Read More >>"> Ex - Centoria | Another (Ch 4 Grey) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ex - Centoria | Another
MENU
About Us  

Berdiri, kami yang senantiasa mengiringi langkahmu.

Disini, di tanah ini, kau istirahatkan kedua kakimu.

Kini, semua tugas dan kewajibanmu telah tuntas.

Semoga Berkat dan keselamatan turut serta menaungi.


~~~

"Kau baik-baik saja?" tanya seseorang dari sampingku, kedua mataku yang sejak tadi memandangi bara api di gelapnya malam kini mencari pemilik suara itu. Kudapati seorang pria berdiri agak merunduk–menepuk bahuku–memandangku cemas.

"Oh, y–ya aku hanya sedang melamun." jawabku, kualihkan pandanganku kembali pada bara api, sementara itu pria tadi ikut duduk berbagi tempat duduk yang sama denganku.

"Ini." ujarnya sembari memberikan sebotol minuman padaku.

"Terima kasih."

Kutenggak minuman dibotol, berharap bisa melupakan apa yang telah menimpa rekan seperjuanganku.

"Tak kusangka dia akan pergi secepat ini." ujarnya.

"Ya.."

"Baru beberapa bulan aku disini, tapi aku merasa...aku telah menemukan keluarga baru."

"Aku pun merasa begitu..."

Kutenggak minuman dibotol kembali.

"Bukan maksudku lancang tapi, apa yang sebenarnya terjadi di kota ini?" tanyanya padaku.

"Entahlah, aku pun tidak tahu pasti."

"Kudengar semua bermula saat kasus pembunuhan masal itu terjadi?"

"Bisa dibilang begitu, hanya saja...bagiku sama sekali tak nampak seperti itu."

"Maksudmu?"

"Kau tahu kejadian itu disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi di kota ini?"

"Benarkah?"

"Ya, aku sendiri tak percaya saat melihatnya." kutenggak minuman kembali hingga habis lalu kutaruh di bawah bangku "Kau tahu layar besar yang berada di persimpangan kota?"

"Maksudmu layar besar yang hanya tinggal separuh itu?"

"Ya, disana lah kejadian itu kusaksikan dan bukan hanya aku saja, melainkan semua orang yang ada disana."

"Apa yang terjadi?"

"Waktu itu aku baru selesai makan bersama dengan rekan kerjaku, dan saat ku hendak melaju pulang."

Tiiid!!!

"Hei bung! Bisa tolong jalankan mobilnya?!" teriaku pada seorang pria gemuk yang tengah berdiri disamping mobilnya, pria itu nampak mematung membelakangi mobil yang kukendarai.

Jalanan satu arah yang hanya cukup untuk dua mobil kini dipenuhi kendaraan yang tak melaju.

Aku yang saat itu tengah menikmati alunan merdu biola dari salah satu stasiun radio mulai gusar dengan bunyi klakson yang bersautan dari arah samping dan belakangku.

Kubuka pintu mobil dan kubanting dengan keras berharap pria gemuk didepanku mendengarnya.

Namun dia tak mengindahkan kekesalanku.

Umpatan demi umpatan ku ucapkan dalam benak, kuhampiri pria itu lalu kuraih pundaknya, kutarik dengan sekuat tenaga namun sial, badannya amat kokoh.

Tak dapat menahan kesabaran ku langkahkan kaki lalu berdiri di depannya.

"Bung, apa yang kau lakukan hanya berdiri mematung disini?!" bentakku.

Tak di dengarnya pria gemuk itu lalu menyingkirkanku dengan lengan besarnya, membuat kedua kakiku goyah—terjinjit hingga membuat kedua sikutku menyentuh kaca mobil disamping.

"Apa kau sudah gila?!" bentakku lagi.

Pria gemuk itu hanya memandang kosong ke depan, kutolehkan kepala untuk mencari tahu apa yang sebenarnya dia lihat.

Tak ada yang aneh, yang nampak mencolok hanya sebuah layar besar menggantung pada sebuah gedung di sebrang persimpangan jalan–menayangkan sebuah acara pentas musik biola yang rupanya disiarkan pula oleh stasiun radio yang kudengarkan di mobil tadi.

Apa karena acara itu dia berdiri mematung seperti ini?

Saat kuperhatikan kendaraan di depannya, banyak pula pengemudi yang berdiri dan memandangi layar besar itu.

Ku akui alunan biola yang di iringi piano di acara itu memang lah merdu.

Tapi, apa memang semenarik itu?

Melihat kondisi yang tak memungkinkan untuk melaju kendaraan aku pun menyerah, tak ku hiraukan lagi suara klakson dari arah belakangku, aku hanya berdiri menyilangkan kedua lenganku dan bersandar pada jendela mobil–menikmati indahnya lagu yang dimainkan.

Terpampang dilayar, kamera yang semula terfokus pada panggung kini hanya tertuju pada pemain biola pria dengan rambut merahnya yang menyala. Kuperhatikan tiap gerakan tangan serta badannya amat selaras mewakili tiap-tiap bait melodi.

Namun, saat nada mulai meninggi suara gemuruh yang cukup nyaring tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Hal itu sontak membuat orang-orang terkejut, para pengemudi dibelakangku pun keluar dari kendaraan untuk mencari tahu asal suara itu. Ku alihkan pandangan ke arah asal gemuruh tadi yang rupanya terdengar dari arah belakang gedung dimana layar besar menggantung.

Tempo musik kini kudengar semakin cepat, lalu suara jeritan dan rintihan pun mencuat keluar dari layar besar itu. Ku alihkan pandanganku kembali pada layar besar itu dan kudapati kamera menyoroti sang pemain biola dari belakang, didepannya nampak penonton hingar bingar berlarian kesana kemari.

Seorang wanita bergaun tiba-tiba berlari dari kursi penonton dan mencoba menaiki panggung dengan panik. Dari belakangnya seorang pria berjalan menghampiri, meraih pundak wanita itu lalu membalikan badannya. Wanita itu menjerit histeris melihat pria yang ada didepannya, nampak kedua tangan pria itu memegangi sebuah benda kecil berujung lancip yang lalu dihujamkannya berkali-kali pada wanita itu.

Cipratan noda merah tercecer di ujung panggung tempat pemain biola berdiri. Seperti tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi didepannya pemain biola itu terus memainkan biola ditangannya. Sementara itu pria yang menjinakkan jeritan histeris wanita tadi kini berdiri dengan kepala yang mendongak–terkekeh kecil kemudian tertawa dengan kerasnya, ia berbalik dan berlari menuju kursi penonton.

Pentas musik berubah menjadi parade yang kelam.

Bum!!!

Suara dentuman mengejutkanku, membuatku mengalihkan pandanganku dari layar, dari kejauhan kulihat kendaraan banyak terpelanting, gedung demi gedung roboh berjatuhan, orang-orang berlari ketakutan. Dan tak lama gema suara raungan pun terdengar. Sosok hitam pekat terlihat merangkak lalu melompat melewati gedung-gedung yang roboh dan dengan seketika—

Bam!!!

—hentakan kedua kakinya menggetarkan persimpangan kota.

Makhluk hitam pekat dengan badannya yang kini nampak tinggi dan kekar berdiri tak jauh dari depanku, cahaya berwarna biru perlahan muncul berkobar dari badannya. Mulutnya perlahan terbuka, asap putih tampak mengepul dari mulutnya dan suara raungan yang menggema itu terdengar kembali yang kini terasa memekakkan telinga. Kulihat beberapa orang dijalan roboh berjatuhan, mereka tampak mengejang dan menggeliat, dari punggung mereka keluar sesuatu yang nampak seperti ranting berwarna putih berlumurkan merahnya darah—perlahan menjalar lalu melilit menyelimuti tubuh mereka.

Raungan yang menggema kini berganti suara erangan yang melengking–terdengar keluar dari mereka yang kini nampak bagaikan binatang buas.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
TRISQIAR
151      81     0     
Fantasy
Aku memiliki sesuatu yang berbeda. Ibuku bagaikan monster yang memelihara anak iblis. Teman hanyalah kata kiasan untuk mengutuk mereka Manusia bagiku hanyalah bayangan yang ingin aku musnahkan aku tidak pernah sama sekali memperdulikan hidupku karena aku tidak akan pernah bisa mati dan hal itu membuatku senang membunuh diriku sendiri. tapi karena kebiasaanku, sesuatu itu memberikanku kek...
Hujan [COMPLETED]
11      11     0     
Short Story
Jariku mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir. Apa yang sekarang terjadi pada gadis itu? Hidupnya dulu merana, tak tega melihatnya. Gadis itu menghadapi orang-orang yang tak bersahabat. Jika aku menjadinya, lebih baik mati saja. Manusia di dunia ini begitu jahat.
The Puzzle
44      37     0     
Fantasy
Banyak orang tahu tentang puzzle, sebuah mainan bongkar-pasang untuk melatih logika. Namun berbeda dengan puzzle yang dimiliki Grace, awalnya Grace hanya menganggap puzzle yang dimilikinya sama seperti puzzle yang dimiliki orang lain. Dia sering memainkan puzzle itu sejak kecil tapi setelah dia dewasa, puzzle itu mulai memunculkan teka-teki baginya. Grace heran saat ayahnya benar-benar menjaga pu...
Yuri
9      9     0     
Short Story
Kami, sepasang gadis yang baru memekarkan kelopak cinta di awal musim dingin, berpagut dalam ciuman untuk pertama kalinya. Dalam dekapan lidah yang terasa manis itu, dunia seolah membukakan kaleidoskop violet-krem yang membekas dalam dunia serba putih.
Dokyeom's Late Night Bookstore
81      61     0     
Inspirational
If you are feeling lost, and everything's hard, then I hope this book could be your healing. This book contains inspirational quotes and stories, based on DK's Vlive radio, plus author's own opinion and feelings.
FAKE NERD AND BLIND ALPHA
83      49     0     
Fantasy
Seorang Alpha buta berjuang menjaga matenya dari garis taqdir yang berkali-kali menggores kebahagian mereka. Jika jarum runcing taqdir mengkhianati mereka, antara cinta ataukah kekuatan yang akan menang?
Dinding Kardus
311      164     0     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Suami Untuk Kayla
124      76     0     
Romance
Namanya Kayla, Hobi Futsal kaya laki, Lola nya setengah mati dan kaya anak kecil bisa nya main in bola dan tiba-tiba harus menikah dengan seorang hafidz. Bagaimana kehidupan kayla pasca menikah ? check this out !
Surat Terakhir untuk Kapten
371      303     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
HOME
10      10     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.