28 Maret 2347
Manila, Filipina
“Aku kembali.” Seorang pria memasuki pintu rumahnya, lalu dengan cepat berjalan menuju seorang pria berumur yang tengah duduk di salah satu sofa dan segera menduduki salah satu bagian kosong di sofa panjang itu. Melihat ini, pria berumur yang sedang asyik duduk itu bertanya, “Dia kembali?”
“Ya, Ayah.” Pria itu menjawab, membuat pria berumur di sampingnya segera mengalihkan pandangannya kepada pria itu, “Kau sudah membereskannya, bukan, Arcega?”
“Tidak.” Jawaban pria yang dipanggil Arcega itu membuat lelaki berumur di sebelahnya seketika membesarkan pupil matanya dan menatap Arcega dengan tajam, “Kenapa kau tidak bereskan dia? Sebelumnya, kau tidak pernah mengecewakan Ayah, Arcega. Ada apa denganmu? Tidakkah kau ingat apa yang dilakukannya pada ibu dan kakakmu? Kau lupa, Arcega Cayden Quimino? Jawab aku!”
“Tentu saja, Ayah, aku ingat apa yang dilakukannya terhadap ibu dan kakak, tetapi dia juga sudah kehilangan. Bahkan ia kehilangan ke-dua orangtuanya dan adiknya. Kurasa itu sudah cukup, Ayah.” Pria beriris hazel yang sewarna dengan rambutnya itu berkata dengan hati-hati, berharap ia tidak dimarahi, tetapi pria tua di sampingnya dengan cepat menamparnya. “Kau bodoh, Arcega. Mereka bukan keluarga kandung si sialan itu. Mereka hanya keluarga angkatnya! Karena itulah, kehilangan mereka tidak ada apa-apanya bagi dia. Kau paham, Arcega?”
“Tidak, Ayah. Dia menyayangi mereka. Dia bahkan hampir membunuh dirinya sendiri tadi.” Arcega mencoba membujuk ayahnya, tetapi ayahnya malahan menamparnya kembali, “Kau mencegahnya bunuh diri? Kenapa? Seharusnya, kau membiarkannya. Jadi, kita tidak perlu turun tangan untuk mengakhiri hidupnya. Arcega, Ayah kecewa denganmu. Sekarang, masuk ke kamarmu. Kau dihukum selama seminggu tidak boleh keluar kamarmu.”
Pria tua itu segera menarik Arcega ke kamarnya dan segera menguncinya. Arcega memberontak, tetapi ayahnya jauh lebih kuat walaupun tubuhnya sudah mulai renta. Arcega mengetuk pintunya berulang kali dari dalam, mengucapkan kalimat-kalimat permintaan maaf, tetapi ayah Arcega tidak menggubris. Di dalam pikirannya, dia berkata, “Kali ini, kau harus benar-benar dihukum, Arcega. Kau mengecewakan.”
Sesaat setelahnya, dia dengan cepat mengambil pusilli-nya, menekan serangkaian tombol dan berkata ketika panggilan itu telah tersambung, “Siapkan mobil dan beberapa penjaga. Kurang dari 10 menit lagi, kalian sudah harus sampai di sini.”
***
“Sial!” Arcega membanting tubuhnya ke kasur di belakangnya dengan keras. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas matanya, menutupi pandangannya dari langit-langit kamarnya yang berwarna cokelat pucat. Setelahnya, dia mengangkat tangan kanannya itu dan mengepalkannya dengan cepat, tidak lupa dengan meninju udara di atasnya. “Aku harus melakukan sesuatu!”
Lelaki itu dengan cepat mengambil sebuah barang yang terbuat dari kaca di kamarnya itu dan menghancurkannya, mengambil salah satu potongannya dan melukai dirinya sendiri. “Cara ini memang ekstrem, tetapi pasti berhasil.”
***
Lelaki itu mulai bergerak gelisah, setelah beberapa saat, iris birunya mulai jelas, tidak lagi tertutup kelopak matanya. Perlahan, dia bangkit. Kalimat pertama yang lolos dari bibir pucatnya ialah, “Di mana ini?”
Irisnya berkeliling, menjelajahi tempat itu. Dindingnya berwarna putih, lantainya, sepertinya tersusun atas marmer putih. Atapnya, juga berwarna putih. Namun, di tiga dinding yang ada di depan, kiri, dan kanannya, ada hal-hal berbeda yang melekat di sana. Pertama, sisi kirinya, ada pintu yang juga berwarna putih dengan pegangan berwarna emas, dan beberapa rak terbuat dari kaca yang melekat di dindingnya. Jika dilihat dari tempatnya sekarang, sepertinya rak-rak itu hanya memiliki panjang maksimal 50 cm, lebar dan tinggi 20 cm, karena di dalamnya, ada lumayan banyak bingkai foto yang tersusun rapi. Kedua, dinding di depannya, dinding ini dihiasi meja berwarna perak mungkin sepanjang 3 meter dan lebar 2 meter yang dipenuhi alat-alat atau apa pun yang tidak lelaki itu ketahui. Ah, jangan lupakan rak yang sepertinya sama seperti di dinding kiri yang berada di bagian atas dinding. Mungkin berjarak sekitar 50 cm dari atap. Terakhir, dinding kanan dipenuhi oleh papan tulis besar yang penuh dengan coretan lengkap dengan alat-alat yang menunjang pemakaiannya dan rak, sepertinya lebih layak disebut lemari. Lemari itu lagi-lagi berwarna putih, dengan pegangan berwarna abu-abu.
Lelaki itu merasa tertarik, dengan cepat ia menuju dinding yang semula di kanannya itu. Meninggalkan dinding yang melekat kasur tidak terlalu besar yang jika kasurnya di angkat dari horizontal ke vertikal akan menyatu dengan dinding. Ya, ada sebuah cekukan ke dalam sebesar kasur itu di dinding yang baru saja ditinggalkan oleh lelaki itu.
Ketika sampai, netra biru lelaki itu dengan cepat menelusuri papan tulis yang penuh akan coretan yang ia tidak pahami. Namun, ada sesuatu yang menarik tertempel di sana, dan sepertinya masih baru ditempel, karena tidak berdebu. Segera, dia mendekat, melihat apa yang tertulis di secarik kertas yang tertempel di sana.
Di laci bawah meja tengah ada bahan makanan yang baru saja kubeli. Jangan ke luar sampai tengah malam, Efren. Ayah Arcega mencarimu.
Dari Reseau, seseorang yang tidak perlu kau ketahui, 28 Maret 2347.
Lelaki itu, Efren, menghela napasnya dengan bingung, tetapi sudah diputuskan, dia akan tetap di ruangan ini sampai malam tiba, sedangkan sekarang, masih subuh. Dia hanya pingsan sekitar 10 menit, dan juga, baru disadarinya, ruangan ini lengkap. Dia terlalu memperhatikan yang lain, hingga tidak menyadari bahwa meja yang berada pas di tengah-tengah ruangan itu lengkap dengan alat masak, dan di dalam laci yang berada pas di bawah meja itu ada bahan makanan, sesuai apa yang dikatakan oleh seseorang yang bernama Reseau yang membawanya ke ruangan ini.
Setelah puas melihat-lihat apa saja makanan yang ada, dia kembali melihat-lihat di dinding yang menjadi pusat perhatiannya pertama kali. Dinding berpapan tulis. Kali ini, dia membuka lemari yang ada di sana, dan menemukan tumpukan buku di dalamnya, sambil berpikir, “Jika aku ditinggalkan di sini, itu artinya aku boleh melihat-lihat apa yang ada di sini, bukan? Semoga pemilik ruangan ini tidak melihat sewaktu aku melihat-lihat isi ruangan ini.”
Dengan segera, jemarinya meraih salah satu buku, yang sekilas terlihat familier. Bukunya sedikit berdebu, dengan sampul kecokelatan tanpa tulisan. Namun, di halaman pertama, Efren tahu kenapa buku itu terlihat familier. Buku itu ... milik Jeffrey Isagani, sesuai apa yang tertulis di halaman pertamanya, dan Efren tahu, siapa yang bernama Jeffrey Isagani. Ayah angkatnya.
Bukan, tidak hanya fakta buku dan ruangan ini adalah milik ayahnya, ada yang lebih lagi mengejutkan. Halaman kedua buku itu. Walaupun sedikit samar, Efren sedikit mengerti, dan jika benar, dia kecewa. Sangat-sangat kecewa.
Namanya Efren, aku menemukannya terlantar di jalanan sekitar sebulan yang lalu. Awalnya, aku pikir dia hanya anak biasa, dan aku akan merawatnya hanya sampai aku menemukan tempat yang akan menampungnya. Namun, hari ini, aku akan merawatnya sampai akhir, karena aku baru saja tahu, dia spesial. Dia adalah orang yang akan menjadi pelengkap apa yang kurang dari penelitianku. Terima kasih, siapa pun yang mendatangkannya padaku.
4 April 2340, Jeffrey Isagani.
Udah namatin novel zor the teenager eh ternyata ada kelanjutannya disini, telat tau :')
Comment on chapter 0.1 | Bonus!