Read More >>"> When Punkers Fall In Love (Perempuan Itu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Punkers Fall In Love
MENU
About Us  

Ric : dulu

Ric terbangun saat kakinya seperti ada yang menendang. Ketika dia membuka mata seorang perempuan terjerembab di atas kakinya.

“Maaf,” katanya cepat segera berdiri dan berlari menuju tempat wudhu.

Masih antara sadar dan tidak sadar Ric mencoba mencerna apa yang terjadi. Melihat sekitar, mengingat-ngingat di mana gerangan dirinya.

Saat ini dia masih setengah berbaring di balik tangga sebuah masjid. Tepatnya di cerukan anak tangga yang melingkar-lingkar ke atas. Hanya tempat itu yang Ric rasa hangat, mengingat arsitektur masjid terbuka dengan pilar-pilar besar. Dua buah tangga melingkar berada pada sisi sebelah kanan-kiri bagian depan.

Nampaknya perempuan tadi tersandung kakinya yang menjulur keluar dari penampang lintang anak tangga. Tubuh Ric rebah kembali, satu tangan dia silangkan di atas mata. Tiba-tiba ada orang yang menepuk bahunya.

“Mas bangun. Sudah Shubuh.” suara itu terdengar halus penuh wibawa.

Ric bergeming.

“Mas!” orang itu menggoyang tubuh Ric lebih kencang. “Ini bukan tempat untuk tidur, ini rumah ibadah.”

Merasa terganggu Ric menyingkirkan tangan yang menutupi mata. Seorang pria berumur setengah abad lebih berpeci putih menyungging senyum.

“Bangun, ambil air wudlu kita sholat Shubuh berjamaah.” kata Bapak itu.

“Saya tidak sholat.” gumam Ric kesal.

Baru saja matanya terpejam, sudah datang tiga gangguan berurutan berselang kurang lebih lima menitan. Pertama, suara adzan yang memekakan telinga, kedua gadis bermukena, lalu ketiga Bapak tua berjenggot putih ini.

“Bukan muslim?”

Ric menggeleng.

“Muslim?”

Ric menelengkan kepala.

“Baiklah,” Bapak itu berdiri. “Kami akan melaksanakan sholat Shubuh,” ucapnya lagi mengandung kata sebaiknya jangan tidur di sini.

Bapak itu berlalu menuju depan ruang masjid. Beberapa orang terlihat berdatangan mengisi barisan pada karpet yang terbentang memanjang berbanjar. Setidaknya terbentuk dua shaf tidak penuh sebelum imam mengumandangkan takbiratul ikram.

Ric memandang berkeliling, suasana masih remang-remang. Setelah memandang orang-orang yang tengah rukuk dan sujud, dia melangkah enggan menuruni lima anak tangga sebelum memijak tanah yang masih lembab.

Matanya beredar, bingung sejenak menentukan langkah sebelum akhirnya memutuskan satu tempat di salah satu sudut area masjid. Sebuah tempat duduk terbuat dari adukan semen melingkari pohon yang rindang. Tanpa berpikir banyak Ric memejamkan mata merangkai mimpi yang tadi terpotong-potong.

Mimpi yang bias dengan dunia nyata. Saat dia mulai berjalan bersama teman-teman baru, saat dia berlarian mengejar kendaraan yang akan membawa mereka ke suatu tempat, saat dia terjatuh dari mobil tumpangan, dan ditertawakan teman-teman yang telah melaju jauh meninggalkannya yang meringis kesakitan.

Sempat terbersit mana semangat equality, kebersamaan, setiakawan yang selalu mereka agung-agungkan. Manakala dia jatuh, tak seorang pun turun menolong atau mengurungkan pergi dengan mobil yang berhasil kami tumpangi.

Akhirnya setelah meredam linu badan dan hati, dia segera mencari tumpangan lain. Tak mudah memang, Ric harus berjalan hingga kiloan meter baru mendapat tumpangan yang mengarah ke barat.

Ketika sadar dia kini telah berada dalam sebuah masjid besar pada kawasan sebuah kampus di Purwokerto. Tiga kali gangguan, dan lagi-lagi badannya terguncang-guncang hebat.

Suara yang sama terdengar menggugah sadar. Ric langsung duduk setelah melihat berkeliling yang telah bermandi cahaya matahari.

“Rumahmu mana, Nak?” sapa Bapak berjenggot putih masih terdengar lembut namun tegas. “Kenapa tidak pulang?”

“Ah, rumah?” Ric menatap Bapak itu sekilas. Dia mengusap mukanya tiga kali untuk membuang aroma kantuk yang menggelayut. “Rumah saya jauh,”

Bapak itu berdiri meninggalkan Ric yang berkutat dengan rencana selanjutnya. Kemana nanti dia akan melangkah, kembali pulang atau berkelana ke jalanan mencari komunitas yang telah menaunginya hingga kemarin.

Ric berdiri lalu berjalan menuju pagar tanaman dari pohon teh-tehan setinggi dada orang dewasa yang terpotong rapi. Melongok hingar-bingar jalanan yang telah ramai oleh deru sepeda motor, satu dua pejalan kaki, sepeda penjual makanan keliling dan langkah gontai orang gila berpakaian compang-camping.

Orang gila itu mengingatkan Ric pada penampilannya sekarang. Celana jeans robek-robek, bahkan ada yang menganga dari betis hingga lutut. Rompi kulit yang pecah-pecah membalut kaus hitam yang telah memudar keabuan. Belum lagi sepatu boot-nya telah membentuk moncong buaya menganga.

“Mas!” Bapak itu muncul lagi memalingkan tubuh Ric ke arah masjid.

“Saya akan pergi,” ucap Ric seakan paham maksud kedatangan si Bapak hingga ketiga kalinya. Langkah kaki telah terayun seiring cegah panggilan dari orangtua reseh itu.

“Tunggu!”

Ric membalik badan dengan jengah. “Tenang Pak, saya tidak akan datang kemari lagi.” kata Ric sambil berjalan mundur.

“Sebaiknya bersihkan badan dulu.” katanya seraya mengulurkan sebuah plastik hitam. “Sebelah sana!” tunjuknya pada arah berlawanan dari Ric Berdiri.

Bapak itu berjalan mendekat masih dengan mengacungkan tas plastik hitam. Mau tak mau Ric menerima meski ragu-ragu. Tas plastik telah berpindah tangan. Ric spontan memeriksa isi bungkusan tersebut. Tampak seperangkat pakaian berhimpitan dengan handuk kecil, sikat gigi dan sabun.

“Terimakasih,” ucap Ric pelan.

“Saya Pak Abu.” Bapak itu memperkenalkan diri menanti jabat tangan Ric.

“Ric,” sahut Ric berusaha membalas senyum Pak Abu.

“Mari saya antar.”

Ric mengikuti Pak Abu menuju tempat yang tadi ditunjukkan untuknya. Mereka mengambil jalan melintas masjid sebelah kanan, melewati pintu masuk masjid terbuka. Tiba pada anak tangga di ujung utara, setelah melepas alas kaki keduanya melangkah ke kanan kira-kira enam tapak, kemudian menuruni lima anak tangga sampailah Ric di area wudlu yang berderet kran air samping kanan-kiri. Pak Abu hanya mengantar hingga pintu masuk yang setengah terbuka membentuk lorong menjorok ke dalam. Ujung ruang wudlu terdapat sekat-sekat kamar mandi. Ada empat buah pintu yang berhasil Ric hitung sekilas.

Rasanya segar sekali ketika air telah membasahi sekujur tubuh yang lama tak tersentuh air secara keseluruhan. Entah kapan Ric terakhir mandi, lupa, mungkin tiga hari, mungkin malah satu minggu yang lalu atau malah sebulan.

Baju koko warna krem dan celana hitam lebar tak sampai menyentuh mata kaki membungkus tubuh Ric. Baju yang tadi dipakai berganti masuk kantong plastik. Ketika kaki menyentuh kembali lantai masjid Ric celingukan mencari sosok Pak Abu. Sebuah teriakan menjadi petunjuk kemana kaki Ric akan memijak selanjutnya. Ric melewati samping anak tangga menuju tempat wudlu wanita yang tertutup penuh dan tersekat sketsel kayu. Sementara itu di antara kedua bangunan tempat wudlu berdiri kawat besi yang penuh tanaman merambat.

Pak Abu berdiri pada sebuah teras bangunan dua lantai di sebelah kanan ujung masjid. Bangunan yang seolah terpisah tapi menyatu dengan masjid pada bagian atas membentuk semacam jembatan melingkar mengatapi tempat wudlu wanita dan laki-laki. Sebelum menuruni tangga kecil Ric menyempatkan melihat ke arah kanan melintas bawah jembatan yang menaungi kolam ikan. Ada sebuah bangunan lagi, bangunan itu tertutup tembok berloster.

Senyum Pak Abu masih saja mengembang, menyejukkan hati sanubari Ric. Dia segera menyuruh Ric duduk di sofa yang warnanya telah memudar.

“Minum dulu.” katanya lagi. “Makan juga martabaknya.”

Teh hangat menyirami kerongkongan Ric yang kering. Sekejap ada aliran hangat menelusup saluran cerna. Tanpa ragu-ragu Ric mengambil martabak telor yang masih terasa hangat.

“Enak sekali.” ucap Ric setelah habis satu.

“Tambah lagi.” balas Pak Abu ikut mengambil martabak. “Selagi menunggu sarapan sebenarnya matang, kita habiskan martabak ini.”

“Sudah kenyang duluan dong, Pak.”

“Kita sarapan saat tea time saja. Sekitar jam sepuluhan. Tapi kalau nanti sudah matang, kita langsung makan saja. Menghormati yang masak.”

“Bapak tinggal di sini?”

“Iya, tapi bagian atas sudah bukan lagi hak saya.” Pak Abu menatap Ric yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya. “Areal tanah ini milik orang tua saya.”

“Luas sekali,”

“Saya anak tunggal, karena bingung mengelola akhirnya tanah ini saya wakafkan untuk membangun masjid. Saya hanya mengambil secukupnya saja untuk tinggal.”

“Bukankah, Bapak bisa membangun kos-kosan? Yah, lingkungan kampus sangat menghasilkan uang jika membangun tempat kos?” Ric mengungkapkan pemikirannya.

“Memang. Tapi kalau membangun tempat kos, hanya tabungan materi saja yang kita dapat. Kita tidak punya tabungan akhirat.”

“Oh,” Ric sama sekali tidak mengerti kenapa ada orang yang masih memikirkan akhirat. Bukankah itu perkara nanti. Saat ini sebaiknya nikmati saja yang ada di bumi. Kalau bisa bersenang-senang dahulu kematian urusan belakangan.

“Dunia ini hanya tempat mampir, Nak Ric.” kata Pak Abu. “Sama saat kita mampir di warung makan, kafe atau mall. Hanya sebentar kan, pada akhirnya kita harus pulang ke rumah. Dan rumah besar kita adalah akhirat yang terdiri dari surga dan neraka. Tergantung belanjaan kita saat di mall atau makanan apa yang kita makan di kafe atau warung makan. Nanti ada petugas yang memeriksa isi belanjaan. Sesuai dengan perintah atau tidak. Kalau kita belanja sesuai kebutuhan dan makan yang baik-baik menurut aturan yang telah ditetapkan, insya Allah lolos sensor masuk surga.”

Ric mencoba mencerna kata-kata Pak Abu. Antara mengerti dan tidak mengerti. Kalau dunia adalah tempat belanja dan makan, lalu apa yang harus kita beli dan makan di dunia ini.

“Belanja yang saya maksudkan, tentu belanja amal perbuatan yang baik. Kamu tahu mall seperti apa kan, di sana ada banyak penjual yang menawarkan barang. Dalam hal ini mall dunia juga demikian, ada banyak penjual yang menawarkan kebaikan namun tak sedikit yang menawarkan maksiat. Tinggal kita mau mendatangi yang mana?” jelas Pak Abu seolah tahu apa yang sedang Ric renungkan.

Sales maksiat dan sales jurusan neraka selalu berdandan menarik memang. Kita cenderung melangkah ke sana. Tapi kalau kita ingat buku petunjuk yang Allah berikan sebelum kita datang kemari, buku petunjuk yang mengarahkan mana saja yang harus kita datangi, pasti kaki akan otomatis melaju ke arah gerai kebaikan, gerai-gerai penghasil surga.”

Ric termangu. Dia mulai berpikir sudahkah langkahnya menuju toko yang benar? Kedai kebebasan yang selama ini rajin dia kunjungi apakah sesuai buku petunjuk yang dia lupa. Benarkah ada buku petunjuk itu? Di mana buku petunjuk itu?

“Buku petunjuk...” gumam Ric.

“Al Qur’an, Nak Ric. Guide book kita.”

Kosong. Hati Ric seketika menjadi hampa. Jarum kompas hidupnya berputar-putar menentukan arah. Mana timur, mana utara, mana selatan dan mana barat. Ia terus berputar mencari jalan yang benar.

“Pak Abu, sarapan sudah siap.” kata seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari dalam.

Ric spontan memandang ke arahnya. Perempuan itu langsung menunduk berlalu saat mata mereka bertemu setelah memunculkan kesan masing-masing.

Bukan bermaksud merendahkan, tapi perempuan mungil itu memiliki tinggi tidak lebih dari 1,5 meter. Mukanya bulat, sejalan dengan hidung. Bibir bagian bawah terlalu maju ke depan. Jika ada yang tahu Buta Cakil, hampir mirip seperti itu. Hampir saja. Tidak semaju bibir Buta Cakil.

“Wujud manusia sudah dibuat sangat sempurna.” kata Pak Abu lagi tersenyum seolah tahu lagi apa yang Ric pikirkan. “Martabak itu, dia yang membuat lho. Ayo, kita sarapan yang sebenarnya.” ajak Pak Abu sambil tertawa.

Ric masuk ke dalam rumah utama setelah melewati ruang tamu kecil dan tangga menuju ke atas. Ada sebuah kamar pada sisi ruang makan yang hampir menyatu dapur. Perempuan yang tadi mengabari kalau sarapan siap, segera menghilang setelah menyiapkan gelas air minum.

“Istri Pak Abu?” tanya Ric penasaran karena di meja makan hanya ada mereka berdua.

“Sudah meninggal.” sahut Pak Abu sebelum menyuapkan sendok ke mulutnya.

“Itu tadi putri Pak Abu?”

“Kami tidak dikaruniai anak.”

“Lalu?”

“Naimah hanya membantu memasak di sini. Dia tinggal di bangunan sebelah bersama mahasiswa putri yang kurang beruntung.” Pak Abu menunjuk sisi utara masjid yang terdapat bangunan lain memanjang. “Seberang sana untuk asrama putra.”

“Seperti pondok?”

“Bukan, kalau kamu tadi bilang kenapa tidak buat kos-kosan saja. Itu tadi kos-kosan saya. Tanpa uang sewa. Astagfirullah,” desis Pak Abu pelan diakhir kata.  “Saya terlalu banyak pamer jadinya. Makan saja. Dia pandai memasak.”

“Kalau boleh tahu apa pekerjaan Pak Abu?” tanya Ric memecah hening kata yang tercipta.

“Dulu saya bekerja sebagai abdi pemerintah. Mengurusi tata kota Semarang.”

“Arsitek?”

Pak Abu manggut-manggut. “Kamu sendiri bagaimana, asalmu mana?”

“Rumah orangtua saya di Yogya.”

“Sekolah, kuliah?”

Ric terdiam lama. Dia menimbang, perlukah dia bercerita tentang jati dirinya pada Pak Abu. Mungkin tak apa. Toh, esok dia harus pulang atau entah pergi kemana.

“Seharusnya masih kuliah, tapi saya memilih kabur.”

Pak Abu tersenyum menanggapi pengakuan Ric. “Sayang sekali. Setelah menginap semalam di sini sebaiknya kamu pulang.”

“Boleh saya menginap semalam lagi?”

“Tentu saja, kebetulan ada satu kamar kosong. Penghuninya baru saja wisuda.”

“Makasih, Pak!” sambut Ric sedikit lega.

 

**

Sehari semalam tinggal di asrama Masjid Fatimatuzahra hati Ric yang semula rusuh menjadi teduh. Alunan nyanyian Qur’an dari kamar sebelah berhasil menciptakan keheningan dalam jiwanya. Tak ada tali kekang yang dulu seolah mengganduli lehernya, hingga dia terus bermimpi tentang kemerdekaan diri. Namun sejatinya Ric tidak tahu arti kata bebas.

Bebas terdeskripsikan secara salah. Benar, memang bebas_merdeka berarti leluasa bertindak sesuka hati. Tapi yang sebenarnya Ric butuhkan kemerdekaan dari masa jahiliyah. Zaman di mana dia terjajah oleh segala yang ada namun hati hampa. Masa-masa dia tidak memperoleh pemahaman agama dengan benar. 

Kata-kata Pak Abu, lantunan ayat suci Al Qur’an perlahan menggugah sadarnya. Dia harus hijrah demi memperoleh kebebasan yang hakiki.

Hari kedua Ric menyatakan keinginannya untuk tinggal lebih lama di Masjid Fatimatuzahra. Pak Abu hanya mengingatkan sebaiknya Ric memberi tahu orangtua tentang keberadaannya.

Ric mengiyakan, sekaligus menawarkan tenaga guna membantu bersih-bersih masjid dan lingkungan masjid. Dia tidak mau tinggal secara cuma-cuma.

Satu minggu kemudian Ric berpamitan pulang ke Yogya. Hanya tiga hari Ric menghilang dari kawasan Fatimatuzahra. Hari keempat, Ric telah nampak membantu kesiapan sholat Jumat.

Usai sholat Jumat Ric mendatangi perpustakaan Fatima yang berada di lantai dua tepat pada jembatan penghubung antara rumah Pak Abu dengan masjid. Ric penasaran dengan buku-buku yang ada di sana. Dia bukan penggemar tulisan berjilid-jilid, dia hanya ingin tahu dan mencoba belajar lagi tentang Islam dari buku yang tersedia. Sesuai rekomendasi Pak Abu agar dia menengok perpustakaan yang merupakan gudang ilmu.

Masuk pintu perpustakaan yang terbuka Ric tercengang. Matanya langsung menangkap lorong selebar tiga meter yang kanan-kiri berderet rak-rak buku menjulang. Bagian tengah perpustakaan terdapat meja-meja lesehan duduk sejajar sepanjang lorong dengan karpet biru membentang.

Begitu memijakkan kaki di gerbang pengetahuan satu pasang mata menatapnya dengan canggung. Di sebuah meja tinggi bertengger perempuan yang selalu memasak dan menyajikan makan tiga kali sehari untuk para penghuni asrama.

“Kamu di sini?” tanya Ric. 

“Tugas saya memang di sini.”

“Pustawakan? Lalu yang memasak nanti siapa?”

“Saya hanya membantu di sana. Pak Abu sudah menyiapkan tukang masak khusus. Koki sungguhan.”

“Dan kamu pustakawan?”

Perempuan itu mengangguk pelan.

Ric terdengar berdecak. “Ada koki, ada pustakawan...” gumamnya.

“Silakan melihat-lihat!” ucap perempuan itu seolah mengusir Ric yang berdiri tepat depan mejanya.

Beberapa anak asrama tampak berkeliaran di dalam. Ada yang sedang menelusur buku, ada yang duduk khusyuk membaca, ada pula yang masih membuka-buka buku sambil berdiri di samping rak.

Ric mulai menyisir rak dari arah luar kanan terus memutari setiap rak yang telah terklasifikasi. Kalau tidak salah hitung ada sepuluh klasifikasi yang terdapat dalam perpustakaan itu. Antara lain Islam Umum, Al Qur’an, Hadist, Ilmu Kalam, Fiqh, Akhlak dan Tasawuf, Sosial Budaya, Filsafat, Sejarah Islam dan Modernisasi juga terdapat buku-buku yang membahas mengenai Aliran dan Sekte.

Ric kembali pada rak Al Qur’an. Suara merdu tetangga kamar dengan lantunan bacaannya membuat Ric penasaran ingin membaca kembali. Entah kapan terakhir dia membuka Al Qur’an. Mungkin saat SMP, mungkin bahkan sewaktu dia SD ketika masih belajar membaca huruf-huruf hijaiyah.

Terbata-bata Ric mulai membaca ayat demi ayat dimulai dengan surat Al Fatihah. Satu lembar dua lembar terlewati seiring jarum jam yang terus berputar hingga menjelang Ashar. Perempuan itu berdiri beberapa meja darinya. Berseru padanya. Ric mendongak ke arahnya, lalu melihat berkeliling hanya menyisakan mereka berdua.

“Maaf, saya mau tutup sebentar.”

“Mau kemana?”

“Sebentar lagi sholat Ashar kan?” ucap perempuan itu bersamaan dengan kumandang adzan.

“Oh iya,” kata Ric sambil berdiri setelah meletakkan Al Qur’an di meja bergegas keluar.

Belum mencapai pintu keluar suara perempuan itu menggema lagi. “Lain kali, tolong setelah membaca letakkan buku ke rak semula.” senyum canggungnya kembali teruntai.

Ric mendesah sedikit tidak senang. “Baiklah.” balasnya sambil lalu.

Terus terang dia paling tidak suka diperintah. Apalagi yang memerintah wanita. Tapi biarlah, dia memang tidak tertib, meski alibi diri berkata toh setelah sholat Ashar aku akan kembali membaca kemari, jadi kenapa harus mengembalikan buku itu ke raknya. Sok mengatur sekali!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    @xies wkwkwk. keren kak idenya.

    btw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • xies

    @yurriansan nama martabaknya fiktif ^ ^
    Biar kayak nama martabak yang tenar.

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • yurriansan

    nama martabaknya unik, beneran ada kah martabak dengan merek itu?

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
Similar Tags
Haruskah Ada Segitiga?
1      1     0     
Short Story
\"Harusnya gue nggak boleh suka sama lo, karena sahabat gue suka sama lo. Bagaimana bisa gue menyukai cewek yang disukai sahabat gue? Gue memang bodoh.” ~Setya~
Mencari Virgo
289      225     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
My LIttle Hangga
562      379     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
Perfect Love INTROVERT
61      18     0     
Fan Fiction
When I Found You
25      9     0     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
110      26     0     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Love Arrow
1      1     0     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.
Broken Promises
579      426     5     
Short Story
Janji-janji yang terus diingkari Adam membuat Ava kecewa. Tapi ada satu janji Adam yang tak akan pernah ia ingkari; meninggalkan Ava. Namun saat takdir berkata lain, mampukah ia tetap berpegang pada janjinya?
Ojek Payung
2      2     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
A - Z
23      12     0     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...