnya Hanny berusaha menahan tawa. Ia mengibaskan tangan dan menyuruh Arbian pergi tanpa suara.

            Untuk beberapa detik Arbian masih menatap Hanny binggung. Detik berikutnya ia menganggukkan kepal. Ia mengacungkan jempol kananya kepada Hanny, lalu pergi dari sana secepat kilat menuju mobilnya.

            Baru saja Arbian lolos dari perkarangan rumahnya, terdengar teriakan Anastasya memanggilnya.

            “ARBIAN JAHAT!”

***

            Akhirnya Amelia selesai menyiapkan segalanya, seperti membersihkan rumah, menyiram tanaman, mencuci baju-baju Tiara, dan memasak makanan sesuai instruksi dari Maria. Ia tersenyum puas melihat semuanya selesai lebih cepat. Sekarang tinggal menunggu kedatangan cucu Maria.

            “Wah, kamu benar-benar cekatan, ya,” puji Maria saat melihat semuanya tertata dengan rapi. Makanan sudah dimasak dengnan baik, kue kering di dalam toples, dan tidak lupa kue cake coklat kesukaan cucunya.

            Amelia tersenyum kepada Maria. “Iya, ini kan hari spesial untuk Ibu dan cucu Ibu,” katanya tulus.

            Maria menatap Amelia memelas. Tidak tahu caranya berterimakasih, karena semua yang dilakukan Amelia pantas mendapatkan lebih dari sekedar kata terimakasih. “Terimakasih, Amelia. Ibu ngga tahu harus membalasnya dengan apa,” ujarnya, ia sangat senang.

            Amelia menggelengkan kepala. “Sama-sama, Bu.”

            “Nenek....”

            Suara teriakan itu mengalihkan perhatian keduanya.

            Wajah Maria berubah cerah. Senyumnya melebar. Ia menatap Amelia berbinar. “Dia sudah datang. Ayo ke depan,” katanya gembira. Lalu melangkah pergi meninggalkan meja makan.

            Amelia ikut tersenyum senang. Begini rasanya menunggu seseorang yang sudah lama tidak ditemui ternyata, pikirnya. Ia jadi ikut tersalurkan perasaan yang sama. Amelia pergi menyusul Maria. Sebaiknya ia memberi salam kepada cucu dari wanita baik ini dan mengucapkan terimakasih.

            Tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat mendengar suara Tiara dari dalam kamar. Tanpa pikir panjang, ia memutar langkah menuju kamarnya.

            “Hai, sayang. Cucu Nenek sudah datang,” sapa Amelia ketika sudah di kamar.

            Ia membawa Tiara ke dalam gendongannya. “Ayo kita ketemu dia dan menyapanya,” katanya lagi.

            Namun, Tiara malah menangis semakin kencang. Sepertinya anak kecil sedang lapar. Jadi Amelia tidak punya pilihan selain bersama Tiara lebih dulu.

***

            Sementara itu, di ruang tamu, Maria dan Arbian saling berpelukan melepas rindu.

            “Arbian... Kamu ternyata tambah tinggi, ya,” kata si Nenek.

            Arbian tertawa. “Iya, dong. Aku kan tumbuh besar berkat kasih sayang Nenek,” guraunya.

            Maria melepaskan pelukan itu, lalu mencubit pinggang Arbian gemas. “Jangan coba-coba merayu Nenek, ya! Nenek ini sudah tua.”

            Kedua alis Abian terangkat ke atas. “Masa, sih? Nenek ngga tua, tuh. Aku aja sampai pangling lihat Nenek tadi. Kayak umur 30 tahunan gitu.”

            Mendengar itu Maria langsung memukul tangan Arbian, mencubit lengannya atau apa pun yang bisa ia gapai untuk menghukum cucunya tersebut. Arbian masih saja belum berubah. Tidak tahu mau Maria sudah tua sekalipun, ia masih saja mencandai Maria dengan rayuan-rayuan lelaki itu.

            Arbian tertawa keras. Ia berlari ke sana dan ke mari untuk menghindari cubitan serta pukulan dari Neneknya. “Ih, jahat. Masa cucunya baru datang langsung dipukulin,” decak Arbian pura-pura kesal.

            Maria berkacak pinggang. “Siapa suruh kamu merayu Nenek, hah?”

            “Aku ngga merayu, Nek. Suer!” ucap Arbian, memohon agar wanita itu berhenti mengejarnya.

            Maria menggeleng-gelengkan kepala. Akhirnya ia menyerah saja dan membiarkan Arbian mendekatinya duduk di sofa.

            Arbian merentangkan tangan lebar-lebar saat bersandar di sofa. “Aku capek lari-larian, Nek,” desahnya. Ia meluruskan kaki.

            Amelia kemana, ya? Batin Maria. Ia melihat-lihat ke arah belakang. Mungkin gadis itu sedang di kamar bersama Tiara.

            Arbian bangkit dari duduknya. “Aku mau ke kamar dulu, Nek. Mau bersih-bersih kamar dan nyimpan baju. Habis itu mandi,” katanya. Ia berjalan mengambil kopernya yang terletak di dekat pintu.

            “Iya. Setelah itu kamu makan, ya,” kata Maria.

            “Oke, Nenek,” kata Arbian sambil mengedipkan satu matanya.

***

            Arbian membuka kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Dahinya mengernyit bingung melihat pemandangan di depannya. Jendelanya terbuka, seprai dan selimutnya di ganti. Letak buku-buku dan hiasan di meja dekat jendela juga tersusun tidak seperti biasanya. Kamar itu nyaris bersih. Wangi dan tak ada debu sedikitpun di lantai.

            Ia berjalan masuk dan duduk di tepi ranjang. Mungkin Neneknya selesai membersihkan kamar ini untuknya. Ia tersenyum kecil. Ah, wanita itu tidak perlu repot-repot melakukannya. Toh, Arbian sudah biasa membersihkan kamarnya sendiri.

            Ia bangkit dan keluar kamar, bermaksud ingin menemui Maria. Namun, wanita itu tidak ada lagi di ruang tamu. Matanya menangkap segelas jus jeruk dingin di atas meja. Itu pasti untuknya. Neneknya memang pengertian.

            Tanpa pikir panjang, Arbian langsung menyambar gelas itu dan menegak isinya sampai habis. Beberapa detik kemudian ia mengernyit heran, kenapa Neneknya menaruh gelas di sini? Tidak seperti biasanya, Maria langsung memberikan apapun padanya.

            Ia mengedikkan bahu, lalu masuk ke dalam kamar. Membuka baju dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

            Arbian mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke matanya. Ia berbalik untuk melihat jam di ponselnya yang terletak di lantai. Sudah pukul sebelas malam. Ternyata Arbian tertidur sehabis mandi tadi.

            Ia bangkit dari tidurnya, berjalan keluar kamar. Dengan suara serak ia berteriak, “Nenek? Kakek?”

            Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Lampu ruang tamu sudah dimatikan. Pasti Nenek dan Kakeknya sudah tidur. Ah, bagaimana mungkin Neneknya membiarkan Arbian tidur pulas dan melewatkan makan malam pertama mereka. Ia berdecak kesal, lalu berjalan ke dapur.

            Aneh sekali, lampu dapur tidak dimatikan. Ia berjalan menuju meja makan, melihat apakah ada yang bisa Arbian makan malam ini. Perutnya keroncongan. Ia memeriksa seluruh dapur dan akhirnya menemukan caek cokelat di dalam kulkas.

            Senyumnya melebar. Ia langsung mengambil satu potong cake itu, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Mengunyahnya penuh kenikmatan. Rasa yang sudah lama ia rindukan di lidahnya.

            Tiba-tiba saja Arbian terkejut mendengar bunyi kaca jatuh dan pecah di lantai. Bunyi itu terdengar nyaring, sangat dekat dengannya.

            “Arbian....”

            Lelaki itu menoleh saat namanya disebut. Untuk beberapa detik ia terdiam. Tubuhnya membeku melihat seseorang di depannya.

            Seorang gadis berambut sebahu dan mata yang berkaca-kaca menatap ke arahnya. Ini seperti mimpi yang nyata. Amelia Carla di depannya. Menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
2      2     0     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
Lovesick
4      4     0     
Short Story
By Khancerous Why would you love someone else when you can’t even love yourself?
Crashing Dreams
2      2     0     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
My Halloween Girl
4      4     0     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Waiting
3      3     0     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Backstreet
21      9     0     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
IMAGINE
3      3     0     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
The Ruling Class 1.0%
18      8     0     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
Noterratus
4      4     0     
Short Story
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
Bait of love
13      3     0     
Romance
Lelaki itu berandalan. Perempuan itu umpan. Kata siapa?. \"Jangan ngacoh Kamu, semabuknya saya kemaren, mana mungkin saya perkosa Kamu.\" \"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"