Halo, semuanya. Maaf, saya tidak update Zo'r sebulan, saya sibuk real life, maaf, ini juga harusnya kemarin, tetapi tidak sempat. Maaf, ya. Chapter 10 sudah setengah, jika besok kelar, saya langsung post, deh! Maaf, ya, saya libur malah rl makin padat bukannya luang wkwk. Selamat membaca!
28 Maret 2347
Roma, Italia
Lelaki beriris ungu itu memandang sayu rumah, tidak, lebih tepatnya, tempat yang menampungnya sejak ia berada di Roma. Sebelum jemarinya meraih gagang pintu, dia mengambil ponselnya, mengetik sebuah kalimat di grup chat Zo’r yang dibentuk sesaat sebelum mereka berpisah di Bandara Jakarta. Aku sampai di Roma.
Melihat pesannya sudah bertanda centang, deliver, dia menyimpan ponselnya. Siap berhadapan dengan masa lalu yang ia pikir akan ditinggalkan, musnah bersama mimpinya. Dia menundukkan kepalanya, beberapa detik kemudian, dia kembali mengangkat kepalanya, membuang semua ekspresi sebelumnya, menggantinya dengan yang baru, ekspresi ceria khasnya, Vilfredo Lasfar.
“Aku pulang!” Teriaknya ketika pintu telah terbuka, mengagetkan orang yang ada di dalam, adik tirinya, Viorel Costia. Dengan terburu-buru, laki-laki berparas menawan dengan rambut seputih salju, sewarna dengan irisnya, menghampiri kakaknya yang menghilang hampir satu tahun itu. “Kak! Ke mana saja kau? Bukannya, hanya lomba? Mengapa sampai satu tahun?”
“Bukankah, sudah kakak bilang? Itu lomba berskala internasional, bukan lagi berskala negara, kakak harus belajar lebih keras, dan kebetulan ada seorang donatur kampus kakak yang membiayai kakak belajar ke tempat pelatihan, ya, walaupun lama, tetapi hasilnya sebanding. Maaf, ya, kakak tidak tahu kalau sampai setahun, seharusnya kakak mengajakmu saja. Maaf, Vior.” Kebohongan yang juga tercampur kebenaran itu meluncur mulus dari bibir Vilfredo, masuk ke telinga Vior, dan setelah beberapa detik diam, Vior akhirnya merespon dengan sebuah loncatan dan teriakan. “Jadi, maksud kakak, kakak berhasil menembusnya?”
Vilfredo tertawa, sambil mengangguk, dia meraih ranselnya, mengambil sebuah map hitam yang dilapisi tulisan emas, World Sains Olympic, dengan logonya yang bercetak warna kuning langsat yang segera diberikannya kepada Vior. Vior mengambilnya, dan dengan mata berbinar, dia melihat isinya. Sebuah piagam penghargaan, bertuliskan nama kakaknya sebagai juara 2.
“Maaf, kakak belum bisa mengalahkan peringkat satu. Dia lebih unggul satu poin dari kakak.” Vilfredo menggaruk rambutnya, sambil mengalihkan pandangannya dari Vior, takut adiknya kecewa. Namun, adiknya malah memeluknya. “Tidak apa, Kak! Bukankah yang pasti kakak bisa meraih nomor dua? Itu sangat keren!”
Vilfredo menyengir, seharusnya dia menyisihkan lebih banyak waktu untuk belajar selama di Iustum. Dia mengikuti lomba itu atas persetujuan Iustum, karena dia mengabari adiknya dia lomba ketika disuruh Iustum. Selama di Iustum, dia hanya belajar dua sampai tiga jam sehari. Sebelum tidur 1 jam, pagi setelah mandi 1 jam, dan terkadang sehabis makan siang 1 jam, ya, walaupun terkadang yang terlaksana hanya jadwal malam karena ia harus pelatihan kemampuannya bersama Diana. Tatapannya berubah sendu sebentar dan kembali seperti semula, setelahnya dia balas memeluk adiknya. “Terima kasih …, Vior.”
"Oh, ya, Kak, kemarin ada surat untuk kakak. Tidak ada nama pengirim, hanya ada nama kakak dan alamat." Vior berkata, sambil berlari mengambil surat yang ia maksud. Surat beramplop putih polos.
Tangan Vilfredo dengan cepat meraihnya, membuka perlahan agar surat di dalamnya tidak robek. Surat itu ditulis di kertas A4 polos. Tulisannya rapat, kecil, dan Vilfredo tahu siapa yang menulis, bahkan sebelum membaca bagian paling bawah, nama penulis.
Halo, Vilfredo.
Aku tidak akan menyapa dengan selamat-selamat itu, karena aku tidak tahu kau akan membacanya kapan. Jadi, langsung saja.
Terima kasih sudah menjadi lawanku di lomba kemarin. Tidak kusangka, kau bisa kalah. Hahaha. Padahal aku berpikir aku yang akan kalah. Kau kurang belajar, ya, Pemuda Jenius? Atau kau tidak belajar? Ya, kau bisa menjawabnya sendiri.
Aku hanya ingin bertanya, kenapa kau membohongi adik tercintamu itu? Kau tahu, aku melihatmu di Jakarta. Ya, padahal lombanya ada di New York, dan seharusnya kau ke Roma dari New York, bukan dari Jakarta. Apa yang kau lakukan di Indonesia? Ah, sebenarnya aku tidak peduli, sih. Namun, bagaimana jika adikmu tahu?
Temui aku di Museum of Rome. Jam 12 siang, tanggal 25 Maret. Asal kau tahu, aku punya banyak hal yang bisa dibocorkan ke adik tercintamu itu. Bukan hanya hal itu, tetapi juga mengenai rahasiamu, rahasia terbesarmu.
20 Maret 2347,
Anca Laviana V.
Rahang Vilfredo mengeras, dalam hati dia mengutuk. "Dasar, Anca. Tahu sekali kau kelemahanku. Lagipula, kenapa aku pernah mempercayainya?"
“Kenapa, kak?” Vior bertanya, lelaki albino ini menatap kakaknya, menunggu jawaban. Segera, Vilfredo berbohong. “Tidak apa, Vior. Kakak mau pergi ke museum, ada janji nanti jam 12, Vior mau ikut?”
Kau ingin memberitahu Vior, tetapi bagaimana kalau Vior mengetahuinya sendiri? Batin Vilfredo. Mungkin aku bisa memberitahu Vior terlebih dahulu? Setidaknya dia tidak mendengar dari yang lain, tidak lebih sakit, bukan? Atau ... aku tidak tahu. Kenapa otakku mendadak buntu? Aku tidak bisa memikirkan apa pun!
Vilfredo menghela napasnya, dia menatap Vior, lalu berkata. "Vior, kau ingat Anca?"
"Kak Anca? Tentu saja. Kak Anca begitu baik, dia yang mempertemukan kita berdua, Kak. Ada apa?" Vior tersenyum manis. Vilfredo menatap Vior serius, Vior yang melihat langsung berubah takut. "Ke-kenapa, Kak?"
"Kurasa, kau harus tahu kenyataan selama satu tahun kakak menghilang, Vior." Vilfredo menatap tajam adiknya, sambil melanjutkan kalimatnya. "Kau boleh marah nanti, kau boleh membenciku, tetapi dengarkan, kau harus tahu. Aku tidak bisa membiarkanmu mendengar dari Anca, yang sebenarnya juga tidak tahu apa yang terjadi."
***
"Jangan diam, Vior. Kau boleh marah jika kau mau, terserah apa yang akan kau lakukan, tetapi itulah faktanya. Maaf." Vilfredo menatap Vior yang memalingkan muka sejak beberapa menit yang lalu. Vior berdeham, dia berbalik perlahan. "Egoiskah aku …, jika aku marah?"
"Tidak, Vior, tidak. Silakan, marah saja sepuasmu." Vilfredo berkata pelan. Vior berdiri, mendekat ke Vilfredo yang ikut berdiri dari duduk mereka, ya, sebelum Vilfredo bercerita, Vilfredo mengajak Vior duduk berhadapan di depan meja. Ketika berjarak sekitar setengah meter dari Vilfredo, Vior menunduk. "Benarkah? Bukankah …, itu egois? Jika bukan karena Kakak dan teman-teman kakak, apakah kita masih akan berdiri berhadapan seperti ini? Apakah kita masih bisa berinteraksi dengan orang lain? Tidak, Kak. Tidak. Egois jika aku marah pada Kakak, yang sudah menyelamatkan dunia bersama teman-teman kakak. Bukan begitu?"
"Bukan kakak, Vior, tetapi teman kakak. Neo. Dia mungkin seumuran denganmu. Ah, tidak. Dia memang seumuran denganmu. Jangan tahan, Vior. Marah saja jika kau mau. Tidak ada salahnya marah, Vior. Ini bukan salah kakak, kau berhak marah." Vilfredo tersenyum seperti biasanya. Vior menapar Vilfredo, dia menggeram. "Daripada itu, aku lebih marah dengan senyumanmu itu, Kak! Bisakah …, bisakah kau tersenyum tulus? Bisakah kau tidak menutupi perasaanmu, Kak? Aku tahu, kau tidak benar-benar tersenyum. Fake smile, bukan?"
"Aku hidup bersamamu sudah lebih dari 5 tahun, Kak. Tidak bisakah kau menunjukkan dirimu yang sebenarnya? Aku ini adikmu! Aku tahu, ya, aku bukan adik kandungmu, tetapi tidak bisakah kau jujur padaku, Kak? Berhenti bersandiwara, atau sebaiknya, kau pergi saja menjadi pemain teater! Kau bisa bermain peran sepuasmu bukan jika menjadi pemain teater?" Vior berucap marah. Vilfredo terdiam, tidak menyangka Vior tahu. Dia pikir, tidak ada yang tahu selain Anca, kenapa hanya Anca yang tahu? Satu-satunya alasan hanyalah …, karena Anca yang menyebabkannya bermain peran, ya, karena Anca …, di masa lalu.
Woooowww. Mantap. Eh book 2? Satunya?
Comment on chapter 0 | Prolog