Read More >>"> Behind the Camera (Frame 1: Selection) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Behind the Camera
MENU
About Us  

     ARITHA RAVENZA DWI TAMARA

    Kata itu tercetak dengan huruf kapital di atas map berwarna merah marun. Di dekat map tersebut, terlihat seseorang yang terkulai dengan rambut coklat tergerai berantakan di atas meja. Lengan kanannya terjulur lurus sebagai penyangga pipinya. Wajah itu tampak lelah bercampur malas. Sesekali mulutnya menguap. Berkali-kali ia menahan matanya yang ingin tertutup sempurna. Sejak sejam lalu, Aritha berulang kali memeriksa dokumen pindahan sekolahnya untuk memastikan tak ada yang tertinggal. Mulai dari rapor sekolah lama, ijazah SMP, pas foto, formulir pendaftaran, dan berkas-berkas lainnya.

    "Kenapa masih harus pindah lagi? Padahal di tempat lama kan seru," gerutu Aritha sambil menutup mulutnya yang menguap lagi. 

    Sebagai orang normal, seharusnya ia senang pindah ke ibukota. Di sana, ia mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan tempat lamanya di pinggiran kota. Seumur hidupnya, berkali-kali ia pindah rumah dan sekolah ke berbagai kota. Sesekali singgah di suatu tempat untuk pindah ke tempat lainnya seperti pengembara. Lahir di Seoul ketika ayahnya mengenyam pendidikan pascasarjana,  lalu menghabiskan masa-masa balita hingga TK di Aceh, kelas 1 SD di Batam, kelas 5 SD di Makassar, SMP di Palangkaraya, dan kelas 1 SMA di pinggiran kota kecil di Pulau Jawa. Entah berapa kota yang telah ia singgahi, berapa orang yang pernah ia temui. Pekerjaan ayahnya sebagai hakim membuatnya seringkali berpindah tugas ke berbagai kota, provinsi, bahkan pulau. Awalnya ia tinggal menetap dengan bundanya selama Sekolah Dasar, berbeda dengan sang ayahnya berpindah tugas. Namun, setelah bundanya meninggal ketika ia berusia 10 tahun, ia tak punya pilihan lagi selain mengikuti rutinitas ayahnya yang nomaden. Karena itulah ia tak pernah memiliki keterikatan emosional dengan tempat apa pun, dengan siapa pun. Berulang kali ia mengeluh, namun jawaban ayahnya selalu sama: ini tugas negara.

    “Bagaimana, Ravenza? Sudah siap?” tiba-tiba seorang lelaki berusia 40 tahun berdiri di ambang pintu. Ravenza, nama kesayangan yang selalu digunakan sang ayah untuk memanggil Aritha. Di sana tersemat nama ayahnya, Ravendra dan ibunya, Azalea. Sedangkan nama Aritha tidak terlalu memiliki akar sejarah yang jelas. Ayahnya pernah mengatakan bahwa nama itu hasil dari kreasinya saat bermain scrabble, merombak dan menyusun huruf demi huruf untuk menemukan nama yang anti-mainstream untuk putri semata wayangnya itu. Awalnya Aritha merasa bahwa namanya adalah sebuah kata tanpa arti khusus. Namun, ternyata setelah ditelusuri dengan mesin pencari internet, ternyata namanya memiliki makna tak terduga di belahan dunia lain. Aritha alias Reetha atau Areetha adalah sejenis soapnuts, buah dari pohon Sapindus mukorrosi yang tumbuh di India. Aritha bahkan dikenal sebagai pembersih dan deterjen alamni yang ramah lingkungan. Diriku adalah deterjen? Ckck... Ayah mana yang bangga telah menamai anaknya deterjen? Sepertinya cuma ayahku, batinnya saat itu.

     Mendengar suara sang ayah, Aritha terpaksa bangun. Matanya yang berwarna madu menatap lurus ke sumber suara. Seperti biasa, pakaian ayahnya begitu modis dengan kemeja putih tanpa lecek dan dasi yang dipadankan dengan celana bahan warna hitam dan ikat pinggang kulit. Tuan Ravendra Putra Pradeepta, hakim senior yang selalu memimpin persidangan, tak pernah memiliki perut buncit dalam sejarah hidupnya. Rambutnya yang klimis dan rapi dengan belahan samping semakin memperkuat kesan sebagai sugar daddy. Waktu SMP, bahkan Aritha kewalahan menanggulangi beberapa temannya dan ibu teman-temannya yang kagum dan menjadi fans sang ayah.

     "Iya, Pa.” Aritha segera menutup album fotonya dan meletakkannya di tempat semula. Segera ia mengambil map bertuliskan namanya dan berlari kecil mengikuti langkah sang ayah. Sayangnya, rok hitam selutut yang ia kenakan menghambat langkah. Kalau bukan karena permintaan Ravendra, ia takkan bersedia memakai rok dan memilih celana denim biru. Sayangnya, permintaan itu terdengar seperti perintah. Katanya, penampilan itu hal yang pertama kali dinilai dalam sebuah pertemuan..

                                      ***

     Sepanjang jalan, Ravendra selalu berceloteh panjang lebar mengenai info penting tentang sekolah barunya. Ia tahu bahwa putrinya terlalu malas jika harus pindah lagi. Namun, ini adalah suatu keharusan. Ini adalah sebuah kesempatan. Bukankah ditempatkan di ibukota merupakan impian sebagian orang? Istimewa pula ia dipromosikan sebagai ketua pengadilan negeri di tempat barunya sekarang. Mendapatkan rumah dinas di kawasan strategis pula.

     “Ini adalah rekomendasi terbaik yang Papa dapatkan. Di sana, kamu bisa mengejar ketertinggalan. Papa tahu kamu itu cerdas. Jadi kamu harus ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif. Kamu harus tumbuh di tempat terbaik, bukan seperti sekolah yang dulu.”

     Aritha hanya diam. Pandangannya lurus ke depan. Ia paham arah pembicaraan itu. Sayangnya, separuh hatinya masih berat terpisah dengan lingkungan lamanya. Walau di sana seringkali ada kejadian dan masalah tak terduga, ia tak merasa sendiri karena ada sahabat yang selalu menemaninya, Rahayu Nandini yang biasa ia panggil Yuna. Ia rindu Yuna, rindu pula pada misi-misi rahasia yang mereka emban bersama. Ah, mengapa masa lalu selalu sulit untuk dilepaskan?

     “Katanya, penerimaan siswa baru selalu melalui seleksi ketat. Anak-anak teman Papa banyak yang gagal. Tapi Papa yakin kamu pasti bisa.”

     Hening sejenak. Ravendra fokus pada jalan di depannya, sedangkan Aritha larut dalam pemikiran sendiri. Ia masih mengenang masa-masa menegangkan di sekolah lamanya. Betapa tidak, jika setiap pagi selalu ada senior kelas 12 yang berjaga di dekat tangga untuk menghadang setiap junior kelas 10 yang hendak ke lantai atas. Setiap pagi, ia dan Yuna harus bermain kucing-kucingan agar tidak terlibat dengan siswi senior geng populer yang selalu hobi memangsanya. Alasannya sederhana, Sandra, sang senior itu, cemburu melihat keakraban Aritha dan Yuna dengan Richard, ketua Komisi Khusus Kedisiplinan OSIS yang terkenal paling tampan dan keren. Setiap mengingatnya, Aritha tak mampu menahan tawa. Ia memang dekat dengan Richard, tapi untuk urusan yang jauh berbeda. Sama sekali tak berhubungan dengan asmara.

     "Nah, sudah sampai.” Ravendra menghentikan mobil. Aritha memandang sekeliling. Lapangan parkirnya luas sekali. Belum lagi lapangan upacaranya yang seluas tiga kali lapangan basket. Ia dan ayahnya keluar mobil. Selagi menunggu ayahnya yang sedang menyelesaikan administrasi, Aritha menghampiri sebuah prasasti besar dari batu pualam di depan gedung utama. Satu-satunya benda yang mencuri perhatiannya sejak tadi. Di atasnya tertulis "Sekolah Menengah Atas Dwipa Sentosa". Lalu di bawahnya tertulis "Prestasi Regional dan Internasional". Tangannya menelusuri setiap pahatan huruf yang diukir dengan air emas. Menelusuri deretan nama siswa dan siswi yang pernah menjuarai kompetisi regional dan internasional. Gadis bermata madu itu menggeleng-gelengkan kepala. “Sepertinya ini akan sangat sulit,” gumamnya. Ia pun mengalihkan perhatian pada majalah dinding tiga dimensi di koridor tepat di belakang prasasti. Iseng melihat-lihat informasi yang tertera di sana. Saat itulah ayahnya memanggil dirinya menuju ruang Wakil Kepala Sekolah.

                                      ***

     “Hmmm.... sepertinya ini sulit.” Berkali-kali Pak Erick membolak-balik berkas milik Aritha. “Nilai UN kamu waktu SMP masih di bawah standar, Aritha. Tahun lalu, nilai UN terendah yang kami terima masih pada kisaran 36.50. Itu teman-teman yang seangkatan denganmu sekarang.”

     Gadis bermata agak sipit itu tanpa sadar terbelalak tak percaya. Sombong sekali. Apa-apaan itu? Nilai UN milikku kan rata-rata 80. Itu bagus, bahkan masuk jajaran nilai paling tinggi di sekolahku yang dulu!

     Ini baru langkah pertama, namun kepalanya mulai terasa pusing. Ia memang tak terlalu berniat untuk pindah ke sini, namun ayahnya memiliki harapan yang besar sekali. Ia menoleh pada ayahnya, melemparkan pandangan penuh tanya. Ia khawatir ada kekeliruan atau lupa berkas yang tak ia sadari. Namun, Ravendra hanya menepuk-nepuk tangannya, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

     "Tapi itu bukan penilaian satu-satunya, kan? Bapak juga bilang sebelumnya kalau sekolah ini tidak bersedia menerima murid hanya berdasarkan nilai Ujian Nasional.”

     Di hadapannya, pria paruh baya berkepala botak berdehem. Ia menatap Aritha dengan penuh selidik, lalu kembali mengalihkan pandangan pada dokumen rapor sekolah lama gadis itu.

     SMA Alpha Centaury, sekolah ini sering sekali mendapat citra buruk. Entah tawuran antarpelajar, merokok, perundungan. Bagaimana bisa aku menerima murid pidahan dari sana? Apakah anak ini sering jadi korban perundungan, makanya pindah ke sini? Tapi, dari wajahnya ia tak terlihat menderita mental dan sebagainya. Apa jangan-jangan ia malah siswi yang terlibat sebagai pelaku pelanggaran? Ya, itu lebih mungkin.

     Pria meletakkan berkas di atas meja, lalu memandang lurus ke arah Ravendra. “Memang benar. Kami selalu menerapkan seleksi ketat, baik untuk murid baru ataupun pindahkan. Setahun sebelumnya, kami menyeleksi 250 murid dari 2.250 pendaftar. Nah, Aritha....” pandangannya beralih pada Aritha yang mulai mengalami krisis percaya diri. Di bawah meja, ia meremas-remas tangannya, tak tahu harus melakukan apa. “Buktikan bahwa kamu layak diterima dengan mengalahkan 59 pesaing lainnya. Dari 60 orang, kami akan menerima dua pendaftar dengan nilai tertinggi. Siap?”

     Aritha tak tahu mengapa serumit ini. Ia terbiasa pindah dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu kota ke kota lain tanpa perlu melalui seleksi. Biasanya ia selalu masuk ke sekolah baru tanpa persyaratan khusus, hanya selembar surat dinas dari kantor ayah. Namun di sini ia mendapat tantangan tak terduga. Rasa jenuhnya yang tak tertahan ditambah dengan harus belajar ekstra hanya untuk lolos seleksi penerimaan murid baru.

     Gadis itu mendongak. Ia menoleh pada ayahnya. Ravendra memberikan senyum paling optimis yang ia punya. Aritha merasa ini adalah bentuk pembuktian. Bukan hanya untuk Pak Erick wakil kepala sekolah yang sombong itu, tetapi juga untuk ayahnya dan dirinya sendiri. Gadis itu mengembuskan napas. Ini memang berat. Namun, ia tak boleh menyia-nyiakan usaha ayahnya yang melakukan pembelaan untuknya. Ia tak boleh menyerah sebelum berperang.

     “Siap, Pak.”

     “Oke. Persiapkan dirimu dua minggu lagi.” Lalu Pak Erick memberikan selembar kertas di atas meja.

     Jadwal seleksi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • Kang_Isa

    @Neofelisdiardi Terima kasih juga sudah berkenan mampir, Kak. Sukses selalu, dan semangat lanjutin ceritanya, ya. :)

    Comment on chapter Prolog
  • Neofelisdiardi

    @Kang_Isa sudah, kok. Nanti comment menyusul, ya. Terima kasih sudah mampir

    Comment on chapter Prolog
  • Kang_Isa

    Keren. Mampir juga di ceritaku, ya. Salam sukses selalu.
    Lanjuuttt ... :)

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
To The Girl I Love Next
3      3     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
Communicare
0      0     0     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Memoria
1      1     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Run Away
71      5     0     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Under The Same Moon
3      3     0     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
She Is Falling in Love
3      3     0     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
122      26     0     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Man in a Green Hoodie
31      5     0     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Breakeven
46      25     0     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
An Ice Cream Story
4      4     0     
Short Story
Cacak seperti lambang tergadai; Kisah ini merupakan perihal orang-orang yang sedang kasmaran. Ini mengenai kisah cinta yang sompek; perkara yang tidak dapat diharapkan lagi. Saking sompeknya, mari bersama menertawai kisah ini melalui perumpamaan manisnya menikmati sebuah ice cream.