Loncat-loncat untuk melupakan!
Aku meloncat-loncat di atas kasur sambil menutup mata. ‘Aku pasti bisa melupakan perasaan aneh ini. Aku pasti bisa melupakan..,’ ulangku dalam hati berkali-kali. Sudah kuputuskan jika getar-getar aneh yang membuat perutku melambung tinggi mulai muncul, aku akan melakukan hal seperti ini. Setidaknya mampu membuat pikiranku agak ringan.
“Apa yang kamu lakukan?” aku terkejut mendengar suara Mayang. Aku berhenti meloncat. Rupanya Mayang memperhatikanku sambil berdiri di ambang pintu. Aku segera terduduk di atas kasur.
“May, sejak kapan kamu disini?”
“Sejak kamu berdiri dan melocat-loncat nggak jelas kayak gitu,” wait.. jadi dia sudah memperhatikanku dari beberapa menit sebelumnnya. “Tadi tante bilang kalau besok sore kamu bisa mengundang beberapa temanmu untuk merayakan ultahmu.”
“Aku akan mengabari mereka sekarang,” ku ambil handphone yang tergeletak di meja. Aku menulis pesan singkat kepada beberapa teman dekatku.
“Apa kamu akan mengundang Edelweis juga?” aku mengangguk.
“Baguslah. Aku pikir kamu sudah melupakannya,” jariku berhenti mengetik. Mataku beralih melihat Mayang yang sudah keluar dari kamar. Apa maksud dari kata-katanya? Aku berusaha mengalihkan negative thinking yang baru saja merasukiku. ‘Mungkin dia hanya asal bicara,’ pikirku. Kulanjutkan mengirim chat pada teman-temanku.
To” Hami+3 lainnya
Guyz, ak mengundang kalian untk mnghadiri acara ultahku kcl-kecilan di rmhku bsk jm 3.15 sore.Tks
SEND!
☻☺☻
Miwon menggunakan modem di latopnya Setelah itu dia mengetik sesuatu di mesin pencarian. Dia tampak serius membaca berbagai tulisan yang dia temukan. Lantas dia menggumamkan nada sejenak. Saat seseorang membuka pintu kamarnya, dia segera berhenti dan menggerakkan kursornya lagi.
“Aku sangat senang karena kita bertiga menghabiskan waktu bersama,” ucap Ed memasuki kamarnya. Minggu ini giliran Edelweis yang menginap di Gresik. Ayauhnya menyambutnya dengan tangan terbuka. Sedari pagi tadi uhingga menjelang sore, mereka melakukan banyak hal seperti bermain sepatu roda, ermain tenis, sepak bola, dan memancing.
“Baguslah, kak. Lain kali kita bisa menghabiskan waktu lebih gembira melebihi hari ini,” kata Miwon sambil menoleh ke arah kakaknya.
“I wish,” Miwon memperhatikan tulisan di latopnya lagi. Edelweis yang penasaran langsung mendekati adiknya. “Lirik lagu yiruma. Kiss the rain?” Miwon terkejut mendapati kakaknya sudah berada di belakangnya. Mendadak dia menutupi layar monitor dengan kedua tangannya. Edelweis tertawa melihat reaksi adiknya.
“Aku nggak pernah tahu kalau kamu juga tertarik dengan nada instrumental.”
Miwon menekan tanda ‘close’ dan mematikan modemnya. “Aku hanya iseng.” Miwon berdiri dari kursi dan berbaring di atas kasur.
‘YO! ONOK CHAT, YO! TEKO SOPO?! DELOKEN DEWE,YO!’ keduanya mengambil handphone dari saku celana. Namun ternyata yang mendapatkan pesan adalah Edelweis. “Punyaku,” katanya sambil menunjukkan layar handphone-nya. Miwon menggeletakan handphone-nya begitu saja di atas kasur. Dia meringkuk di atas kasur seperti janin. “Oh! Aku di undang ultahnya Afika. Kamu juga sudah dapat undangan?” katanya lagi setelah membaca chat. Miwon hanya diam saja tidak menanggapi. Tak lama terdengar ringtone chat. Keduanya sama-sama terkejut. Edelweis mengecek handphone-nya.
“Kayaknya hapemu yang bunyi, dek. Punyaku nggak ada pesan apapun,” setelah mengatakan itu, Miwon mengambil handphone dengan malas. Dia membaca pesan sambil tiduran. Terlihat senyum mengembang di bibirnya.
“Oh ya, selamat ya! Akhirnya kamu diterima di ekskul mading,” ucap Ed sambil membaca komik didepan meja belajar. Miwon tertawa kecil.
“Halah, kak. Sebaik apapun para siswa melakukan tes wawancara, ujung-ujungnya kami semua diterima juga toh.”
Edelweis ikut tertawa, “Iya. Kami hanya ingin menguji sejauh mana keinginan kalian untuk menjadi anggota mading. Bagaimanapun juga selamat karena kamu sudah memutuskan untuk belajar di dalam ekskul mading.”
☻☺☻
“Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang umur kita kan doakan. Selamat sejahtera sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia,” walaupun ayah masih kerja di luar kota, namun kehadiran mama dan kelima temanku membuatku sangat bahagia. Mereka juga menyanyikan lagu ulang tahun di depan kue tar brownies dengan lilin berbentuk angka 16. “Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun, Afika.. selamat ulang tahun!” aku ikut bertepuk tangan setelah mereka selesai menyanyikan lagu.
“Make a wish, Fik! Make a wish!” seru Timmy sambil menggenggam tangannya penuh harap. Aku mengangguk. Mataku segera menutup dan menguccapkan tiga permohonan dalam hidupku.
Semoga aku selalu menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku
Semoga aku bisa menjalani masa depanku dengan baik tanpa orang-orang harus takut lagi denganku
Dan semoga.. aku bisa memahami apa yang aku rasakan
Aku membuka mata kembali dan meniup lilin yang menyala di hadapanku. Mama dan teman-temanku langsung bertepuk tangan. Potongan kue tar pertama aku berikan kepada mama. Lalu potongan selanjutnya aku berikan kepada Mayang karena dia juga bagian dari keluargaku. Setelah itu aku memberikannya kepada Hami. Namun matanya memberi isyarat agar aku memberikannya dahulu kepada Edelweis. Aku memahami apa yang dikatakannya dan segera memberikan kue tar kepada Edelweis. Baru setelah itu aku memberikan kepada Hami, Timmy, dan Miwon. Setelah memakan kue tar, kami berkumpul di karpet yang berada di ruang tengah. Kami saling bercanda. Sedangkan mama memasuki kamar.
“Afika, ini kado dari kami berdua,” Timmy menyerahkan sebuah boneka panda yang dibungkus platik kado bening dengan ikatan berpita.
“Wah, terima kasih ya, Ham, Tim. Boneka ini lucu sekali.” Kurangkul boneka itu dengan sangat erat. Giliran Edelweis memberikanku sebuah flash disk.
“Di dalamnya berisi nada-nada instrumental yang akan kamu suka.”
“Terima kasih, Ed. Aku akan segera mendengarkannya.”
“Hey, cewek!” Timmy menyenggol Mayang. “Kamu nggak kasih kado buat sepupumu? tanyanya sambil terus menyenggol bahu Mayang. Aku tersenyum melihat Mayang.
“Aku hanya mengucapkan selamat ulang tahun dan doa sebagai pengganti kado. Nggak apa-apa kan, Fik?” aku mengangguk sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa, May. Aku malah senang banget kamu memberikan doa untukku.”
Kulihat Mayang tersenyum juga, walaupun hanya sesaat. Lalu aku melihat Miwon yang entah sejak kapan dia memandangku dengan mengembangkan senyumannya juga.
“Oppa, kamu juga mau ngasih kado apa nih?” tanya Timmy. Aku mulai memperhatikan Miwon. Tangannya menunjuk ke arah bibirnya.
“Ini..,” katanya sambil tetap menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk.
‘HEH..!!!’ spontan kami semua terkejut. Aku sendiri merasa sedikit berdebar (lagi?). Kemudian Hami dan Timmy menarik-narik jaket yang dikenakannya.
“DASAR MESUM..!!!” teriak Hami.
“KENAPA OPPA MALAH NGASIH KISS SAMA AFIKA??! Bukannya sama AKU?!!” teriak Timmy tidak mau kalah. Aku mulai merasakan wajahku memerah seketika.
“Kamu mau cium Afika, dek?” tanya Edelweis sambil mengurut dadanya. Mungkin jantung Edelweis juga berdegup kencang saking terkejutnya.
“Cih, dasar mesum,” sungut Mayang. Aku tidak mampu berkata apa-apa. Miwon mencoba melepaskan kedua orang yang sedari tadi menarik jaketnya.
“Apaan sih??! Siapa yang mau cium dia, heh?!!” kami terdiam sesaat. “Aku ingin memberinya hadiah dari suaraku.”
“Ma.. maksudnya?” tanya Hami bingung.
“Aku ingin menyayikan lagu untuknya,” setelah mendengar penjelasannya, kami merasa lega seketika. Terutama denganku. Aku tidak bisa membayangkan kalau Miwon benar-benar menciumku di depan semua orang, di depan Edelweis! Sekarang aku malah merasakan banyak kupu-kupu yang berterbangan disekitarku. Kupu-kupu itu berkeliling di sekitar ruangan dan hinggap di sekeliling Miwon. ‘Miwon akan menyanyikan lagu untukku?’ pikirku tiba-tiba merasa senang.
“Ayo kita nikmati nyanyian my oppa! Yee..!!!” dengan hebohnya, Timmy bertepuk tangan. Kami pun juga bertepuk tangan. Miwon mulai bersenandung. Tiba-tiba aku tidak merasa asing dengan senandung Miwon.
Aku sering menutup mata
Aku dapat melihat kau tersenyum
Kau meraih tanganku
Dan aku terbangun dari mimpiku
Meskipun hatimu milikku
Ini hampa di dalam
aku tidak pernah memiliki cintamu
Dan tidak akan pernah
Dan setiap malam
Aku berbaring terjaga
Berpikir mungkin kau mencintaiku
Seperti aku selalu mencintaimu
Tapi bagaimana bisa kau mencintaiku
Seperti aku mencintaimu bila
Kau bahkan tidak bisa menatap lurus di mataku
Aku tidak pernah merasa seperti ini
Untuk menjadi begitu cinta
Untuk memiliki seseorang di sana
Namun merasa begitu sendirian
Bukankah kau seharusnya menjadi
Seseorang untuk menyeka air mataku
Seseorang untuk mengatakan bahwa kau tidak akan pergi
Airnya masih tenang
Bayanganku ada di sana
Aku melihat kau menopangku
Tapi kemudian kau menghilang
Semua yang tersisa darimu
Adalah kenangan
Yang hanya ada dalam mimpiku
Aku tidak tahu apa yang menyakitimu
Tapi aku bisa merasakannya juga
Dan itu sangat menyakitkan
Mengetahui bahwa aku tak dapat melakukan apapun
Dan jauh di dalam lubuk hatiku
Entah bagaimana aku tahu
Bahwa apa pun yang terjadi
Aku akan selalu mencintaimu
Aku sering menutup mata
Dan aku bisa melihat kau tersenyum
Kau menjangkau tanganku
Dan aku terbangun dari mimpiku
Meskipun hatimu milikku
Ini hampa di dalam
aku tidak pernah memiliki cintamu
Dan aku tidak akan pernah
Jadi mengapa aku masih di sini di tengah hujan?
Ya, dia menyanyikan sebuah lagu yang sebelumya aku anggap lagu itu paling spesial. Tetapi sejak kapan Miwon sangat hafal dengan lagu itu? Bahkan aku juga tahu dia bukan penyuka musik instrumental. Aku melihat sekeliling. Timmy dan Mayang terlihat hampir menangis. Sementara Mayang dan Edelweis masih terdiam. Lagu yang dinyanyikan Miwon sangat mengena di hati. Dia membawakan lagu itu penuh dengan perasaan. Diaa bernyanyi sambil sesekali melihatku. Aku pun juga menikmati lagu yang ia nyanyikan. Kami saling memandang dalam waktu yang lama. Hingga lagu itu selesai. Aku merasa terhipnotis dengan dirinya. Usai menyanyikan lagu itu, aku bertepuk tangan paling keras daripada yang lainnya.
“Yiruma, kiss the rain kan?” tebak Edelweis. Miwon menganggukkan kepala. “Aah, makanya kemarin kamu begitu serius mencari lirik lagunya. Ternyata kamu sudah mempersiapkan ini sebelumnya kan?” Miwon hanya tersenyum sambil menatap wajahku beberapa saat. Aku juga menatapnya langsung.
“Terima kasih, Won. Lagu yang bagus,” ucapku tulus. Tetapi karena Timmy yang sepertinya menyadari kami yang saling menatap lama, aku tidak lagi melihat Miwon dan mengalihkan pandangan ke arah Mayang. Tetapi aku malah merasa Mayang juga melihatku dengan tatapan curiga. Apa hanya perasaanku saja ya?
☻☺☻
Hari sudah larut malam. Akan tetapi Afika masih mendengarkan musik instrumental dari handphone. Dia sudah memindahkan musik instrumental dari Edelweis ke hapenya. Dia mendengarkan sambil tiduran. Sementara itu Mayang masih membaca majalah di kasurnya. Mayang menoleh ke arah jam dinding sejenak. Lalu berdiri dan mengambil sesuatu dari dalam laci meja belajarnya. Dia berjalan kembali menuju Afika yang masih belum tertidur.
“Ini. Selamat ulang tahun ya,” Afika melihat Mayang memegang sebuah kotak box berpita mungil. Dia lngsung menerimanya.
“Terima kasih, May. Kalau boleh tahu, kenapa tidak sedari tadi kamu memberikannya?” tanyanya hati-hati.
“Aku ingin memberikannya secara khusus tepat jam dua belas malam,” katanya sambil meNunjuk arah jarum jam dinding. Afika membuka kotak itu perlahan. Isinya adalah berbagai alat make up.
“May..,” Afika tersenyum kecil.
“Baragkali kalau kamu sudah berani dandan,” Afika menutupnya kembali dan meletakkan di atas meja sebelah tempat tidurnya. Mayang masih berdiri di sisi tempat tidurnya. “Waktu itu aku tidak sengaja mendengar kamu dan Hami berbicara.”
Afika segera terdiam. ‘Apa yang dimaksud dengan ‘waktu itu’ di saat aku menceritakan kebimbangan perasaanku kepada Hami? Dan juga..,’ Afika teringat dengan perkataan Mayang yang mengira jika dia sudah melupakan Edelweis.
“Kalau kamu memang benar-benar tidak memiliki perasaan kepada Edelweis, kamu bisa segera mengakhirinya sebelum dia bertambah sayang padamu,” Afika terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Mayang. “Aku mengatakan ini bukan karena aku ingin kalian putus, tetapi dari apa yang aku lihat selama ini kamu memiliki perasaan yang datar padanya. Lain halnya ketika kamu berhadapan dengan adiknya. Aku melihat cahaya yang lain di matamu.”
Afika tidak menjawab. Dia hanya menunduk sambil memainkan jari-jarinya.
“Yaa.. sebanyak apapun aku dan Hami memberimu nasihat, tetapi seharusnya yang memberi kepastian dalam hatimu adalah dirimu sendiri kan. Jangan bimbang dan segeralah membuat keputusan sebelum salah satu dari kalian merasa sakit lebih jauh.”
Afika mencoba untuk memahami apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya. Dia benar-benar memikirkannya.
“Oh, Kalau kamu membuat permohonan pada jam segini, dijamin pasti akan terkabul,” Afika mulai membelalakkan kedua matanya.
“Benarkah?”
Mayang kembali di tempat tidurnya. “Coba saja.”
Setelah itu dia menguap dan tertidur. Afika berpikir sejenak. Lalu dia mengatupkan kedua tangannya sambil menutup mata.
‘Kalau ternyata aku benar-benar memiliki bonus dari tiga permohonan, aku akan berharap agar diberikan keberanian untuk perasaan yang sebenarnya aku miliki seperti mengatakan ‘benar-benar suka’ pada orang yang tepat.’
☻☺☻