Ric : sekarang
Ric telah sibuk berpeluh dengan wajan datar tempat menggoreng martabak. Sama seperti hari-hari sebelumnya kursi antrian selalu penuh bahkan ada yang rela berdiri. Dan selalu saja ada pelanggan yang mendesah-desah tidak sabar. Tak lelah pula Ric mengingatkan agar para pelanggan memanjangkan hati.
Sembari menunggu martabak telur matang, Ric menuang adonan martabak manis pada wajan tebal yang ada di sisi sebelah kiri, berdiri sendiri di luar gerobak. Dengan cepat Ric telah kembali mengurusi martabak telor, membolak-balik hingga warnanya kuning kecoklatan.
“Butuh asisten, Mas?” ujar seorang pelanggan yang bertubuh gempal. “Kayaknya kerepotan sekali.”
“Ibu mau membantu?” Ric terkekeh. “Bayarannya satu porsi martabak saja. Bersedia?”
“Wah, masa cuma martabak.”
“Kalau bayaran pakai duit, saya belum sanggup memberi yang layak.”
“Habisnya lama banget, pelanggan semakin banyak lho. Pelayanan harus semakin prima, cepat tapi tetap berkualitas.”
“Pasti, Bu.”
Satu bungkus martabak dalam kotak tersablon tulisan Martabak Pwerto Rico siap berpindah tangan ke pelanggan. Beberapa lembar uang masuk dalam laci menambah pendapatan hari ini. Bisik rasa syukur terus terlantun dari bibirnya.
Tiba-tiba bunyi jepretan kamera ponsel terdengar. Ric spontan menoleh ke arah suara, dua orang gadis tanggung cekikikan tak peduli tatapan tidak senang dari Ric. Masih saja ada penggemar tidak diinginkan di sini. Biarlah, hanya satu dua orang saja. Tidak terlalu mengganggu meski rasa jengah tetap saja menyelinap menampilkan sorot mata mengancam.
Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tengah malam suasana sudah sangat lengang. Ric mulai membereskan peralatan memasak menutup gerobak warna kuning. Saat melewati tulisan plang BANYUMAS, Ric melihat segerombolan anak-anak punk bergelimpangan seakan menjadi pijakan huruf-huruf besar di atasnya.
Senyum sekilas tersungging sejalan dengan gelengan kepala. Seketika pikirannya mengembara.
**
Hari ini sebelum tengah malam adonan telah habis. Ric segera membereskan lapak jualannya. Melajukan mobil di halaman masjid, tapi kali ini Ric tidak langsung kembali ke peraduan. Dia melangkah naik ke atas pelataran alun-alun berpaving.
“Oi!” sapa Ric pada gerombolan anak-anak berpakaian dekil yang tengah bercengkerama dengan beberapa botol minuman dan hembusan asap yang mengudara.
“Oi, oi!” balas mereka bersemangat.
Ric langsung ikut duduk sambil meletakkan dua bungkusan di tengah mereka. “Martabak, lebih menyehatkan dari pada itu.” tunjuk Ric pada botol yang sudah menengadah langit.
“Makasih, Bro!”
Ketiga anak itu langsung membuka bungkusan martabak dari Ric. Satu martabak manis dan satunya martabak asin.
“Enak,”
“Sering-sering gini aja ya, Bro!”
Ric tertawa. “Kalian dari mana?”
“Sini saja.”
“Oh, tidak pernah pulang? Nampaknya kalian masih sekolah.”
“Kami tidak sekolah,” jawab anak yang memakai anting banyak.
“Kami ini orang terbuang.” timpal seorang lagi yang mengenakan jaket kulit warna cokelat.
“Yah, tepatnya kami tidak suka dikekang oleh banyak aturan.” si pirang mowhawk menyahut.
“Punk memang berazas bebas ya.” Ric duduk bersila tepat berhadapan dengan huruf Y dari tulisan Banyumas. Matanya memandang lurus ke arah jalan yang telah senyap.
“Ah ya, silakan!” ucap si pirang menyodorkan botol minuman berwarna hijau.
“Perut saya sudah rusak.” tolak Ric halus. “Kalau saya nekat minum kembali, bisa-bisa saya tidak bangun lagi dari sini. Malaikat pun hanya akan menendang roh saya.”
Ketiganya tertawa. Kata-kata Ric serupa lelucon di TV.
“Kalian mau seperti itu?”
“Kematian itu pembebasan jiwa.” balas yang beranting banyak. Tangannya meraih botol lalu menenggaknya.
“Kamu tahu? Dunia itu tempat pengekangan jiwa. Banyak sekali aturan tidak masuk akal. Akhirnya mereka melanggar juga.”
“Betul itu.” si anting banyak mengacungkan jempol.
“Kematian itu tempat kembali manusia pada yang menciptakan. Ada pertanggungjawaban atas apa yang telah kita kerjakan di dunia.” ucap Ric.
“Oh ya? Siapa?”
“Tuhan.”
“Haha....” si pirang tertawa sangat keras. “Dia itu tidak ada. Dia hanya hasil imaji orang-orang saja.”
“Ah, kita belum berkenalan. Saya Ric.” tangannya tersodor pada ketiganya.
Si pirang menyebutkan sebuah nama Hero, kemudian yang mengenakan anting banyak dan menyambut tangan Ric dengan dua belah tangan, membunyikan tiga huruf dengan mulut maju, Jul. Anak terakhir berjaket kulit menamakan diri sebagai Beni.
“Tatonya oke,” kata Beni yang sejak awal memperhatikan tangan Ric.
“Oh ini, mau lihat.” Ric segera membuka kaosnya.
Tato ular cobra memenuhi lengan kanan menuju pangkal leher lalu melingkar turun ke lengan sebelah kiri menyisakan ekor pada punggung telapak tangan.
“Wow!”
Anak-anak mengerumuni Ric dengan takjub.
“Keren, Bro!”
“Saya juga punk.” kata Ric seraya memakai lagi kaos lengan panjangnya. “Hati dan jiwa saya yang punk. Bukan hanya casing saja seperti kalian.”
“Maksudmu apa?” kata si pirang.
“Punk itu ada di sini.” tandas Ric lagi sambil menunjuk dada sebelah kiri. “Bukan sampah seperti kalian.”
“Memang kenapa kalau kami sampah, ada masalah dengan lo?”
“Punk sejati yang merasa ada masalah dengan kalian.” kata Ric berdiri menepuk-nepuk pantatnya. “Kalian harus cari tahu arti punk sesungguhnya.”
Hero tertawa keras disusul cekikik Jul yang menuding-nuding Ric dengan geli.
**
Ric teringat kata-kata Reno. Kelahiran punk terpicu oleh kondisi sosial dan politik di Inggris yang amburadul. Kelompok ini berasal dari anak-anak muda pekerja rendahan yang merasa tersisihkan. Mereka melakukan sindiran pada para penguasa yang menyebabkan tingkat pengangguran dan kriminalitas tinggi. Bentuk sindiran meraka berupa lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana cenderung kasar menghentak.
Lama-lama teriakan protes berirama mereka menjadi tenar khususnya bagi kaum pinggiran. Seolah membentuk sub budaya sendiri dengan menciptakan musik, gaya hidup, cara berpakaian yang nyleneh berbeda dari orang kebanyakan.
Menurut Reno, Punk sebenarnya bukan sekedar tren musik dan fashion. Menilik sejarahnya punk merupakan ekspresi bebas dalam berpikir serta menjadi penyetir tingkah polah penguasa yang tidak merakyat, suka memamerkan kekayaan. Punk memiliki semangat equality, persamaan hak, kebersamaan lebih suka nggembel berkeliaran di jalan menjadi wujud anti kemapanan yang pada akhirnya menciptakan pengkotak-kotakan status sosial dalam masyarakat.
Ric menghela nafas, memandang ke arah anak punk yang tiap malam kini rajin duduk dan tidur di latar alun-alun Banyumas. Ada kekhawatiran mereka akan terciduk aparat jika tetap mangkal di sana.
Mungkin, biarkan saja agar mereka tersadar. Atau sebaiknya bergerak melakukan sesuatu? Ric terus menimbang langkah apa yang akan dia ambil untuk anak-anak punk di depan matanya.
Tidak mudah memang membuat mereka menjadi punk yang sesungguhnya. Bahkan dirinya pun pernah terperosok dalam lingkar punk yang rusak. Sulit keluar, perlu kesadaran dari hati guna menyembuhkan penyakit azas bebas yang kebablasan.
Akhirnya apa yang dikhawatirkan Ric terjadi juga. Pada malam berikutnya ketiganya dibawa dua orang berpakaian preman dengan mobil patroli polisi. Ric sempat tidak konsen saat penjaringan itu. Martabak manisnya sampai hangus tidak layak makan.
Pelanggan yang sudah menunggu lama jelas protes dengan seretetan kata-kata menusuk telinga. Sabar, sabar! Hanya itu yang bisa Ric hembuskan demi mendinginkan hati agar tidak menjelma kobaran api.
Selepas membereskan bak mobil pick up, Ric sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya melayang pada tiga anak yang kini pastilah telah mendekam dalam bui. Apa yang akan dia lakukan? Mungkinkah keputusannya nanti akan mendapat izin dari si empunya tempat. Lalu langkah apa selanjutnya.
Ric segera beranjak dari berbaring, mengambil air wudlu kemudian memohon petunjuk Yang Kuasa. Ketika Subuh menjelma sinar terang, Ric menemui marbot masjid dan mengutarakan isi hatinya.
“Hanya dua tiga hari saja mungkin,” kata Ric.
“Tapi keadaan mereka tidak memungkinkan untuk masuk masjid.”
“Mereka bisa membersihkan diri.”
“Tapi...”
“Kalau ternyata dalam 1x24 jam mereka membuat ketidaknyamanan sekitar masjid, kami akan segera pindah.” ucap Ric mantap.
“Baiklah,”
Ric berkali-kali mengucap terimakasih pada Pak Bandi marbot masjid Nur Sulaiman yang telah mengijinkan dia membawa anak-anak punk yang kini telah mengisi bui kantor polisi. Langkah selanjutnya tinggal mendatangi Polsek Banyumas untuk mengeluarkan Beni, Jul dan Hero.
@xies wkwkwk. keren kak idenya.
Comment on chapter Martabak Pwerto Ricobtw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^