KUTU-KAN!
Akh! Aku terperangah. Meski telah lelah jemariku menari di atas keyboard laptop yang menyala redup, namun nyatanya di monitor tak nampak adanya suatu huruf. Setiap kalimat yang kutuangkan dalam jalinan sebuah paragraph tak satu pun yang terbaca. Semua menguap! Entah kemana!
Rangkain kalimat yang telah kususun dengan memakai diksi yang tinggi, semua jadi tak berarti. Kalimat-kalimat puitisku tiba-tiba tertepis. Habis! Yang tersisa tinggalah deretan kata acak yang terbaca dan tak punya arti apa-apa. Gaya bahasa mendayu yang biasanya mampu melambungkan imaji pembaca, sekarang terlihat sebagai kalimat ambigu yang sulit ditemui maknanya.
Tiap dialog dan narasi dari paragraph yang kubuat, tak lagi ada kesinambungan. Alur yang telah kutata hancur berantakan. Paragrapnya jadi mbulet kayak benang ruwet. Sehingga amanah tentang kebajikan yang ingin kusampaikan secara tersirat menjelma jadi kalimat-kalimat protes bernada menghujat. Bahkan ada baris-baris yang hanya berisi caci maki.
Duuh! Aku terkulai bagaikan bujangan lapuk yang gagal onani. Konak yang sudah mencapai ubun-ubun harus terhempas lantaran tubuh sudah keburu lemas sebelum rudal terlepas. Dengan serampangan kugapai tumpukan kertas sketsa naskah yang kini telah lusuh. Tak ada yang bisa kuharap lagi dari semua itu. Aku hanya bisa melongo. Persis kebo bego!
Sungguh! Sebagai penulis aku merasa telah gagal. Kutukan kutu kata telah melenyapkan semua kepiawaianku dalam menyusun kalimat. Kutukan kutu kata telah merenggut dunia menulisku dengan mencaplok habis semua kata-kata yang aku mau.
Dalam kejengahan yang membelenggu separo jiwaku, aku coba mencari sesuatu hal yang baru lewat setumpuk kitap suci yang telah diturunkan oleh para nabi. Kukumpulkan serangkaian kata-kata dan kalimat bijak yang kuharap akan mampu menjadi daya pendobrak. Kusalin dan kucatat setiap firman Tuhan yang mengajak manusia menyusuri jalan keimanan, tapi kutu-kutu keparat yang telah menguasai segenap urat nadiku justru menggerakkan tanganku untuk menulis hal-hal yang berbau maksiat.
Otakku jadi bebal. Pikiranku jadi kacau. Segala hal yang aku lakukan jadi melenceng jauh dari apa yang kuinginkan. Aku ingin warna hitam, tapi yang muncul justru putih. Aku hendak menuju ke timur tapi kakiku justru melangkah ke barat. Aku seolah berdiri di titik nadir yang paling menjijikkan. Mukaku seperti belepotan tletong kebo atau kotoran sapi.
Ini pasti perbuatan kutu kan? Kutu yang telah sekian lama mendendam padaku lantaran keberadaannya senantiasa aku singkirkan. Jujur aku sering menyemprotkan obat sejenis racun pada tumpukan buku agar bebas dari serangan kutu. Aku sering semprotkan baygon di tempat tidur dan kasurku agar kutu kasur pada mampus. Dan sekarang pasukan kutu itu pada dendam padaku! Kutu-kutu itu hendak membunuhku dengan perlahan.
Oh, tidak!
Aku tak mau menyerah pada kutu kan? Aku harus melawan. Sebagai orang yang bergantung hidup pada kumpulan rangkaian kata-kata, aku harus mengembalikan kejayaan kata-kata bijak agar dapat dipakai sebagai panutan bagi manusia.
Ngeri aku membayangkan kutukan kutu itu! Tanpa kutukan kutu kata saja bangsaku sudah pada keblinger dan termakan hoax, apalagi jika kutukan kutu kata itu sudah melanda? Bisa jadi bangsaku akan jadi robot-robot bernyawa yang segala kata dan tindakannya tergantung pada orang yang pegang remotenya.
Tak menutup kemungkinan tanah tumpah darahku bakal tergadaikan ke bangsa asing jika kutu kata yang rakus telah memakan hati dan otak manusia. Aku tak mau kutukan mengerikan itu jadi nyata. Biarlah hanya aku yang kehilangan kata-kata asal bangsaku tetap selamat.
Tak tahan dengan gigitan kutukan kutu kata yang makin beringas, aku jadi bertindak ngawur di luar batas. Dengan geram kuangkat laptop yang bermonitor redup lalu kubanting sekuat tenaga. Braakkk! Sekali hentak, laptop itu hancur berantakan. Protol sudah setiap bagiannya dan berserak di lantai.
Mataku nanar mengamati sekitar kakiku. Tuts-tuts bertuliskan huruf abjad dari A sampai z yang tadinya tak tampak, serta merta bermunculan dengan sendirinya. Mereka menari-nari di lantai dengan gerakan mengejekku. Sambil berputar mengelilingi kedua kakiku yang gemetar, kutu-kutu keparat itu terus mencemooh diriku sebagai orang kalah.
Ya, aku telah kalah. Dan semua ini karena kutu kan? Tidak! Aku tidak rela kepandaianku menyusun kata dirongrong oleh kutu kata. Aku akan terus berjuang dan berjuang, mengembalikan setiap suku kata yang akan aku kumpulkan dan aku susun menjadi kata-kata bijak dan bermakna agar kelak bisa jadi tauladan untuk anak cucu.
Satu harapku, anak cucuku bukan kutu kan? Aku ingin melahirkan generasi yang pandai mengolah kata bijak dan bermakna. Bukan kata jorok atau caci maki yang tak berguna.
Semoga!
@[dear.vira] trims sudah mampir, tunggu kunjunganku ya
Comment on chapter PRAKATAKUTU