“Assalammualaikum ...”.
Ransel hitam di pundak, kuletakkan di kursi rotan depan rumah. Sepi. Pasti Ibu di belakang.
“Ibu ... Rara sudah pulang”, kepalaku melongok ke dapur kemudian Ibu menoleh dan menghampiri.
Satu kecupan mendarat di punggung tangan Ibuku. “Bagaimana kampingnya?”, tanya Ibu membelai pundakku.
“Seru! Banyak lho yang ikut”.
“Ya sudah istirahat sana”.
Aku melangkah ke kamar tidur, merapikan isi tas. Mengeluarkan barang-barang dari dalam ransel. Pukul 15.22 kusambar handuk polkadot yang tergantung. Mandi dan berpakaian.
“Ibu, Rara pergi dulu sebentar, Assalammualaikum”, teriakku.
“Walaikumsalam ...”.
Topi cubluk coklat, shall warna cream, jins hitam, kaos putih, kets abu-abu. Rumah Andrew di jalan raya Bougenville blok E7/116. Aku menelusuri jalan raya komplek yang sudah mulai sore. Cafe gaul Bougenville kulewatkan begitu saja. Aku ingin segera bertemu dengan Andrew secepatnya. Langkahku tidak seperti biasanya, cepat sekali.
Bunga Bougenville yang berguguran mengotori jalan raya yang kulalui. Bunga warna-warni, pink, ungu, putih, tertiup angin jalan Bougenville, menerpa tubuhku.
Bangunan rumah Andrew terlihat. Gerbang rumahnya yang tinggi, menatap keangkuhan di hadapanku. Satu teriakan bel di dalam mampu membangunkan seisi rumah dalam kebisuan.
Wanita tua setengah abad keluar menghampiri dengan takjub. Wanita itu menatapku.
“Saya Rara Nek, yang tempo hari ke sini mengantar surat yang kesasar ke rumah saya”, kataku menjelaskan.
“Oh iya”, Nenek mangut-manggut.
“Saya mau ketemu Andrew, apa dia ada di dalam?”, aku memperhatikan rumah Andrew.
“Silahkan masuk, Den Andrewnya sedang istirahat di kamarnya. Dia kurang sehat”.
Nenek mengantarku masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kristal mahal. Melewati undakan kemudian menaiki anak tangga yang lebar dan megah.
Aku memandangi diriku sendiri, bak seekor anak tikus yang mengendap memasuki istana kerajaan. Setelah sampai di lantai atas, aku di hadapai dengan banyak pintu kamar. Di mana kamar Andrew?.
Nenek itu kemudian berhenti di pintu yang tergantung bintang besar bertuliskan I’am Andrew. Mengetuk dan membuka pintu.
Sesosok tubuh terbaring tak berdaya di tempat tidur.
“Maaf, Den Andrew sepertinya sedang tidur”, Nenek menatap mataku.
“Tidak apa-apa, biar saya tunggu di sini, boleh?”.
Nenek itu pun mengangguk. “Silahkan kalau mau di sini dulu, saya buatkan minum ya ...?”.
“Terimakasih”, ucapku.
Kamar Andrew besar. Di sudut kiri ruangan terdapat satu unit komputer. Rak buku dan alat-alat tulis. Di sudut kanan, lemari pakaian enam pintu, ring basket dan di sebelahnya banyak tergantung poster-poster tokoh NBA dari mancanegara. Baju basket, Televisi, Playstasion dan Home Teater. Dinding, di atas tempat tidur terpampang foto Andrew super besar sedang berpose bermain basket.
Kejuaraan-kejuaraan pernah diraih Andrew, itu terbukti dengan berbagai bentuk piala dan thropy yang menghiasi dinding sebelah kiri tempat tidur Andrew. Kamar bernuansakan hitam putih mencirikan Andrew yang apa adanya, kuat dan maskulin.
Kakiku melangkah mendekati Andrew. Matanya terpejam kemudian terbuka. Senyumku menyapa. “Andrew bagaimana keadaanmu?”, aku duduk di kursi belajar miliknya.
“Beginilah, sudah agak baikan. Kamu sudah pulang dari acara kampingmu?”.
Aku mengangguk. “Pulang dan langsung ke sini. Maaf aku tidak bawa apa-apa”.
Andrew menggeleng. “Tidak apa-apa, kamu sudah di sini, saya sudah merasa senang sekali”.
Nenek kembali masuk membawakan nampan berisi air jeruk manis dan semangkuk bubur plus susu segar untuk Andrew. “Den Andrew sejak pagi belum makan, obatnya juga tidak diminum, saya takut nanti orangtuanya datang melihat Den Andrew belum minum obat, saya dimarahi”.
Aku menatap Andrew. “Kamu kok begitu? Kasihankan Nenek sudah susah payah masakin bubur, tapi gak dimakan”.
Andrew cuek.
“Kalau kamu gak mau makan dan minum obat, aku pulang dan tidak akan kembali ke sini lagi”, aku mengancam.
“Saya mau makan kalau ditemani, tidak mau sendiri”, katanya manja.
Aku tersenyum, Andrew pasti kesepian. Siang malam Ayah dan Ibunya sibuk di kantor. Jadi anak tunggal kelihatannya menyedihkan ya? Aku menyentuh kening Andrew dengan tanganku. Andrew memejamkan mata sebentar. Mengecek apakah masih demam dan panasnya sudah turun.
“Masih anget, pusing nggak?”, tanyaku.
Andrew menggeleng. “Saya bosan di kamar. Kamu mau temani saya keluar kamar?”.
Aku membantunya mengenakan syal ke lehernya, memapahnya turun tangga menuju kolam renang di belakang rumah. Baru kali ini kakiku menginjak lantai sekitaran kolam renang berwarna biru. Di sudut kanan dari pintu kaca ada gasebo terbuat dari bambu berlantaikan keramik dan beralaskan karpet bulu coklat susu. Ada bantalan dan ada gitar di pojok gasebo.
Nenek membawakan nampan berisi mangkuk bubur, susu segar, orange juice dan obat-obatan kemudian menaruhnya di pinggir lantai gasebo. Andrew duduk dan aku pun duduk di samping Andrew.
“Nek, boleh saya minta air putih segelas untuk Andrew?”, kataku.
“Baik ... sebentar saya bawakan”, jawab Nenek, tidak lama Nenek pun kembali membawakan segelas air putih.
Andrew menghabiskan susu sedikit demi sedikit kemudian aku menyuapinya makan bubur yang dibuat Nenek.
“Enak kan? Buburnya?”, kataku, sebenarnya memuji kerja keras Nenek yang sudah membuatkan bubur untuk Andrew.
Andrew mengangguk. “Enak karena ada nyuapin”.
“Kalau makan sendiri gak enak?”.
“Malas”.
“Jangan malas, ayooo cepat sembuh biar nanti kita bisa jalan-jalan”, kataku bercanda.
“Jalan-jalan?”, tanya Andrew menatapku.
Aku jadi salah tingkah. “Oh, hemmm ... nggak ... nggak kok, hehe ... aku cuma asal omong aja, becanda ...”.
“Beneran juga gak apa-apa, kamu mau diajak jalan-jalan kemana?”, tanya Andrew jadi serius.
“Enggak ... aku cuma bercanda, udah ayuk cepet diabisin makannya”, kataku menutup pembicaraan.
“Terimakasih Rara”.
“Sama-sama”, Aku menemani Andrew menghabiskan buburnya. Mendengarkannya bermain gitar sebentar kemudian memberinya minum obat.
Baru kali ini, aku mendengar Andrew menyanyi sambil bermain gitar. Kok aku suka ya ... kalau Andrew sedang sehat aku akan memintanya memainkan gitar itu lebih lama.
Aku beranjak. “Hari sudah hampir malam, sebaiknya aku pulang sekarang”.
“Saya akan menyuruh sopir untuk mengantar kamu pulang sampai ke rumah ya?”, Andrew mengantarku sampai pintu.
“Cepat sembuh! Jangan lupa diminum obatnya”.
Andrew mengangguk-angguk mengiyakan pesanku.
***
Gedung kampus enam lantai berdiri kokoh di tengah kota Pamulang.
Rambut panjangku tergerai rapi mempesona. Penampilan di petang hari yang ceria. Mataku menangkap sosok Nandar dari lantai tiga. Aku berusaha melambai agar dia melihatku. Terpaksa aku turun untuk memanggilnya.
“Nandar ...”, teriakanku tak dihiraukan olehnya. “Naaandaaar ... Dar ... Nandar!”, aku berlari.
Nandar menoleh kemudian tersenyum padaku.
“Dipanggilin dari tadi gak denger”, cercaku.
“Habis suara kamu kecil mirip bebek kwek-kwek”, gayanya meniru bebek. “Jadi memang gak kedengeran”.
“Iih ... jahat banget sih ngatain suaraku kayak bebek, kuadukan sama yang buat baru tau rasa kamu!”, aku marah.
“Memangnya siapa yang buat?”.
“Orangtuaku”, aku melotot.
“Oh, sorry-sorry, lagian ada apa gerangan kamu panggil saya?”, Nandar mencopot helm kemudian menaruhnya di atas motor.
“Walkmanku hilang di Gintung”.
“Bukan hilang kali ... tapi lupa siapa yang pinjam”.
“Oh iya-iya aku inget, waktu itu kalau tidak salah yang pinjam itu si ... Rahman”, aku memastikan.
Nandar membuka tasnya. “Nih! Walkman kamu, makanya punya barang dijagain jangan dilupain”, Nandar menunjukan walkman warna merah hati kepadaku.
“Wah ternyata ada di kamu, thank’s ya?”.
Nandar manggut-manggut. “Tadi pagi Rahman ke rumah saya sambil bawain walkman itu, saya disuruh ngembaliin ke kamu. Tuh! Baikkan saya?”.
“Iya deh, Nandar emang baik, mudah-mudahan kebaikan kamu bikin kamu tambah subur”.
“Nambah gendut maksudnya?”, pelotot Nandar.
“He ... he ... he”, aku cengengesan. “Dah, aku masuk duluan”, pamitku.
Aku melangkah manjauhi Nandar, menatap Mading sekilas lalu menoleh ke arah lain. Pemandangan yang sangat biasa aku temui. Orang-orang yang asyik mengobrol di tangga tanpa harus terganggu dengan orang-orang yang berseliweran melewati di hadapan maupun di samping mereka.
Aku seperti batu yang tidak berkata-kata di antara mereka. Aku sendirian, tidak ada seorang mahasiswa atau mahasisiwi pun yang kukenal di sini. Asyik bercanda ria dengan pasangannya masing-masing, saling merayu bak kumbang ketemu bunga yang wanginya semerbak madu.
Asyik ya ... kalau punya pacar, tidak perlu bengong seperti ini. Ah! Itu lagi-itu lagi, karena aku sendiri belum punya pacar. Lagian kenapa juga ajakan berpacaran dari Nandar kemarin sewaktu kamping di Gintung di tolak mentah-mentah. Ah ... dasar Nandar, masa nembak cewek gak ada romantis-romantisnya. Bawa bunga kek, coklat kek atau bacain puisi ala muji-muji cewek, gitu gak ada. Ya syudah ... belum rezeqinya ... nyantai saja, toh! Kalau sudah jodoh gak bakalan kemana, iya tidak?.
“Woi ... ngapain sendirian di sini, ke atas yuk!”, Merry mengapit lenganku, entah mengapa sejak malam LDKO itu dia jadi ramah padaku. Aku hanya tersenyum meng-iya-kan ajakannya barusan.
Ternyata Ronnie sudah bertegger lebih dulu di ruang kelas. Seperti biasa menunggu Merry. Bisa dibilang saat ini Ronnie sedang Pe. De. Ka. Te dengan Merry. Padahal Merry sudah memiliki pacar. Duh! Alamat jadi batu sesaat nih! Kalau sudah mengobrol mereka pasti melupakan kehadiranku di tengah-tengah mereka.
Aku melangkah keluar, setelah mengantar Merry duduk di sebelah Ronnie.
“Ra ... mau kemana?”, teriak Merry.
“Toilet”, jawabku singkat tapi bohong. Tanpa menoleh ataupun melempar senyum. Aku bergegas berjalan hingga sosok diriku tak terlihat oleh mereka.
Cafe Biru pilihan tepat. Tenang tapi ramai, dan tetap individualis.
“Pesan apa Ra?”, seorang pramusaji menyapa. Pramusaji ini seorang Mahasiswa Sastra Inggris yang kerja part time di Cafe yang berada di sekitar kampus ini.
“Melon milk shake aja”, kataku.
Pramusaji itu berlalu, tak lama kemudian kembali lagi membawakan nampan berisi pesananku. “Silahkan Rara”.
“Makasih ya?”, kataku lalu melempar senyum.
“Hei permisi, apa kursi di sebelahmu kosong?”, seorang wanita menghampiri meja di mana aku duduk dan menatapku.
Aku mengangguk seolah-olah agak terpesona dengan wanita ini. Memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wow! Dia begitu nyentrik dan seksi.
Rambut pirang ala penyanyi Duo Ratu. Mengenakan kaos dengan model kerah sabrina, rok mini dua centimeter di atas lutut, sepatu kuning berhak tinggi. Cantik, itu pendapat awalku. Wanita ini sempurna. Hidungnya lebih mancung dari punyaku. Kulitnya kuning langsat terawat, tubuhnya tinggi, matanya menggunakan softlens warna abu-abu, bulu matanya lentik dan asli, wangi lagi. Du-du-du, barang-barang yang dia pakai itu bermerek, mewah dan mahal semua.
“Boleh aku duduk?”, katanya lagi.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, yang menjawab adalah tanganku, seperti mempersilahkan dia duduk di hadapanku. Ini pertama kalinya aku melihat gadis ini, sebelumnya tidak pernah. Apa dia mahasiswi baru?.
“Dari fakultas mana?”, tanyaku ramah tamah.
Dia tersenyum kemudian menjulurkan tangannya mengajak bersalaman. “Aku dari Manajemen”, jawabnya. “Kamu ...?”, dia berbalik bertanya.
“Sastra”.
“Sastra Inggris?”, tanyanya lagi.
Aku geleng-geleng. “Indonesia”.
“Oh, iya ... namaku Monika, salam kenal”.
Wah namanya bagus, mirip nama kue lapis. He ... he ... he, ledekku dalam hati. Kalau yang punya nama tahu kalau aku membandingkannya dengan merek kue bisa berabe nanti.
“Rara”, aku membalas kata-katanya.
Kantong celanaku bergetar, tertera gambar amplop surat di layar ponsel. Aku memencet tombol kiri, sebuah pesan dari Merry terlihat di layar ponsel.
Ra, dosn mt kul
Dah masuk.
Cptan!
“Duh maaf ya Monika, aku harus ke kelas sekarang. Sampai nanti”, aku melambai meninggalkan Monika sendirian di situ. Perkenalan yang singkat pada waktu yang sempit.
Ruang kelas
Dosen mata kuliah sudah siap memberikan materi.
Aku membuka pintu ruang kelas, sedikit senyuman menyapa Dosen yang baru saja kulihat malam ini. Aku berjalan menuju kursiku.
“Nama anda?”, Dosen itu menyapaku sebelum sempat aku duduk.
Sambil berdiri aku menjawab pertanyaan pak Dosen baru itu. “Rara, eh, maksudnya nama saya Marla Rahayu Wibowo”, jawabku lengkap dengan nama panjang.
“Silahkan”, Dosen itu kemudian mempersilahkan aku duduk. “Saya ingin di mata kuliah saya tidak ada yang terlambat, apalagi bila terlambat sampai tiga puluh menit. Saya enggan memasukkan nama tersebut ke dalam data kehadiran. Rara, anda beruntung karena anda telat tujuh menit. Tapi lain waktu bila anda terlambat lagi saya tidak akan mempersilahkan anda duduk di kursi anda sendiri”.
Spichless, Aku hanya bisa mengangguk meng-iya-kan pesan Dosen barusan. Wow! Aku mahasiswi teladan, pendiam, namun hobby telat. Ha ... ha ... mana ada anak teladan yang hobyy telat. Ada-ada aja. Digituin sama pak Dosen baru ini kok aku jadi malu ya ...? Bukan malu sama pak Dosennya tapi malu sama teman-teman yang sudah hadir duluan di kelas ini. Baru mengajar bukannya bersikap ramah tamah malah sinisnya bukan main.
“Saya mengajar mata kuliah Kajian Sastra Tradisional. Menurut anda semuanya yang ada di ruangan ini, apa yang anda ketahui dari Sastra tradisional?”, Dosen itu bertanya pada Dewi.
Dewi geleng-geleng.
“Nabila Juwita punya pendapat lain dari Sastra Tradisional?”.
“Emmm ... cerita sastra dalam bentuk dongeng dan legenda”, jawab Nabila.
“Anda sudah di beri mata kuliah Sastra Lisan?”, kata Dosen.
“Sudah pak?”, jawab Nabila lagi.
“Nah ... itulah yang saya maksudkan, Satra Tradisonal adalah turunan dari Sastra Lisan yang mengkaji bahan cerita-cerita tradisional atau cerita-cerita lisan yang dipercaya secara turun temurun dengan pencipta atau pengarangnya tidak diketahui, dengan kata lain adalah A-no-nim”, Dosen itu kemudian memberikan kertas kosong satu persatu pada mahasiswa dan mahasiswi yang hadir di kelas. “Berikan satu buah cerita lisan yang lengkap dengan unsur intrinsiknya”, kertas yang diberikan adalah kertas HVS bergaris, empat halaman. Soal essay-nya hanya ada satu soal. Tertulis satu baris, di garis pertama bagian halaman satu dari kertas itu. Itu artinya sisa garis selanjutnya sampai dengan tiga halaman selanjutnya dipersiapkan untuk menjawab soalnya. Banyak ya?.
Aku mulai menuliskan cerita yang aku ketahui dan aku yakini bahwa cerita ini termasuk cerita tradisional yang berasal dari cerita lisan. Untuk menyusun cerita menjadi paragraf tidak sulit untukku dan aku mulai menuliskan apapun yang kuketahui, berwisata lewat imajinasi yang terbayang dipikiranku.
Tidak membutuhkan waktu lama buatku untuk menyelesaikan karangan tersebut. Selesai menuliskan secara lengkap, langsung aku serahkan kepada Dosen.
“Silahkan anda boleh meninggalkan ruang”, kata Dosen bergelar Drs. Itu.
“Daaah!”, kataku pelan melambai ke Merry.
Mulut Merry berdecak kesal karena belum menyelesaikan karangannya.
Mata kuliah kedua masih dua puluh menit lagi.
Aku menaiki tangga menuju lantai enam. Ada tempat favoritku di sana. Satu blok melewati mushola dan kantin. Ada pintu kecil menuju balkon. Aku menarik pintu panel, membukanya, semilir angin menerpa tubuhku, berjalan menjauhi pintu dan jendela. Aku duduk di tepi jendela yang rendah. Duduk di sini sangat nyaman, selain dapat menikmati hembusan angin yang kencang mataku juga dapat melihat kota Pamulang yang luas dari atas sini.
Langit kelam, dihiasi bintang-bintang yang bertaburan. Bulan sabit, cantik bersinar. Di bawah jalan raya yang mulai dipenuhi kendaraan bermotor dan lampu-lampu jalan.
Tak banyak yang kulakukan di atas sini. Tak ada teman mengobrol. Yang aku lakukan adalah merekam suasana baik-baik ke dalam memori. Ringtone simponi 44 bergetar dan memainkan iramanya.
“Halo”, sapaku.
“Sedang di kampus ya?”, suara Andrew terdengar.
“Ya, bagaimana keadaanmu, sehat?”, tanyaku.
“Alhamdulilah berkat kebaikan dan do’a kamu kemarin, sekarang saya sudah bisa jalan-jalan tanpa perlu merasakan pusing”.
“Aku senang, tapi kamu jangan lupa minum vitaminnya agar kondisimu benar-benar pulih”.
“Baik ibu Rara ... terimakasih”, ledek Andrew.
“Sama-sama. Aku sekarang sedang menunggu mata kuliah berikutnya”.
“Belajar yang rajin, biar jadi sarjana, pulangnya hati-hati”.
“Baik bapak Andrew, Da ... da ...”, kataku mengakhiri percakapan.
Klik. Aku menutup teleponnya.
Aku kembali menuruni anak tangga keluar dan melewati kelas Yuli, teman satu tenda sewaktu kami mengikuti acara LDKO. Seseorang berlari-lari panik meminta pertolongan, kelas Yuli begitu ramai. Aku penasaran lalu masuk dan ikut berdesakan. Di antara kerumunan orang itu, aku melihat tubuh Yuli terbaring di lantai. Aku shok, spontan menutup mulutku agar tidak histeris. Aku kaget dan ikut panik sekaligus bertanya-tanya. Kenapa? Kenapa? Ada apa? Kenapa Yuli tidak sadarkan diri? Aku bingung harus bertanya pada siapa? Aku bingung harus bagaimana? Yang aku tahu pada saat itu orang-orang di sekeliling juga panik.
Tubuh Yuli di angkat oleh teman-teman pria di kelasnya. Mereka menuruni tangga beramai-ramai sambil mengangkat tubuh Yuli yang tidak berdaya. Aku mengikuti mereka di belakang. Ingin tahu akan di bawa kemana tubuh Yuli. Mereka berhenti di ruang UKS. Tubuh Yuli mereka baringkan di sana. Aku melihatnya dari kaca. Seorang laki-laki teman kelas Yuli keluar dan aku menghentikan langkahnya.
“Yuli kenapa?”, tanyaku agak menahan diri agar tidak terlalu panik.
Laki-laki itu menggeleng. “Kita juga gak tahu, Yuli tiba-tiba jatuh dari kursinya sewaktu lagi duduk dan pingsan. Kita di kelas juga semuanya kaget”.
Aku menggigit bibirku. Laki-laki itupun kemudian pergi meninggalkan aku. Aku masuk ruangan UKS. Yuli ditemani dua teman wanita satu kelasnya. Salah satu dari mereka sedang memijit-mijit kaki Yuli dengan minyak kayu putih. Aku memberanikan diri mendekati mereka, membantu mengoleskan minyak kayu putih di keningnya.
Yuli tersadar, matanya melihat kami. Dia berusaha bangun dari tidurnya. Aku membantunya meletakan bantal untuk sandaran di punggungnya.
Ida masuk dan meminta teman kelas Yuli untuk kembali ke kelasnya melanjutkan mengikuti mata kuliahnya.
“Rara, makasih”, kata Yuli lirih.
“Kamu kenapa Yul? Sakit?”, tanya Ida.
Yuli geleng-geleng. “Gak tahu tiba-tiba pusing”, jelas Yuli. “Aku kok ada di sini? Aku pingsan ya?”, tanyanya kepada kami.
“Iya tadi kamu pingsan”, jawab Ida.
Tidak lama Yuli terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah. Yuli histeris dan aku pun kaget lalu memeluknya. Yuli menangis keras-keras. Ida mengambilkan tisu dan membersihkan darah yang ada di tangannya.
“Yuli harus ke rumah sakit”, kataku.
Ida keluar untuk meminta bantuan meminjamkan mobil untuk membawa Yuli ke Rumah Sakit.
Yuli masih menangis, aku merasakan tubuhnya terguncang. Dia sendiri kaget oleh situasi yang terjadi pada dirinya sendiri.
Aku masih memeluknya untuk menenangkan Yuli yang shok sekali dengan apa yang terjadi pada dirinya. Jangankan Yuli, kami temannyapun melihatnya sangat-sangat sedih dan iba.
Ronnie masuk UKS. “Pake mobil saya aja”.
Aku membantu Yuli turun dari tempat tidur ruang UKS. “Kamu kuat jalan gak?”, tanyaku.
Yuli mengangguk namun baru sampai pintu tubuhnya lemas tidak kuat berjalan. Ronnie kemudian mengangkat tubuh Yuli sampai keparkiran mobil. Aku dan Ida membantu membukakan pintu mobil dan memasukan Yuli ke dalam mobil Jipnya Ronnie. Yuli pingsan lagi, kepala Yuli aku pangku duduk di belakang. Ronnie menyetir dan Ida duduk di depan sebelah Ronnie.
“Ida, telepon orangtuanya Yuli”, kataku cemas.
“Hape Yuli”, kata Ida.
Aku merogoh saku celana dan bajunya, dan ketemu. “Ini”, aku memberikan ponsel Yuli kepada Ida.
“Rumah sakit Bakti Husada aja ya”, tanya Ronnie.
“Iya cepetan yang deket”, jawab Ida panik. “Aduh nama orang tuanya siapa si?”, Ida masih memencet-mencet. Tangannya gemetaran.
“Cari di panggilan terakhir Da ...”, kataku.
“O iya”, kata Ida. Ida mencoba menghubungi orang tua Yuli lewat ponsel Yuli. Ada yang menjawab, seorang wanita, Ida yakin itu Mamanya
“Asalamualaikum ...”, sapa Ida. “Maaf ini Ida temennya Yuli, ini bener Mamanya Yuli? Tante, Yuli pingsan, kita lagi di jalan mau bawa Yuli ke rumah sakit. Bakti Husana Tante, baik Tante”, Ida selesai menelepon.
“Sampe nih sampe!”, Ronnie memarkirkan mobil Jipnya pas depan pintu IGD. Ronnie dan Ida turun lebih dulu. Ida membukakan pintu untuk aku tapi aku belum bisa cepat-cepat turun, menunggu perawat membawakan tempat tidur beroda. Ronnie kembali bersama dua perawat laki-laki.
“Mbanya turun duluan, biar kepalanya saya yang pegangi”, kata perawat satu lagi.
Perawat itu cekatan sekali, memindahkan Yuli dari mobil Jipnya Ronnie, ke tempat tidur beroda. Menggunakan hitungan satu dua tiga, lalu tubuh Yuli mendarat seluruhnya ke tempat tidur dan di dorong ke dalam ruang IGD. Ronnie memarkirkan mobilnya di parkiran mobil. Aku dan Ida menunggu dengan cemas.
Tidak lama perawat tadi kembali. “Keluarga pasien?”.
“Dalam perjalanan, kita temannya”, jelas Ida.
“Pasien Kritis”, kata perawat lagi.
Aku berusaha menahan tangis, aku shok, benar, aku shok sekali. Ponsel Yuli berdering.
“Mamanya Yuli”, kata Ida.
Aku memandang Ida, sungguh Ida buatku kuat. Ida saja bisa menghadapi situasi ini dengan tegar, masa aku harus menangis.
“Angkat-angkat”, kataku cepat-cepat.
Ronnie kembali bersama kami.
“Halo Tante, kita ada di IGD”, jawab Ida lalu menutup ponselnya.
Aku terkejut saat seorang wanita dan pria mendatangi kami. Wanita itu menangis sambil memegangi tangan Yuli, si Pria berusaha menenangkan si wanita. Ya mereka adalah Mama dan Bapaknya Yuli.
“Keluarga pasien?”, tanya perawat kembali menghampiri.
“Iya”, jawab Bapak itu.
Perawat itu berbincang kepada Bapaknya Yuli menjelaskan terkait masalah kesehatan yang idap anaknya. Mamanya menangis, duduk di samping anaknya.
Ida memberanikan diri menghampiri Mamanya Yuli yang menangis. “Tante, ini ponsel Yuli”, Ida memberikan ponsel Yuli berwarna pink itu kepada Mamanya Yuli.
“Terimakasih ... terimakasih”, Mamanya Yuli memeluk Ida kemudian memelukku.
Aku menangis, aku tidak bisa menahan air mataku lagi. “Semoga Yuli cepet sembuh ya Tante”, kataku menahan air mata agar tidak jatuh lebih banyak lagi.
“Teman-temannya Yuli?”, tanya Bapak.
Aku mengangguk, Ronnie mengangguk.
“Iya Om”, kata Ida.
“Om dan Tante mengucapkan terimakasih, sudah mau membawa Yuli ke sini”, kata Bapak.
“Sama-sama Om”, kata Ronnie.
Entah mengapa lidahku kelu. Hapeku berdering. Nama Merry terlihat di layar ponsel. “Merr ...”, Aku menjawab telepon Merry.
“Ra ... elo di mana? Kok gak masuk kelas”, tanya Merry.
“Di rumah sakit”, jawabku.
“Siapa yang sakit?”, tanya Merry penasaran.
“Yuli ... aku sama Ida sama Ronnie juga di sini”, jelasku menahan tangis sambil mengelap air mata yang sudah terlanjur jatuh membasahi pipi.
“Rara kamu gak kenapa-napa kan? Rara yang tenang ya ...”, Merry mencoba menenangkanku melalui telepon.
“Iya”, lalu aku pamit menutup teleponnya.
Ronnie menghampiriku. “Udah malam ... tadi saya ngobrol sama bapaknya Yuli, kita pulang dulu aja, orangtuanya juga udah ada di sini, besok kalau sudah sadar, Yulinya dan sudah bisa dijenguk, kita bisa negokin lagi ke sini”, jelas Ronnie.
Ida menghampiriku dan memegang pundakku. “Yuk!”, katanya sambil mengapit tangannya ke lenganku. Langkah kakiku lesu tak ada tenaga. “Kita berdoa buat Yuli semoga cepet sembuh”, kata Ida.
Baru beberapa langkah kami berjalan di lorong IGD. Aku mendengar teriakan histeris dari Mamanya Yuli. Kami menoleh dan saling berpandangan. Kami sama-sama melihat Mamanya Yuli dipegangi perawat lalu Bapaknya Yuli memeluk Mamanya dengan erat. Pemandangan itu buat kami sama-sama shok. Buat kami tidak percaya apa yang baru saja kami dengar dan kami lihat. Innalilahiwainailaihirojiuun. Bapaknya Yuli menepuk-nepuk punggung Mamanya Yuli. Kedua orangtua itu sama-sama menangis. Air mata kami jatuh, kami pun sama-sama menangis. Menyaksikan teman kami yang kami bawa dari kampus ke rumah sakit berharap mendapat pertolongan cepat dan dapat sembuh. Kini telah berpulang ke Rahmatulloh.
Kakiku kini benar-benar lemas, aku tak kuat berdiri. Aku terduduk di lorong lantai rumah sakit yang kosong ini. Ida memelukku erat-erat, dia pun tak kuasa menahan air matanya lagi. Kami berdua sama-sama menangis, merasakan, bahwa kehilangan itu rasanya seperti ini. Dadaku terasa sesak, mataku terasa panas. Ronnie bersandar di dinding. Rasa sedihnya pun sama, tak berbeda. Kehilangan seorang teman yang kami kenal. Sangat menyakitkan. Aku teringat akan cerita-ceritanya sewaktu di tenda. Bercerita tentang penyakitnya. Dia masih dalam perawatan. Kesabarannya memantang makanan yang boleh dan tidak boleh di makan. Dia sabar menjalani. Kini ia harus kembali, kembali kepada sang Ilahi robby. Ini pasti sangat sulit untuk kedua orang tua Yuli yang telah membesarkannya sampai menjadi gadis yang cantik dan periang. Yuli tak pernah menunjukkan wajah sedih maupun wajah sakitnya. Karena Yuli adalah orang yang ramah. Sejauh aku mengenalnya, hanya dalam waktu untuk beberapa hari saja.
Ronnie membangunkan kami yang terduduk di lorong lantai rumah sakit. Kami minggir memberi jalan yang lewat. Aku melihat perawat itu mendorong tempat tidur beroda dengan pasien yang ditutupi kain putih di sekujur tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wajahnya tak terlihat. Aku melihat kedua orang tua Yuli mengikuti tempat tidur beroda itu menangis terisak-isak. Kamipun berjalan mengikuti kedua orang tua itu di belakang mereka.
Kamar mayat
Tempat tidur beroda itu berhenti di pintu kamar mayat lalu masuk.
“Om dan Tante, minta maaf, apabila semasa hidup, Yuli pernah berbuat salah sama teman-teman Yuli”, kata Bapak.
“Rencana jam berapa Om, Yuli dimakamkan?”, tanya Ronnie.
“Segera, semoga sebelum Dzuhur, Yuli sudah beres dimakamkan”, jelas Bapaknya Yuli.
“Kami pamit dulu Om, Tante”, kata Ronnie lagi.
Mama Yuli memelukku dan Ida. Sungguh ujian terberat dalam hidup mereka. Ditinggalkan anak yang dicintainya.
Ronnie mengantarku dan Ida pulang dengan Mobil Jipnya.
**
Pemakaman
Tanah merah yang agak menjulang, dikerumuni banyak orang berpakaian serba hitam. Kami sama-sama menaburkan kelopak bunga-bunga cantik ini ke tanah merah. Membuat tanah merah itu menjadi wangi semerbak bunga.
Yuli Anastasia
Binti
Purnomo
4 April 1988 – 9 November 2006
Aku mengenalnya sebentar, sangat sebentar. Membuatku terkesan, sejauh aku mengenal sosoknya. Yuli adalah gadis yang penuh kesabaran. Menceritakan penyakitnya tidak ada wajah sedih sedikit pun.
Aku, Merry, Ida, Ronnie dan Nandar. Berdiri terpaku menatap makam itu tak berkata. Kata kami hanya dalam hati, semoga engkau tenang di sana, bersandar di pangkuan sang khalik. Tak perlu merasakan rasa sakit lagi.
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola