Read More >>"> CREED AND PREJUDICE (3-Bukti yang Tidak Kuat) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CREED AND PREJUDICE
MENU
About Us  

Sepulang sekolah, aku sengaja menunggu Hana di depan pintu kelasnya. Aku ingin menanyakan tentang charger hp milik Diara. Perasaanku masih percaya kalau Hana yang sudah mencuri charger Diara karena dia berada di kelasku. Kenapa harus Hana? Karena dia selalu berada di tempat dan waktu yang sama ketika barang teman-temanku hilang.

“Hana, aku tidak ingin menuduh. Tetapi aku rasa kamu harus mengembalikan semua barang itu. Aku tahu kalau barang-barang itu terlihat tidak berharga, akan tetapi semua barang itu sangat berharga bagi teman-temanku,” ucapku perlahan. Aku berharap tidak membuatnya tersinggung dengan kata-kataku. Hana mengerutkan keningnya.

“Maksudnya apa, Mar?” tanyanya.

“Uum..,” aku berusaha mencari kata-kata yang baik agar tidak terlalu menyinggungnya. “Sebenarnya.. aku merasa kalau kamu yang mencuri semua barang yang hilang di kelasku.”

Hana membelalakkan matanya, “Apa? Jadi kamu menuduhku mencuri barang-barang itu?! Kamu yakin kalau aku itu pencurinya?”

Aku menganggukkan kepala pelan.

“Sebenarnya aku tidak ingin menuduhmu seperti ini. Cuma aku tahu kalau kamu sering mampir di kelasku. Dan setiap kamu berkunjung di kelasku, pada saat itu juga teman-temanku kehilangan barang miliknya.”

“Lalu kenapa harus aku? Bukannya banyak anak-anak dari kelas lain yang datang di kelasmu?”

“Tapi tidak sesering kamu.”

“Tapi aku bukan pencurinya,” setelah mengatakan itu, kami sama-sama terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku merasa yakin kalau Hana adalah pelakunya. Tetapi dia tidak mengakui kalau dia yang selama ini mencuri barang-barang itu. “Bukti yang kamu katakan itu tidak cukup kuat. Kamu hanya membuat kesimpulan sendiri, Mar. Kamu hanya menuduhku. Dan kamu sudah menuduh orang yang salah.”

“Lalu.. kalau kamu bukan pelakunya, apa kamu bisa membuktikannya? Bisakah kamu ikut aku ke ruang BK? Bu Rika, guru BK kita pasti akan memberikan jalan keluar atas masalah ini.”

“Ayo, siapa takut,” Hana berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya dari belakang. Ruangan BK tidak jauh dari kelas Hana. Ruangan itu tepat berada di ujung lorong. Kulihat langkah Hana berhenti di depan pintu ruang BK. Dia menoleh ke arahku. “Silahkan, masuk dulu,” katanya. Aku menatap pintu yang tertutup. Ku beranikan diri untuk mengetuk pintu itu. Terdengar suara bu  Rika yang menyuruh kami untuk masuk ke dalam. Aku membuka pintu perlahan. Aku melihat bu Rika sedang duduk di sofa dengan Bu Nurma dan Diara. Tampak bu Nurma yang merangkul pundak Diara yang menangis sesenggukan. Aku dan Hana menyalami kedua guru di depan kami.

“Maaf bu, saya kesini untuk membicarakan tentang hilangnya barang-barang di kelas tujuh A,” aku memulai pembicaraan. Bu Rika menganggukkan kepala.

“Ya, Bu Nurma juga sering bercerita tentang hilangnya barang-barang disana. Ibu akan segera menyelidikinya.”

“Saya sudah menyelidikinya, bu,” ucapku lagi.

“Maksudnya?”

“Menurut Amar sayalah pencurinya, bu. Jangankan charger, mencuri pulpen milik teman saja saya tidak berani,” ucap Hana mendahuluiku berbicara. Mulutku langsung tertutup rapat. Aku melihat ke arah bu Rika, menunggu jawabannya.

“Apa alasan Amar menunjuk Hana sebagai pencurinya?” tanya bu Rika.

“Saya tahu bahwa keyakinan saya benar, bu. Semenjak Hana sering mampir di kelas tujuh A, banyak sekali barang-barang yang hilang disana. Tentu saja banyak orang yang berkunjung di kelas, selain Hana. Tetapi Hana yang lebih sering mampir daripada anak-anak lainnya. Bahkan hilangnya charger Diara bersamaan dengan Hana yang baru saja mampir di kelas sana.”

Diara bangkit dari duduknya.

“Jadi kamu yang mencuri charger hp-ku, Han?” tanyanya dengan mata nanar. Hana menggelengkan kepalanya dengan cepat.

“Bukan! Bukan aku! Aku kan sudah bilang bukan aku pelakunya,” bu Nurma mencoba menenangkan Diara yang menangis makin keras.

“Mamaku pasti bakalan marah karena charger hp aku hilang lagi,” keluhnya dengan isak tangis. Kami semua terdiam tidak menanggapi. Lalu kudengar bu Rika berdeham sesaat.

“Amar,” aku terkesiap ketika mendengar bu Rika memanggilku. “Ibu tahu jika kamu juga ingin menemukan pencurinya. Akan tetapi bagaimanapun kita tidak bisa langsung menuduh orang yang belum tentu melakukan hal itu. Jika kamu yang berada di posisi Hana, bagaimana perasaanmu jika secara tiba-tiba ibu menunjuk kamu sebagai pencuri?”

 “Saya akan merasa marah. Karena bukan saya yang mencuri, bu,” aku menjawab dengan lirih. Aku sedikit terkejut ketika bu Rika menepuk tangannya.

“Nah, itu yang dirasakan oleh Hana. Padahal Hana berkunjung di kelas tujuh-A hanya untuk bermain dan mengobrol dengan teman-teman disana. Akan tetapi kamu langsung menuduhnya hanya karena dia berada di tempat yang sama. Hal itu tidak cukup adil bagi Hana. Kamu mengerti, Amar?” aku hanya menganggukkan kepala dengan tubuh lesu.

Benar kata bu Rika, aku terlalu terburu-buru menyalahkan Hana tanpa alasan yang kuat. Aku menuduh orang sembarangan. Padahal belum tentu Hana yang melakukannya. Tiba-tiba saja muncul perasaan bersalah. Ya, aku merasa bersalah karena membuat tuduhan yang salah.

“Dan kamu juga, Diara,” tangis Diara mereda. Dia memperhatikan bu Rika yang hendak berbicara dengannya. “Bukankah kamu tahu, bahwa peraturan sekolah melarang menggunakan stop kontak untuk kepentingan pribadi? Stop kontak itu bukan untuk mengisi baterai hp, tetapi digunakan untuk fasilitas sekolah.”

Diara menganggukkan kepalanya. “Iya, bu. Maaf. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” katanya sambil tertunduk. Hana berjalan mendekati Diara. Dia mengusap punggung Diara dengan lembut.

“Yang sabar ya, Ra. Cepat atau lambat, kita akan segera mengetahui siapa pencurinya,” katanya pelan. Diara menganggukkan kepalanya pelan. Kulihat sisa-sisa air matanya masih mengalir di pipinya. “Kalau begitu saya permisi dulu, bu. Ayah saya pasti sudah menjemput saya di depan gerbang sekolah,” lanjutnya.

Dia segera menyalami bu Nurma dan bu Rika. Aku pun juga menyalami kedua guruku dan berjalan keluar ruangan mengikuti Hana dari belakang. Dengan sedikit keberanian, aku mengejar Hana yang berjalan di depanku.

“Han, tunggu!” teriakku. Dia berbalik dan melipat kedua tangannya di dada.

“Jadi.. kamu mau minta maaf nih?”

“Hah?” aku terkejut saat Hana mengetahui jalan pikiranku. Aku memang hendak meminta maaf padanya. Tetapi aku terlalu malu meminta maaf padanya. “Aku.. aku..,” kataku setengah menunduk. Hana masih menunggu kata-kataku.

“Aku..,” katanya sambil tersenyum jahil. Ku beranikan diri untuk mengangkat wajah melihatnya. Hana juga berbalik menatapku.

“Aku minta maaf karena sudah menuduhmu sembarangan,” kulihat senyuman menghiasi bibirnya. Dia menepuk pundakku beberapa kali.

“Nah, gitu dong,” karena saking malunya, aku berjalan mendahuluinya. Kudengar langkah Hana mengikutiku dari belakang. Rupanya dia berlari kecil menghampiriku. “Idih, malu yaa. Jangan tersipu malu gitu dong!” godanya dengan wajah sumringah.

“Aku nggak malu kok,” kataku bohong. Hana masih tetap menggodaku.

”Duh, jangan malu dong. Biasa saja lah. Kita kan teman,” lama-lama aku tersenyum juga mendengarnya. Benar juga, aku dan Hana kan teman. Seharusnya aku tidak menyalahkannya seperti tadi. Sudah seharusnya sebagai teman, kita harus saling percaya. Sebagaimana aku percaya pada teman-teman sekelasku.

Kami berjalan di lorong yang sepi. Tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Hingga Hana melambaikan tangannya setelah melihat ayahnya sedang menunggunya di depan gerbang sekolah dengan motor. Hana berjalan mendahuluiku. Namun baru beberapa langkah, dia berbalik lagi.

“Aku juga penasaran siapa orang yang mencuri barang-barang di kelasmu itu. Makanya aku selalu mencari tahu kepada setiap orang di kelasmu. Siapa tahu aku mendapatkan informasi dan petunjuk. Aku yakin kalau si pencuri akan segera ditemukan,” aku terperangah mendengarnya. Ternyata selama ini Hana juga mencari tahu tentang jejak si pencuri itu. Aku telah salah menilainya. Hana benar-benar teman yang baik.

“Bagaimana kalau kita bekerja sama untuk menemukan pencurinya?” Hana tertawa kecil mendengarnya. Aku juga ikut tertawa sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Itu ide yang bagus! Siapa tahu kita akan lebih cepat menemukannya. Bu Rika pasti akan bangga dengan kita,” ku anggukkan kepala dan tersenyum menanggapinya. “Kalau begitu aku pulang dulu ya. Ayahku sudah menunggu disana.”

“Hana, tunggu!” Hana berbalik lagi. Aku mengangkat tanganku yang tergenggam. Hana tertawa lagi. Lalu dia juga mengangkat tangannya yang tergenggam. Kami berdua saling membenturkan tangan yang tergenggam dengan kompak.

“Tos,”

“Tos,” ujar kami secara bersamaan. Kami tertawa bersama.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
It Takes Two to Tango
3      3     0     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Dessert
15      8     0     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
24      9     0     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
Panggung Terakhir
4      4     0     
Short Story
Apa yang terlintas dipikiran kalian saat melihat pertunjukan opera? Penuh dengan drama? Bernilai seni yang tinggi? Memiliki ciri khas yang sangat unik? Dimana para pemain sangat berkarakter dan berkharisma? Sang Ratu Opera, Helena Windsor Saner, merupakan seorang gadis cantik dan berbakat. Jenius dalam musik, namun lebih memilih untuk menjadi pemain opera. Hidup dengan kepribadian ceria...
The Secret
4      4     0     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Danger
5      5     0     
Short Story
Pencuri bank akan mencuri uang dengan berbagai cara. Semua cara yang mereka lakukan, tentunya bertujuan untuk mendapatkan uang dengan jumlah yang besar dan instan. Tidak hanya itu rencana juga dilakukan yang bertujuan agar aksi mereka tidak di ketahui oleh siapa pun. Banyak pencuri yang berusaha menghilangkan jejaknya atau pun beraksi tanpa jejak. Lalu bagaimana jika seorang pencuri bank ...
Sweet Pea
17      6     0     
Romance
"Saya mengirim Kalian berdua ke alam itu bukan untuk merubah 'segala'nya. Saya hanya memberi jalan kearah 'happy ending'. Hanya itu." [Aku akan membenarkan yang typo secepatnya]
HAMPA
3      3     0     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
REWIND
101      25     0     
Romance
Aku yang selalu jadi figuran di kisah orang lain, juga ingin mendapat banyak cinta layaknya pemeran utama dalam ceritaku sendiri. -Anindita Hermawan, 2007-
Aku Mau
142      28     0     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.