Maaf baru melanjutkan setelah sekian lama, selamat membaca^^
28 Maret 2347
Oslo, Norwegia
“Ambil ini.” Acacia menyerahkan secarik kertas ke Lucas, sebelum Lucas sempat bertanya apa itu, Acacia terlebih dahulu menyebutkan, “Ini alamat rumahmu yang baru, sepenuhnya ditanggung oleh Iustum, kebutuhan regularmu akan diperbarui stoknya setiap kau kembali ke Iustum. Untuk uang sakumu, kami akan mengirimnya secara regular ke rekening yang tertera di sana. Atas nama saya, tetapi itu punyamu.”
Acacia menyodorkan sebuah kartu, dan sebuah amplop putih berlogo universitas. “Ini kartu identitasmu di kampus, di amplop ini ada semua tentang kampusmu. Untuk mengejar ketinggalan setahun, kami sudah menjadwalkan kelas tambahan di rumah untukmu setiap hari, jamnya ada di kertas yang tadi saya berikan, mulai dari besok. Jika ada pertanyaan, hubungi saya, nomor saya tertera di kertas yang sama. Sekarang, saya harus pergi, sampai jumpa.”
Lucas mengangguk, lalu menyaksikan punggung Acacia yang menjauh, melihat ke arah mana perempuan itu berjalan, Lucas tahu tujuan selanjutnya perempuan itu; Prancis. Membuat Lucas teringat akan Fetaneo ..., yang sudah menghilang dari hidupnya, hidup Zo’r, dan dunia. Sedih, tetapi Aksel lebih dahulu menimpali menenangkan, sekaligus memberikan pertanyaan. “Berhenti mengingat apa yang sudah terjadi, pikirkan saja hidupmu. Lagi
pula, kau tidak ingat, bagaimana sesuatu terjadi dulu.”
“Aku kembali.” Lucas tersenyum sambil berjalan menjauh dari bandara, sejenak, dirinya menghirup udara Oslo yang dirindukannya, seolah itu adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya, membuat Aksel menertawainya. “Maaf, sepertinya kau mulai tidak waras.”
“Akhir-akhir ini kurasa kau lebih sering muncul, Aksel. Ada apa?” Lucas berbisik, tetapi dia tahu Aksel pasti bisa mendengarnya dengan jelas. Aksel tergelak, dengan sindiran, Aksel berhasil mendiamkan Lucas, membuat kepribadian lainnya itu mendengkus dan melanjutkan perjalanan mereka. “Akhir-akhir ini? Bukankah ..., baru hari ini, ya? Lagi pula, memangnya aku tidak boleh berbicara, begitu?
Destinasi pertama mereka ialah kampus yang akan menampung mereka, Laere University. Bangunannya klasik, bercat cokelat krem, dibanding universitas di era modern, Laere University lebih mirip bangunan istana zaman dulu yang lama sekali. Namun, Lucas menyukainya, begitu juga Aksel. “Indah sekali, bukan, Lucas?”
Setelah mengurus apa saja yang diperlukan, dan keterangan yang memang harus diketahuinya dari rektor Laere University, Aksel dan Lucas memutuskan berjalan-jalan, mengunjungi kelas-kelas, perpustakaan, kantin, dan apa saja yang ada di sana. Namun, kebahagiaan mereka sirna ketika melihat seseorang, tidak, bukan mereka, hanya Lucas.
Lucas panik, melihat sosok perempuan berambut sebahu berwarna cokelat dengan mata keabuan yang fitur wajahnya sangat Lucas kenali walau sudah lama sekali sejak Lucas melihatnya ... ketika dia pertama kali berada di Norwegia. Seseorang yang merupakan saksi hidup kejadian yang selalu berusaha dia lupakan bagian akhirnya. Asta.
“Tunggu!” Seorang anak perempuan menjerit, mengejar anak lelaki yang berlari kencang. Tampak tidak takut, gadis kecil itu mempercepat larinya, kian mendekati Lucas yang baru berumur 9 tahun itu. Lucas yang menyadarinya semakin ketakutan dan segera mempercepat larinya, tetapi tidak bisa dan malah berakhir tersandung. Tidak ada keanehan, kedua lutut Lucas berdarah, tetapi kenapa bisa mobil tadi penyok?
“Jangan lari lagi, kemarilah. Ibuku akan membersihkan lukamu.” Tunjuk gadis kecil yang mengejar Lucas ke luka-luka yang diterima Lucas. Lucas memang tidak menyadarinya, selain kedua lututnya yang terluka, punggungnya sempat terluka karena tabrakan tadi. Tentu saja, Lucas tidak menyadarinya karena itu terletak di belakang. Lucas menggeleng, sambil mencoba bangkit. Dia meringis pelan, kala luka lututnya terasa perih. Pada akhirnya, Lucas menerima ajakan gadis kecil itu, bagaimana pun dia masih kecil, rapuh dan mudah merasa sakit.
“A-asta?!” gumam Lucas tanpa sadar. Dia menggeleng pelan, lalu membatin. Tidak masalah, Lucas. Dia tidak melihatmu, dan apa yang harus kau lakukan ialah menghindarinya, pergi perlahan-lahan dari tempat ini.
Lucas mundur perlahan sambil mengawasi gerakan Asta. Bagus, belum ada tanda-tanda bahwa Asta melihatnya. Melihat apa yang dilakukan Lucas, Aksel terkekeh, lalu mengambil kendali tubuh Lucas sejenak. Lucas pikir, Aksel akan membantunya lari dari situasi itu, tetapi sebaliknya, Aksel malah dengan sengaja memanggil Asta, dan setelahnya Aksel mengembalikan kendali tubuh Lucas. “Asta!”
“Apa yang kau lakukan, Aksel Sialan?!” geram Lucas, mengundang tawa Aksel yang entah mengamati dari mana. “Sejak kapan kau bisa menyebut kata sialan? Bukankah kau selalu menghindari kata-kata sejenis itu? Ya ampun Lucas, kau kurang cocok melantunkan kata-kata seperti itu. Kau terdengar lucu.”
Lucas ingin menjawab ledekan Aksel, tetapi sayang sekali. Asta sudah melihatnya dan menyapa balik serta hendak menghampiri Lucas, menyebabkan Lucas segera mengajak kakinya berlari dari tempat itu. Menghindari Asta secepat yang ia bisa, tetapi Asta yang bingung juga terus mengikutinya hingga mereka berhenti di sebuah gang kecil karena kelelahan berlari. Asta berjalan sempoyongan menuju Lucas yang tidak kuat berlari lagi. “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memanggilku tetapi menghindariku? Kau Lucas, bukan? Lucas yang itu?”
Lucas enggan menjawab, lebih memilih membuang muka. Asta mendudukkan dirinya di samping Lucas, rambut sebahunya membelai pipi Lucas karena dimainkan angin. Dia sedikit menunduk. “Kupikir aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi, Lucas. Katakanlah bahwa aku merindukanmu, kau satu-satunya temanku dulu. Kau ke mana saja selama ini?”
Lucas diam. Takut masih menyelimuti tubuhnya. Asta memang baik, Lucas tahu itu. Namun, berada di dekat Asta hanya akan mengingatkan Lucas akan masa lalunya, dan semua hal yang berkaitan dengan kemampuan anehnya. Sementara itu, Asta terus bercerita, “Kenapa kau selama ini menghindariku? Aku …, maaf, aku seringkali mengikutimu di sela-sela waktu luangku, mencari waktu untuk berbicara kembali padamu. Aku terkejut, ketika kau tadi memanggilku.”
Asta tertawa hambar, netranya memancarkan kekosongan yang dapat ditangkap Lucas. “Aku …, aku lebih terkejut lagi waktu itu. Aku melihatmu di kelasmu …, dibawa masuk ke sebuah volant oleh seorang perempuan. Padahal, waktu itu aku ingin menyapamu. Kupikir, kau hanya sakit, atau pingsan, dan perempuan itu membawamu pulang, tetapi aku salah besar.”
“Kenapa waktu itu aku tidak masuk? Kenapa aku terlalu terpaku dengan apa yang ada dipikiranku? Nyatanya, apa yang kupikirkan salah, kau menghilang setelah itu. Tidak pernah kembali lagi. Bahkan rumahmu kosong, beberapa teman sekelasmu sempat datang untuk mencarimu. Kau ke mana saja, Lucas? Kenapa tidak mengabariku?” Asta berhenti mendadak, kemudian suaranya yang kental akan kesedihan kembali menyapa telinga Luca, “Ah ya, memangnya aku siapa sampai kau harus mengabariku?”
“Kau temanku.” Tanpa sadar Lucas menjawab, membuat Asta seketika menoleh ke Lucas. “Maaf, Asta. Aku …, aku tidak ingin mengingat masa laluku, terutama kemampuan tidak normal yang kumiliki ini, dan keberadaanmu … mengingatkanku atas semuanya.”
“Jika begitu … aku akan pergi.” Asta menunduk kecewa. Namun, Lucas menggeleng pelan. “Tidak perlu, kurasa aku harus mulai menerimanya. Aku hanya akan menjadi manusia yang menyusahkan jika aku tidak bisa mengatasi permasalahanku sendiri. Terima kasih, Asta."
Udah namatin novel zor the teenager eh ternyata ada kelanjutannya disini, telat tau :')
Comment on chapter 0.1 | Bonus!