Kota ini tampak begitu cerah, dari ujung pagar perbatasan masuk hingga di pelosok. Nuansanya banyak didominasi campuran corak hutan musim gugur, rumput hijau segar, dan gulali manis.
Hari itu sedang diadakan kegiatan acara perkenalan. Beberapa imigran baru dan turis dari luar sedang berkumpul di pusat keramaian.
Di sepanjang tiang poster terpasang banyak lampu warna-warni, seperti corak badut hijau merah. Ada juga banyak bendera kecil dan balon yang menghiasi area pinggiran taman.
"Oh, aku tahu kota ini begitu menyenangkan!" Sambut suara Nyonya Fairchild yang terdengar begitu ceria.
Keluarga kecil Fairchild baru selesai bersih-bersih rumah mereka sekitar dua jam yang lalu. Sekarang sudah tepat jam satu siang, saatnya Nyonya Fairchild mengajak anak gadisnya untuk pergi bersama ke tengah kota.
Tiana yang sedari tadi sudah mengikuti disebelahnya itu mulai berjalan dengan gerakan malas.
"Bisakah aku pulang saja? Di sini terlalu ramai orang..." gumam Tiana, berlagak tak berminat.
Sontak saja ibunya menengok sejenak kepadanya dengan tatapan yang menghakimi. Saat itu ibunya sengaja mengamati dari ujung kepala hingga kakinya.
Tiana sendiri merasa tidak ada yang aneh dari satu set jaket cokelat gelap, celana denim jeans, dan sneaker yang dikenakannya. Rambut panjang cokelat tuanya juga selalu dikucir sederhana. Inilah gaya santai tampilan sehari-harinya.
Jelas saja ia jadi balas menyahut kesal, "Apa ada yang salah dengan tampilanku?"
"Ah, lihatlah kamu ini, jangan berlagak seperti penyendiri begitu. Tampilan hipster-mu itu sudah cukup memberitahuku kok."
Tiana mendesah kesal. "Hipster? Ini hanya jaket gelap biasa..."
Ibunya segera berceloteh penuh semangat kembali, "Well, aku pikir kau akan suka pergi berkeliling di kota baru. Kita harus bisa familiar dengan suasana di sini jika ingin tinggal di Faerie City, dan berbaur dengan para tetangga..."
Tiana diam-diam menatap cemberut ke ibunya. Lalu ia menggerutu sendiri, "Ya, terserah saja. Kalau aku sih tidak ingin tinggal lama di sini..."
Seketika itu juga ibunya berhenti berjalan dan langsung menatap wajahnya dengan serius.
"Kita sudah membicarakan hal ini, Tiana. Kau tahu bagaimana rasanya beradaptasi di tempat baru, kan?" Ujar ibunya yang tampak agak kesal.
Sejenak Tiana menatapnya terdiam kaku. "A-aku kan hanya akan tinggal di sini selama masa liburan, jadi..."
Ibunya langsung mengangguk-angguk, seraya paham dengan apapun alasan yang ingin dilontarkan Tiana itu.
"Tiana, lihatlah kita berada di sini sekarang. Nikmatilah pemandangan indah yang ada di sekitarmu. Jangan merusak suasana hati," ucap ibunya yang berusaha untuk kembali tersenyum hangat lagi.
Tiana sendiri merasa malas untuk berdebat. Lantas ia kembali bersikap cuek lagi.
Namun ibunya tetap memaksa agar ia ikut berjalan bersama. Akhirnya mereka berdua pun segera mengunjungi taman kota yang sudah ramai dikunjungi banyak orang.
Sejenak Tiana memandang jauh ke patung peri raksaksa yang paling menonjol di antara yang lain. Patung itu berada tepat di atas satu-satunya bangunan taman kota.
Tiana tampak bingung saat melihat bangunan unik tersebut. "Tempat apa ini?"
Matanya masih terus memperhatikan sosok patung peri perempuan bersayap di atas sana. Lalu ibunya cepat-cepat kembali membuka brosur kota untuk mencari tahu nama bangunan yang ada dihadapan mereka itu.
Sebelum ibunya menemukan informasi yang dituju, mata Tiana sudah bergerak lebih cepat. Tentu saja nama tempat itu sudah jelas terbaca dari ukiran tulisan tebal yang terdapat di bawah patung.
"Museum Sejarah Faerie?" Tiana sontak terkekeh geli saat membacanya. "Yang benar saja. Sejarah macam apa yang ada di sana, hah? Tempat ini saja sudah terlihat sangat membosankan."
Ibunya kembali menengok bolak-balik antara bangunan itu dan ekspresi geli Tiana.
"Akar sejarah kota ini sudah pasti tersimpan di dalam museum itu," ucap ibunya. "Aku sudah banyak baca tentang kota ini, katanya dulu ada mitos peri yang hidup di sini."
Tiana pun semakin terkekeh sendiri. "Ma, tidak ada yang percaya peri itu nyata."
"Kalau soal yang satu itu, ya... mungkin kau benar," ucap ibunya yang ikut terkekeh. "Mungkin pemerintah kota hanya mengada-ada saja untuk menarik minat wisatawan asing."
"Atau aneh, kedengarannya," gumam Tiana seraya memincingkan alisnya saat menatap bangunan bersejarah di sana.
Semua orang berkumpul bersama, saling berpencar di taman yang banyak ditumbuhi tanaman hijau ini. Beberapa di antara mereka memang tampak seperti turis asing yang baru datang ke mari, sedangkan yang lainnya hanya sekedar ingin pergi bermain.
Dari jarak beberapa meter, seorang perempuan muda berambut putih sedang menatap seksama ke arah mereka. Tiana mulai merasa aneh saat perempuan itu mulai terus-terusan tersenyum ramah.
"Semua orang sudah bertemu dengan pemandu wisata mereka masing-masing," gerutu ibunya yang tampak sedikit depresi dengan suasana ramai di sini. "Di mana kita bisa..."
Tiba-tiba saja perempuan itu menghampiri mereka dengan wajahnya yang super ramah. Lalu ia menyapa hangat, "Hei, kalian pasti imigran baru ya?"
Tiana sempat mengamati tampilan perempuan itu yang justru berpakaian seperti turis pantai; kaos putih tanpa lengan, celana jeans yang robek di berbagai sisi, dan sepatu boots cowboy. Sekilas ia juga melihat beberapa lembar brosur kota pada genggamannya itu sama seperti yang dipegang ibunya sekarang.
Lalu Nyonya Fairchild segera menengok gembira saat melihat kedatangannya. "Ah, iya, benar sekali!"
"Perkenalkan, namaku Piper Faeberry," ucapnya sambil menyodorkan sebelah tangan. "Hari ini aku akan menjadi pemandu wisata kalian secara pribadi."
Nyonya Fairchild segera membalas jabat tangannya dengan senang hati. "Halo, Piper. Terima kasih sudah mau menemui kami siang ini. Namaku Elise Fairchild, dan ini..."
Sepasang mata Piper segera tertuju ke gadis yang terus merengut ketus itu. Seketika itu juga, Elise menyikut tangan anaknya dengan agak keras, mencoba membuyarkan lamunannya.
Tiana balas melirik dengan tatapan menyebalkan ke mereka. Namun tetap saja, pada dasarnya anak itu memang keras kepala. Lalu ia malah kembali merengut cuek lagi.
Elise yang merasa malu itu segera saja memperkenalkannya sambil tersenyum kaku, "Ini anakku, Tiana Fairchild. Maafkan kelakuannya ya."
Piper sendiri tidak mau ambil pusing akan masalah sepele itu. Ia tetap menyambut mereka berdua dengan penuh kehangatan.
"Faerie City banyak penggemarnya ya ternyata, aku tidak menyangka akan sepadat ini penduduknya," ucap Elise yang sudah sejak awal mengaggumi kota ini.
Piper terkekeh. "Kami punya banyak hal menarik di kota. Terutama jika kalian tertarik dengan dunia botani, ada juga museum rumah kaca."
Elise spontan menunjukkan ekspresi gembiranya. "Oh, benarkah? Suamiku sangat mencintai hal-hal yang berhubungan dengan botani. Dia pasti akan menyukainya."
Piper lantas mencari-cari sosok yang dimaksud, "Suami?"
Elise segera menjelaskan, "Oh, dia tidak ikut, soalnya sedang mengurus beberapa berkas rumah di gedung administrasi."
Seorang pemandu wisata lainnya menghampiri mereka. Kali ini tampak seorang perempuan berumur 40-an seperti Elise yang hadir menyapanya.
"Jadi kalian sudah bertemu anakku, Piper," ucapnya dengan senyuman lebar.
"Anakmu sangat ramah sekali! Aku juga mulai menyukai suasana di kota ini," sahut Elise.
Lalu Piper ikut menambahkan, "Perkenalkan, ini ibuku, Mia Faeberry, seorang pemandu lokal juga seperti diriku."
Saat itu juga, pertemuan di antara Elise dan Mia bagaikan medan magnet yang langsung menyatu erat. Mereka langsung asyik bercakap-cakap sendiri membicarakan tentang fasilitas kota dan melupakan kehadiran anak-anak mereka.
Sekarang hanya tinggal Piper dan Tiana, kedua gadis yang tampaknya seumuran ini masih saling berdiam diri saja satu sama lain.
Sampai akhirnya Tiana tiba-tiba menyeletuk iseng kepadanya, "Jadi, apa yang bisa kau lakukan di kota yang sangat membosankan ini?"
Piper tertegun setelah mendengarnya. Ia sempat merasa heran dengan sikap antipati Tiana. Lalu spontan ia terkekeh geli sebelum bergumam, "Kota yang membosankan?"
Tiana menaikkan alisnya dan mengangguk santai, namun raut wajahnya itu tetap saja terlihat menyebalkan.
"Well, kau bisa menghadiri acara festival kota, selalu ada perayaan khusus setiap saat, dan ada juga beberapa museum antik," ucap Piper sambil tersenyum lebar.
Seramah apapun sikap Piper kepadanya, Tiana tak mau balas bersikap bersahabat. Ia malah tetap bersikap cuek dan menyebalkan.
Piper sendiri tidak ingin suasana kembali menjadi canggung di antara mereka, lalu segera saja ia mengajaknya, "Hei, kalau kau tidak keberatan, aku bisa menunjukkanmu tempat-tempat asyik di kota ini."
Tiana melirik penasaran kepadanya. Lalu ia malah balas menyindir, "Oh, benarkah ada tempat yang memang asyik di sini?"
Mendengar nada remeh darinya, Piper segera menarik tangan kurusnya itu secara paksa.
Spontan saja Tiana terkejut, lalu ia menyahut, "Hei, kita mau ke mana?"
"Lihat saja nanti," ucap Piper dengan nada misterius, lalu terkekeh.
Tempat pertama yang ingin ditunjukkannya itu justru berada tepat dihadapannya. Tiana pun sontak mengernyitkan alisnya agak heran. Sedangkan Piper dengan rajinnya mengambilkan tiket masuk gratis untuk mereka berdua.
"Aku yakin kau pasti baru pertama kali masuk ke tempat seperti Museum Sejarah Faerie," celetuk Piper sambil terkekeh iseng.
Sambil berjalan masuk ke pintu depan, Tiana sekilas melirik malas ke arahnya sambil bergumam, "Ya, begitulah."
"Tentu saja hampir tidak ada museum seunik ini di dunia!" Ucap Piper yang tampak sangat berenergik saat membawanya masuk ke koridor utama. "Nanti aku akan menceritakan padamu..."
"Bisakah kau merangkumnya dalam lima menit saja? Aku hanya mau sekedar lihat-lihat," sahut Tiana yang benar-benar merasa malas berada di museum ini.
Kali ini Piper menghembuskan nafas panjang sejenak. Mungkin kesabarannya sudah hampir habis menghadapi Tiana yang terus bersikap tak ramah.
"Baiklah, mulai dari lorong yang pertama," ujarnya sambil menunjuk kumpulan kotak kaca yang dipamerkan di ruangan bertembok krem ini.
Sejenak Tiana mengernyitkan matanya dengan bingung. Dengan nyata ia melihat barang-barang yang disimpan di dalam kotak display itu tampak seperti yang digunakan untuk syuting film fantasi. Mulai dari bentuk dedaunan transparan yang menyerupai sayap peri, sisa mayat dari berbagai serangga bersayap yang diawetkan dalam toples kaca, sampai buku-buku kuno bersejarah yang memperlihatkan ilustrasi kerangka tubuh peri pada abad kuno.
"Jangan mencoba memberitahu kalau barang-barang pajangan ini adalah hal nyata," ucap Tiana yang langsung bersikap defensif.
Piper langsung saja terkekeh mendapati ucapannya yang terdengar lucu itu.
"Well, secara teknis semua barang-barang ini memang hanya sekedar pajangan di museum," Piper menjelaskan. "Semua dilestarikan untuk mengabadikan akar sejarah dari bangsa leluhur para peri di masa lalu."
Tiana terus menatapnya skeptik sendiri. Tentu saja ia tidak akan menelan mentah segala omong kosong tentang makhluk peri.
Sejenak Piper melirik ke kanan dan ke kiri, sikapnya itu tampak misterius. Lalu ia berbisik, "Sssttt, biarku beritahu; tak ada yang benar-benar percaya tentang mitos peri di sini."
Tiana lalu terkekeh garing kepadanya. "Tentu saja. Aku tahu itu."
Piper balas mengangguk dan tersenyum ramah kembali.
"Jadi... pemerintah di kotamu ini memang sengaja mengarang cerita aneh, kan?" Tiana bertanya sekali lagi karena masih merasa heran. "Apalagi mereka banyak memajang patung peri di pinggir jalan."
Piper mengangkat kedua bahunya dengan sikap acuh, "Intrik politik, bisa dibilang begitu."
"Ya, kalian butuh banyak pengunjung untuk menghasilkan uang," gumam Tiana sambil terkekeh meremehkan.
Beberapa gerombolan ibu-ibu lalu menghampiri Piper dan bertanya akan sesuatu yang tertera di brosur kota. Pada saat itulah Tiana mengambil kesempatan untuk segera kabur darinya.
Sejenak ia berjalan-jalan sendiri ke lorong yang lain. Ternyata masih ada beberapa tempat di museum ini yang menyimpan banyak sisa-sisa peninggalan dari leluhur Faerie City.
Saat itu Tiana melangkah memasuki bagian lorong yang banyak memajang artefak pot yang terbuat dari tanah liat.
"Aku rasa pemandangan di sini lebih normal dibandingkan di ruangan yang pertama," gumamnya sendiri sambil melihat-lihat artefak pot yang di simpan di dalam kotak kaca.
Saat Tiana berhenti di depan salah satu kotak kaca, ia kembali bergumam, "Dan terlihat lebih realistis."
Tiana hanya berada di sini karena sekedar penasaran saja. Ia sama sekali tidak menyukai pelajaran sejarah, jadi rasanya percuma saja jika ia harus memaksakan dirinya membaca tulisan kecil-kecil yang tertera di bawah kotak display tersebut.
Setelah beberapa saat menyendiri dan termenung di depan pajangan artefak jadul itu, Tiana baru menyadari ternyata di ruangan ini paling sedikit pengunjung. Sedari tadi hanya ada beberapa orang saja yang masuk berlalu-lalang.
Sampai matanya berhenti di ujung tembok ruangan. Di sana matanya mengamati sosok pria muda tampan yang sedang membelakangi lukisan abstrak. Pria itu sedang sibuk berbicara dengan pria lainnya yang jauh lebih tua.
Entah mengapa rasanya sepasang mata cokelat Tiana itu seperti tersihir dengan sosoknya yang berdiri jangkung di sana. Sejenak ia mengamati baik-baik tampilan berkarisma dari pria yang tampaknya seperti keturunan setengah Italia itu. Sekilas pakaiannya tampak seperti pekerja eksekutif; ia memakai kemeja biru tua, celana hitam, dan sepatu pantofel hitam. Rambut cokelat mudanya terlihat agak ikal dan mengkilap di bawah pendaran sinar lampu ruangan.
"Itu pria misteriusmu," bisik suara iseng Piper dari belakang pundaknya.
Sontak saja Tiana hampir loncat terkejut mendengarnya. "Hei! Kau menggagetkanku."
Piper malah terkekeh geli saat melihat ekspresi canggung Tiana saat itu.
"Aku dari tadi mencarimu, ternyata malah asyik di sini melihat..." Piper terdiam sejenak sebelum lanjut berbicara. Lalu matanya mencuri pandang ke arah sosok pria tampan yang masih berdiri di sana.
Tiana pun ikut melirik kembali ke pria berkulit cemerlang itu. Kali ini pria itu balas menatapnya balik, tersadar telah dilirik oleh mereka berdua. Spontan saja Tiana cepat-cepat membuang tatapannya dengan sangat kikuk.
"Aku lihat bagaimana kau sedang memerhatikannya tadi," ucap Piper, meledeknya lagi.
Tiana kali ini benar-benar tertangkap basah. Pipinya langsung merah padam.
Piper lalu berkata, "Dia seorang penjaga di Oakwood Memorial Garden."
Seketika itu juga Tiana hampir terbatuk karena terkejut. "Maksudmu, dia penjaga kuburan?"
"Mengejutkan, bukan?" Piper terkekeh lagi. "Tapi pekerjaannya bukan menjadi penjaga kuburan tengah malam, karena posisi itu sudah sepenuhnya diambil oleh pamannya."
Tiana menatapnya tak percaya sejenak. "Lalu apa yang dikerjakannya di tempat pemakaman?"
"Well, di sana ada rumah kaca dan museum abu kremasi, tapi tidak semua orang boleh singgah jika tidak punya alasan khusus," ucap Piper yang memberitahunya. "Jadi Nicholai yang menjaga tempat-tempat sakral di sana."
"Nicholai?" gumam Tiana yang seketika itu senang bisa mengetahui namanya.
Namun ia tak mau terlihat terlalu kentara dengan tersenyum malu begitu, akhirnya ia segera berdehem dan mengalihkan topik, "Ngomong-ngomong, apa kalian butuh membuat museum untuk abu jasad manusia?"
Sejenak Piper menatapnya terdiam. Seakan raut wajahnya hendak menyiratkan sesuatu yang misterius.
Akhirnya Piper berkata, "Uh, sebenarnya bukan abu manusia, tapi..."
Tiana langsung mengerti apa maksudnya. Seketika itu juga ia bergidik ngeri.
Lalu Piper mengangguk. "Ya, abu jasad dari para leluhur peri."
"Oh, Tuhan, apa hal seperti itu memang ada? Kota ini terlalu fanatik terhadap mitos peri," sindir Tiana yang benar-benar merasa skeptik.
"Jadi, ngomong-ngomong, kalau kau memang mau berkenalan dengan pria misterius itu, tentu saja kau bisa singgah ke Oakwood Memorial Garden," ucap Piper sambil terkekeh iseng. "Sekarang kau punya alasan khusus untuk bisa datang ke museum abu kremasi."
Tiana terkekeh geli. "Oh, tidak, terima kasih. Aku sudah cukup ngeri kok."