Beberapa tumpukan lembaran koran usang itu tergeletak begitu saja di atas meja kaca, sampai salah satu artikelnya dibacakan dengan suara lantang oleh Roy, “Mistis Rimak—hutan gua batu yang terkenal angker—”
“Shush! Sembarangan deh kamu,” sahut Anita dengan wajah sebal.
Sontak Roy terkekeh melihat Anita mengusap kedua bahunya sendiri karena begitu mudahnya merasa merinding.
“Eh, kalian tahu enggak sih?” ucap Roy lagi seraya melirik kepada kedua temannya yang sedang duduk di ruangan teras lantai dua ini bersamanya. “Konon katanya ada mitos makhluk hitam yang bersemayam di dalam gua batu itu. Kalian percaya enggak?”
Tiba-tiba saja Bayu melemparkan bola basket ke kepalanya sampai ia menjerit kesakitan. Lalu tanpa rasa bersalah sedikit pun, Bayu menyahut meledek, “Dasar anak klenik. Siapa juga sih orang jaman sekarang yang bakal percaya sama cerita mistis begitu?”
Seraya Roy memulihkan kesadarannya lagi akibat terhantam bola basket tadi, sekarang ia menatap sebal kepada kawan sepermainannya itu. “Eh, asal kau tahu ya, aku ini anak sejarah, sudah jelas hal begini jadi makanan sehari-hari untuk asyik dikulik—”
“Gue pernah baca juga tentang mitos makhluk hitam itu,” sahut Doni dengan wajah cemerlangnya. Seketika itu juga teman-temannya langsung mendangak menatapnya yang baru saja datang dari teras luar.
Lalu dibelakangnya, kekasih cantiknya yang bernama Renata itu juga baru datang mengantarkan pesanan kopi hangat untuk teman-temannya pagi ini.
Seraya memandang ketiga temannya yang sedang duduk bersama di sofa putih itu, kemudian Doni lanjut berbicara, “Enggak tahu juga tentang kebenaran ceritanya sih, tapi beberapa sumber menyebutkan kalau di kawasan Kalimantan Barat itu ada gua batu yang konon katanya bersemayam sosok makhluk abadi.”
“Vampir gitu maksudnya, Kang?” ucap Bayu sambil terkekeh menyebalkan saat meledeknya iseng.
Doni balas terkekeh santai saja dengan candaannya itu. Sedangkan Roy langsung balas melempar bola basket itu sampai mengenai kacamata yang dipakai Bayu.
“Eh, kurang ajar loe!” sahut Bayu yang sontak merengut kesal. Lalu segera setelah ia kembali memakai kacamata bacanya, ia lanjut bertanya, “Memangnya itu tempat terkenal di antara anak-anak pendaki gunung?”
“Sepertinya sih enggak. Soalnya itu tempat tertutup bagi pengunjung umum,” ucap Roy.
Lalu tiba-tiba saja Bayu menyahut dengan suara yang amat lantang bagai petir yang mengagetkan semua kawannya, “Wah, bagus kalau begitu! Bisa jadi tantangan selanjutnya untuk kita kunjungi!”
“Ih, gila deh! Males banget pergi ke sana kalau tempatnya aja udah enggak jelas!” sahut Anita yang kembali mengusap bahunya sendiri sambil menunjukkan wajah ngeri.
Lalu Roy segera membuka lembaran koran lainnya seraya memperlihatkan kepada mereka sebuah foto hitam putih pada artikel yang ditunjuknya.
“Ini nih, kita hanya butuh sedikit informasi lagi untuk bisa mencari titik lokasinya di Kalimantan sana, kawan,” ucap Roy dengan penuh semangat.
Sejenak Doni mengamati foto hitam putih di koran itu yang memperlihatkan pemandangan hutan di daerah Kalimantan yang konon penuh dengan kisah magis yang terselubung. Lalu Renata segera memeluk sebelah tangannya dengan manja sambil ikut memandangi foto tersebut.
“Emang kalian pada yakin mau pergi ke sana? Biaya pulang pergi dari Jakarta ke Kalimantan kan enggak murah tahu,” ucap Anita yang masih ingin membujuk teman-temannya agar tidak melanjutkan rencana ini.
“Ya elah, Anita, orang tuamu kan punya pabrik kopi. Masa’ sih ngasih duit buat anaknya jalan-jalan ke Kalimantan aja enggak punya?” sindir Bayu dengan mimik wajahnya yang sangat luar biasa menyebalkan.
“Kok loe nyebelin sih, Bayu? Gue cuma mau berpikir realistis aja. Bulan kemarin kita baru aja mendaki ke Gunung Rinjani. Apa enggak sebaiknya istirahat dulu sekarang ini?” ucap Anita.
Lalu kali ini Renata gantian menyahut, “Gue rasa itu ide yang bagus kok. Kita kan belum pernah main ke daerah Kalimantan.”
“Ih, Rena!” sahut Anita sangat kesal.
Renata terkekeh menatapnya yang masih terus merengut ketakutan sendiri di antara teman-teman yang lain.
Lalu Bayu segera berujar, “Kalau gitu sekarang kita vote aja deh. Siapa yang setuju bulan ini kita pergi mendaki ke Kalimantan?”
Segera saja Roy menjadi orang nomer satu di ruangan yang mengangkat tangannya dengan penuh semangat, diikuti dengan Bayu, lalu Doni yang akhirnya setuju, dan juga Renata.
“Duh, Anita, payah banget sih kau ini. Kita akan pergi bersama-sama ke sana, bukan mau uji nyali, jadi kau jangan khawatir begitulah,” ucap Roy dengan aksen Ambon yang khas. Lalu segera saja ia mendekati Anita dan memaksanya sampai mau ikut mengangkat tangan juga.
“Yeay, berarti sudah fix nih, kita bakal pergi ke Kalimantan Barat ya,” ucap Renata yang sangat bersemangat untuk segera berkunjung ke sana.
“Mendingan kita beli tiket pesawatnya hari ini saja, kawan. Soalnya kalau di akhir pekan bakal ramai sekali,” ucap Roy yang menyarankan.
“Ya sudah, kalau begitu Roy dan Bayu akan mengurus tiket pesawatnya. Sedangkan gue dan Renata akan cari-cari informasi lagi seputar kawasan hutan Mistis Rimak ini, dan—” lalu sepasang mata cokelat Doni gantian menatap Anita yang sedang meliriknya was was sendiri. Sontak saja ia terkekeh melihat raut wajah takutnya itu, “hei, tenang, Anita khusus mengurus keperluan perlengkapan saja ya.”
Namun masih saja Anita mengernyit sebal seraya menyahut, “Ih, masa’ gue sendirian sih ngurusinnya?”
“Tenang kok, gua pasti ikut bantuin,” ucap Renata seraya tersenyum manis kepadanya.
Lalu Anita segera beranjak dari sofa untuk menghampiri Renata dan memeluknya sangat erat. Sambil terus menciumi pipinya seperti kakak sendiri, lalu ia menyahut senang, “Makasih, Kakakku yang cantik!”
Bayu dan Roy pun kemudian kompak ikut beranjak dari sofa. Mereka akan siap-siap untuk membeli tiket pesawat pagi ini juga.
Sebelum mereka semua meninggalkan rumah villa itu di Puncak Bogor, Doni lalu berucap seraya bertepuk tangan, “Oke, kita minggu ini fix mendaki gunung lagi. Semangat guys!”
***
Lima hari kemudian, pada awal akhir pekan di bulan Juni 2016.
Akhirnya mereka berlima berangkat menuju Kalimantan Barat dari penerbangan pesawat di Bandara Soekarno Hatta. Sejak dini hari tadi mereka sudah kompak bersiap membawa perbekalan koper masing-masing. Bahkan mereka sudah janjian untuk datang ke bandara sejam lebih awal sebelum jadwal keberangkatan akan dimulai.
Rencana liburan ke Kalimantan Barat ini menjadi lokasi paling jauh yang akan mereka kunjungi selama sudah beberapa kali pergi mendaki bersama ke berbagai gunung di luar kota. Dan tentu saja akan menjadi perjalanan paling menantang bagi mereka semua, mengingat kawasan pendakian di Kalimantan masih terbilang misterius.
Perjalanan dengan penerbangan pesawat hari itu menghabiskan sekitar hampir dua jam. Pada pukul sepuluh pagi mereka baru tiba di Bandara Supadio Pontianak. Dari situ lalu mereka berlima lanjut melakukan perjalanan darat dengan bus umum menuju lokasi berikutnya.
Dari awal memang hanya Doni yang berlagak sebagai pemimpin dalam geng pendakian ini. Dia juga yang paling senior umurnya di antara yang lain, walaupun bulan kelahirannya beda beberapa bulan saja dengan Roy. Lagi pula memang hanya dia yang paling cermat dan serba tahu dalam soal pencarian titik lokasi setiap kali berpergian ke mana pun. Bisa dibilang, Doni itu ibarat kompas berjalan bagi teman-temannya.
Sedangkan kekasihnya, Renata selalu setia berada disampingnya sambil membantu membacakan rute perjalanan. Perempuan berparas cantik khas putri Solo ini punya perangai yang manis dan lembut, itulah yang membuat Doni langsung jatuh hati padanya pertama kali. Walau selalu tampak yang paling diam di antara yang lain, namun sikap cermatnya itu tak kalah dari kekasihnya.
Lalu ada juga Roy, dia sosok yang paling banyak tahu mengenai informasi sejarah dalam geng ini, mengingat dia memang lima tahun yang lalu sudah resmi lulus kuliah S1 sebagai sarjana ilmu sejarah terbaik di tempatnya.
Sedangkan Bayu, dia sempat kuliah S1 mengambil jurusan ekonomi dengan nilai IP yang pas-pasan saja dan lulus di tahun yang sama dengan Renata dan Anita. Walau begitu, dia sudah pasti bakal menjadi tim hore yang siap menghibur kawan-kawannya di sepanjang waktu, mengingat sifatnya yang memang selalu suka jahil.
Dan yang terakhir, ada Anita, anak orang kaya raya pemilik pabrik kopi di Pulau Jawa, dia adalah sahabat baik Renata, mereka mengambil kuliah sosiologi bersama tiga tahun yang lalu.
Perjalanan dengan bus memakan waktu hampir dua hari sendiri. Lalu pada pagi harinya mereka baru tiba di perbatasan pintu Desa Rantau Malam, Bayu langsung menyeletuk sambil matanya menatap keheranan ke sekelilingnya, “Eh, Bro, loe yakin ini tempatnya?”
Doni balas menatapnya dan dengan cepat mengangguk. “Lokasi yang mau kita tuju itu ada di ujung pedalaman Gunung Bukit Raya. Berhubung sekarang kita butuh istirahat dulu, jadi sekarang kita akan cari tempat penginapan di sini.”
“Iya nih, badan gua udah bau banget belum mandi—” lalu semua pasang mata sontak menatap Anita yang terus mengomel manja itu, “gila sih, perjalanan ke sini aja udah makan dua hari sendiri!”
Renata segera mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya sejenak, “Iya, kita akan istirahat dulu kok, baru besok mulai menjelajah ke tempat pendakian.”
Lalu Roy ikut menyahut heran, “Hei, kalian ini apa lupa? Orang suku Dayak selalu punya ritual penyambutan terlebih dahulu. Masa’ kita mau main nyelonong saja, kawan?”
Sebelum ada di antara mereka yang hendak membalas ucapan realistis si Roy, lalu seorang warga desa tiba-tiba datang menghampiri mereka di pintu gerbang. Sosoknya tampak begitu rapuh dan sudah berumur, si kakek-kakek berbaju kemeja putih lusuh dan rambut beruban itu segera menyambut baik kedatangan mereka semua.
Setelah Doni menjelaskan maksud akan kedatangan dirinya dan teman-temannya ke mari, si kakek lalu tersenyum dan segera saja mengantar mereka masuk ke dalam Desa Rantau Malam.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh Roy sebelumnya, warga desa mulai menyambut hangat kedatangan mereka berlima dengan upacara adat penyambutan khusus. Mereka melakukan upacara tari-tarian khas suku setempat. Baru setelah itu seorang ibu-ibu paruh baya mengantar mereka menuju rumahnya untuk dipergunakan menginap.
Mereka berlima akhirnya tinggal di rumah warga yang sama, hanya saja berbeda kamar. Renata dan Anita akan tidur di kamar yang sama, terpisah dari kamarnya Doni, Bayu, dan Roy.
Setelah dua hari perjalanan darat menggunakan bus membuat mereka semua sangat kelelahan, akhirnya sekarang mereka berlima dapat bernafas lega sejenak saat beristirahat sehari semalam di rumah si ibu-ibu yang sangat ramah itu.
Sampai saat jam makan malam tiba, mereka semua nongkrong bersama di teras rumah sambil mencicipi masakan sambal ikan asin si ibu-ibu pemilik rumah itu yang suaminya juga baru pulang setelah bekerja seharian di ladang sebelah.
“Bu, apa di Gunung Bukit Raya memang ada daerah yang namanya Mistis Rimak?” tanya Doni yang masih saja penasaran.
Sejenak ibu-ibu itu menatapnya diam membisu, seakan sorot matanya menyiratkan misteri yang membuat yang lainnya jadi ikut penasaran juga. Lalu si ibu-ibu itu akhirnya menjawab, “Itu lokasi terbatas untuk pengunjung umum. Bahkan warga desa sekalipun enggak mau main ke situ.”
“Loh, memangnya kenapa, Bu?” tanya Renata sebelum ia melahap sesuap sambal ikan asin di piring miliknya.
Sejenak ibu-ibu itu menghembuskan nafas panjang. “Hutan itu satu-satunya kawasan yang setiap beberapa waktu selalu diadakan ritual khusus dari masa ke masa, makanya di sini namanya lebih terkenal sebagai Hutan Sakral.”
Roy balas menimbrung lagi, “Kalau yang kami baca di koran dan internet, katanya disebut sebagai hutan gua batu angker—”
“Itu kan yang ditulis di internet. Sudah pasti informasinya tidak seakurat kalau kalian datang ke sini langsung,” ucap si ibu-ibu sambil terkekeh geli sendiri.
Melihat anak-anak kota ini terdiam termenung sejenak, lantas si ibu-ibu mulai mengamati ekspresi canggung mereka saat itu. Lalu ia segera bertanya, “Apa maksud kedatangan kalian ke sini, sebenarnya bukan mau mendaki ke Gunung Bukit Raya ya? Tapi ingin mencari—”
“Iya, Bu, kami memang bermaksud berkunjung ke Hutan Sakral itu,” ucap Doni.
Lalu Bayu menyahut, “Katanya ada mitos makhluk vampir di dalam gua hutan. Apa benar itu?”
Roy segera berdehem seraya meralat ucapannya, “Maksud teman kami, seperti adanya mitos makhluk hitam, Bu.”
Seketika itu juga, si ibu-ibu itu terdiam lagi, namun kali ini tatapannya tampak mencemaskan akan sesuatu hal. Lalu dari ambang pintu, suaminya datang ingin ikut menyeletuk kepada para pendatang ini, “Saran saya, sebaiknya tidak perlulah kalian penasaran akan sesuatu yang dapat membahayakan nyawa sendiri.”
Sontak setiap pasang mata mendangak menatapnya yang sedang berdiri bertengger di ambang pintu teras sambil menyalakan putung rokok digenggamannya.
“Apa artinya, Bapak dan Ibu ini percaya dengan mitos makhluk hitam yang ada di gua hutan itu?” tanya Renata.
Namun si bapak-bapak itu malah tersenyum misterius saja seraya berkata, “Kami akan selalu mengatakan kepada para pendatang; selalu berhati-hatilah kalian setiap kali hendak menginjakkan kaki di tanah hutan Kalimantan. Berdo’a lah dan yakin dengan tujuan kalian yang mulia di tanah ini.”
Mendengar jawaban si bapak-bapak itu malah cenderung terdengar ambigu, mereka berlima pun jadi bingung.
Lalu Doni bertanya, “Apa Bapak dan Ibu ada cerita mengenai Mistis Rimak serta legenda yang ada di sana?”
“Cukuplah kalian tahu; jangan penasaran dengan hal yang dapat membahayakan akal sehat, jiwa, dan nyawa kalian saat hendak berpergian,” ucap si bapak-bapak itu lagi, lalu istrinya ikut terkekeh setelah mendengar nasehat klasik darinya.
Akhirnya pada malam hari itu pun, mereka berlima kembali melamun bersama memandangi indahnya bintang-bintang pada langit malam biru, mengingat mereka hanya dapat berpegang pada sisa-sisa informasi yang hanya bisa didapatkan sekedarnya saja dari sumber koran dan internet. Tampaknya para warga desa setempat pun enggan untuk berbagi kisah yang mungkin sudah lama terkubur itu di masa lalu. Mungkin perjalanan pendakian ini akan menjadi perjalanan paling misterius yang bakal mereka tempuh bersama.