Read More >>"> When Punkers Fall In Love (Jodoh Pasti Berlabuh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Punkers Fall In Love
MENU
About Us  

Nai : past

Teman-teman seangkatan Nai sudah banyak yang menikah. Hati Nai yang semula tenang mulai resah manakala orangtua mulai menanyakan perihal jodohnya. Dan Nai menurut saja saat ayah-ibu mencarikan jodoh untuknya. Nai yang saat itu bekerja sebagai pustakawan honorer di salah satu SMP di Purwokerto terpaksa harus pulang ke rumah demi memenuhi permintaan mereka.

Nai sama sekali tidak punya pilihan. Dalam hati dia akan menurut saja siapa pun laki-laki yang akan datang padanya. Kenyataannya setelah pertemuan pertama yang berakhir dengan kata sepakat dari kedua belah pihak, menginjak hari ketujuh tiba-tiba si pria membatalkan perjodohan tersebut. Pilu.

Saat itu Bu Fatimah istri Pak Abu masih hidup. Nai yang dekat dengan Bu Abu langsung menceritakan perihal perjodohan yang gagal tanpa penjelasan masuk akal. Tentang tuntutan orangtua agar dia segera menikah. Tentang posisinya yang masih menjomblo tanpa pilihan. Mendengar itu, Bu Abu berjanji membantu Nai bertemu jodohnya.

“Siapkan saja biodata lengkapmu. Lampiri foto juga ya.” kata Bu Abu.

Memang kedengaran seperti akan melamar pekerjaan. Tapi sistem perjodohan di masjid Fatima demikian adanya. Masing-masing pencari jodoh membuat profil diri lengkap, lalu berkas lamaran jodoh itu akan ditawarkan pada para pelamar. Mereka bebas mempelajari dan memilih, map mana yang cocok di hati. Selanjutnya baru ada pertemuan. Biasanya Bu Abu yang menjadi semacam mediator bagi keduanya.

Dalam pertemuan itu mereka bebas menanyakan segala hal terkait calon yang terpilih. Terkait proposal yang telah mereka buat. Pertemuan pertama bisa menentukan berlanjut tidaknya perjodohan tersebut.

Bulan demi bulan, tahun pun bergulir. Umur Nai mendekati 30. Namun belum ada satu pria bersedia menerima berkas proposal pernikahannya. Hingga suatu sore dengan gerimis bertandang, Bu Abu mengetuk pintu kamar Nai mengabarkan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Antara percaya dan tidak percaya hati Nai berbunga.

Pada hari yang telah ditentukan keduanya bertemu di ruang tamu rumah Pak Abu. Seorang laki-laki yang cukup bersih melihat Nai dengan senyum terkembang. Jantung Nai berdegam seakan ingin meloncat keluar. Hatinya terus melantunkan harap, semoga ini jodoh yang Allah hadirkan untuknya. Jodoh terindah sebagai buah penantian panjang melelahkan. Jodoh terbaik sebagai kembang kesabaran yang senantiasa dia hembuskan.

Tak butuh waktu lama untuk membicarakan perihal pernikahan. Halim segera melamar Nai pada kedatangan pertama ke rumahnya. Orangtua Nai jelas kaget campur senang. Kaget, karena mereka tidak menerima tamu pelamar selayaknya. Senang, karena putri sulungnya akan mengakhiri masa lajang.

Pesta pernikahan sederhana tapi meriah terselenggara. Tiga hari di rumah, Nai langsung dibawa terbang ke pulau nun di sana. Hidup di tempat baru dengan seorang yang asing meski orang tersebut suami sendiri kadang membuat Nai sedikit cemas. Apalagi suaminya jarang berada di rumah. Nai, sungguh mirip katak dalam tempurung. Tidak tahu kondisi kota, hanya berkutat rumah, warung sayur yang berada di blok sebelah dan minimarket depan kompleks perumahan saja.

Suami Nai yang bekerja di sebuah pertambangan selalu berangkat pagi sekali dan pulang jam sembilan malam. Nyaris tanpa ada komunikasi antara keduanya. Saat berangkat, biasanya Nai masih berkutat di dapur, sementara ketika pulang Nai telah tertidur di ruang tamu menunggu suami tercinta pulang.

Tak ada bisik mesra saat membangunkan, tak ada belaian lembut menjelang tidur di pembaringan. Yang ada dengkur halus menemani kesunyian Nai yang sungguh rindu sentuhan kasih yang tercinta.

Melihat suami tidur memunggungi, tak menyurutkan rasa cinta Nai padanya. Nai bahkan seringkali ingin memeluk Halim dari belakang. Merasakan hangat tubuhnya, menciumi harum tubuhnya. Tapi yang ada Nai hanya mendekat beberapa senti saja tanpa berani menyentuh Halim. Nai khawatir rengkuhan tangannya akan menganggu tidur pulas sang suami yang tentu saja lelah setelah seharian mencari nafkah untuknya.

Bulan demi bulan menginjak tahun. Nai masih tetap suci sama seperti sebelum dia menikah. Hati Nai semakin remuk redam. Adakah yang salah dengan dirinya. Dia telah mati-matian berusaha menjadi istri yang baik, selalu patuh pada setiap titahnya. Nai pun berusaha bersolek tampil lebih menawan agar suami mau sedikit melirik ke arahnya, atau memandang penuh cinta lalu merasai manisnya surga dunia.

Kosong. Selalu saja tatapan kosong yang terhunus ke arah Nai. Seakan keberadaan Nai serupa hembusan angin. Transparan, tak nampak. Hanya jejak-jejak tangannya yang tergambar jelas di mata Halim. Sarapan yang tersedia tepat waktu, rumah yang bersih dan rapi, pakaian kerja lengkap yang selalu tersaji tak lupa sepasang sepatu dan kaos kaki yang baru turun dari lemari selalu tersanding di kursi tempat dia biasa memakai sepatu yang telah hitam mengkilap.

Tak ada ucapan terimakasih atas semua jerih yang Nai lakukan. Bahkan seorang asisten rumah tangga sekali pun pantas mendapat ucapan terimakasih dari sang majikan. Nai benar-benar ikhlas. Dia selalu senang memandangi punggung suaminya yang berlalu menuju mobil kemudian mengantar kepergian si putih dengan lambaian tangan hambar.

Hingga suatu hari Nai menemukan waktu untuk bicara dengan Halim. Nai ingin menanyakan perihal hak nafkah batin yang selama ini digantungkan.

Halim bergeming, dia hanya memandang Nai sekilas lalu kembali mencermati koran yang sedari tadi sudah dibolak-balik hingga kusut.

“Jadi selama ini kamu hanya menganggapku pembantu, bukan, budak bagimu?” kata Nai setelah tak ada tanggapan berarti dari Halim. Nai mengatakan itu dengan mulut bergetar dan air mata mengalir deras.

“Mungkin,” desah Halim membuat Nai tak dapat lagi menahan deru sedan dadanya.

Nai segera berlari ke kamar kosong. Di sana Nai menangis sejadi-jadinya. Di luar Halim segera mengambil kontak mobil dan segera berlari dengan kendaraan pribadinya.

Setelah dapat berpikir dengan baik, Nai mulai membereskan pakaiannya. Dia memutuskan pulang ke rumah. Tepatnya ingin kembali ke asrama tempat selama ini dia bernaung selagi merantau demi mendapatkan ilmu dan bekerja sementara. Nai sama sekali tidak ingin pulang ke rumah yang akan menimbulkan aneka pertanyaan dari orangtua. Nai tidak mau orangtuanya menjadi sedih melihat anak gadisnya terlantar, tak dianggap oleh suaminya.

Sembari menunggu Halim pulang, Nai menelpon Bu Abu menceritakan semua kisahnya. Bu Abu pun mengerti dan bersedia menerima Nai di asrama putri lagi. Selanjutnya Nai menelpon salah seorang teman untuk menanyakan rute perjalanan pulang ke pulau kelahiran.

 

**

 

Nai menghambur ke pelukan Bu Abu. Air mata yang telah mengering memancarkan titik-titik air kembali. Bu Abu membimbing Nai duduk di ruang makan menenangkan segala gejolak yang tertumpah.

“Selanjutnya saya harus bagaimana, Bu?” ucap Nai menyusut tetes air dari mata.

“Sebaiknya kamu makan dulu ya,” Bu Abu sudah beranjak dari duduk setelah isak Nai mereda. Dia menuju dapur mengambilkan sayur yang baru masak. Uap panas masih tampak mengepul riang ke udara.

Bu Abu mengambilkan nasi dari rice cooker, menyandingkan depan kepala Nai yang terkulai di meja.

“Ayo makan dulu!” perintah Bu Abu kali ini menuang sayur lodeh ke piring nasi Nai. “Pakai ikan asin?” tanya Bu Abu.

“Saya tidak selera makan, Bu.” sahut Nai memandang sayur lodeh kegemarannya.

“Kalau begitu, minum dulu tehnya.”

Nai menurut meraih cangkir berisi cairan coklat terang. Hangat merasuki tubuhnya perlahan. Kelu pun satu-persatu meluruh masuk ke lambung hancur oleh cairan asam. Rasa lapar tiba-tiba menggelegak. Tanpa malu Nai meraih piring yang sedari tadi melambai ingin segera teraih tangannya.

Bu Abu menyodorkan piring berisi tempe mendoan. Nai yang rindu masakan Bu Abu mengambil satu dan makan dengan lahap. Senyum kecil melengkung dari wanita paruh baya yang tidak dikaruniai anak tersebut. Bagi Bu Abu, Nai sudah seperti anaknya. Sama seperti para penghuni asrama putri dan putra. Mereka sudah dianggap anak oleh pasangan Abu-Fatimah.

Suasana benar-benar hening, hanya sesekali terdengar denting sendok beradu dengan piring. Nai sungguh menghayati tiap sendok yang tersuap ke mulutnya.

“Makasih, Bu.” Nai membalik sendok dan garpu. Menyesap teh hingga tetes terakhir lalu berdiri mengangkat piring dan cangkir dengan dua tangan.

“Letakkan!” tunjuk Bu Abu. “Biar Bu Wariska nanti yang mencuci.”

“Tapi Bu,”

Bu Abu merebut piring dan cangkir dari tangan Nai. Kali ini Nai menyerah, membiarkan Bu Abu membawa piring bekas makan menuju dapur. Sebenarnya dia pun terlalu lemah, lelah untuk melakukan sesuatu.

“Ayo, Ibu antar kamu ke kamar.” Bu Abu membimbing Nai menuju deret asrama putri yang letaknya berseberangan dengan dapur.

Nai langsung merebahkan tubuh lelahnya. Seketika seluruh jiwa Nai lepas, bebas berlarian ke padang rumput hijau membentang. Terbuang sudah segala beban yang menggantung di pundak. Nai seakan seringan potongan bunga dandelion. Melayang-layang mengikuti putaran lembut angin menyapu hamparan rerumputan yang bernyanyi syahdu.

Lalu hembusan bayu itu akhirnya membawa Nai pada sebuah pintu kayu raksasa. Sebuah ketukan pelan terdengar samar. Ragu-ragu Nai mendekati pintu yang sisi kanan-kirinya menjuntai tanaman merambat. Ketukan itu semakin jelas. Bahkan namanya turut mengiringi setiap ketukan yang konstan.

Nai terbangun langsung terduduk. Ketukan itu menjadi nyata. Suara Bu Abu menggaung menggugah sadarnya.

“Sudah mau Maghrib, bangunlah.” deru panggilan membangkitkan tubuh Nai dari pembaringan.

Derit pintu sekilas menggerus udara. Wajah sumringah Bu Abu menyulut senyum Nai dengan kesan malu-malu.

“Maaf Bu, saya tidur sangat lama rupanya.”

“Tidak apa-apa, kamu terlihat lebih segar. Sebaiknya kamu segera mandi.” ucap Bu Abu menyerahkan seperangkat alat mandi.

Malam hari setelah sholat Isya, Nai sudah duduk di hadapan Pak Abu dan Bu Fatimah.

“Maaf Nai,” ucap Pak Abu seraya mendesah.

“Kenapa Pak?” tanya Nai penasaran. Matanya menyelidik ke arah istri Pak Abu.

“Aku sudah menelpon Halim.”

Hening.

“Dia bilang melepaskanmu.” mata Pak Abu terlihat sendu. Rasa bersalah menyarang dalam hati. Tapi dia tidak mau menyalahkan kehendak-Nya sebagai penyebab kekacauan pernikahan Naimah.

“Sabar ya Nai, ini salah satu fase hidup yang memang harus kamu lalui.” Bu Abu menenangkan.

“Iya, saya tahu. Saya tidak menyalahkan Bapak-Ibu.” Nai menghembus nafas lega. “Sekarang saya bebas lagi.”

Bu Abu menggenggam tangan Nai.

“Jodoh terbaik yang lain pasti sedang menunggumu, Nai.” ucap Pak Abu mengutas senyum penuh keyakinan.

“Amin.” sahut Nai bersamaan dengan Bu Fatimah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    @xies wkwkwk. keren kak idenya.

    btw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • xies

    @yurriansan nama martabaknya fiktif ^ ^
    Biar kayak nama martabak yang tenar.

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • yurriansan

    nama martabaknya unik, beneran ada kah martabak dengan merek itu?

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
Similar Tags
Roger
18      9     0     
Romance
Tentang Primadona Sial yang selalu berurusan sama Prince Charming Menyebalkan. Gue udah cantik dari lahir. Hal paling sial yang pernah gue alami adalah bertemu seorang Navin. Namun siapa sangka bertemu Navin ternyata sebuah keberuntungan. "Kita sedang dalam perjalanan" Akan ada rumor-rumor aneh yang beredar di seluruh penjuru sekolah. Kesetiaan mereka diuji. . . . 'Gu...
Our Tears
5      1     0     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
When I Found You
25      9     0     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
What If I Die Tomorrow?
3      3     0     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
My Noona
13      12     0     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Game Over
12      7     0     
Romance
Mulanya semua terdengar klise. Defadli Alan--playboy kawakan sekolah, mengincar Orinanda Dee--murid pindahan yang tampak begitu polos. Bella pun tak tinggal diam dikarenakan ia merasa bahwa Fadli adalah miliknya. Hanya tiga hal yang membuat semuanya jadi tidak terdengar klise lagi: obsesi, pembalasan dan keisengan darah muda. Fadli telah menunjuk Ori sebagai targetnya. Sayangnya, panah Fadli ...
Dream
378      303     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
L & A
14      14     0     
Romance
LA (From Aquarius to Leo) ____ The Blue adalah sebuah perusahaan majalah tempat di mana Riu bekerja. Dia bisa ada di sana karena bantuan seorang kepala editor yang memberikan ia kesempatan bekerja di sana. Riu bertemu dengan banyak orang. Dia memiliki usia paling muda di antara semua orang di perusahaan itu. Riu bekerja di tim editor bersama beberapa orang lainnya. Hari itu ia tidak s...
The One
4      4     0     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.
KNITTED
11      4     0     
Romance
Dara memimpikan Kintan, teman sekelasnya yang sedang koma di rumah sakit, saat Dara berpikir bahwa itu hanya bunga tidur, pada pagi hari Dara melihat Kintan dikelasnya, meminta pertolongannya.