“Hutan Sakral, Hutan Gua…” gumam Doni sambil sesekali matanya melirik ke kertas peta yang dipegangnya sendiri. “Kalian yakin nih kita mau lanjut cari itu hutan?”
“Kenapa loe? Takut nih ceritanya?” sindir Bayu sambil terkekeh geli.
Doni mendesah sekaligus memutar kedua bola matanya sejenak. Lalu ia balas menyahut, “Bukan gitu, tapi setelah mendengar nasehat si Bapak semalam—”
“Ya elah, ciut banget sih nyali loe,” sahut Bayu lagi yang memang sengaja meledeknya.
Sedangkan dari belakang, Roy, Anita, dan Renata masih berjalan mengikuti langkah mereka menelusuri bahu jalanan di sepanjang perbatasan gerbang hutan. Lalu mata mereka segera menatap fokus saat akhirnya menemukan papan sambutan di pintu gerbang Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
Lalu Anita menyahut, “Mendingan kita melakukan pendakian seperti biasanya saja deh. Gue rasa enggak perlu cari-cari hutan mistis aneh seperti itu, apalagi mau cari sosok makhluk hitam segala—”
“Kalau aku sih terserah yang lain saja. Lagian yang terpenting kita kan sudah ikut menghormati adat di sini karena tadi ikut ritual sebelum mendaki ke Bukit Raya,” ucap Renata dengan wajah yang yakin.
“Iya, ritual Nyukuih Hajat namanya,” ucap Roy yang mengingatkannya.
Bayu terkekeh melihat teman-temannya di sini jadi bimbang sendiri. Lalu ia meledek mereka semua, “Justru karena kita sudah sampai di sini, harusnya kita bisa buktikan itu mitos. Jangan pada ciut begini kalian.”
Namun tentu saja keputusan yang akhir bukanlah ditangan Bayu, karena semua pasang mata justru melirik ke arah Doni karena mereka bergantung kepadanya.
Doni pun balas memandang mereka satu per satu dengan hati yang gundah. Lalu ia berujar, “Ya sudah, Bayu ada benarnya juga. Dari awal tujuan kedatangan kita ke sini kan memang mau cari itu hutan.”
Roy dan Renata kompak mengangguk setuju sekarang, hanya Anita saja yang langsung merengut sebal mendengar ucapannya itu.
Lalu mereka berlima pun mulai melakukan perjalanan lagi. Setelah memasuki pintu gerbang Bukit Raya, lalu mereka mulai menelusuri jalanan tapak yang menuju pada bagian lainnya di kawasan ini. Hanya dengan bermodalkan informasi secuil yang mereka dapatkan dari koran dan internet tentang titik lokasi tersebut, lalu sampailah mereka pada bagian hutan yang mengarah ke jalanan di ujung utara. Ternyata benar saja seperti yang sudah pernah dituliskan dari sumber-sumber yang mereka baca, sepanjang perbatasan hutan itu ditutup dengan tali yang digantung dengan kertas kecil-kecil berwarna merah padam.
Sejenak mereka mendekatinya untuk mengamati kertas apa yang digantung pada tali perbatasan di sana. Ternyata semua kertas merah itu berisi dengan mantra-mantra mistis kuno yang tak bisa mereka pahami tulisannya.
“Kok gue merinding ya?” gumam Anita sambil mengusap tengkuk lehernya sendiri.
Mendengar Anita memberi sugesti yang sejalan dengan nuansa kelam di sekitar hutan, Renata dan Roy pun kini jadi merasakan hal yang sama dengannya.
“Sepertinya ini lokasinya, sesuai dengan informasi di artikel internet yang udah gue baca,” ujar Doni seraya ia melepaskan genggamannya dari kertas penuh mantra itu sambil melirik lagi ke pemandangan hutan sakral dihadapannya.
Tiba-tiba saja suara beberapa bapak-bapak meneriaki mereka dari kejauhan. Saat mereka berlima kompak melirik ke asal suara tersebut, ada tiga orang bapak-bapak yang sedang lewat jadi menghampiri mereka saat itu.
“Hei, anak muda, area Hutan Sakral ini tidak boleh dikunjungi,” ujar salah satunya.
Lalu Doni mencoba berbicara, “Tapi Pak, maaf sebelumnya, kami sudah datang jauh dari Jakarta untuk berkunjung ke mari—”
“Iya, Pak, kami ingin menjelajah, katanya ada hutan gua batu ya di sana?” ujar Roy yang berusaha terdengar sesopan mungkin.
“Ya, memang benar ada gua batu di dalam hutan sana, tapi area ini terlarang untuk dimasuki. Apalagi baru saja diadakan ritual beberapa hari yang lalu, jadi sudah jelas kalian tidak boleh masuk ke sana,” ucap bapak-bapak yang berkulit paling hitam di antara kedua teman sebayanya.
“Oh, nuhun atuh, Bapak-Bapak, kami tetap ingin masuk ke dalam hutan sana, hanya sebentar saja kok,” ucap Bayu yang ikut mencoba merayu dengan aksen khas Sunda.
Si bapak-bapak itu pun menggeleng setelah mengetahui para pandatang ini tetap nekat. Lalu ia balas berbicara, “Kalau begitu kalian harus minta izin terlebih dahulu sama juru kuncinya.”
“Juru kunci?” gumam Renata yang penasaran.
Si bapak-bapak mengangguk yakin. “Ya, tanah dari Hutan Sakral ini punya juru kunci khusus, beda dengan Gunung Bukit Raya.”
Mereka berlima pun saling bertukar pandangan penuh pertimbangan sejenak.
“Kalian bisa menemui juru kunci di rumah peribadatannya. Lokasinya hanya beberapa meter saja dari sini,” ujar si bapak-bapak. “Namanya Ibu Martini.”
Setelah mereka mengangguk dan berterima kasih atas informasi yang diberikan, lalu ketiga bapak-bapak itu lanjut berjalan pergi meninggalkan mereka.
Sekarang mereka saling bertukar pandangan lagi sejenak.
“Bagaimana nih, Don?” tanya Anita yang tampak cemas.
Doni pun sedang berpikir sendiri. Ia masing bimbang memikirkan rencana selanjutnya.
“Eh, ngomong-ngomong, mendingan kita menyewa rental mobil deh. Lama-lama kakiku ini pegal linu, kawan,” ucap Roy yang memberi saran. “Tadi ku lihat ada tempat peristirahatan di ujung jalan sana. Lagian kita juga belum ngopi pagi ini.”
Lalu mereka semua pun setuju untuk mencari tempat singgah tersebut, sekaligus akan menyewa jasa rental mobil yang tersedia. Setelah sampai di tempat singgah warung yang menyediakan kopi hangat, mereka juga akhirnya sudah mendapatkan mobil jeep yang dibutuhkan dalam perjalanan selanjutnya.
Namun saat Doni hendak mengambil alih kursi pengemudi, Renata tiba-tiba menghalanginya, dengan cepat ia menutup pintu mobil dan berkata, “Kamu sebaiknya ngopi saja dulu bareng Roy di sini, biar aku yang pergi menemui si juru kunci sama Anita dan Bayu.”
Doni lalu menggengam erat sebelah tangannya dan mengecupnya manis. “Enggak apa-apa kok, aku ikut saja.”
Renata tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. “Kamu terlalu banyak pikiran dari tadi. Aku tahu kamu masih kepikiran sama semua ucapan si Bapak dan Ibu semalam. Makanya aku ingin kamu istirahat sebentar dulu di sini.”
Doni menghembuskan nafas panjang sejenak. Sesekali matanya melirik ke arah warung kopi itu, di mana Roy, Bayu, dan Anita sedang kompak menyeduh minuman hangat di sana.
“Tenangkan pikiran kamu, dan biarkan aku membantu,” ucap Renata lagi dengan penuh pengertian kepada kekasihnya yang berparas tampan itu.
Akhirnya setelah beberapa saat menimbang-nimbang sendiri, Doni setuju dengan ucapan kekasihnya itu. Lalu segera saja Renata mengajak Bayu dan Anita untuk ikut dengannya.
Sepanjang perjalanan, Renata yang mengemudikan mobil, sedangkan Bayu dan Anita membantu membacakan arah jalan sampai akhirnya mereka menemukan lokasi yang dituju.
Rumah peribadatan itu tidak jauh dari warung kopi tadi, hanya butuh sekitar lima belas menit perjalanan mobil untuk sampai di sana. Setelah Renata memarkir mobil jeep hitam itu tepat di halaman lapang depan rumah tersebut, segera saja mereka bertiga kompak turun dari mobil.
Sejenak mereka mengamati bentuk bangunan rumah peribadatan yang tampak begitu tradisional itu. Terdapat beberapa lidi dupa berasap dan obor kecil yang dipajang di depan rumah. Bau dupanya cukup menyengat indera penciuman mereka. Belum lagi saat mereka sempat mengintip dari kejauhan. Di dalam rumah itu memang terlihat agak gelap ruangannya, namun mereka dapat melihat dengan jelas ada asap dupa yang juga ada di dalam sana. Mereka juga mendengar suara-suara orang yang sedang bersembayang bersama. Dari dalam rumah itu terlihat beberapa warga tampak sedang bersujud di depan altar berukuran sedang yang dihiasi dengan banyak bunga-bunga kuning, lilin, serta banyak lidi berasap.
Sekarang mereka bertiga berdiri sangat gugup di sebelah mobil jeep yang mereka sewa bersama itu. Tak ada di antara mereka yang mau masuk melihat langsung para warga yang masih sibuk bersembayang. Selama beberapa menit mereka malah berdiri melamun saja sambil memandangi rumah peribadatan itu sampai ada seseorang yang berjalan keluar ke teras.
Lalu tak lama kemudian, ada seorang wanita tengah baya berambut hitam panjang yang berjalan keluar ke teras rumah. Raut wajahnya tampak begitu sinis dan menakutkan. Saat itu ia tampak sedang memakai kebaya putih seperti orang Jawa, lalu ada kuncup bunga kuning yang ditenggerkannya di sebelah telinga seperti orang Bali.
Hanya Renata saja yang merasa aneh dengan si ibu-ibu tersebut yang tampak mencampur adukkan ragam budaya dalam tampilannya, apalagi mengingat di sini adalah tanah Kalimantan. Namun yang membuat hatinya begitu bergetar itu justru lirikan maut yang dilayangkan oleh si ibu-ibu tersebut. Seakan ada hawa mencekam yang melingkupi auranya, membuat siapapun langsung takut duluan saat menatapnya.
Lalu tiba-tiba saja wanita yang berdiri di ujung tangga teras itu menyahut lantang dengan suara ketus kepada mereka, “Mau apa kalian ke sini?”
Sontak tidak hanya Renata yang berkedip canggung, namun juga Bayu dan Anita.
Lalu benak pikirannya langsung mengingat nama Ibu Martini yang tadi sempat disebutkan oleh bapak-bapak yang lewat di pintu perbatasan Hutan Sakral.
“Uh, permisi Bu, kami ingin mencari juru kunci dari Hutan Sakral,” ucap Renata dengan sangat berhati-hati. “Katanya kami harus menemui Ibu Martini dulu sebelum bisa berkunjung ke hutan tersebut.”
Sejenak si ibu-ibu itu menatap tajam kepada mereka bertiga, rasanya hampir seperti ditusuk di dada saat matanya tak henti-hentinya memandang penuh maut.
Lalu si ibu-ibu itu lantas berkata tegas, “Tidak, kalian tidak boleh masuk ke sana.”
“Tapi, Bu—” Renata sampai bingung harus merayunya bagaimana. Lalu ia mencoba berbicara baik-baik lagi, “Apakah boleh kami menemui Ibu Martini terlebih dahulu?”
Sontak si ibu-ibu itu menyunggingkan setengah senyuman ketus yang membuat Renata dan kedua temannya menatap heran.
“Saya Ibu Martini,” ujar wanita yang tampaknya sudah berumur lebih dari 40 tahun itu.
Disebelahnya, Bayu pun menatap terkesiap seraya menengok ke Renata untuk berbisik, “Gila sih, ini ibu-ibu macan banget, Ren. Bakal susah kita merayu dia.”
Renata balas menengok kepadanya sejenak dan hanya bisa terdiam bingung.
Lalu Anita yang kali ini mencoba berbicara, “Bu Martini, kedatangan kami punya maksud yang baik ke mari. Kami datang jauh dari Jakarta ingin berkunjung sebagai anak-anak pendaki, karena kami ingin melihat keindahan alam yang ada di Hutan Sakral.”
“Apa kalian tuli? Saya sudah katakan, kalian tidak boleh menginjakkan kaki di tanah sakral itu. Jadi cari saja tempat lain untuk kalian jadikan obyek wisata,” ujar Ibu Martini dengan sangat tegas dan juga raut wajah yang begitu sinis.
Sebelum mereka bertiga bisa membujuknya lagi, Ibu Martini kembali masuk ke dalam rumah peribadatan tersebut. Sekarang mereka hanya bisa terdiam melamun seperti orang bodoh saja setelah gagal mendapatkan izin dari sang juru kunci.
Renata pun akhirnya menghembuskan nafas panjang seraya mengangkat kedua bahunya dengan pasrah saja. “Ya sudahlah, kita enggak usah memaksakan diri juga. Lagian kita masih bisa berkunjung ke Bukit Raya—”
“Damn!” sahut Bayu yang tampak sangat kesal itu. “Gila sih itu ibu-ibu buat gue kesal banget. Kita udah ngomong baik-baik, tapi dia galak banget kayak harimau.”
“Ya, dari awal kan gue udah bilang, mendingan enggak usah pergi ke hutan gua itu. Dari awal aja banyak informasi enggak jelas berseliweran di internet tentang mitos kisah dari tempatnya,” ucap Anita dengan raut wajah sebal. “Jadi sekarang kita jalanin yang pasti aja deh!”
“Ah, elah, itu sih karena nyali loe memang terlalu ciut, Anita,” sindir Bayu sambil terkekeh iseng lagi meledeknya.
Jelas saja Anita yang sangat kesal itu segera memukul sebelah bahunya dengan cukup kencang sampai membuat Bayu merintih.
Pada akhirnya mereka kembali menemui Doni dan Roy di warung kopi dengan tatapan pasrah. Setelah memberi tahu bahwa mereka gagal mendapatkan persetujuan dari si juru kunci, Doni dan Roy pun menunjukkan ekpsresi yang sama-sama pasrah juga.
“Gini deh ya, Bro, kalian enggak usah termakan omongan para warga yang bahkan enggak berani menginjakkan kaki mereka di tanah Hutan Sakral. Jadi mendingan kita sebagai anak-anak kota yang sudah berpikir logis ini lanjut saja,” ucap Bayu yang memotivasi teman-temannya.
“Iya, kau memang ada benarnya, kawan,” ujar Roy, “tapi itu namanya kita tidak menghormati adat warga setempat kalau main menerobos saja.”
“Lagian mitos ya hanya mitos. Enggak ada yang perlu ditakutkan,” ucap Bayu lagi.
“Tapi pasti peraturan dibuat karena ada alasan khusus, kan?” ujar Anita sambil merenunginya sendiri. “Jadi bukan saja karena untuk menghormati adat, tapi mungkin ada rahasia yang—”
Bayu dan Roy jelas terkekeh geli mendengar pernyataan itu datang dari Anita yang dari awal selalu menunjukkan wajah ketakutan.
Lalu Roy iseng menyindirnya, “Eh, sejak kapan kau jadi pintar begini, Anita? Aku pikir kau dari awal tak setuju dengan kita.”
Anita memutar kedua bola matanya kesal. “Ya, aku coba berpikir logis juga.”
Doni dan Renata juga jadi kepikiran dengan perkataan Anita yang masuk akal itu. Sekarang mereka semua dilanda kebimbangan sendiri.
Dan tentu saja kecuali Bayu yang terlalu bersemangat ingin menginjakkan kakinya di tanah sakral itu. Lalu ia mencoba memprovokasi teman-temannya lagi, “Eh, kalian jangan lesu begitu. Coba sajalah kita masuk diam-diam ke sana. Saat tidak ada mata warga yang melihat, langsung kita gas masuk ke sana.”
“Sudah gila ya, kau,” ucap Roy sambil terkekeh gila. “Boleh juga idemu itu. Tapi aku masih kepikiran dengan peraturan adat di sini.”
“Tenang sajalah. Aman kalau kita diam-diam masuk ke sana. Tidak perlu repot harus minta izin, apalagi harus menemui yang namanya Ibu Martini yang super killer tadi,” ucap Bayu sambil terkekeh dengan wajahnya yang menyebalkan.
Lalu Doni pun ikut berbicara, “Apa yakin kalau kita bakal baik-baik saja menerobos ke dalam hutan itu?”
Mereka semua pun balas menatapnya sejenak. Lalu Bayu segera menjawabnya, “Yakin, Bro, kita pasti baik-baik saja. Jangan terlalu ambil pusing sama mitos klenik.”
“Ya, aku sih setuju masalah mitos klenik itu. Kita kan tertarik mau berkunjung karena mau melihat isi dari gua batu itu, kan?” ucap Roy yang sekarang sudah tampak penuh semangat. “Kalau aku sih penasaran ingin lihat langsung tulisan-tulisan kuno di dinding gua batu di sana. Pasti ada sejarah yang bisa dikulik.”
Doni pun akhirnya mengangguk. “Ya, okelah. Kita coba saja.”
Anita pun sontak merengut kembali seperti biasanya. Sedangkan Renata selalu menurut saja dengan apapun yang dikatakan oleh kekasihnya. Lalu Bayu, tentu saja senang karena ia merasa berhasil memprovokasi teman-temannya itu. Dan Roy, tentu dirinya ingin segera bisa mengulik rahasia sejarah yang ada di dalam gua batu tersebut.
Saat matahari sudah terasa amat terik di atas puncak awan, pada siang hari itu juga mereka segera pergi berkunjung menuju ke tanah Hutan Sakral.