Read More >>"> Again (Again 07) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Again
MENU
About Us  

Again 07

Setiap kali berpapasan, Arbian dan Amelia saling memutuskan kontak mata. Hari-hari yang sulit sedang dilewati keduanya dengan perasaan berat yang menghantui setiap waktu. Di dalam pikiran Amelia, ia tidak ingin mengatakan sepatah kata pun kepada lelaki itu. Karena menurutnya, tidak ada yang perlu dibicarakan di antara mereka. Tidak sekarang, tidak juga tentang masa lalu mereka. Ia hanya perlu berpura-pura, menyibukkan diri dengan ini-itu dan mengurus Tiara.

Sementara bagi Arbian, tinggal di rumah neneknya seperti di neraka. Mau menonton–Tiara juga menjadi sering menonton televisi akhir-akhir ini–tidak bisa, ingin ke dapur serba salah, ingin menyapa Amelia tetapi gadis itu tidak pernah mau menatapnya, bahkan ketika Tiara menangis tiba-tiba ia ingin sekali menggendong Tiara dan menenangkannya tapi Amelia selalu cepat tangkap dan membawa Tiara pergi. Arbian tidak bisa bergerak bebas. Tidak ada yang mengikatnya, tapi ia merasa terkekang.

Malam ini di meja makan, kesunyian hanya diisi dengan bunyi sendok di atas piring makan. Tidak ada Tiara yang biasanya membuat renyah suasana rumah, gadis itu sedang tertidur lelap di kamar.

Arbian tidak menyukai suasana ini. Biasanya ia sibuk mengoceh tentang pekerjaannya, tentang Anastasia, tentang hal lain yang membuat Rudi dan Maria tertawa. Namun kali ini, semua berubah 180 derajat. Arbian tiba-tiba menjadi pendiam.

Rudi berdeham. “Oh, iya. Kakek sama Nenek mau ke rumah Tante Fira. Cuma sehari aja, mau menghadiri acara pernikahan adik suaminya. Mungkin nginap di sana kalau pulang pestanya kemalaman,” katanya.

Arbian yang sedang mengunyah makanannya tersedak. Ia menenggak minum dari gelas sampai tandas, lalu memukul dadanya sambil terbatuk-batuk. “Nginap di sana?” tanya Arbian menatap kakeknya tidak percaya.

            Tangan Amelia berhenti. Apa? Menginap di sana? Ia menatap Arbian sebentar. Lalu menatap Rudi.

            “Iya. Kamu jaga rumah sama ....”

            Belum selesai Rudi bicara, Arbian memotongnya. “Bian ikut,” katanya cepat.

            Maria menggeleng. “Kalau kamu ikut Amelia sama siapa di rumah, Bian? Amelia ngga mungkin tinggal sendirian,” sahutnya tenang.

            “Ikut,” jawab Arbian lirih, bahkan terdengar seperti bisikan.

            Maria menggeleng lagi. “Ke rumah Tante Fira itu enam jam lamanya. Apalagi naik bus. Nenek takut Tiara sakit.”

            “Ngga apa-apa aku sendirian di rumah, Bu,” sahut Amelia tiba-tiba.

            Semuanya menatap Amelia.

            “Tidak, Amelia. Kalau terjadi sesuatu gimana? Kamu sendirian aja di rumah dan tidak ada yang tahu!” bantah Rudi tegas.

            “Iya. Ibu ngga mau terjadi hal yang nggak-nggak sama kamu dan Tiara,” timpal Maria, lalu menatap Arbian, “Nenek mohon sama kamu, Arbian. Tidak, tidak. Ngga ada alasan lain,” katanya saat Arbian hendak protes.

            Arbian mendengus kesal. Ia menusuk-nusuk kentangnya dengan jengkel. Kenapa harus dirinya? Kenapa juga adik suami Tante Fira menikah besok? Kenapa tidak satu bulan lagi?

            Amelia mengatup bibirnya rapat-rapat. Di rumah dengan Arbian saja? Seharian? Amelia memejamkan mata erat-erat. Pertemuan-pertemuan singkat saja sudah membuat Amelia pusing, apalagi berdua saja dengan laki-laki itu. Hukuman macam ini. Kenapa harus Arbian?

            Waktu terasa lama bagi Arbian dan Amelia malam itu. Di dalam pikiran mereka berlalu-lalang semua kemungkinan yang akan terjadi. Seperti makan malam berdua atau tidak keluar dari kamar masing-masing jika salah satu di antara mereka ada di luar.

***

            Maria mengusap kepala Amelia dengan lembut, lalu ia menciumnya selama lima detik. Selama ini ia tidak pernah berpisah dengan kedua gadis itu, tetapi sekarang Maria harus menanggung rindu selama seharian. Ia begitu menyayangi keduanya, barang sedikit pun tidak ada yang luput dari perhatiannya.

            Amelia menatap Maria dengan tatapan memohon. Memohon agar wanita itu tidak pergi atau apa pun itu asalkan ia tidak bisa bersama Arbian. Namun, bibirnya tidak mengucapkan apa-apa. Amelia tidak tahu bagaimana caranya memohon. Jadi ia putuskan untuk meneguk semuanya sendirian dan menabahkan hati selama dua puluh empat jam ke depan. Ya, hanya satu hari saja. Tidak masalah. Pagi mereka akan sarapan, lalu ia mengurus Tiara dan melalakukan pekerjaan rumah lainnya seperti biasa, memasak, menyiapkan makan malam, dan tidur selama delapan jam. Semua akan baik-baik saja. Ia sudah menyusunnya dengan apik di dalam kepala.

            Arbian maju selangkah saat kakek dan neneknya sudah masuk ke dalam taksi yang menjemput mereka. Sejak tadi ia uring-uringan di tempatnya. Saat taksi itu meninggalkan rumah, Arbian menghela napas berat berkali-kali. Tangannya terkepal. Arbian berbalik, lalu melihat Amelia sudah masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau Arbian juga melangkah ke dalam rumah.

            Saat pertama kali melangkah masuk, tiba-tiba aura di sekitarnya menjadi begitu dingin. Arbian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Ia mengerjap. Lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Akhir-akhir ini Arbian seringkali haus dan selalu membawa satu liter air ke dalam kamar agar ia tidak sering-sering ke dapur. Ia juga menyimpan beberapa camilan. Jika ia lapar dan Amelia ada di dapur, ia akan memakan camilan itu untuk menunda lapar, lalu diam-diam ke dapur mengambil sepiring nasi dan melarikannya kembali ke kamar. Ah, Arbian merasa seperti di penjara di rumahnya sendiri.

            Arbian meletakkan gelas tadi di atas meja. Ia tertegun menatap ke lantai. Tidak ada hal penting yang ia pikirkan selain ingin cepat-cepat mengakhiri ini. Setiap kali melihat Amelia, Arbian berharap hari segera malam. Jika pagi datang, ia merutuk lagi kenapa matahari terlalu cepat naik. Semuanya terlihat salah di matanya. Segalanya terasa salah baginya. Tidak ada yang bisa membuat perasaanya membaik.

            Matanya memandang piring-piring kotor sehabis sarapan pagi ini di wastafel. Arbian mengerjap, ia melirik ke pintu kamar Amelia yang sedikit terbuka. Setelah berpikir-pikir, ia bangkit, mengambil gelas tadi dan membawanya ke wastafel. Ia menyingsingkan lengan baju sampai sikunya. Tangannya mulai mencuci gelas dan piring-piring dengan cekatan. Ia menyalakan air dari keran, membilas dan meletakkannya di rak piring. Setelah selesai ia berjalan ke kamar mandi, mengisi ember, mengisinya dengan air dan membawanya ke ruang tengah lengkap dengan kain pel. Ia mengepel nyaris semua lantai yang ada di dalam rumah itu.

Saat sampai di depan kamar Amelia, ia mengintip sedikit. Arbian mengulum bibir. Lalu melanjutkan mengepel ke arah dapur. Tidak ada yang dapat ia lihat kecuali lemari pakaian. Selesai mengepel dan meletakkannya di kamar mandi, kemudian ia mengambil kemonceng dan sebuah kain lap yang lembab dan membawanya lagi memutari rumah. Membersihkan debu-debu di lemari, meja, televisi, lukisan, dan setiap sudut yang bisa dijangkaunya. Arbian sudah ahli tentang ini, karena ia sudah biasa tinggal sendiri dan membersihkan apartemennya setiap hari minggu.

“Oke,” katanya. Ia tersenyum puas sambil menatap setiap sudut rumah.

Seenggaknya ini membantu, bantinnya senang. Setidaknya ia bisa membantu gadis itu dengan bersih-bersih. Agar perkerjaannya sebagai seorang ibu tidak terlalu berat. Arbian mengembuskan napas pelan. Ia meletakkan kemonceng dan kain lap tadi di atas meja, lalu berbaring di sofa. Melelahkan juga, mengingat rumah neneknya lumayan besar.

Matanya menatap langit-langit ruang tamu. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk senyum simpul.

***

Amelia menguap. Ia baru saja ketiduran karena menyusui Tiara. Ia tersenyum, lalu mencium kening Tiara. Ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas siang ia terperanjat. Sudah tiga jam ia tertidur. Amelia bangkit dan tergesa-gesa menuju dapur untuk menyiapkan makan siang.

Ia terkejut begitu sampai di depan wastafel. Amelia mengerjap. Tidak ada piring kotor sama sekali. Padahal Amelia ingat betul, sehabis sarapan pagi tadi ia langsung membantu Maria untuk berkemas, setelah mengantarnya ke depan rumah ia masuk dan menuju kamarnya bersama Tiara.

Ia menoleh ke pintu kamar Arbian. Apa mungkin laki-laki itu yang melakukannya? Dahinya mengernyit melihat pintu kamar mandi terbuka lebar. Ia berderap dan meliat kain pel ada di dalam sebuah ember. Laki-laki itu juga mengepel lantai? Tapi kenapa?

Karena merasa pensaran, ia melangkah pelan ke ruang tengah, melihat ke sekililing sudah bersih dan wangi. Mainan Tiara juga sudah tidak berserakkan di lantai dan keranjangnya ada di dalam lemari. Amelia berjalan lagi ke ruang tamu. Ketika sampai di pintu ia melihat ke sana dan kemari. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu di luar rumah. Ia mengembuskan napas pelan. Apa mungkin di kamarnya?

Amelia berbalik dan terkejut melihat Arbian tertidur di atas sofa. Ada kemonceng dan sebuah kain lap di atas meja. Ia tertegun melihat wajah lelaki itu. Jadi benar laki-laki itu yang melakukan ini semua.

Ia mengigit bibir bawahnya. Perlahan-lahan kakinya mendekat ke arah sofa. Lalu ia berhenti pada jarak satu meter dan terus memandangi wajah Arbian. Tiba-tiba Amelia menjadi khawatir. Apa Arbian sudah makan? Apa laki-laki itu lelah? Perasaan tidak tega muncul melihat Arbian tidur dengan wajah kelelahan.

Ah, bagaimana ini. Hati Amelia tiba-tiba berdebar melihat Arbian terlelap. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Kemudian berjalan ke dapur, mengambil segelas air putih dan kembali ke ruang tamu. Ia meletakkan gelas itu di atas meja. Amelia mengambil kemonceng dan kain lap di atas meja, lalu membawanya pergi dari ruang tamu.

            Amelia membuka kulkas. Mengambil ayam, telur, sayuran, dan beberapa bahan lain yang akan ia masak untuk makan siang. Ia melihat jam dinding, sudah dua puluh menit berlalu. Seperti biasa tangannya cekatan ketika memasak. Ia memotong-motong bawang, mengulek cabai, merebus telur, dan membuat semur ayam. Setelah selesai ia menyalinnya ke dalam mangkuk dan meletakkan di atas meja. Lalu ia memanaskan air, setelah itu menyeduh bubur untuk makanan Tiara.

            Sepertinya Tiara sudah hapal jam makan siangnya. Saat mendengar suara Tiara yang berteriak seperti memanggilnya, bibir Amelia tersenyum senang. Dengan langkah gembira ia berjalan menuju kamarnya dan langsung menyapa Tiara.

            “Sudah saatnya makan siang, Nak,” katanya sambil membawa Tiara ke dalam gendongannya.

            Tiara membulatkan mata melihat wajah Amelia, lalu ia tertawa. “Hei, ini Mama, ya. bukan Nenek. Jangan ketawa-ketawa kalau lihat wajah, Mama,” katanya pura-pura cemberut lalu berjalan kembali ke ruang makan.

            Amelia meletakkan Tiara di kursi makan bayi berwarna jati. Rudi membelikannya satu bulan yang lalu. Tiara memukul-mukul meja makannya dengan semangat, seperti tidak sabaran menunggu buburnya mendarat di mulutnya. Amelia tersenyum lebar, ia mengambil kursi dan duduk di depan Tiara.

            “Odette bertemu dengan seekor unicorn dan mengikutinya sampai ke dalam hutan” Amelia memulai bercerita, “Lalu tidak sengaja ia melihat pertarungan Ratu Peri dengan penyihir jahat. Kemudian penyihir itu mengubah Odette menjadi seekor Angsa. Tetapi sihirnya tidak sempurna. Di siang hari Odette tetaplah manusia dan di malam hari ia menjadi Angsa.”

            Terdengar suara seseorang berdeham membuat Amelia tersentak kaget. Ia menoleh dan melihat Arbian yang menatapnya ragu-ragu. Laki-laki itu duduk di kursi yang berseberangan dengan Tiara sehingga membuat jarak mereka cukup jauh. Ia melihat-lihat makanan yang ada di meja makan. Tiba-tiba saja Amelia bangkit dari duduknya dan mengambil piring di rak piring, kemudian menyendok nasi ke dalamnya. Arbian tercenung melihat Amelia yang sibuk memasukkan ini-itu ke dalam piring.

            Amelia meletakkan piring itu di meja di depan Arbian lengkap dengan segelas air minum di samping piring. Ia melirik Arbian sekilas, saat laki-laki itu menatapnya ia cepat-cepat kembali ke kursinya.

            “Makasih,” ucap Arbian pelan. Ia menatap sepiring nasi di depannya. Tiba-tiba ia merasa senang.

Amelia terdiam sebentar mendengar Arbian mengucapkan terima kasih. Ia menatap Tiara sebentar. “Sama-sama,” balasnya tanpa menoleh.

Laki-laki itu tersenyum di sudut bibir, lalu mulai makan dengan lahap. Sesekali ia melihat Tiara yang juga menatapnya penasaran. Gadis itu juga memanggil-manggil Amelia dengan terbata-bata. Atau Tiara akan merengek karena Amelia terdiam. Lalu Arbian mendengar Amelia bercerita tentang kisah Barbie yang berubah menjadi Angsa. Sebuah senyum tanpa alasan mengancam tersungging di bibirnya.

Amelia masih saja mengingat setiap cerita Barbie yang ia tonton. Gadis itu memang penggila film kartun perempuan yang pandai menari dan memiliki gaun indah.

***

Arbian tidak tenang duduk di depan televisi. Ia tidak bisa mendengar acara yang ditanyangkan karena suara tangis Tiara yang menjadi-jadi dari dalam kamar. Tiara tidak bisa berhenti lebih dari satu menit, lalu menangis lagi. Itu membuat Arbian mendesah kesal. Ia hendak menuju kamar Amelia ketika gadis itu keluar dari kamar sambil menggendong Tiara ke sana dan kemari.

Ia tertegun melihat wajah cemas Amelia. Gadis itu terus memanggil Tiara dan membujuknya dengan berbagai cara agar Tiara diam. Akan tetapi sama seperti sebelumnya, Tiara terus menangis. Arbian mendekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Tiba-tiba ia merasa cemas melihat wajah Tiara yang memerah karena sudah terlalu lama menangis. Suaranya pun tersedat-sedat.

“Anak kamu kenapa?” tanya Arbian dengan suara berat.

            Amelia mendongak menatap Arbian. Ia menggeleng sambil menahan tangis. “Ngga tahu. Tiara nangis terus, padahal tadi siang baik-baik aja,” jawabnya.

            Arbian melangkah pelan mendekati Amelia. Ia meletakkan dua jarinya di dahi Tiara. “Demam,” gumamnya. Lalu ia menatap Amelia yang saat ini menghapus air matanya. Melihat itu Arbian tidak tahan, ia memalingkan wajah sebentar.

            Amelia menatap Arbian dengan perasaan bercampur aduk. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Mendengar Tiara menangis membuatnya kehabisan akal. Ia terus memanggil Tiara dan menenangkannya, meskipun suaranya terputus-putus karena manahan tangis.

            “Ayo aku antar ke rumah sakit,” kata Arbian kemudian.

            Amelia mendongak dan menatap Arbian, ia mengangguk berkali-kali. Ya, ia harus pergi sekarang. Ke rumah sakit. Bersama Arbian.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Return my time
5      4     0     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Kyna X Faye
31      11     0     
Romance
Keiko Kyna adalah seorang gadis muda pemilik toko bunga. Masa lalu yang kelam telah membuat gadis itu menjauhi dunia keramaian dan segala pergaulan. Namun siapa sangka, gadis pendiam itu ternyata adalah seorang penulis novel terkenal dengan nama pena Faye. Faye sama sekali tak pernah mau dipublikasikan apa pun tentang dirinya, termasuk foto dan data pribadinya Namun ketika Kenzie Alcander, seo...
When I\'m With You (I Have Fun)
3      3     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
The Reason
97      25     0     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
To You The One I Love
1      1     0     
Short Story
Apakah rasa cinta akan selalu membahagiakan? Mungkinkah seseorang yang kau rasa ditakdirkan untukmu benar benar akan terus bersamamu? Kisah ini menjawabnya. Memang bukan cerita romantis ala remaja tapi percayalah bahwa hidup tak seindah dongeng belaka.
SIREN [ RE ]
2      2     0     
Short Story
nyanyian nya mampu meluluhkan hati. namanya dan suara merdunya mengingatkanku pada salah satu makhluk mitologi.
Rela dan Rindu
64      17     0     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
Teilzeit
8      3     0     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
TENTANG WAKTU
14      6     0     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Ken'ichirou & Sisca
241      43     0     
Mystery
Ken'ichirou Aizawa seorang polisi dengan keahlian dan analisanya bertemu dengan Fransisca Maria Stephanie Helena, yang berasal dari Indonesia ketika pertama kali berada di sebuah kafe. Mereka harus bersatu melawan ancaman dari luar. Bersama dengan pihak yang terkait. Mereka memiliki perbedaan kewarganegaraan yang bertemu satu sama lain. Mampukah mereka bertemu kembali ?