Read More >>"> Zo'r : The Scientist (4 | Trauma) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Zo'r : The Scientist
MENU
About Us  

28 Maret 2347

Manila, Filipina

Di tengah pekatnya malam itu, seorang lelaki dengan rambut yang mencolok, pirang, berdecak kesal sambil melihat arlojinya yang telah menunjukkan jam 00.01, dia sudah terjebak di Bandara selama 1 jam setengah, dia mendesah pelan, “Tidak biasanya tidak ada taksi. Ah, seandainya tadi aku ikut orang lain.”

“Ah, sudahlah. Jalan kaki saja. Semoga aku menemukan taksi.” Lelaki itu mendesah, lalu mulai berjalan, diam-diam ia bersyukur, dia hanya membawa sebuah ransel, jadi beban yang harus ia bawa tidaklah banyak. Sambil berjalan, ia memainkan sebuah tabung yang sepertinya terbuat dari aluminium yang bentuknya mirip sebuah botol minum, “Sebenarnya benda ini dibuat dari apa, sih? Sampai-sampai bisa memberikan ilusi pada sinar pemindai isi di Bandara?”

“Ah, sudahlah, yang penting sekarang aku harus sampai di rumah dengan cepat.” Lelaki itu berdecak, seraya memasukkan kembali tabung pemberian Acacia sebelum mereka berangkat ke Ternate itu ke dalam ranselnya.

Menjelang jam satu pagi, akhirnya ia sampai di rumahnya. Dengan perlahan, dia masuk setelah menemukan bahwa sebelum ia dijemput, ia lupa mengunci pintunya. Sesaat, firasat buruk menghadiri benaknya, tetapi dia mengabaikannya. Dia lelah, dan dia ingin secepatnya beristirahat.

Kelopak matanya yang mulai bermain tutup-buka mendadak sepenuhnya terbuka, malahan jauh lebih lebar dari biasanya. Rumahnya ..., penuh akan cairan kental berwarna merah di setiap sudutnya. Pikirannya berkelana, kembali ke beberapa tahun yang lalu, tetapi sebelum dia sepenuhnya tenggelam di dalam pikirannya, suara seorang pria menariknya kembali ke kenyataan. Membuat dia kaku. Tubuhnya bergetar, semua kelelahan yang ia pikul hilang, ranselnya jatuh, tubuhnya melorot perlahan ke lantai, mengundang tawa sang pria yang telah menunggunya.

“Lama tidak berjumpa, Efren.” Suara pria itu masuk ke gendang telinga Efren, membuat dirinya semakin kaku. Batinnya bergejolak, merasakan firasat buruk yang kian memburuk. Apa? Apa yang akan terjadi padanya? Apa yang akan pria itu lakukan? Batin Efren penuh akan pertanyaan, tetapi tidak satupun mampu keluar dari mulutnya, dia hanya terduduk di lantai dengan kaku, tanpa pergerakan kecuali bahunya yang naik-turun, bernapas. Pada akhirnya, hanya satu kalimat yang mampu lolos dari bibirnya, itupun dengan suara yang bergetar dan terbata-bata, “Ke-napa? Ka-u a-da di si-ni?”

Pria itu tidak menjawab, malahan dia tertawa terbahak-bahak dengan suara menggelegar yang tampaknya terdengar ke seluruh penjuru rumah Efren. “Kau tahu? Aku sudah menunggumu sejak seminggu yang lalu di rumah ini. Kau beruntung kembali hari ini ke sini, padahal aku berpikir akan pergi beberapa menit sebelum kau datang. Kau tidak cukup pintar untuk menyembunyikan dirimu. Kenapa kau tetap di rumah ini? Bukankah kau tahu, kapan waktuku keluar dari penjara terkutuk itu? Kupikir, kau pergi meninggalkan ini. Namun, lihatlah, kau kembali dengan santainya dan sekarang hanya dapat terduduk diam di lantai. Ayo, Efren, bergeraklah, gunakan suara terkutukmu itu untuk membangunkan tetanggamu, dan dengan itu, kau akan selamat, bukan?”

Pria itu terus mengitari Efren, sambil sesekali mencengkeram rahang Efren dengan keras, membuat lelaki setengah bule itu meringis kesakitan. “Ayolah, Efren, mengapa kau masih diam? Ke mana sifat pemberanimu dulu itu? Ke mana? Ada di mana sifat pemberanimu dulu yang menuntunmu berlari keluar memanggil para tetanggamu? Di mana sifat pemberanimu yang melaporkanku ke polisi walaupun bukti yang ada padamu tidak sanggup membuatku dihukum mati? Di mana?”

“Ayo, Efren, ayo. Padahal aku sudah susah payah menghias rumahmu sesuai keadaan dulu. Lihatlah, bahkan cairan-cairan ini sudah hampir mengering.” Pria itu menunjukkan ketidakstabilan emosinya, melihat Efren yang masih saja diam, dia mengangkat tangannya, menghasilkan bunyi keras bersamaan dengan jatuhnya tubuh Efren ke lantai, dia tidak lagi duduk, dia meringkuk di lantai. Tamparan pria itu ... sangat kuat. Bahkan, di pipi kanan Efren sudah ada bekas merahnya, walau tidak mengeluarkan darah.

“Baiklah, jika kau masih tidak ingin bicara. Ayo ikut aku.” Pria itu membungkuk, lalu dengan cepat menarik kerah baju Efren, menyeret lelaki setengah bule itu bersamanya. Menuju sebuah kamar. Kamar yang terakhir kali Efren kunjungi 6 tahun yang lalu. Kamar orang tua angkatnya.

Ketika mengetahui tujuan lelaki itu, dengan secepat kilat kesadaran Efren kembali, dengan sekuat tenaganya, dia memberontak. Dia tidak ingin masuk ke dalam kamar itu. Tidak lagi. Usahanya membuahkan hasil, dengan cepat dia berlari menjauhi pria itu, tetapi terlambat, pria itu terlebih dahulu mencengkeram tangan kirinya, dan segera mencengkeram tangan kanannya juga dari belakang. Efren mencoba melepaskan tangannya, tetapi tenaga pria itu jauh lebih besar. Dia terjebak. Tidak, lebih tepatnya terkunci. Pada saat itu juga, pria itu mengukir senyum jahat di wajahnya, “Katakan selamat datang ke kamar orangtua sialanmu itu.”

Efren menutup matanya dengan erat, tidak ingin melihat kamar orangtuanya, tetapi pria itu dengan cepat melemparkan tubuhnya ke lantai, membuatnya terpaksa membuka mata dan meringis kesakitan. Tepat ketika pria itu kembali tertawa, Efren mematung. Memori-memori 6 tahun yang lalu yang berusaha ia kubur kembali bermain di benaknya. Ia menangis, meraung, bahkan menjambak rambutnya sendiri. Melihat apa yang dirasakan oleh Efren, pria itu tersenyum, “Hancurlah, hancurlah. Rasakan semua penderitaanku. Rasakan semuanya!”

“Ayah! Ibu! Tala!” Efren terus meneriakkan ketiga kata itu di tengah-tengah kacaunya dirinya. Bahkan sampai dia tidak lagi dapat bersuara dengan jelas, kehabisan suara, dia masih terus menyebut ketiga kata itu. Batinnya terus bergejolak, menghadirkan berbagai sensasi padanya untuk menghancurkan dirinya. Pada akhirnya, lelaki itu tidak lagi memiliki kendali atas pikiran dan tubuhnya, dia tertawa, tertawa dengan air mata yang terus mengalir walau sudah hampir terputus. Efren ... tidak lagi waras.

“Maaf, Ayah, Ibu, dan ... Tala. Seandainya, Efren tidak pergi ke studio malam itu. Seandainya, Efren tidak mengikuti lomba terkutuk itu. Seandainya, Efren tidak bernyanyi. Seandainya, Efren tidak memenangkan lomba itu. Seandainya, Efren ... datang lebih cepat. Seandainya ..., seandainya ...,” Efren terus meracau dengan suaranya yang sudah semakin tidak jelas. “Semua ini salah Efren, ya, seharusnya Efren yang pergi.”

Sejenak, dia terdiam, tetapi dengan cepat dia mengambil vas bunga yang tidak lagi ada bunganya di dalam kamar itu dan melemparnya ke lantai. Dengan gemetaran, tangannya mengambil salah satu pecahan itu dan mulai mendekatkan itu ke urat nadinya dengan senyuman yang tidak dapat diartikan. Pria itu menyadari apa yang akan Efren lakukan, dia segera menampar Efren, membiarkan pecahan itu jatuh dari pegangan lelaki setengah bule yang tidak lagi waras itu. “Walaupun aku ingin kau menderita, jangan mati, Efren.”

Pria itu menarik Efren dari pecahan vas itu, dengan satu gerakan, dipukulnya tengkuk Efren. Membuat lelaki pengidap gangguan kejiwaan itu kehilangan kesadarannya. Pria itu membiarkan Efren tergeletak di lantai, sambil berjalan pergi dengan langkah yang berat. “Bagaimanapun juga, kita pernah menjadi sahabat, bukan?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (11)
  • MiraRahayu

    Woooowww. Mantap. Eh book 2? Satunya?

    Comment on chapter 0 | Prolog
Similar Tags
IRIS
317      252     2     
Short Story
Alf terlahir dalam dunianya yang gelap, sementara Faye hidup dalam sisi yang berlawanan dengannya. Namun, siapa sangka jika ternyata sesekali Faye menginginkan hidup di posisi Alf. Sedangkan Alf telah memutuskan untuk mengakhiri kehidupan hitamnya, bukan beralih ke dunia putih milik Faye, namun ke kehidupan yang sebelumnya telah dipilih ibunya, Sang Pengkhianat.
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
55      17     0     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
UnMate
11      7     0     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
THE HISTORY OF PIPERALES
17      8     0     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Maroon Ribbon
286      221     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
HAMPA
2      2     0     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Kenangan
2      2     0     
Short Story
Nice dreaming
Secret World
22      5     0     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
God's Blessings : Jaws
12      5     0     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
LINN
148      30     0     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...