Again 13
“Hai, Lele.”
Sapaan itu membuat seorang gadis yang sedang mengupas kulit jagung di samping rumah, menegakkan tubuh, berbalik dan melayangkan tatapan tajam pada lelaki yang sedang menopang dagu dengan tangan di jendela kamar.
Arbian tersenyum bahagia. Hal-hal paling menyenangkan di dunia adalah melihat Anastasia kesal dan marah-marah. Ia menaik-turunkan alisnya dan menyeringai.
“Bantuin! Bukan senyam-senyum aja!” teriak Anastasia kesal.
“Nggak, ah. Lagi manja,” sahut Arbian cuek. Ia menguap dan pura-pura mengantuk.
Anastasia mengepalkan tinjunya. Dahi dan hidungnya mengerut. Kesal bercampur marah. Rasanya ingin ia ke sana dan mencekik kakaknya sampai laki-laki itu tidak bisa bicara dan berhenti menganggunya.
Melihat itu Arbian tertawa keras. Saat sakit sekalipun, sifat jahilnya tidak pernah berubah.
“Arbian. Sampai kapan kamu bakal gangguin Ana?” potong Deni, memberi pembelaan untuk Anastasia.
“Sampai kapan pun dong, Pa,” jawab Arbian bangga. “Iya kan, Sayang?” tanyanya pada Anastasia.
“Ish!” desis Anastasia merasa jijik.
“Alah, sok jijik. Sms-an Ana sayang-sayangan loh sama Candra, Pa. Bian udah baca ....”
“Arbian!!”
Tanpa sempat berpikir jernih, Anastasia melemparkan jagung yang ada di tangannya ke arah Arbian dengan sekuat tenaga, dengan emosi menumpuk di kepala.
Arbian melongo. Melihat gerakan Anastasia membuatnya refleks menghindar dan bebas dari masalah besar.
“Aw!”
Tapi masalah yang lain datang.
***
Tubuh Amelia roboh ke lantai. Wajahnya memanas dan sangat sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Baru saja sebuah benda keras menghantam wajahnya, tepat di bagian dahi, sebelah mata, dan hidungnya. Ia menangkup kedua tangan di wajahnya.
“Amelia?”
Mulut Arbian menganga. Tidak menyangka bila jagung itu mengenai wajah Amelia yang baru saja datang. Cepat-cepat ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Amelia.
“Amel? Mana yang sakit? Kamu masih sadar?” tanyanya panik, sambil melihat Amelia dari segala arah.
Gadis itu mengerang kesakitan. “Aduh ....” Ia membuka mata, menatap wajah cemas Arbian dengan kening berkerut. “Tadi itu apa?” tanyanya.
“Itu ... tadi ... Ana mau lempar aku pake jagung. Aku berhasil ngelak. Hmm, tapi malah kena kamu. Maaf, ya ...,” ungkap Arbian penuh sesal. Ia membantu Amelia duduk dan bersandar pada dinding.
“Kapan sih kamu bakal berhenti jahil?” decak Amelia kesal. Ia mengusap-usap wajahnya yang sakit.
Arbian memberengut. “Maaf,” gumamnya, “Lagian kamu ngapain berdiri di sana. Coba berdirinya dekat aku, pasti bakal aku lindungin.”
Astaga. Apa yang baru saja diucapkannya. Kenapa mulutnya bisa mengeluarkan kata-kata memalukan seperti itu pada Amelia. Ia menelan ludah, mengulum bibir, dan tidak berani menatap Amelia.
Amelia mengerjap-ngerjapkan matanya. Wajahnya yang semula baik-bik saja, kini kembali memerah, seperti tomat. Ia mengalihkan pandangannya ke samping sambil menelan ludah dengan susah payah. Apa yang terjadi padanya. Tubuh Amelia melemas.
“Kak ... Kakak ... Ma–”
Ucapan Anastasia terpotong saat kakinya berhenti di depan pintu kamar Arbian. Melihat kedua orang itu dengan posisi yang sangat dekat. Amelia yang bersandar pada dinding, dan Arbian di depannya. Gadis itu mengerjapkan matanya. Antara malu dan salah tingkah.
Menyadari kehadiran Anastasia, Amelia dan Arbian menoleh bersamaan. Raut terkejut tampak di wajah keduanya. Arbian berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Amelia lekas bangkit dan pergi dari sana dengan kepala yang menunduk menahan malu.
Anastasia yang masih bingung dengan apa yang terjadi hanya bisa melangkah mundur perlahan-lahan dari kamar Arbian. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan cepat keluar rumah dengan wajah tegang.
***
Makan siang sudah berlangsung selama setengah jam, tetapi Amelia dan Arbian tidak sekalipun menampakkan diri di meja makan. Mereka menghilang begitu saja, tidak tahu ke mana perginya. Anastasia sudah uring-uringan di kursinya. Melihat ke pintu kamar Amelia dan Arbian yang tertutup. Sungguh, sejak tadi ia benar-benar penasaran. Anastasia ingin memastikan bahwa matanya tidak salah lihat jika Arbian dan Amelia berduaan di akmar lelaki itu.
“Ma, Kak Bian mana?” tanya Anastasia, resah.
“Kak Bian kan sakit. Dia lagi istirahat,” sahut Hanny tanpa menoleh.
Anastasia menatap Hanny dengan kening berkerut. “Sakit apa?”
“Demam.”
“Kak Amelia sakit juga?”
Hanny mengerjap. Mulutnya berhenti mengunyah. Sedetik kemudian ia memperbaiki mimik wajahnya. “Ngga tahu,” sahutnya ringkas.
“Kenapa Ana?” tanya Maria, tanpa merasa curiga sedikit pun.
Anastasia menoleh pada neneknya. Ia menggeleng palan. “Nggak apa-apa, Nek,” jawabnya.
Rudi dan Deni diam saja. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berniat berkomentar atau mengatakan sepatah kata pun. Setelah melihat kejadian itu dan mendapat laporan dari Anastasia, mereka sama-sama membenarkan bahwa semua itu tidaklah keliru.
Sebenarnya Deni sudah mulai curiga sejak melihat Amelia dan Arbian di ruang keluarga. Ia bahkan hampir menjatuhkan pajangan di atas meja jika tidak bisa mengontrol dirinya. Ingatan itu, Arbian yang tidur di bahu Amelia, dan ... entahlah. Perasaannya bercampuraduk. Antara ingin bertanya, mengira-ngira, dan ingin mengenyahkan pikiran itu dari benaknya segera.
***
“Mama juga mikir gitu, Pa,” ucap Hanny sambil mengembuskan napas berat. Ia duduk di tepi ranjang, di samping suaminya. Baru saja ia mendengar cerita yang janggal lagi tentang anaknya dan gadis bernama Amelia. Bahkan suaminya juga menyaksikan itu dengan mata kepalanya sendiri. Semua tanda-tanda itu sudah jelas. Hanya pengakuan yang belum mereka dapatkan untuk memperkuat bukti selama ini.
“Mending Mama coba tanya sama Bian, kali aja dia mau cerita yang sebenarnya,” kata Deni lesu. Setelah mendengar cerita dari Hanny ia benar-benar kehabisan kata-kata. Bagaimana mungkin kejadian serumit ini bisa menimpa anaknya. Oh Tuhan, anaknya selama ini telah kesulitan.
Hanny menoleh, menatap suaminya dengan pandangan putus asa. “Mama nggak tahu mulai dari mana, Pa. Mama ragu. Kalau tanya sama Amelia, pasti bakal menyinggung perasaannya. Tanya sama Bian dengan alasan apa.”
Deni mengembuskan napas berat. Ia mengangguk, lalu berkata, “Ya. Kita aja ngga kebayang gimana ceritanya, apalagi mereka yang menjalaninya.” Ia tersenyum kecut. Menyedihkan sekali, di saat seperti ini, sebagai seorang ayah ia tidak dapat bertindak leluasa untuk membantu–mungkin.
“Udah sore. Papa mau bantu siapkan tempat bakar jagung nanti malam. Bapak sama Ana pasti sudah di depan,” katanya kemudian setelah lama hening.
Hanny mengangguk. Matanya mengantar kepergian suaminya sampai menghilang di balik pintu. Ia mendesah pelan, lalu bangkit menuju kaca. Melihat pantulan dirinya di sana. Ia tersenyum tipis.
Ia beranjak keluar, hendak melihat anak perempuannya membantu kedua lelaki itu. Baru beberapa langkah dari pintu, ia mendengar suara tertawa dari arah dapur. Dahinya mengernyit, penasaran. Ia tertegun ketika melihat Arbian dan Amelia sedang bercakap-cakap. Suasana yang aneh lagi, rasa penasaran yang bergejolak lagi.
“Enggak mau!” tegas Arbian sekali lagi dengan gelengan kepala.
Amelia berkacak pinggang. “Terus maunya apa? Aku blender aja bayam ini terus minum mau?”
“Ih, mana enak,” decak Arbian kesal.
“Makanya, makan aja apa yang aku buat. Ini ‘kan demi kesehatan kamu!”
Arbian memberengut. “Aku udah sembuh.”
Kening Amelia mengerut. Ia menempelkan tangannya di dahi Arbian, berpikir-pikir, lalu membolak-balik tangannya, dan mengangguk pelan. “Loh, benar?”
“Iya. Berkat senyuman kamu,” sahut Arbian percaya diri.
Mendengar itu Amelia lekas menarik tangannya. Dengan muka memerah, ia berbalik dan melangkah pergi ke sembarang arah asal bisa menghindari Arbian. Akan tetapi, lelaki itu malah mengikuti sambil memanggil namanya dengan nada ceria.
“Amelia ....”