Ric : sekarang
Pemuda itu tampak terampil memutar-mutar adonan martabak dari ukuran sekepalan tangan menjadi seluas lapangan tempat dia mangkal. Isian telor bercampur dengan daun bawang segera dia tuang ketika adonan kulit telah mengapung dipenggorengan datar. Solet tak segan lagi beraksi menari melipat sisi-sisi melebar hingga terbentuk segiempat sama sisi. Selagi menunggu martabak telor matang, tangannya mulai mengolah adonan berikut demi memenuhi pesanan pelanggan yang lain.
Sudah tiga bulan Ric memarkirkan mobil pick-up berlabel Martabak Pwerto Rico di Alun-Alun Banyumas. Martabak spesial buatannya tidak kalah dari martabak yang telah punya nama San Fransisco. Bahkan martabak manisnya terasa lebih legit menggigit.
Sudah ada empat antrian menunggu. Berkali-kali Ric menekankan agar para penikmat martabak bersabar menunggu giliran. Maklumlah, dia bekerja sendiri. Hasil penjualan martabak belum bisa menggaji seorang asisten. Laba yang dia dapat masih dikumpulkan untuk membayar sewa mobil bak terbuka.
Si pemilik tidak mematok harga sewa mobil itu. Beliau hanya mengatakan akan memberikan kendaraan operasional martabaknya pada Ric jika setoran tiap bulan rutin terbayar selama lima tahun. Bagi Ric ini serupa cicilan ringan, meski demikian dia selalu berusaha membayar dengan tarif standar.
Tahun pertama usaha, Ric berjualan martabak di depan masjid besar kampus. Martabaknya laris manis oleh para mahasiswa perempuan. Kadang malah ada yang nekat pin BB, akun FB dan instagram. Ric yang kala itu memang tidak memiliki HP hanya menggeleng menanggapi permintaan pelanggan penggemarnya.
Martabak Ric semakin populer manakala ada seorang yang iseng memotretnya kemudian memajang di akun sosial media. Foto berjudul Penjual Martabak Ganteng membuahkan jutaan like dan kedatangan cewek-cewek yang penasaran dengan wajahnya.
Lama-lama Ric merasa jengah. Dia tidak puas dengan martabaknya yang laris. Deretan pengunjung yang mengitari gerobak lebih antusias pada penampilannya daripada hasil karyanya. Malah pernah ada seorang mahasiswi tidak mengambil pesanan yang telah dia bayar dengan alasan sudah kenyang hanya dengan melihat dirinya.
Wajah Ric yang bersih memang menyilaukan para gadis. Penampilan cueknya dengan mengenakan kaos oblong dan celana jeans robek-robek kadang membuat banyak wanita histeris. Dua belah tangannya yang berlukiskan kepala cobra pada tangan kanan dan ekor di tangan kiri tak menyurutkan decak para fans. Sebenarnya itu merupakan gambar ular cobra secara penuh yang melingkar dari tangan kanan menuju arah bahu. Badan cobra terbelah kepala Ric, meluncur turun membentuk ekor pada sisi lengan sebelah kiri.
Martabak yang laris ternyata tidak membuat Ric senang. Dia justru kecewa. Para pembelinya seolah tidak menghargai cita rasa martabaknya. Dalam pikiran Ric tertanam bahwa dia menjual martabak, bukan menjual tampang.
Sesuai rencana awal ingin berjualan memakai mobil, imaji Ric berkelana. Bukan berjualan keliling seperti penjual tahu bulat, sebagaimana konsep pembuka saat menemukan mobil pick up tua yang nyaris merana. Ric bemaksud berjualan martabak melompat dari satu tempat ke tempat lain. Dengan bantuan seorang teman dan setelah meminta ijin si empunya pick up, Ric menyulap mobil bak terbuka hitam menjadi gerobak martabak Pwerto Rico. Tengah bak pick up diberi tebeng berwarna dasar kuning dari alumunium berhias gambar martabak dengan aneka menu yang tersedia.
Ric telah berpindah tempat jualan ke Alun-Alun Purwokerto. Masuk tahun kelima, setelah berpindah-pindah di sekitaran Purwokerto dan Purbalingga, pick up jualan martabak Ric melayang ke Alun-Alun Banyumas.
“Masih lama, Mas?” tanya seorang pelanggan.
“Sabar ya, Bu. Setelah ini.” sahut Ric yang harus menguatkan ingatan urutan kedatangan pelanggan.
Ric melihat berkeliling, masih ada lima orang yang menunggu martabaknya. Kadang terpikir ingin mencari seorang asisten. Tapi saat teringat model penjualan martabak Pwerto Rico yang nomaden, kasihan juga kalau pengikutnya harus mengikuti cara hidupnya.
Dia memang memilih cara berjualan martabak berpindah-pindah. Dia menargetkan minimal dua tahun berjualan pada suatu tempat untuk menghindari kejenuhan. Setidaknya, dua tahun pertama Ric puas menjajakan dagangannya di Purwokerto. Tahun ketiga Ric merambah kota Purbalingga.
Ric sadar benar menjadi pendatang gerobak kaki lima pasti akan mendapat tentangan dari pesaing. Tak masalah, dia telah terbiasa mendapat berbagai tatapan tidak senang atau hunusan kata mengancam jiwa. Paling Ric hanya membalas mereka dengan tuturan bahwa rejeki itu sudah ada yang mengatur. Tidak mungkin tertukar atau berkurang hanya karena ada pesaing. Tergantung kualitas barang yang didagangkan, bukan?
“Mas, sudah menikah belum?” tanya seorang ibu yang tengah duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Ric sengaja menyediakan kursi plastik untuk tempat antrian.
“Belum, Bu.” jawab Ric sembari tersenyum ke arah si ibu yang berpenampilan tidak biasa, heboh, berlebih. Make-up-nya tebal, perhiasan yang dia kenakan seperti penjual emas, ramai kiri-kanan ditangan.
“Mau sama anak saya?”
“Maaf Bu, saya sudah ada seseorang.”
“Pacar?”
“Bukan, seseorang yang kelak akan saya lamar.”
“Pacar kan?”
Ric cuma menggeleng.
“Bilang pacar saja kok susah. Tapi anak saya cantik lho, bisa lihat dari saya.”
Tetangga duduk si ibu heboh langsung spontan melirik ke arahnya. Mereka pasti berpikir kecantikan anaknya sangat subyektif, yah, tentu dengan melihat gambaran dari si ibu penjual perhiasan itu.
“Sebaiknya anak ibu carikan jodoh yang lebih baik dari saya.”
“Ya sudah kalau tidak mau.” tiba-tiba ibu itu sewot.
Ric mendiamkan saja. Senyum tersungging dari mulutnya. Dia tidak mau debat kusir dengan pelanggan. Image keramahan ingin dia citrakan selain rasa martabak yang legit, gurih, mantap meski non MSG.
“Silakan, Ibu.” Ric mengulurkan martabak telor 2 kotak dan satu kotak martabak manis. “Terimakasih, selamat menikmati.” ucap Ric setelah mengulur uang kembalian pada ibu yang ingin menjodohkan dia dengan anaknya.
Ibu itu melenggang dengan angkuh menuju mobilnya.
Tidak cuma kali ini dia dilamar oleh para orangtua. Tato ular cobra rupanya tidak membuat mereka berpikir dua atau tiga kali untuk menyerahkan anak gadis sendiri. Pesona wajahnya sungguh luar biasa.
“Benar tuh Mas jangan mau sama anaknya. Emaknya saja begitu, bagaimana anaknya?” ucap pelanggan berikutnya. Seorang ibu muda yang memangku bocah berumur tiga tahunan.
“Bukan begitu, Mbak. Saya hanya merasa tidak pantas mendapat kehormatan itu. Saya hanya tukang martabak.”
“Mase terlalu merendah.”
“Bukan hanya itu saja. Kalau ibu itu tahu bagaimana saya, pasti dia jadi urung menjodohkan anaknya. Nanti malah gantian saya yang kecewa.”
“Bisa saja Mase ini. Tapi tadi Mase bilang sudah punya pacar, pasti pacarnya cantik.”
“Bukan pacar.”
“Iya deh, calon istri.”
“Belum juga, belum saya lamar.” Ric tersenyum malu-malu. “Dia juga gadis biasa, Mbak. Saya tidak lagi mencari pendamping yang cantik. Bosan mungkin sama yang cantik-cantik.”
“Ada-ada saja. Mase dulu pasti sudah terlalu sering gonta-ganti pacar. Dan semua pacar Mase pasti bening-bening. Makanya sekarang sampai bosan sama cewek cantik. Kalau saya masih single, jangan-jangan Mase naksir saya. Cewek biasa. Iya kan?”
“Mbake ini....” Ric tertawa bersamaan dengan bungkusan pesanan ibu muda itu terulur.
“Makasih, Mas.” sambutnya melenggang menggandeng anaknya.
Detik demi detik terus bergulir. Bulatan adonan tinggal menyisakan beberapa gelintir saja. Pelanggan satu dua masih terlihat duduk rapi pada kursi antrian.
Malam sudah semakin menua. Sesekali Ric memandang langit yang telah menjadi semarak. Tulisan menyala BANYUMAS berwarna merah pada pinggir tengah alun-alun tak lagi banyak menampakan bayang orang-orang yang berdiri di sekitar. Senyap.
Alun-Alun kota Kecamatan Banyumas memang tidak sehidup Alun-Alun Purwokerto. Jika malam telah mencapai puncaknya kota kecil ini menjelma kota mati. Seluruh warung atau rumah makan dan segala perbisnisan kandas pada pukul sembilan malam saja. Hanya dirinya dan sebuah warung tenda angkringan yang masih setia menunggui plang Banyumas.
Tengah malam Ric baru menutup gerobak pick up-nya. Memindah parkir mobilnya dekat Masjid Nur Sulaiman. Tentu setelah meminta ijin pada pengurus masjid. Membersihkan semua peralatan, kemudian bergelung di bawah meja masak bersisihan dengan aneka bahan martabak dan peralatan pendukung.
Pagi hari saat fajar menjelang, bersama kumandang adzan Ric telah duduk bersimpuh dalam masjid. Satu shaf tidak pernah lekang oleh jaman. Terus bertahan bahkan kadang berkurang. Nampaknya hanya Ric yang tetap setia datang memenuhi undangan adzan Shubuh selama tiga bulan ini.
Pukul enam pagi Ric mulai berjalan kaki menuju pasar yang berada kurang lebih satu kilometer dari tempat dia mangkal. Sambil menyelam minum air, belanja keperluan dapur gerobak sekalian berolahraga. Rasanya sungguh segar. Polusi masih belum ganas menebar teror racun-racun tak kasat mata.
Ric segera menuju lapak sayur langganannya. Tepat saat dia datang, sayuran segar baru saja turun dari mobil. Kadang Ric malah suka rela membantu menurunkan aneka sayur yang menggunung. Meski tak mengharap imbalan, Ric selalu mendapat harga diskon untuk pembelian daun bawang dan mentimun bahan membuat acar, sayur yang rutin dibeli tiap hari. Sementara cabai rawit, bawang merah, bawang putih biasanya tiga hari sekali Ric borong sekalian.
Setelah mandi dia membuat acar mentimun lalu di simpan dalam lemari es mini seukuran kotak TV. Menyiapkan adonan terigu, mencincang daun bawang, membuat bumbu martabak alami. Sisa waktu yang ada dia pakai untuk tidur atau membaca buku.
Tepat pukul tiga, gerobak pick up Martabak Pwerto Rico buka. Segala kesiapan aksi akrobat menggunakan adonan telah tertata pada tempatnya. Tinggal menunggu pelanggan datang, bersama aneka celotehan mereka.
Ric sangat menikmati pekerjaan itu. Bertemu dengan banyak orang, belajar dari setiap kerewelan pelanggan, pujian maupun simpati mereka. Dan yang pasti, kini dia punya penghasilan sebagai modal untuk melamar seorang yang telah lama menggugah hati.
Malam semakin dingin. Bulan purnama selalu menjadi biang dinginnya hawa. Ric menatap langit mencari purnama yang masih setia menemani. Seutas wajah tergambar jelas di sana.
@xies wkwkwk. keren kak idenya.
Comment on chapter Martabak Pwerto Ricobtw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^