Seruling kecapi dan gendang itu terus dimainkan secara berirama, membentuk sebuah alunan lagu mistis yang menyertai ritual mereka di tengah hutan liar di sana.
Hembusan angin pelan mulai menerbangkan dedaunan yang berserakan di atas tanah lembab hutan, membawa rasa was was bagi mereka yang sedang menabuhkan gendang dan memainkan seruling di depan gua batu yang tampak begitu kelam itu.
Selama tabuh gendang terus berlaku ricuh, sepanjang waktu itu pun akan terus membawa nuansa magis yang mampu membuat bulu kuduk siapapun berdiri.
Namun hanya ada satu perempuan bergaun putih yang terus menatap tak berkedip ke arah gua batu di tengah hutan sana. Perempuan paruh baya itu telah siap untuk mendatangi gua tersebut. Tapak kakinya terus melangkah pasti di atas dedaunan kering yang berserakan di tanah hutan. Perempuan itu berjalan berlahan di antara para penabuh gendang dan pemain seruling yang semuanya berpakaian rompi hitam khas suku Dayak.
Lalu langkahnya berhenti pada jarak sepuluh meter dari pintu gua yang kelam di sana. Berlahan ia menekuk kedua tangannya seperti orang yang hendak berdo’a, lalu bibirnya mulai bergerak membacakan mantra-mantra pemanggilan yang dibutuhkan dalam ritual tersebut.
Dengan mata yang terus menatap fokus dengan pemandangan dihadapannya, perempuan itu segera memberi aba-aba kepada para penabuh gendang dan seruling untuk berhenti memainkan alat musik mereka.
Saat perempuan berambut hitam panjang itu kembali menghadap ke gua lagi, ia mencoba memejamkan matanya sejenak seraya sebelah tangannya menyentuh kalung gading gajah putih yang dipakainya di leher itu. Bibirnya juga tak berhenti untuk terus membacakan mantra-mantra magis.
Saat angin berhembus kian pelan kembali, pada saat itulah semua orang yang hadir di sana pun ikut menatap waspada ke arah gua batu yang tampak begitu sunyi itu sekilas.
Suara langkah berat mulai muncul ke permukaan. Mereka semua mulai mendengar asal suara itu datang dari dalam gua batu.
Samar-samar, di antara kegelapan pintu gua, semua pasang mata mulai melihat adanya penampakan yang muncul berselimut kabut kelam di dalam sana.
Desiran angin menyertai kehadirannya yang pekat. Di dalam gua batu itulah—sosoknya telah sangat lama bersemayam seorang diri, selalu menantikan hari di mana ia akan dibangkitkan kembali.
Perempuan itu kembali membuka matanya sejenak. Saat ia melihat dengan jelas sosok hitam yang bersemayam itu telah bangkit dari tidur lelapnya, ujung bibirnya pun segera membentuk senyuman penuh kesenangan.
Lalu ia mulai berjongkok dan menunduk dihadapan sosok hitam itu. Semua orang dibelakangnya pun segera ikut menyembah dengan takluk.
Lantas perempuan itu pun berbisik lirih, “Selamat datang kembali, Datuk.”
Halo, para pembaca tersayang, terima kasih sudah membaca novel horror ketigaku ini yang berjudul Mistis Rimak. Nantikan bab selanjutnya ya! ~Salam, Keefe R.D~