Read More >>"> Egoist (Chapter 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Egoist
MENU
About Us  

Ia memandangi mayat itu dengan datar, tapi di dalam hatinya, ia merasa senang dengan corak-corak darah yang ada di sekitar—sebuah kenang-kenangan dari kesenangan yang dialami mereka kemarin. Bau tajam berasa besi yang mengingatkannya pada teriakan meminta ampun dari lelaki binatang, juga banjir darah yang memercik liar di lantai putih menjadi merah darah.

Semua warna itu tampak lebih tajam ketika lampu dinyalakan. Ia merasa begitu tenang dan semangatnya meningkat, seakan dirinya yang telah menyiksa lelaki itu kemarin-kemarin. Di bawah dekat kaki mayat terdapat isi perut yang berceceran, tampak hancur tak berbentuk, seperti potongan organ yang hendak membusuk.

Membunuh, menyiksa, sebuah cara menunjukkan kepemilikkan atas mereka yang jauh melampaui perbudakan. Bahkan, ketika melihat rupa terburuk mereka saat menjelang kematian adalah suatu ekspresi seksi yang tidak akan ditunjukkan pada orang lain.

Haruskah ia menuliskannya nama sebelum memasukkan mayat ini ke penggilingan? Sebagai tanda cinta?

Tidak. Tidak boleh ada nama.

Sebuah tepukan pelan membuatnya tersadar. Ia menoleh, mendapati seorang rekannya—lelaki bertubuh besar dengan rambut cepak—berdiri di sebelahnya, menyodorkan minuman alkohol sambil tersenyum miring.

"Kau masih ingin memandangi buruanmu yang malang?"

Ia menggeleng. "Tidak. Aku sudah cukup muak melihatnya."

"Kenapa?" Lelaki itu bertanya lagi. Mereka berjalan keluar ruangan, membiarkan beberapa orang berpakaian serbahitam, yang posisinya lebih rendah membereskan mayat itu.

Mayat itu dinaikkan ke atas gerobak besi yang kotor, seperti masa-masa hidup si mayat, lalu didorong keluar ruangan, dikumpulkan bersama dengan mayat-mayat lain—entah hasil uji coba atau penyiksaan—untuk dimasukkan ke sebuah mesin penggiling besar. Bisa kau bayangkan bagaimana tubuh mereka dihancurkan berkeping-keping tanpa sisa sedikit pun diiringi deru mesin yang menyayat, bercampur dengan aroma besi dan anyir yang kuat, ditambah suara tulang-tulang yang bergemeletuk. Hanya selama kurang lebih lima menit, tubuh mereka—yang digunakan untuk berbuat dosa—telah hancur, dengan cipratan darah di dalam mesin. Begitu memabukkan.

Sebuah hukuman yang pantas bagi orang-orang kotor seperti mereka.

Semua aktivitas berakhir pukul tujuh malam. Lampu-lampu di laboratorium utama akan dimatikan. Pengeras suara akan bicara, mengumumkan agar gerbang laboratorium segera ditutup. Dan setelah itu, malam-malam penyiksaan akan dilaksanakan. Tidak setiap hari ada pembunuhan. Biasanya, mereka hanya mengincar orang-orang yang kotor, dalam artian, merugikan, serta merampas hak orang lain.

Di luar gedung laboratorium, tidak ada bangunan lain. Hanya ada pagar besi yang tinggi. Jauh dari perkotaan Nilfheim. Semua ini dikarenakan biostigma sepuluh tahun yang lalu, di mana para manusia yang terjangkit akan perlahan mati dan menginfeksi satu sama lain. Dulu, mereka dikurung di Turk dan dijadikan kelinci percobaan.

"Kau tahu, Niel, ada target baru untukmu," kata lelaki itu ketika mereka memperhatikan gerobak-gerobak besi yang melintas, dengan mayat Jim Sakgaard di dalamnya, beserta ceceran isi perut atau organ-organ lainnya.

Niel diam sejenak, lalu kembali menegak minumannya. "Siapa?"

"Aku tidak tahu, tapi sepertinya, dia lebih lezat dibanding orang kemarin."

"Baguslah. Dengan begitu, orang-orang kotor di luar akan semakin berkurang."

Lelaki itu tertawa mendengarnya. Ia menyenggol lengan Niel. "Tidak akan pernah berkurang, Niel. Mereka—si manusia kotor—akan terus tumbuh selama mereka berkembangbiak. Akan ada manusia kotor lain yang terlahir, bahkan bisa jadi lebih kotor lagi."

"Kalau begitu, sekalian saja bunuh bayi-bayinya."

"Bisa sekali kau bicara." Lelaki itu menggeleng-geleng pelan. "Turk terlalu berjasa bagi Nilfheim. Coba bayangkan, Niel. Sepuluh tahun lalu, Turk telah menyelamatkan Nilfheim dari biostigma yang dibuat oleh orang-orang tolol itu. Sekarang Turk juga menyelamatkan Nilfheim dari tangan-tangan kotor yang rakus. Ini hubungan timbal balik yang bagus, bukan?"

"Kupikir, ini tindakan yang menguntungkan mereka." Niel kembali melanjutkan langkah, menuju tempat makan yang terletak di sisi lain laboratorium. Mereka bisa melihat gedung laboratorium yang berbentuk huruf U besar. Gedung bercat serbaputih yang berbentuk seperti rumah sakit.

"Kita terlihat berdosa di mata orang, padahal kita melakukan hal yang baik untuk Nilfheim. Jadi sebenarnya, yang berjiwa cinta negara itu kita atau orang-orang itu?"

***

Niel masuk ke kamarnya dengan perlahan. Memanfaatkan cahaya temaram bulan yang menembus tirai jendelanya yang tertutup rapat,

ia melepas jaket hitamnya. Di dalam saku jaket itu tersimpan sebuah foto lelaki berambut cepak dengan wajah yang tidak terlalu tampan. Wajahnya bulat dengan rambut-rambut tipis di area dagu.

Target berikutnya lelaki—lagi-lagi. Namun, kali ini bukan seorang pejabat. Hanya kepala reporter yang suka memakan uang bawahannya. Ia tidak pernah melihat lelaki ini sebelumnya, tapi rasanya begitu menyenangkan jika lelaki ini berteriak meminta ampun padanya.

Lelaki yang suka membentak, memeras, dan menipu bawahannya. Benar. Lelaki ini berbahaya. Rakus dan bodoh.

Ia membalik foto itu dan menemukan catatan. Identitas target.

"Begitu, ya. Jadi namamu John Freebourn." Niel bergumam seorang diri, lirih. "Aku akan memberikanmu waktu dua hari. Bersenang-senanglah, lalu buat kami senang nanti."

Sambil tertawa sendirian dengan nada lirih, Niel kembali menyimpan foto itu. Kemudian, ia melangkah menuju jendela besar kamarnya, membuka tirai, membiarkan cahaya bulan terpantul di lantai kayu kamarnya. Ia duduk di tepian jendela, memandang lurus bulan yang bercahaya sedikit keabuan.

Sahabatnya benar. Manusia kotor itu tidak akan pernah habis. Mereka akan terus lahir dan tumbuh.

Namun, ada satu hal yang ia pikirkan.

Sampai kapan ia akan melakukan ini? Menjadi anjing pemburu Turk tidaklah buruk. Kau tidak akan berurusan dengan jeroan korban, atau mendapat luka fisik ketika menyiksa mereka. Kau hanya perlu mendapatkan target dalam keadaan hidup, lalu menyaksikan mereka mati secara perlahan. Entah karena obat atau penyiksaan fisik.

Tangannya bersih, tapi dirinya yang menjadi jembatan bagi Turk dan orang-orang itu.

Tidak apa-apa, mereka juga melakukannya dulu.

Itulah yang selama ini Niel yakini. Orang-orang kotor itulah yang membuatnya seperti ini. Orang-orang kotor yang menjauhkannya dari kata normal, menjadikannya sebagai sosok monster yang mengerikan.

Jika saja, manusia bisa lebih baik, maka biostigma tidak akan pernah terjadi.

Jika saja, manusia tidak memikirkan diri mereka sendiri saat itu, maka ... tidak aka nada hal-hal seperti ini.

Dan jika saja, ia lebih berani, mungkin hidupnya akan normal hari ini.

Bersama dengan orang tuanya yang telah pergi ke neraka.

Niel menggeleng. Tidak sepantasnya ia memikirkan hal-hal itu. Tidak akan ada yang berubah meski ia memikirkannya sepersekian detik sekalipun. Biostigma sudah tak terelakkan dan orang tuanya tidak mungkin kembali hidup.

Tidak ada kehidupan normal lagi baginya.

Niel kembali menutup tirai jendela, lalu berjalan menuju tempat tidurnya. Ia berbaring tanpa menaikkan selimut, lalu memejamkan mata.

Ada sebuah nama yang terlintas dalam benaknya.

Ellie ....

Dia sudah mati.

Ellie, adiknya yang malang. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Story of Love
4      3     0     
Romance
Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada perjalanan cinta yang sepahit kopi tanpa gula, pun ada perjalanan cinta yang semanis gula aren. Intinya sama, mereka punya kisah cintanya sendiri. Kalian pun akan mendapatkan kisah cinta kalian sendiri. Seperti Diran yang sudah beberapa kali jatuh tempo untuk memiliki kisah cintanya
LOLITA - A Roller Coaster
2      2     0     
Short Story
Tentang Penyesalan Mardian akan Lolita
27th Woman's Syndrome
36      13     0     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Guru Bahasa
4      4     0     
Short Story
Pertama kali masuk pesantren yang barang tentu identik dengan Bahasa Arab, membuatku sedikit merasa khawatir, mengingat diriku yang tidak punya dasar ilmu Bahasa Arab karena sejak kecil mengenyam pendidikan negeri. Kecemasanku semakin menjadi tatkala aku tahu bahwa aku akan berhadapan dengan Balaghah, ilmu Bahasa Arab tingkat lanjut. Tapi siapa sangka, kelas Balaghah yang begitu aku takuti akan m...
BlueBerry Froze
0      0     0     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
With or without you
16      7     0     
Romance
Two World
17      5     0     
Fantasy
Ketika mimpimu terasa nyata Hingga kamu merasa bingung dunia mana yang seharusnya kamu tinggali ...
sahabat vs pacar
1039      626     5     
Short Story
pacar boleh tergantikan dengan seiringnya waktu tapi sahabat terlalu susah
The Presidents Savior
77      18     0     
Action
Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya demi merebutkan cinta monyet. Bahaya yang Diana hadapi tentu berbeda karena ia bukan sembarang remaja. Karena ia adalah putri tunggal presiden dan Diana akan menjaga nama baik ayahnya, meskipun seten...
Jangan Main Petak Umpat
3      3     0     
Short Story
"Jangan Main Petak Umpat Sore-Sore!"