“Baju ini buruk sekali untuk seleraku!” Sahut Tiana sambil berusaha sekuat tenaga menarik resleting dibelakang punggungnya.
Matanya terus menelusuri tiap rincian tekstur dress sepanjang lututnya itu di cermin. Belum lagi ia merasa gatal-gatal karena kain renda berwarna hitam dari dress itu melekat erat pada tubuh kurusnya.
Ibunya datang membantu menarik resetletingnya sambil bergumam, “Jangan menggerutu terus. Kau terdengar seperti nenek-nenek.”
“Ma, apa kita harus datang ke acara itu? Aku sama sekali tidak mau…”
Seketika itu juga ibunya melotot di cermin kepadanya, “Acara perjamuan makan bersama ini sangat penting. Kita tidak boleh melewatkannya begitu saja!”
Tiana menghembuskan nafas panjang sejenak. Ia kesal sekali dipaksa harus datang ke acara pertemuan para tetangga.
Saat ibunya kembali memperbaiki rambut pirangnya sendiri dengan sikat sisir, Tiana kembali menggerutu, “Aku tidak tahan harus pakai baju ini. Justru aku terlihat seperti nenek-nenek sekarang. Sangat jelek!”
“Tiana, percayalah, sekarang kau terlihat sangat cantik,” ucap ibunya sambil mengusap pipinya.
“Kau mengatakannya karena aku anakmu sendiri…” gerutu Tiana.
Sejenak ibunya menatapnya penuh perhatian di cermin panjang yang ada di dalam kamar tidurnya ini.
Lalu ibunya menyisir rambut lurusnya sesekali sambil bergumam lagi, “Aku juga lebih suka tampilan rambutmu yang seperti ini, terlihat tak semerawut.”
“Sudahlah, rambutku sudah rapi…” ucap Tiana seraya menyahut sikat sisir itu karena sudah cukup risih dengan semua acara dandan ini.
Lalu ibunya segera mengambil tas kecilnya sambil menyahut di ambang pintu, “Ayo kita berangkat sekarang! Jangan menghabiskan waktu lagi…”
Saat itu juga Tiana memutar kedua bola matanya dengan sangat kesal. Lalu ia segera turun ke teras dan mengikuti langkah ayah dan ibunya masuk ke dalam mobil SUV mereka.
Lokasi tempat pertemuan yang mereka tuju itu tidak begitu jauh dari komplek perumahan. Lebih tepatnya berada di kediaman rumah keluarga walikota. Langsung saja Tiana dan ibunya menatap tertegun ke arah suasana pekarangan yang biasanya seperti dilihatnya di drama sinetron, begitu megah dan sangat hijau.
Bangunan rumah putih di belakang pekarangan juga sangat besar dengan pilar yang berdiri kokoh di setiap ujung lorongnya bagai istana.
Ibunya segera turun dari mobil dan hampir setengah berteriak, “Ya Tuhan, aku pikir ini istana raja. Lihatlah betapa besarnya tempat ini!”
Lalu Mister Ronnie terkekeh melihat ekspresi kaget dari wajah istrinya itu saat menutup pintu mobil.
Sudah ada beberapa mobil yang juga terparkir di halaman yang luas di sini. Saat itu juga mereka bertiga segera berjalan masuk menuju pintu teras.
Dua pengawal laki-laki berbaju pelayan langsung menyapa mereka dengan sangat ramah di pintu masuk. Mereka juga langsung ditawari minuman anggur merah.
Tentu saja yang paling semangat adalah Nyonya Elise dalam pertemuan sosial seperti ini. Ia selalu merasa dapat mengumpulkan tenaga dengan berkumpul bersama banyak orang.
Berbeda dengan Tiana yang masih terus menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia memang sengaja bersikap cuek ke mana pun kakinya melangkah di kota ini.
Kedua orang tuanya mulai disapa beberapa orang asing di ruang depan. Sedangkan Tiana membiarkan matanya bergerilya saat menatap langit-langit rumah yang dipenuhi dengan lukisan mural bayi bersayap dengan terompet emasnya, dan juga adanya lampu gantung mewah.
“Elise Fairchild!” Sahut seorang wanita yang tampak familiar kali ini.
Tiana baru mengingatnya lagi. Dia adalah Mia Faeberry, wanita paruh baya yang dengan senang hati mengantar ibunya berkeliling ke kota.
“Oh, aku tahu kau pasti datang,” ucapnya sambil berpelukan dengan Elise.
“Kau tidak bilang rumahmu sebesar ini! Aku sampai pangling,” ucap ibunya yang mulai rumpi.
Mia pun tertawa bersama mereka dengan candaan jadul ala orang tua yang khas. Lalu ia berkata, “Aku tidak mau pamer kekayaan! Aku sudah bilang padamu kemarin, di sini aku berbagi tempat tinggal bersama saudaraku dan istrinya.”
“Aku tak menyangka kau ini saudara kandungnya si Bapak Walikota,” ucap Elise terkekeh.
Sejenak Mister Ronnie berdehem, mencoba membuyarkan keasyikan mereka berdua. “Halo, selamat siang Nyonya Faeberry.”
“Oh, ini pasti suamimu, Mister Ronnie Fairchild! Selamat datang…” sambutnya dengan hangat seraya berjabat tangan.
Dan tentu saja ia juga baru menyambut Tiana setelah itu.
“Halo, Tiana… Piper masih siap-siap di dalam. Sebaiknya kita segera duduk bersama saja di meja makan,” ucap Nyonya Mia dengan senyuman ramah.
Mereka semua diajak masuk ke dalam ruang makan berukuran cukup besar untuk menampung dua puluh orang sekaligus. Meja persegi panjang dengan kursi-kursinya itu sudah memenuhi seisi ruangan. Sisanya ada tungku perapian yang dihiasi dengan dekorasi bunga-bunga artifisial yang mengantung di atasnya membelakangi cermin.
“Apakah kita akan mengadakan festival makanan di sini?” Celetuk Nyonya Elise saat melihat ada banyak sekali sajian kue-kue manis dan juga ayam kalkun besar.
Meja makan itu di dekorasi dengan banyak sekali dekorasi bunga-bunga taman dan juga lilin-lilin dalam cawan perak.
Nyonya Mia terkekeh kepadanya, “Kami harus mempersiapkan sajian terbaik untuk para tamu terhormat. Apalagi yang diundang ke sini orang-orang yang akan berkontribusi baik untuk Faerie City.”
Tiana sempat berpikir sejenak dengan apa yang dimaksud Nyonya Mia saat menyebut kontribusi baik. Sepertinya Tiana ketinggalan informasi mengenai hal itu.
“Tunggu dulu, Papa,” bisiknya sambil menarik sebelah lengan jas abu-abunya. “Dalam rangka apa sebenarnya pertemuan ini?”
Mister Ronnie terkekeh kepadanya sejenak. “Oh, kau belum tahu ya? Kita diundang Walikota karena aku akan berkontribusi dalam acara pelelangan tanaman hias.”
Mungkin karena ia kemarin langsung pulang dari Museum Sejarah Faerie, makanya tidak sempat menyimak kabar terbaru dari ibunya saat bertemu dengan keluarga Faeberry.
Tiana hendak bertanya lagi, tapi seorang pria seumuran ayahnya menghampiri mereka. Pria itu memakai jas dan dasi hitam yang sangat rapi. Tampilannya juga cukup berkarisma di antara para tamu di sini.
“Fairchild! Selamat datang!” Sambutnya seraya mereka berjabat tangan. “Mari mengobrol sebentar di teras taman. Ada bunga-bunga punyaku yang harus kau lihat…”
Tiana pun menghembuskan nafas panjang saat melihat ayahnya pergi dengan pria asing tersebut. Sekarang ia hanya berdiri sendirian saja di pojok ruangan ini. Sesekali ia menatap ke arah ibunya yang tak bisa berhenti berceloteh bersama Nyonya Mia di meja makan.
“Itu tadi Walikota Morse, dia pamanku,” sapa suara lembut Piper saat menemuinya.
Tiana menatapnya kikuk sejenak, lalu bergumam, “Oh, jadi dia si Bapak Walikota?”
Piper terkekeh sejenak saat melihat ekspresinya yang terus terlihat tak nyaman berada di sini. Lalu ia iseng bertanya, “Wow, Tiana, kau terlihat sangat berbeda hari ini.”
Sejenak Tiana memperhatikan arah mata Piper yang memperhatikan tampilan dress hitam yang dikenakannya ini. Spontan saja ia menyahut kesal, “Ya, baju ini bukan seleraku.”
Lalu Piper bertanya sambil mengedipkan matanya iseng, “Apa kau meminjamnya dari nenekmu?”
Tiana agak kaget saat mendengarnya. Tentu saja tepat seperti apa yang dipikirkannya kalau baju ini memang membuatnya terlihat seperti orang tua. Lalu ia menyahut kesal lagi, “Sebenarnya, ini baju ibuku.”
Piper menatapnya kikuk sejenak. Ia tak tahu harus merespon bagaimana selain berkata, “Oh… kau tahu, kan? Aku hanya bercanda…”
Tiana ingin segera mengalihkan pembicaraan yang benar-benar membuatnya sesak nafas ini, “Jadi, apakah akan ada banyak tamu yang diundang untuk makan bersama?”
“Seperti yang kau lihat sendiri. Hanya tersedia dua puluh kursi di sini,” ucap Piper sambil menunjuk pemandangan didepannya itu. “Tapi keluarga tamu yang lain tetap bisa berkunjung untuk ikut mencicipi makanan.”
“Jadi seharusnya aku tidak usah ikut duduk bersama kedua orang tuaku?” Tiana bertanya.
Piper terkekeh sejenak. “Duduklah. Tidak ada yang melarangmu. Acaranya juga sebentar lagi akan dimulai.”
Setelah dipersilahkan duduk, Tiana segera mengambil posisi disebelah ibunya. Saat itu Piper sibuk menghidangkan sajian kue cokelat manis sambil dibantu oleh beberapa pelayan perempuan.
Ibunya lalu berbisik, “Makanlah sepuasmu. Kapan lagi kita bisa mencicipi cokelat yang diimpor langsung dari Perancis ini.”
Tiana menengok ke ibunya tak percaya seraya terkekeh. “Ya, baiklah, Mama makanlah duluan.”
Terkadang Tiana merasa malu dengan sikap ibunya yang terlalu bersemangat itu. Ia hanya berharap ibunya tak akan mengatakan hal memalukan tentang dirinya di depan semua orang nanti.
Sesekali ia mengintip dari balik jendela dibelakangnya. Teras taman di rumah ini juga sangat besar dan indah. Ia melihat ayahnya masih berdiri di sana bersama Walikota Morse. Sampai akhirnya seorang pelayan perempuan menghampirinya. Lalu mereka semua kembali masuk ke ruangan ini lagi.
“Tiana… sssttt,” bisik Piper yang tiba-tiba sudah berdiri membungkuk kepadanya. Tiana sempat kaget dengan kedatangannya sambil membawa sepiring cokelat bundar. “Aku sendiri yang khusus membuat kue cokelat ini. Aku harap kau menyukainya.”
Melihat betapa ramahnya Piper memperlakukannya dari awal, Tiana pun akhirnya menyerah untuk bersikap ketus. Lalu Tiana balas tersenyum mengangguk ramah dan bergumam, “Terima kasih, Piper.”
Lalu perempuan berambut putih itu segera pergi menyapa beberapa ibu-ibu yang baru datang di ambang pintu ruangan.
Para tamu mulai mengisi kursi satu per satu di ruangan ini. Begitu juga dengan ayahnya yang duduk bersama Walikota Morse di bagian paling ujung dekat tungku perapian yang tak menyala itu.
Pada detik itu juga matanya menengok, Tiana baru tersadar pria itu sudah berdiri di ujung pintu yang tak jauh dari tempat duduk walikota. Pria yang sama seperti yang dilihatnya terakhir kali di Museum Sejarah Faerie.
“Ni… Nicholai?” gumamnya heran.
Parasnya begitu tampan dan masih sangat muda, walau sepertinya tetap saja lebih tua pria itu dibandingkan dirinya yang masih berusia delapan belas tahun ini.
Sejenak ia agak heran saat memperhatikan Nicholai memakai kemeja biru yang sama seperti kemarin. Tak banyak yang berubah, kecuali celana abu-abu panjang yang dikenakannya itu dan juga jas tweed abu-abu yang digantung di sebelah bahunya.
Nicholai tampak sibuk saat berbicara dengan seorang pria lainnya di ambang pintu. Ia terus saja mengangguk, tak banyak berbicara.
Sampai tak sengaja, Nicholai balas menatap matanya pada detik itu juga. Segera saja Tiana membuang muka. Ia dapat merasakan pipinya memerah pada situasi canggung ini.
Ia tak berani mendangakkan kepalanya lagi. Entah ia harus bersikap bagaimana jika ketahuan sedang menatap pria itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara Walikota Morse dan ayahnya sedang tertawa terbahak-bahak bersama. Lalu sang walikota mulai memperkenalkannya, “Ini Nicholai Oakwood. Anak muda yang paling aku banggakan di kota, dan bisa diandalkan dalam program pelestarian lingkungan!”
Sontak saja Tiana penasaran dan langsung menengok ke arahnya. Saat itu ayahnya berdiri untuk bersalaman dengan Nicholai.
“Dengar, Nicholai, mulai sekarang kau punya rekan kerja baru,” tutur Walikota Morse setelah Mister Ronnie dan Nicholai selesai saling menyapa. “Ini Mister Ronnie Fairchild yang akan mengisi jabatan kurator bunga di kota kita.”
Nicholai sempat berkata sesuatu kepada mereka, namun Tiana tetap tak bisa mendengar suara Nicholai yang hanya sekedar berdesir seperti angin kecil dari ujung kursi di sini.
Lalu tiba-tiba saja ayahnya menunjuk ke arahnya, Nicholai pun menengok penasaran. Seakan badai petir menyambar dadanya, Tiana merasa sangat sesak seketika itu juga. Ia tak menyangka pria tampan itu akan menatapnya cukup lama. Tiana sampai tak berani untuk mendangak lagi.
Hanya jeda beberapa detik setelah itu, suara tapak sepatu pantofel terdengar berjalan ke arahnya. Lalu ibunya berucap, “Oh, halo, Nicholai Oakwood! Senang bertemu denganmu…”
Tiana langsung menarik nafas sangat dalam, matanya juga terus mengerjap sambil menunduk menatap tangannya yang mengepal erat. Ia tetap tak mau menatapnya balik. Sekarang ia mendengar suara kursi yang ditarik didepannya.
Samar-samar saat ia sedikit mendangak, ia melihat tangan maskulin itu berada di atas meja. Jantungnya begitu berpacu kencang saat ia berasumsi bahwa itu sosok pria yang sama.
Sampai akhirnya Nyonya Elise berkata, “Perkenalkan, ini Tiana Fairchild, anak gadisku satu-satunya.”
Dan untuk pertama kalinya ia bisa mendengar warna suara yang sangat lembut dari pria itu, “Halo…”
Saat itulah Tiana balas mendapati pemandangan yang menyetrum jiwanya. Pria itu sudah duduk tepat dihadapannya. Tentu saja rasanya seperti mimpi indah. Parasnya itu begitu menyihir.
Namun bibir Tiana hanya bisa bergetar. Seakan ia kehilangan kata-kata untuk bisa balas berbicara dengannya.
Dan untuk pertama kalinya juga, ia melihat Nicholai tersenyum kepadanya. Tiana baru memperhatikan dengan jelas mata cokelat madunya itu tampak begitu sayu, tapi di satu sisi juga begitu tajam.
“Kau tampan sekali, apa kau sudah punya pacar, Nicholai?” Nyonya Elise langsung bertanya penasaran, membuat Tiana hampir saja berhenti bernafas karena terkejut.
Nicholai terkekeh sejenak, seakan ada yang lucu dengan pertanyaan sederhana itu. Lalu ia menjawabnya dengan santai saja, “Belum, Nyonya Fairchild.”
“Oh, begitukah?” Lalu Elise sesekali iseng mencuri pandang sambil tersenyum ke arah Tiana yang terus saja bersikap kikuk sendiri. “Aku pikir kau mungkin pacarnya Piper.”
“Sama sekali bukan,” sahut Nyonya Mia yang terkekeh geli. “Piper baru tinggal bersama kami setahun belakangan ini.”
Sontak saja tak hanya Elise yang terkejut saat mendengarnya, tapi juga Tiana yang langsung menatapnya penasaran.
“Aku pikir dia anak kandungmu,” gumam Elise yang masih tak percaya. “Kalian terlihat begitu mirip.”
Sejenak Nyonya Mia menyunggingkan senyuman segannya, “Ya, itulah mengapa aku mengadopsinya. Dia sangat mirip dengan mendiang anak gadisku.”
“Oh, Ya Tuhan,” Elise menutup mulutnya, sangat kaget dengan hal itu.
Tiana yang juga merasa kaget itu sempat memergoki tatapan aneh Nicholai saat Nyonya Mia bercerita tentang mendiang anaknya.
“Maaf, aku seharusnya tak…”
Sebelum Nyonya Elise menyelesaikan ucapannya, Nyonya Mia langsung menyahut, “Tidak apa-apa, lagian sudah lama juga kejadiannya. Aku tak mau terus dilanda kesedihan, makanya… bertemu dengan Piper rasanya seperti berkah bagiku dan juga suami.”
Lalu mereka baru melihat suami Mia yang muncul bersama istri Walikota Morse di ambang pintu. Semua orang menyapa mereka dengan ramah, begitu juga dengan Piper yang mempersilahkan mereka untuk duduk di meja makan.
Entah mengapa, insting Tiana mengatakan ada sesuatu yang janggal terjadi di antara mereka semua. Namun tentu saja semua itu hanyalah asumsinya belaka.
Ia tak mau terlalu lama terjebak dalam pikiran teka-tekinya itu, segera saja ia mengikuti saran dari ibunya untuk menghabiskan makanan di meja.