Read More >>"> She's (Not) Afraid (EMPAT) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - She's (Not) Afraid
MENU
About Us  

Aku melirik jam dinding di atas white board lalu beralih pada lembar jawab dengan gusar. Waktu berlalu begitu cepat bersamaan dengan lima notifikasi dari Gita yang muncul di layar utama ponselku. Lagi-lagi gadis itu mengingatkan bahwa kami akan menonton pertandingan basket hari ini. Aku berdecak pelan, sadar bahwa gadis yang berstatus ketua AGT tersebut tidak suka anggotanya telat meski hanya semenit saja. Dia bahkan tidak peduli jika jam pelajaran masih berlangsung.

Tak berselang lama, bel panjang menggema di penjuru kelas. Aku menyimpan kertas ulanganku di meja lalu buru-buru menyambar tas, mengabaikan teriakan Bimo—ketua kelasku—yang meminta tinggal beberapa menit lagi setelah hasil ulangan sebelumnya dibagikan. Tungkaiku bergerak cepat menyusuri lorong-lorong panjang yang akan membawaku ke ruang ganti di sisi kanan bangunan Alamanda. Saking cepatnya, aku tidak lagi bisa memperlambat langkahku saat seorang pemuda berjalan dari arah berlawanan, tepat di persimpangan ruang guru. Tubuhku sempat oleng sejenak sebelum pemuda tadi menarik lenganku agar kembali berdiri tegak.

"Sorry."

"Sorry."

Kami berkata serempak. Aku mendongak pada wajah berahang persegi di depanku dan menemukan pemuda yang kutemui di Jingga seminggu lalu. Aku lupa namanya, tapi aku ingat rahang persegi dan suara beratnya. Dia menatapku dengan senyum terukir di wajahnya. Namun, kupikir ini bukan saatnya untuk beramah tamah, ada hal yang harus kuselesaikan sesegera mungkin.

Maka, aku kembali mengayun langkah lebar meninggalkan pemuda itu. Tidak peduli dia akan menganggapku kurang ajar nanti. Masalah Gita lebih penting. Aku sedang tidak dalam mood baik untuk mendengarkan celotehnya siang ini.

Begitu sampai di tempat tujuan, aku buru-buru menarik pintu ganda ruang ganti lalu menutupnya kasar hingga menimbulkan debam cukup kencang. Beberapa siswi sempat menoleh kaget sebelum kembali pada aktivitasnya masing-masing di deretan kursi panjang dekat loker.

"Sembilan kurang dua. Gue kira lo bakal telat." Suara tegas Gita menyapa telingaku.

Berbalik, aku mendapati gadis itu berdiri di sudut ruangan. "Nggak akan, Git." Aku berkata sambil berlalu memasuki salah satu bilik, bermaksud mengganti seragamku dengan kaos bebas.

"Gue cuma ngira. Yah lo tau sendiri kan sekarang Brian lagi nyanyi-nyanyi nggak jelas buat gebetan barunya. Like a lunatic." Kudengar gadis itu mendengkus dari luar, sementara aku menghentikan gerakanku kala mendengar kalimatnya.

Aku mengenal Val dari sisi semua sisi. Sementara berita yang disampaikan Gita jelas berbanding terbalik dengan sifat pemuda berambut cepak tersebut.

Aku berjalan mendahuluinya, berusaha menulikan telingaku pada semua cerita tentang Val dari mulut pedas gadis itu. Siapa tahu, kalimat yang dilontarkannya hanya argumentasi untuk membuatku lengah. Namun, ketika kami melalui koridor depan tempat anak-anak ber-IQ tinggi biasa berkumpul, aku membenarkan pengakuan Gita terhadap Val.

Pemuda itu bersikap manis untuk Vio, menyanyikannya sebuah lagu diiringi petikan gitar kesayangannya. Fakta itu seperti badai yang berhasil mengacaukan pikiranku. Terlalu cepat dan kuat.

"Lo cemburu ya?" Gita bertanya begitu sadar langkahku terhenti. "Perhatian Val nggak lagi buat elo."

Mataku mengerjap beberapa kali, mengembalikan kesadaranku pada realita saat ini. Aku menggeleng pelan lantas melanjutkan langkah yang sempat terhenti. "Nggak."

Namun, Gita sepertinya punya energi ekstra untuk menyudutkanku. Terlebih saat dia memergokiku tidak fokus sepanjang perjalanan menuju Oregon Arena. Tidak sepenuhnya salah, karna otakku memang tengah memikirkan Val. Bagaimana caraku menolongnya jika saat ini pemuda itu membuat lubangnya sendiri. Seperti yang sudah-sudah, aku menahan diri untuk tidak mencampuri urusan semacam itu.

Meskipun dekat, ada beberapa hal yang kami larang masing-masing terlibat di dalamnya. Dan hubungan adalah salah satunya. Kami akan bersama sampai waktu yang tidak ditentukan, asal perjanjian tidak dilanggar.

"Khawatirin Brian?" Tiba-tiba Leon berjalan di sampingku sambil menyodorkan air kemasan ketika kami mengantri di bagian ticketing.

Tersenyum kecut, aku menerima minuman tersebut lalu memutar-mutar botolnya dengan tangan kanan.

"Bukannya lo mau fokus siap-siap buat pertandingan nanti?" katanya mengingatkan.

"Apa lo nggak pernah mikirin pacar lo bahkan saat pertandingan?" Aku menjawab sekenanya.

Kudengar Leon tertawa di antara riuh rendah teriakan manusia di sekitar kami. "Maksud lo Windi?" tanyanya yang kujawab anggukan singkat. "Mika ... mikirin dan khawatirin itu beda jauh."

"Oke. Anggap gue khawatir, apa salah? Gue Cuma nggak mau orang terdekat gue dalam masalah."

"Masalah? Gue kira Brian cuma nunjukkin perasaannya sama orang yang dia suka. Bagian mana yang lo anggap masalah, hm?"

Mulutku terkunci rapat, mendadak bingung atas jawaban dari pertanyaan tersebut.

"Lagian ... sekarang Brian jadi kelihatan lebih manusiawi," lanjutnya.

"Maksud lo?"

"Lo pasti ngerti maksud gue. Well, kita tau Brian itu cowok sempurna. Ganteng, ramah, cool, pinter, dan sederet kelebihan lain yang dia punya. Tapi sekarang, semua orang mulai bisa liat sisi lain dari pemikiran Brian. Dia bisa cemburu saat orang yang dia suka deket sama cowok lain, atau kesel pas tau dia dicuekin. Apa lo nggak sadar?"

Tanpa sadar aku menggeleng. Hingga Leon kembali bersuara, "Ternyata orang-orang bener ... lo itu nggak pekaan. Ya udahlah, kita fokus nonton aja, jangan mikirin orang yang nggak ada di sini."

Aku menarik napas panjang untuk meredam gejolak dalam diriku. Leon benar, sisa hari ini harus berjalan sesuai rencana. Biarkan Val dengan urusannya, dan aku akan menutup telingaku sementara.

Saat ini basket lebih penting. Aku memilih duduk di samping Leon saat kami telah sampai di dalam gedung yang didominasi warna hijau dan merah. Mungkin berdiskusi dengannya sepanjang acara lebih mudah dilakukan.

Cara ini memang berhasil mengalihkan perhatianku, aku tenggelam dalam euforia. Terlebih ketika netraku menilik piala cantik yang sengaja dipajang di sisi lapangan—dekat meja juri. Sekarang aku harus memikirkan cara untuk membawa benda berlapis emas lima karat itu pada akhir pertandingan daerah tahun ini dan memamerkannya pada seluruh penghuni Alamanda.

***

"Ternyata meraih apa yang di depan mata lebih sulit dari yang gue pikir."

Jarum jam telah menunjukkan angka sepuluh malam saat Val meneleponku. Aku mengangkatnya di dering ketiga sembari membereskan bed cover tempat tidur mama.

"Lo ngomong apa sih, Val?"

Kudengar ia mengembuskan napas berat, disusul debam dari seberang sana. "Lo nggak akan pernah ngerti kalau lo bahkan nggak mau ubah pemikiran lo tentang cinta."

Keningku berkerut dalam. Aku melirik hasil pekerjaanku sebelum keluar dan mengatakan pada mama bahwa beliau sudah bisa beristirahat sekarang. Setelah memastikan semua pintu tertutup rapat, aku memutuskan merebahkan diri di dalam kamarku sendiri.

Mendengarkan celoteh Val tidak cukup hanya beberapa menit saja. Dia terbiasa menghubungiku hingga satu jam lebih, tidak peduli kantuk menyerang kelopak mataku.

"So?" sahutku sekenanya.

"Gue capek, La!" Nada suaranya meninggi.

Aku menjauhkan benda pipih tersebut dari telinga sambil berdecak kesal. Apa pemuda itu tidak paham bila suaranya mampu merusak gendang telingaku lebih cepat?

"Kalau capek ya udah istirahat. Atau berhenti aja sekalian." Kalimat itu kuutarakan dengan gamblang. Keheningan mendominasi selama beberapa detik sebelum aku kembali buka suara, "Oh ya, Sabtu depan nonton yuk! Ada film baru yang ma—"

"Seminggu ini gue ada janji ketemu Vio, La," sahutnya yang hanya kujawab deham singkat. "Lo nggak lagi kangen gue 'kan, La?"

"Jangan kepedean."

Setelah dua kata dariku, Val tak lagi banyak bicara ataupun mengeluh tentang sesuatu, pemuda itu memilih memutus sambungan dan membuatku bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku memandang layar ponselku dalam keadaan statis. Di sana ada perasaan janggal perlahan merambah egoku. Mungkin karena saat ini aku merasa Val tidak membutuhkanku. Atau karena kekhawatiran berlebihan yang kutujukan untuk perasaannya. Aku tidak ingin pemuda itu berubah seperti orang lain.

Lima menit berlalu hingga kantuk menyergap dan aku terlelap dengan ponsel dalam genggaman. Kesadaran baru menyapaku lagi ketika jam weaker pemberian Val berbunyi nyaring sementara sinar mentari pagi menyapa dari balik gorden yang masih tertutup, mengingatkanku untuk segera bersiap ke sekolah.

Tepat pukul 06.35, motorku telah terparkir aman di sebelah motor Val. Rupanya pemuda itu lebih dulu sampai.

Kulangkahkan kakiku memasuki gedung berlantai empat tersebut dan mendapati lobby ramai oleh para siswi.

"Dia gans banget sumpah," ujar salah seorang dari mereka.

"Eh dia masuk kelas apa sih?" Satu gadis lagi ikut menyumbangkan suara.

Akan ada tambahan anggota di kalangan siswa populer. Aku tersenyum sinis kemudian berlalu. Sama sekali tidak berniat mengetahui kelanjutan berita tersebut. Namun, sepanjang perjalanan menuju kantin saat istirahat pertama berlangsung, gosip itu mulai berembus kencang. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang menyebut kalau murid baru ini akan menggeser posisi Val sebagai siswa favorit Alamanda.

Meski tidak habis pikir, pada akhirnya aku memilih memperlambat langkah. Berusaha mendengar lebih banyak informasi yang menyangkutpautkan keduanya hingga menyinggung masalah Vio. Tanpa sadar aku berdecak kencang hingga beberapa mata di dekatku menatap segan. Sejenak, 'sarapan pagi' Alamanda terhenti. Beberapa dari orang-orang itu menunduk dalam, seolah takut aku akan lepas kontrol sekarang.

Aku menggerakkan kakiku lebar, mempersingkat waktu agar sampai di tempat tujuan secepat yang kubisa. Aku tidak ingin ikut campur urusan klise ini atau aku bisa saja ikut terseret arusnya. 

Memilih meja kosong di kantin terujung, aku membuka aplikasi game online sembari menunggu kwetiau pesananku tiba.

"Mikayla Zee." Tiba-tiba seseorang menyebut namaku fasih.

Manikku bergerak ke asal suara sebelum kepalaku ikut mendongak cepat kala mendapati wajah yang sudah ketiga kalinya tertangkap retinaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ghea
4      4     0     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Melody untuk Galang
2      2     0     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
HAMPA
3      3     0     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Ily silent flower
3      3     0     
Romance
Dia selalu dia. Dia dia dia aku.
Dua Sisi
23      6     0     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"
Bentuk Kasih Sayang
3      3     0     
Short Story
Bentuk kasih sayang yang berbeda.
Bintang Biru
25      5     0     
Romance
Bolehkah aku bertanya? Begini, akan ku ceritakan sedikit kisahku pada kalian. Namaku, Akira Bintang Aulia, ada satu orang spesial yang memanggilku dengan panggilan berbeda dengan orang kebanyakan. Dia Biru, ia memanggilku dengan panggilan Bintang disaat semua orang memanggilku dengan sebutan Akira. Biru teman masa kecilku. Saat itu kami bahagia dan selalu bersama sampai ia pergi ke Negara Gingsen...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
30      11     0     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Yang Terukir
460      339     6     
Short Story
mengagumi seorang cowok bukan lah hal mudah ,ia selalu mencurahkan isi hatinya melalui sebuah pena,hingga suatu hari buku yang selama ini berisi tentang kekagumannya di temukan oleh si cowok itu sendiri ,betapa terkejutnya ia! ,kira kira bagaimana reaksi cowok tersebut ketika membaca buku itu dan mengetahui bahwa ternyata ada yang mengaguminya selama ini? Yuk baca:)
Nadine
45      14     0     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...