Read More >>"> Ankle Breaker: Origin ([Chapter 13: Another Level] ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ankle Breaker: Origin
MENU
About Us  

ANKLE BREAKER ORIGIN

[Chapter 13: Another Level]

 

Asap putih mengepul panjang ke udara, puncaknya melebar—melayang, perlahan menghilang. Ujung sebatang rokok menyala merah, pangkalnya terapit sepasang bibir Alter. Ia tengadah—condong—ke langit yang berbintang, sekali lagi mengepulkan asap melayang sia-sia. Teman bersandar dindudukan tribun terbawah dalam arena basket tidak lebih dari sekaleng minuman ringan di sebelah kirinya. Raut wajahnya menunjukkan perasaannya tidak sedang baik saat itu. Tatapan matanya kosong merisau, sesekali meneguk minumannya. 

Mungkin bosan menatap gelapnya langit dan kerlipan bintang, ia mengalihkan pandangan tertuju kepada dua laki-laki—yang ia lihat salah satunya memakai topi snapback dan satunya lagi tidak bersepatu—sedang beradu satu lawan satu di court. Yang memakai topi dibalik ke belakang sedang merintangi, menekan dan membatalkan beberapa gerakan lawannya yang tidak bersepatu. Alter lihat, satu teknik gerakan dari yang nyeker kali itu tidak ditahan dengan tepat oleh yang pakai topi. Tembakan bebas dengan tangan kiri dilesatkan melambung ... lalu memantul pendek beberapa kali dalam kolong rim, akhirnya terhitung sebagai tembakan yang berhasil. 

Giliran yang bertopi menyerang, one on one yang Alter perhatikan sambil meneguk minuman ringan, tapi saat ini ia tidak menegakkan wajahnya lagi. Kaleng minuman di tangan kiri dilempar dengan asal, mengisap rokoknya lagi. Menambahkan efek visual dengan kepulan asap pada area langit berbintang yang tengah dipandang.

"Ergh!?" Penglihatan Alter tiba-tiba terguncang, juga ia dengar beberapa kali dentum bola memantul dari dekat. Sebelah tangannya memegang sekitar dahi secara naluri sewaktu mendengar derap langkah lari yang menghampirinya.

"Sorry, Bro sorry! Loe enggak seberapa, kan? Eh, loe enggak apa-apa, kan?" Alter lihat yang pakai topi mengatakan itu.

"Panggil ambulan, Ank!" kata yang tidak pakai sepatu.

"Loe, sih Her. Nge-block diarahin ke penonton, pas kepalanya lagi," kata yang pakai topi.

"Aku enggak apa-apa," kata Alter sehingga kedua laki-laki itu kembali memperhatikannya. "Aku enggak apa-apa."

"Enggak apa-apa? Syukurlah. Lagian dari sini rumah sakit agak jauh, sih," kata yang pakai topi. "Tapi gue bisa ngebut kalau mau di anter. Mau?"

Alter tertawa kecil, lalu sedikit menggeleng.

"Maaf, ya!" sesal yang tidak pakai sepatu. "Eh, bolanya mana?" tolah-toleh meninjau sekeliling. "Di siti kau rupanya." Menghampiri bola, mengambilnya. "Biar aku yang balas," katanya kepada Alter. "Bola mantul sialan!" sambil melempar jauh bola itu. 

"Kok loe sedih gitu? Gue jadi enggak enak," sesal yang pakai topi mengesan Alter.

"Aku enggak apa-apa, santai aja," Alter meyakinkannya.

"Yakin? Tapi loe sendiri enggak kelihatan santai."

"Ada lagi yang perlu diberesin?" tanya yang tidak pakai sepatu sewaktu kembali menghampiri Alter, tanpa tahu bola yang ia lempar—jauh dari punggungnya—sedang mengenai kepala seorang perempuan yang berjalsn dengan pacarnya, sehingga perempuan itu terhuyung jatuh. 

"Okay. Loe boleh curhat kalau punya uneg-uneg," kata yang pakai topi. "Oh, ya, gue Agung. Tapi gue sering dipanggil Cake Ank. Terserah loe mau panggil yang mana."

"Aku Heru," kata yang tidak pakai sepatu.

"Aku Alter," balasnya datar. "Makasih perhatiannya."

"Ayolah, ini hari terakhir gue di kota ini, sama dia. Besok pagi kita pulang kampung. Gue enggak mau pulang dengan ninggalin kesan enggak baik ke orang yang masih ada di kota ini," kata Agung. "Loe juga, Her. Tobat dulu sebelum pulkam. Tobat suka jalan sama pacar temen sendiri."

"Itu kan kamu sendiri!" sedikit ngegas Heru katakan.

"Kalian mau dengerin?" Seketika Heru dan Agung terfokus padanya. "Aku penasaran, kenapa cewek udah ada pacar tapi diam-diam deketin cowok lain?"

Heru dan Agung saling memandang, lalu saling melepas tawa, mengarahkannya ke kanan dan ke kiri bergantian. Alter heran melihatnya, merasa diremehkan.

"Em, erhm, erhm," Heru dan Agung saling mengerem tawa. 

"Loe duluan jawab," kata Agung sambil menyikut Heru. 

Heru berdehem. "Oke. Pertama-tama aku wawancarai pakai tiga pertanyaan. Kamu asli sini?"

"Bukan," jawab Alter datar.

"Dari?"

"Jogjakarta."

"Udah berapa lama di kota ini?"

"Hampir satu bulan."

Heru mengangguk-angguk. "Saran aku sih, buat ke depannya jangan pernah baper sepenuh hati sama cewek mana pun di kota ini. Sedikit pun jangan, meski pun kamu kira dia kelihatan punya rasa sama kamu. Kamu pegang wasiat ini."

Alter, Heru dan Agung saling menoleh ke arah yang sama, menandang dengan penasaran. 

Seorang laki-laki berkaca mata sedang dihajar oleh tiga orang di tribun, sedangkan laki-laki bertanktop putih menahan perempuan yang meneriakkan kata-kata permohonan dengan histeris.

"Enggak segampang itu menyalahi perjanjian. Gue udah ngalahin dia one on one!" lantang laki-laki bertanktop kepada perempuan yang ia cengkeram. "Sesuai kesepakatan, loe taruhannya," katanya dengan menatap kesal. "Gue nyariin loe dari pagi, loe bukan milik si bonyok itu lagi."

Tiga orang yang menghajar kini menahan serangan, membiarkan laki-laki berjaket levis terkapar sedangkan kacamatanya terlepas dan rusak. Si perempuan menangis, menuruti ajakan langkah pergi laki-laki bertanktop yang memaksa. Mereka berlima berpapasan dengan Alter, Heru dan Agung. Para penghajar memicingkan mata kepada mereka bertiga.

 Si perempuan sempat menoleh ke belakang, merasa tangan kirinya digenggam erat oleh seseorang yang ia papas, sehingga langkah laki-laki bertanktop ikut terhenti. Mengabaikan Heru dan Agung, tiga laki-laki penghajar saling menarik baju putih lengan panjang yang Alter kenakan, dan geram memandang.

"Ngerasa dapat masalah?" tanya si tanktop secara dingin kepada Alter, sementara Heru dan Agung tidak mengerti harus bagaimana.

"Aku heran, aku pikir kamu terlalu bar-bar ngambil hati cewek yang jelas-jelas enggak suka sama kamu," jawab Alter sambil menyeringai.

"Apa urusan loe?" si tanktop menatap berang.

"Kalau aku yang menang, jangan pernah cewek ini lihat kamu lagi, dan minta maaf sama pacar aslinya. Dan, cuci tanktop loe bau tahu, enggak?" Alter tidak menahan tawanya yang ringan.

Tiga laki-laki yang masih menarik baju Alter semakin menyudutkannya dengan lebih kasar.

Si tanktop menatap Alter lebih lekat. "Kalau gue menang, tiga anak buah gue akan hajar loe sepuas mereka. Camkan!"

***

Alter mengimbangi serangan si tanktop, ke kanan dan kiri menahan serangan di sisi luar low-post terdekat.

"Boleh juga," kata si tanktop mengakui tekanan yang Alter berikan. Si tanktop mendadak mengubah arah, lalu bermanufer melalui sisi kanan Alter. Si tanktop menuju rim. 

"Argh? Sheed!" reaksi Alter tersungkur ke belakang.

Tiga anak buah si tanktop—yang menahan si perempuan—bersorak, salah satunya meneriakkan, "Hancurkan! Dua skor lagi, Bos!"

Alter bangkit, mengambil bolanya, lalu mengambil gilirannya.

"Enggak ada lawan yang belum pernah jatuh dalam radius sakral gue," kata si tanktop. "Asal loe tahu, di arena ini mereka panggil gue ... Ankle Breaker, Irvin."

Alter menyeringai. "Kebetulan. Kamu bukan satu-satunya Ankle Breaker di arena ini." Alter meningkatkan agresifitas serangannya. Bergerak secara acak dan cepat. 

Heru memperhatikan adu satu lawan satu itu dari tribun. "Seninya Alter bagus juga. Tapi Irvin nunjukkin performa yang seimbang," akunya.

"Loe senyum seolah tahu apa?" tanya Irvin tanpa kehilangan keluwesan menahan bertubi upaya Alter untuk melewatinya. Ia melakukan beberapa langkah ke kiri, semakin menjauhi sisi kanan Alter, lalu terjengkang.

"Balasan telak," Agung mengesan.

Tidak ada kesempatan bagi Alter saat itu selain menyelesaikan gilirannya dengan lay-up.

Irvin mengambil gilirannya. "Kalau enggak begini enggak akan seru," katanya dengan menunjukkan percaya diri yang tinggi. Ia menjadi beringas menyerang, dengan gerakan-gerakan bersinambungan dan esensial.

Alter berikan perlawanan sebanding, sehingga keluwesan akselerasi mereka berdua saling beradu, mengorbit di dalam low-post dengan arah tidak menentu.

"Budyah banget," Agung mengesan pertandingan yang ia saksikan. "Tekniknya kombois, kritikal, tapi ada juga yang dipaksain," Heru mengesan.

"Tapi setiap steal Alter belum ada yang berhasil," imbuh Agung.

Arah penutupan dan steal Alter kali ini membuat Irvin refleks mengubah arahnya menyamping ke kanan dengan percepatan jarak pendek.

Heru melihat itu, "Alter telat setengah detik merespon." Namun ekspresinya beralih tercengang, sebagaimana—tanpa ia sadari—yang Agung dan tiga anak buah Irvin tunjukkan.

Irvin jekangkangan tersungkur, sementara bola terlepas dari penguasaannya. Alter manfaatkan momentum itu sebagai keuntungannya. Tiga laki-laki yang menahan seorang perempuan mengetahui bos mereka tidak kunjung bangkit dalam sepuluh detik, sedangkan Alter selesai meledakkan dunk-nya.

"Bentar, bentar. Barusan Irvin kenapa?" tanya Agung penasaran, belum menemukan keterangan dari yang dipikirkan. "Dia kan nyerang. Kenapa bisa sampai jekangkangan?"

"Oh, ya. Kayaknya, aku paham, pola gerakan Irvin sebelum slide ke kanan, sebenarnya udah syarat bikin aktif radius sakralnya," kata Heru. "Tapi malah dia sendiri yang kena."

"What?" Agung belum habis keheranan.

"Kamu pasti tadi perhatiin, gerakan bertahan Alter yang menekan. Aku ngerasa, Alter secara bertubi mendesak si tanktop lakuin pilihan gerakan yang terpaksa. Dengan gerakan yang saling beradu fleksibelitas dan percepatan, sampai waktu Irvin lakuin slide ke kanan, dia enggak sadar kalau gerakannya terlalu awal buat diimbangi kembalinya kestabilan pusat gravitasi postur tubuhnya."

"Maksud kamu?" Agung belum dapat.

 "Semula kestabilan itu dia fokusin buat aktifin ankle break. Tapi pilihan gerakan Alter selama kondisi itu, aku enggak tahu sebabnya, tapi aku yakin, pilihan gerakan bertahan Alter menolak efek ankle break yang seharusnya dia terima. Bahkan kerennya lagi, dia balikin ke Irvin."

 Mereka bertiga memikirkan hal yang sama, sehingga dua dari mereka bergegas masuk court menghampiri si tanktop. 

Irvin sambil merintih dibantu berdiri dua temannya. "Sakit, goblok! Turunin, turunin! Kaki gue!" pekiknya. "Turunin! Turunin! Argh!" membuat dua teman sekaligus anak buahnya itu menurut dengan cemas. Ia mengetahui Alter menghampirinya. Ia mengerang, merasa senyuman itu menghinanya. Ia menatap balas Alter dengan bertambah geram.

"Masih bisa lanjut?" tanya Alter mengejek.

"Loe boleh menang kali ini."

"Okay, dan sesuai kesepakatan."

"Siap a nama loe, bangsat!"

Alter menyeringai. "Ankle Breaker Origin, Alter."

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Gladistia

    Baru 2 chapter, udah suka. Jadi nostalgi. Keren Dhio, lanjut dongsss.... ^^

    Comment on chapter Chapter 3: Excalibur
Similar Tags
Ponsel Pintar
2      2     0     
Short Story
Gue iri dengan teman-teman kampus yang sudah punya ponsel pintar. Sedangkan gue masih bertahan dengan ponsel jadul yang masih sering direvisi. Maka dari itu, gue bertekad untuk membeli ponsel pintar.
Mawar Milik Siska
3      3     0     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
Di Hari Itu
254      198     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
No, not love but because of love
16      7     0     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
Mungkin
2      2     0     
Romance
Mungkin dia datang.. Atau mungkin dia hanya menghampiri, Hampir datang. -Karena terkadang kenyataan tak seindah mimpi-
Neverends Story
29      3     0     
Fantasy
Waktu, Takdir, Masa depan apa yang dapat di ubah Tidak ada Melainkan hanya kepedihan yang di rasakan Tapi Harapan selalu menemani perjalananmu
BACALAH, yang TERSIRAT
133      19     0     
Romance
Mamat dan Vonni adalah teman dekat. Mereka berteman sejak kelas 1 sma. Sebagai seorang teman, mereka menjalani kehidupan di SMA xx layaknya muda mudi yang mempunyai teman, baik untuk mengerjakan tugas bersama, menghadapi ulangan - ulangan dan UAS maupun saling mengingatkan satu sama lain. Kekonyolan terjadi saat Vonni mulai menginginkan sosok seorang pacar. Dalam kata - kata sesumbarnya, bahwa di...
FIGURE 09
33      12     0     
Fantasy
FIGURE.. sebuah organisasi yang memberikan jasa agen mata-mata atau pembersihan dunia daripara sampah yang terus memakan uang rakyat. bahkan beberapa raja dan presiden tersohor memiliki nomor bisnis mereka. seseorang yang sudah menjadi incaran para agen Figure, pasti akan berakhir pada kematian atau penjara seumur hidup, itu pun masih ringan karena biasanya sang pemakai jasa menginginkan mereka h...
Bandung
280      46     0     
Fan Fiction
Aku benci perubahan, perubahan yang mereka lakukan. Perubahan yang membuat seolah-olah kami tak pernah saling mengenal sebelumnya - Kemala Rizkya Utami
Sial Mulu, Ah!
3      3     0     
Short Story
Gimana rasanya jika hidupmu selalu dirundung kesialan?. Pasti buat kesel dan tidak menyenangkan. Entah emang bawaan lahir atau ada orang yang tega jampi-jampi gue sehingga gue sial mulu. Arghh...